Agenda Setting, Framing & Priming

Catatan kecil bagi Pembelajar Media dan Teori-teori Komunikasi Massa.

Sejarah mencatat bahwa penelitian efek komunikasi menunjukkan adanya anggapan pengaruh media massa yang naik-turun. Awalnya, media massa dianggap punya pengaruh kepada khalayak (audience) secara sangat perkasa, lalu muncul pendapat bahwa efek media massa (selanjutnya ditulis ‘media’ saja) hanya terbatas, dan belakangan ini kembali muncul anggapan bahwa media memiliki pengaruh yang amat perkasa.

Hingga tahun 1940, pasca-Perang Dunia I (PD I), ketakutan terhadap propaganda telah mendramatisasikan efek media. Rakhmat (2018, p.245)[1] mencatat bahwa dalam disertasinya Harold Laswell menulis tentang propaganda pada PD-I melalui The Instittute for Propaganda Analysis, yang menganalisis teknik-teknik propaganda yang digunakan pendeta radio Father Coughlin. Pada saat yang sama, behaviorisme dan psikologi insting sedang populerdi kalangan ilmuwan.

Dalam kaitannya dengan media, keduanya melahirkan apa yang disebut Melvin DeFleur (1975) sebagai instinctive Stimulus-Response (SR) theory, yang menjelaskan bahwa media menyajikan stimulus perkasa yang secara seragam diperhatikan oleh massa (khalayak). Stimulus ini membangkitkan desakan, emosi, atau proses lain yang hampir tidak terkontrol oleh individu. Setiap anggota masyarakat, tempat individu itu berada, kemudian memberikan respons yang sama terhadap stimulus yang datang dari media. Berhubung teori ini mengasumsikan masa yang ‘tidak berdaya’ ditembaki oleh stimulus media massa, teori ini kemudian dinamakan ‘bullet theory’ (teori peluru).

Serupa dengan itu, muncul ‘model jarum hipodermis’ yang menganalogikan pesan komunikasi (dari media) seolah bagaikan obat yang disuntikkan dengan jarum ke bagian bawah kulit pasien. Elizabeth Noelle Neumann (1973), menurut Rakhmat (2018, p.247) menyebut teori ini dengan the concept of powerful mass media.

Namun belakangan muncul penelitian Paul Lazarsfeld yang ‘menyerang’ Model Peluru itu. Media massa, kata Lazarsfeld, hampir tidak berpengaruh sama sekali. Alih-alih sebagai media yang mengubah perilaku, media lebih berfungsi untuk memperteguh keyakinan yang ada. Pengaruh media juga disaring oleh opinion leader (pemuka pendapat), dan kemudian, melalui komunikasi interpersonal pesan itu diteruskan kepada khalayak. Khalayak juga tidaklah pasif, mereka tidak menerima begitu saja segala (pesan atau informasi) yang ‘disuntikkan’ media pada mereka, melainkan akan menyaring informasi (pesan) melalui proses terpaan selektif (selective exposure) dan persepsi selektif (selective perception). Setelah Perang Dunia kedua (PD II) itu, memang ada perubahan perhatian dari efek jangka pendek (terhadap khalayak) menuju penelitian pada efek jangka panjang (dan tidak langsung), seperti munculnya teori Spiral of Silence-nya Noelle Neumann.

Tetapi yang menarik adalah perkembangan berikutnya, ketika perhatian peneliti komunikasi massa lebih berfokus pada perkara agenda setting dan framing.

Berbicara mengenai Framing (pembingkaian) tidak bisa dipisahkan dengan Agenda Setting.

Miller (2005, p. 275)[2] menulis bahwa konsep framing dianggap sebagai level kedua agenda setting. Dalam konteks agenda setting, framing merupakan proses ketika media menekankan beberapa aspek sebuah realitas dan menyingkirkan (menjadikannya tidak penting) aspek-aspek yang lain. Lazimnya pembingkaian (framing) dapat diwujudkan melalui pertimbangan beberapa sub-topik tertentu, melalui ukuran dan penempatan unsur berita (news item), lewat format naratif dan kesan (tone) apa yang dipresentasikan, dan melalui detil-detil tertentu di dalam sebuah peliputan atau pemuatan berita (news coverage). Sebagaimana dikatakan Scheufele (2000, p.309), Miller (p. 275) meringkaskan bahwa, “framing memengaruhi bagaimana para khalayak berpikir mengenai berbagai permasalahan (perkara, kasus atau issues), bukan dengan cara menjadikan aspek perkara itu kian menonjol (significant), tetapi dengan mendesakkan (menggiring) skema-skema interpretatif tertentu yang pada gilirannya akan memengaruhi interpretasi terhadap informasi yang disajikan.”

Agenda Setting pertama kali digagas oleh Max McCombs dan Donald Shaw (1968) yang mengamati jalannya pemilu di AS pada masa itu. (Selengkapnya bisa dibaca di sini.

Sejalan dengan teori agenda setting dan framing, peneliti media juga mengetengahkan adanya priming. Ia didefinisikan sebagai efek-efek proses kognitif yang menjelaskan bahwa bila sebuah stimulus (tertentu) sering diakses atau menonjol dalam struktur kognitif seseorang, ia akan menjadi jalan baginya untuk menginterpretasikan stimuli yang ambigu. Menurut Miller (p. 276), priming menyuguhkan sebuah penjelasan proses-proses psikologis yang menguatkan efek agenda setting. Yakni, ketika media menyediakan sejumlah besar ruangan (bagi media cetak) dan waktu tayang atau waktu siar (untuk radio dan TV) pada sebuah perkara (issue), maka perkara (kejadian) itu akan menjadi mudah diakses dan menonjol dalam struktur kognitif (pikiran) orang. Maka, topik yang dibingkai demikian itu, kemudian akan dianggap penting oleh khalayak (agenda setting tingkat pertama). Kemudian, berhubung manusia memiliki kemampuan memproses informasi secara terbatas, topik yang dibingkai tadi akan menjadi jalan bagi penganalisaan (pemahaman) terhadap informasi lainnya, khususnya yang bersifat ambigu (agenda setting level kedua).

Lazim diketahui bahwa media massa memengaruhi persepsi khalayak (audience) tentang apa yang dianggap penting. Memang media massa (selanjutnya disebut ‘media’) tidak menetapkan what to think (apa yang harus kita pikirkan), tetapi menggiring kita (audience) kepada what to think about (masalah apa yang harus kita pikirkan).

Meski memberitakan peristiwa yang sama, sering kali audience (khalayak) mendapatkan berita yang memiliki kecenderungan berbeda dari dua (atau lebih) media berlainan – yang di atas kita sebut sebagai ‘ambigu’. Perbedaan berita bisa sebatas redaksional (teks atau narasi)-nya saja, namun dapat juga berbeda pada kesan dan kecenderungan berita, sehingga pada sebuah konflik, misalnya, pembaca bisa menilai sebuah media (A) cenderung mendukung pihak tertentu sementara media yang lain (B) mendukung pihak yang berbeda.

Perbedaan pada berita seperti ini terjadi karena ada perbedaan cara pandang di antara media terhadap suatu kasus (atau isu), sehingga menimbulkan beragamnya framing berita.

Simak video yang Lima (5) filter Mesin Media Massa yang digambarkan Noam Chomsky ini (Noam Chomsky – The 5 Filters of the Mass Media Machine):

Hubungan Kekuasaan (Power) antara Media dan Sumber-sumber lain:

Littlejohn dan Foss (2011) berpendapat bahwa terdapat empat (4) jenis hubungan power antara media dan sumber-sumber lain (other sources):
  • Sumber yang sangat kuat (high-power source) dan media berpengaruh (high-power media): keduanya secara sejajar sama-sama mengatur agenda.
  • Sumber berpengaruh dan media yang rendah pengaruhnya: sumber mengatur agenda bagi media.
  • Sumber yang tidak seberapa berpengaruh (low-power source) dan media berpengaruh (high-power media): media mengatur agendanya sendiri, dan mungkin (bisa) menyingkirkan sumber.
  • Sumber yang tidak seberapa berpengaruh dan media yang rendah pengaruhnya: keduanya sama-sama terlalu lemah untuk mengatur agenda setting bagi publik.
    • (Sumber: Littlejohn, Stephen W.; Foss, Karen A. (2010). Theories of Human Communication (10th ed.). Long Grove, IL: Waveland Press, Inc.)

Framing sendiri adalah metode untuk melihat cara bercerita (story telling) media atas sebuah peristiwa.  Bagi Robert N. Entman framing adalah, proses seleksi data atau fakta dan penonjolan aspek tertentu dari realitas sehingga terlihat lebih penting dalam berita disbanding aspek lainya (Eriyanto, 2002, p.186).[3]

Sebuah berita, pasti menceritakan suatu peristiwa, dari sebuah berita bisa terlihat bagaimana jurnalis atau media melihat suatu peristiwa. Setiap jurnalis, atau setiap media memiliki caranya sendiri dalam menceritakan kembali suatu peristiwa. Sudut pandang atau cara melihat seorang jurnalis terhadap suatu peristiwa inilah yang menentukan konstruksi realitas, yakni bagaimana peristiwa dipahami oleh media.

Peter L. Berger menggambarkan realitas sebagai sesuatu yang tidak terbentuk secara alamiah, realitas dibentuk dan dikonstruksi oleh individu atau masyarakat sehingga akan ada banyak pemahaman tentang realitas. Dengan kata lain wajah realitas akan ganda/plural (Eriyanto, 2002, p.15). Sebagai contoh ketika ada demonstrasi memprotes hasil pemilihan umum oleh sebuah kelompok masyarakat, umpamanya, dapat terjadi perbedaan berita di berbagai media yang memuatnya, tergantung bagaimana media memandang realitas (kejadian) itu. Gambaran tentang sebuah realitas tergantung bagaimana orang (wartawan dan khalayak) memandangnya, sehingga sebuah realitas akan memiliki ‘wajah’ (atau dipandang) secara berbeda-beda. Dalam kaitanya dengan berita, realitas yang tertuang dalam berita merupakan hasil konstruksi awak pers.

Menganalisis isi berita atau framing berita termasuk dalam paradigma konstruksionisme, yang menganggap realitas bersifat subjektif karena dihadirkan oleh konsep subjektif wartawan dengan sudut pandangnya sendiri (Eriyanto, 2002:19). Paradigma konstruksionisme yang diperkenalkan oleh L. Berger, beranggapan bahwa wartawan turut membentuk suatu fakta, karena dalam proses meliput suatu peristiwa wartawan tak bisa lepas dari sudut pandang tertentu, konteks tertentu, dan konsepsi awal yang dibawa dari kantor tempatnya bekerja, dan sebagainya.

News Filtering. Event 1. Event 3. Event 2. Selection. Construction. News representations of selected events. Agenda Setting Theory. Framing. Theory.

Berbeda dengan paradigma konstruksionisme, paradigma positivisme beranggapan bahwa fakta bersifat objektif, dan ‘telah ada’ sebelum wartawan datang. Artinya, pada kaum positivis menganggap fakta sebagai sesuatu yang objektif yang harus diambil oleh wartawan. Bagi kelompok positivis ada fakta ‘riil’, objektif, yang sudah ada dan diatur oleh kaidah-kaidah tertentu yang berlaku universal, sementara kelompok konstruksionis menganggap bahwa, menyatakan sebuah fakta merupakan ‘hasil konstruksi’ manusia atas realitas. Pada paradigma konstruksionis kebenaran suatu fakta bersifat relatif, berlaku sesuai konteks tertentu (Eriyanto, 2002:20). Pandangan ini pada akhirnya juga membuat pandangan yang berbeda tentang media massa, para positivis menganggap media sebagai saluran pesan, sedangkan para konstruksionis menganggap media sebagai agen konstruksi pesan.

Teori agenda setting bukan tanpa kritik. Berhubung teori ini beranggapan bahwa pada umumnya audience (publik) bersikap pasif, maka John Fiske, misalnya, menentang konsep tersebut, karena menurut Fiske, publik bersikap aktif (misalnya memilih kanal siaran TV yang disukainya, dan tidak menerima begitu saja semua berita yang disajikan sebuah stasiun TV. (Lihat misalnya: Fiske, John. "Television: Polysemy and popularity." Critical Studies in Media Communication 3.4 (1986): 391-408.)

Pada kerja sehari-harinya, seorang jurnalis mengemas sedemikian rupa semua informasi yang kemudian disajikan pada publik (audience) dalam bentuk berita. Dalam proses pembentukan berita itu, termuat skema interpretasi individu sang jurnalis yang turut membentuk makna dalam paket berita. Menulis fakta, berarti merangkai kembali seluruh data yang didapat dalam bentuk tulisan. Dalam proses ini jurnalis, sesuai dengan perspektifnya sendiri, akan menentukan mana fakta paling penting yang akan ditekankan dengan menempatkan di paragraph pertama, diulang ulang, bahkan ditambah grafis atau foto. Fakta yang dianggap tidak penting lazimnya akan ditempatkan pada bagian belakang tulisan (pada sebuah suratkabar), tak perlu pengulangan atau bahkan jika ruang suratkabar (space-nya) tidak cukup, maka berita itu akan dibuang. Semua pilihan struktur berita ini, bertujuan untuk membuat berita lebih menarik dan lebih diingat oleh pembaca.


Footnotes (References):

[1] Rakhmat, Jalaluddin. (Edisi Revisi). (2018). “Psikologi Komunikasi.” Bandung: Simbiosa Rekatama Media.

[2] Katherine Miller, 2005, Communication Theories: Perspectives, Processes, and Contexts. New York: McGrawHill.

[3] Eriyanto, 2002, Analisis Framing, Konstruksi, Ideologi dan Politik Media. Yogyakarta: LKiS.

Memahami Publik

Catatan Soal PR dan Media Massa di Era Digital

“Tulislah tema dan ‘lead’ artikel yang memancing pembaca, Mas,” saran seorang editor di sebuah portal berita pada saya beberapa tahun silam, “Yang keywords-nya menarik pembaca dan mesin pencari Google.”

Yang dimaksudnya adalah fokus tulisan dan frasa hendaknya mengacu pada apa yang diinginkan pembaca. Tentu saja itu tidak selalu mudah, karena sering kali penulis kolom seperti ini lebih sibuk memikirkan apa yang ingin diungkapkannya, tentang dirinya, tentang pengalamannya, ketimbang apa yang sebenarnya diharapkan pembaca.

Dan wartawan portal media itu benar sekali. Pengalamannya mengelola media cetak (dulu) dan media online sekarang ini mengajarkan padanya bahwa: salah satu yang membuat penerbit sukses, dan itu mesti diikuti pemasar online (web marketers), adalah memahami publik atau khalayak lebih dulu – siapa, dan bagaimana gaya hidup mereka, umpamanya — baru kemudian berusaha memuaskan kebutuhan mereka terhadap informasi.

Bila seorang praktisi Public Relations (PR) membuat rilis media (press release), misalnya, memang wajar bila ia mengedepankan informasi mengenai nama perusahaan atau brand -nya.

“Tetapi, lebih penting dari itu, “ kata ahli komunikasi online,”Sesungguhnya praktisi komunikasi, pemasar atau PR, harus mengutamakan masalah atau kebutuhan publik atau konsumen, kemudian memberi informasi yang sesuai dengan kebutuhan mereka itu. Ia mesti menggunakan kata-kata dan frasa yang digunakan calon pembeli.”

Ia mesti berpikir dengan kaca mata pembeli, yang mencari informasi mengenai produknya di mesin pencari Internet. Mereka khususnya akan menggunakan kata atau frasa yang penting bagi mereka, bukan bagi sang praktisi PR atau pemasar.

Sebuah buku yang membahas Media Baru pada era Digital.

“Alih-alih dari menggunakan jargon atau label yang Anda rancang, seharusnya pemasar dan praktisi PR memikirkan apa problem konsumen? Apa yang membuat mereka melek tengah malam, apa yang ingin mereka ketahui? Kira-kira apa kata-kata dan frasa yang bakal mereka pakai untuk menjelaskan masalah itu?”

Begitulah, Pembaca. Para praktisi PR kini dihadapkan pada fenomena menarik, ketika publik – termasuk wartawan – dengan mudah dapat membaca rilis media secara online dalam hitungan detik sejak ia diunggah.

Inilah saatnya ketika semua orang, mulai dari sumber berita, para wartawan dan redaksi penyebar berita sampai ke penikmat berita (pembaca, pendengar radio, atau pemirsa televisi) bersatu pada sebuah ruang (space) maya yang dihadirkan Internet.

PR 2.0, 3.0 atau 4.0

Inilah era PR 2.0, Public Relations generasi kedua (ada juga yang bilang sudah zaman 4.0, terserah Anda saja). Saat ketika banyak perkara dalam dunia public relations telah meninggalkan berbagai aturan dan kaidah zaman PR lama satu dasawarsa terakhir. Web (Internet) telah mengubah segalanya. Web juga mengubah aturan-aturan mengenai rilis media.

Ini memang jaman “disrupsi digital”. Agar makin yakin, silakan simak tulisan-tulisan Brian Solis di sini.

Dulu, sebelum era Internet, sebuah rilis pers selalu merupakan naskah yang ditujukan kepada redaksi media. Sebelum era Web, setiap orang tahu bahwa satu-satunya alasan Anda membuat sebuah rilis adalah agar media menulis tentang Anda atau organisasi Anda.

Ketika itu, tidak ada yang melihat rilis pers itu kecuali wartawan dan redaksi (editor) kantor media massa. Saat itu, Anda harus punya ‘berita’ – kejadian yang memiliki ‘kriteria sebagai sebuah berita ‘ atau ‘news worthiness’ – sebelum Anda boleh menulis sebuah rilis.

Fakta lain adalah bahwa, ketika itu lazimnya rilis juga menyertakan kutipan (quotes) dari pihak ketiga seperti analis atau ahli yang berkompeten. Dari situ, satu-satunya cara publik atau ‘pasar’ akan mengetahui tentang rilis Anda itu hanyalah ketika redaksi kemudian menuliskan berita Anda itu di medianya.

Akhirnya, satu-satunya jalan untuk mengukur efektivitas rilis pers Anda adalah melalui klipping  berita, yang mengumpulkan sejumlah guntingan berita yang mengutip rilis Anda.

Kini tidak lagi. Internet telah menggusur aturan-aturan itu dan Anda juga harus mentransformasikan rilis media Anda untuk merengkuh pasar khalayak yang jauh lebih luas, yang meramaikan dunia virtual Web dengan ide-ide, produk dan jasa.

Kini, tenaga pemasar profesional menggunakan rilis media untuk menembus pasar secara langsung.

Pembeli atau publik Anda, dan media yang meliput perusahaan Anda, ingin tahu masalah spesifik apa yang bisa diselesaikan brand (atau produk) Anda. Mereka juga minta bukti – dalam bahasa sederhana — bahwa produk itu berfungsi sebagaimana yang Anda iklankan.

Nah, di situlah tenaga marketing dan PR dibutuhkan — sebagai penarik awal bagi terciptanya hubungan dengan publik dan mendorong mereka untuk ’bertindak’ – menciptakan transaksi – yang semuanya membutuhkan fokus pada problem sang publik.

Pembeli Anda itu ingin mendengar (atau membaca) dalam bahasa mereka sendiri.

Setiap kali Anda menulis, bahkan dalam press release, Anda punya kesempatan untuk berkomunikasi. Pada setiap tahap proses ’jualan’, materi bacaan yang ditulis secara menarik — yang dikombinasikan dengan program marketing yang efektif — akan mendorong pembeli Anda untuk memahami bagaimana Anda bisa membantu mereka secara spesifik, pribadi dan langsung.

Saat ini, memang banyak tenaga pemasar dan PR memahami bahwa rilis media yang dikirim akan segera muncul pada Google News, misalnya, tetapi sangat sedikit yang mengerti bagaimana seharusnya mereka merombak secara total strategi rilis media itu, demi memaksimalkan efektivitasnya sebagai saluran komunikasi langsung kepada publik. [Sebuah kunci penting, misalnya, rilis media harus mengandung pilihan kata yang mudah muncul pada mesin pencari, search engine.]

Ironi di era digital

Pasalnya media sekarang sudah ‘tidak diperantarai’. (Bahkan di media sosial, tidak ada lagi yang namanya ‘gatekeeper’ seperti di media konvensional, redaksi yang ‘menjaga’ dan mengatur konten mana yang perlu disiarkan.)

Internet kini telah mengubah aturan-aturan yang ada. Kini pembeli membaca secara langsung press release Anda itu, sehingga Anda butuh bicara memakai bahasa mereka.

Tunggu dulu. Ini bukan berarti hubungan dengan media konvensional tidak penting lagi; media arus utama dan media spesifik (seperti majalah Trubus untuk pertanian, atau Femina untuk wanita) harus tetap menjadi bagian strategi komunikasi yang menyeluruh. (Ngomong-ngomong, kita perlu mengecek lagi, apakah masih banyak “media spesifik” seperti itu tetap tersedia di zaman sekarang ya?)

Dalam banyak bisnis, media arus utama dan media spesifik tetap sangat penting, dan tentu saja, media itu masih menuliskan berita atau features-nya menggunakan press release Anda.

Tetapi khalayak primer praktisi PR saat ini bukan hanya sekelompok kecil wartawan. Audience Anda saat ini adalah jutaan orang dengan koneksi Internet yang mengakses informasi lewat mesin pencari (search engine) dan ‘kotak pos digital’ yang disebut RSS (Really Simple Syndication) readers.

Para penulis blog sekarang juga sering mengutip rilis media, dan membuat komentar di blog dan miniblog atau media sosial online seperti Facebook, Twitter, YouTube atau Instagram.

Di antara beberapa kaidah baru yang disarankan ahli komunikasi adalah, bahwa praktisi PR tidak boleh hanya sekedar mengirim rilis saat ‘berita besar’ sedang terjadi, “tetapi carilah alasan yang tepat untuk selalu mengirim rilis pada setiap saat, tidak menunggu big news.”

Selain itu, alih-alih hanya mentargetkan sejumlah wartawan, buatlah rilis media yang ‘mengajak’ secara langsung kepada pembeli atau khalayak luas.  Selain itu, ciptakan tautan (link) di dalam rilis yang menarik konsumen untuk mengunjungi halaman dalam situs website Anda.  Dengan demikian, Anda sekaligus akan men-drive orang kepada proses pembelian melalui press release itu.

Ini penting dicatat, sebab dalam Internet Marketing titik perhatian bergeser dari sekedar ‘menemukan konsumen’ (atau ‘customer acquisition’) kepada ‘peraihan sejumlah konsumen yang komit dan loyal’, yang menggabungkan sekaligus ‘customer acquisition’ dan ‘customer retention’.

Dengan kata lain, tujuan pemasar web-marketing bukan sekedar menciptakan hubungan dengan konsumen online saja, melainkan bagi keduanya, baik konsumen ‘offline’ (di toko atau show room) dan konsumen ‘online’.

Coba tengok, betapa banyak sekarang ini orang memanfaatkan kecanggihan Internet sebelum mereka bertindak di dunia nyata. Bahkan dalam pemilu pun, hampir bisa dipastikan, banyak pemilih yang mencari dan bertukar informasi via Internet lebih dahulu, sebelum mereka pergi mencontreng di bilik suara.

Baca juga tulisan berikut ini:

Improve Vaccination Program

In fact, the disease will persist for the next few years, and it looks likely to turn into an endemic in some countries, not pandemic (worldwide) anymore.

The original article published in Kompas daily, 26 March 2021; can be accessed via this link in Kompas.id.

Baca versi asli dalam bahasa Indonesia (read the Indonesian version under this title): Benahi Program Vaksinasi. Kompas, 26 Maret 2021.

The largest vaccination program in history is rolling out. As of March 20, more than 420 million doses of coronavirus vaccines were injected in 133 countries, with an average of nearly 10 million doses a day, according to Bloomberg.

China, the most-populated country, injected 65 million doses for 2.3 percent of its population, India 41 million doses (1.5 percent) and Brazil 15 million doses (3.7 percent).

Indonesia has so far injected only 7.3 million doses for 1.4 percent of the population. However, we are yet to be assured that Covid-19 will be gone soon. In fact, the disease will persist for the next few years, and it looks likely to turn into an endemic in some countries, not pandemic (worldwide) anymore.

Vaccines can save us by slowing down the spread of the virus. The subsequent lessening impact will allow room for compromised lockdown rules.

However, the coronavirus, is far from being eradicated. The virus will continue to linger vastly, especially when it is realized that it may make the human body its “permanent domicile”. What the future holds for this “war” depends on how countries respond with effective measures, particularly in the production and distribution of vaccines to protect 7.8 billion people as quickly as possible.

Vaccination in Tanah Abang, Jakarta (Picture in Kompas).

Some countries are cautious about its efficacy that if the vaccination program is slow, the effect of the first injection may have disappeared before the second jab is given (The Economist, 1/2/2021). Meanwhile, 85 percent of countries in the world have yet to start their vaccination program.

With billions of people on the injection list, worldwide vaccination program is expected not to be completed until after 2023, which means the virus will by then remain to be freely lingering on the planet.

Not a recipient of social assistance

Amid efficacy concerns, the vaccination program in Indonesia must be improved. What is happening now is that people are registered, filtered – based at times on dubious selection criteria – and scrutinized for their ID cards and other identities, and so on.

The administrative process takes a long time.

According to Bloomberg, we are only able to inject about 320,000 doses of vaccines per day, still below Brazil (370,000 doses), and far below China (960,000 doses). India has been the most aggressive nation with about 1.8 million doses per day.

In order to achieve herd immunity for Indonesia’s 181 million people, the injection rollout will need 568 days or one year and half. We can understand the policy to prioritize health workers, public servants, national military and police members given their roles at the frontline of mitigation mission.

However, apart from them, people should be free to come to vaccination stations. The ongoing sequence of procedure is that people have their data recorded before receiving injections.

Vaccination recipients are not social assistance (bansos) beneficiaries, who have to undergo strict data filing scrutiny in anticipation for repeated distribution of the package to the same person.

An elderly writer (former journalist), who is also a lecturer at a university in Jakarta, tells his grim story. Also a doctor, though not practicing anymore, he lives in Cisalak Pasar subdistrict, Depok municipality. With Cisalak Pasar being outside the 10 priority subdistricts for the first phase of vaccination in Depok, he has yet to receive a vaccination.

Given his age and profession, which frequently puts him in face-to-face interaction in public, he should be prioritized, but the ongoing system relegates him into the waiting list. Imagine the potential risks from the fact that he lives with eight members of family, including his elderly wife, two grandchildren and two house maids, who regularly visit a market in another sub-district).

Two of their three children and a person-in-law also frequently go to Jakarta for work, which means opening more opportunities for virus transmission in the family. Fortunately, the neighborhood is strictly implementing health protocols.

While he is waiting patiently for his turn, he can’t help thinking what has gone wrong with the vaccination program his colleagues are implementing. Seen through the medical lens, a mitigation program in the wake of pandemic emergency should be inclusive regardless of their ranks, occupations or identities.

It doesn’t matter if a person has a local ID card, he or she can also be infected and become a virus carrier, because the coronavirus (and all other pathogens) does not compromise potential victims. In fact, if a foreigner is staying in Depok, even without any identity, for example, the person should also be vaccinated, considering the possible transmission a new variant of the virus, which is 70 percent more contagious.

Bottom-up Approach

The vaccination program should be done by implementing the bottom-up approach. For example, around 10,000 puskesmas (community health center) at sub-districts (based on data from the Health Ministry, 2018) promptly administer the vaccination, partnering with other institutions, such as schools in their surroundings, and using social networks from district, sub-district, neighborhood (RW) to units (RT). The RW head must coordinate with their RT subordinates in terms of priority to ensure the number of residents invited to the Vaccination Day is in accordance with the allocated vaccine load.

Puskesmas does not need to record data at the start. It is not urgent to screen ID or family cards. Instead, as soon as vaccines are available, promptly inject them (who meets eligibility requirements), based on the order of priority (for example elderlies come first), and so on.

Of course, the execution must pay attention to medical principles, including examination before injection and post-injection monitoring. Only later do the participants have their data recorded and submitted to the sub-district.

An Indonesian athlete getting a jab (Picture from Kompas).

The approach can help realize Health Minister Budi Gunadi Sadikin’s campaign to increase the speed of injections to one million per day.

Apart from that, the private sector must also be urged to carry out vaccination program on its own. As in the case of other national vaccination programs for children — which provide free and pay options — the government should be partnering with the private sector.

Let those who have money, choose to avoid queueing, or lack trust on government’s free program, turn to private health services. The important thing is that all vaccinated citizens have their data recorded.

Such a step will be helpful for those who do not have mobile phones or subscribe to technology, so find it difficult to get into digital systems.

Does it really matter if the data records at the neighborhood mismatch those at puskesmas, a chaos we at times find in data filing system?

Do you still remember the single identification number stored on the chip in your e-ID cards, which was once an object of corruption?

In the case of the ongoing pandemic, the important thing is that puskesmas can successfully immunize as many people as possible, regardless of their ID cards as long as they are domiciled in that vaccination area.

If the amount of vaccines does not suffice, residents can wait for invitations under the coordination of local officials. There is no need to worry about someone being vaccinated more than required, because this is not the distribution of bansos.

If this model is not implemented, we are cautious that the government is only busy with data filing, which may be contra-productive to the herd immunity target. We know that the government wants orderly procedures, but excessive order can instead interfere with the proceedings.

While accelerating research of virus mutations and preparing for the second phase of injections as well as dealing with those exposed to the virus, we can continue to improve the first phase, hoping that if immunity rates in the community increase rapidly and expansively. We know that the government wants orderly procedures, but excessive order can instead interfere with the proceedings. When a tsunami happens, we tell people to rush to the hill. The more people can reach the hill, the more people can be saved.

Finally, it is important to educate people’s behavior in the adjustment to health protocols. People must realize that wearing masks and physical distancing may be the norm for the next few years. If not, of course there is worry that the black cloud of the pandemic (or endemic) will continue to cast a shadow over us.

*) Syafiq Basri Assegaff, A Doctor, Lecturer at the LSPR Communication and Business Institute, Jakarta.

(This article was translated by Musthofid).

Public Relations pada Zaman Disrupsi

Banyak yang bisa dipelajari dari perkembangan Public Relations saat ini. Berkat internet, semuanya berubah. Bagi mereka yang bergerak di bidang PR, atau sedang kuliah, kiranya beberapa bahan ini akan berguna untuk dipelajari.

advertisements batch blur business
Photo by brotiN biswaS on Pexels.com

Satu di antara publik terpenting adalah MEDIA. Berikut ini beberapa buku dan jurnal terkait Media Handling dan PR. Yang berminat bisa mengirim email pada saya, untuk dapat saya berikan link buku-buku dan jurnal itu.

 

 

 

Oh ya, by the way, tahukah Anda bahkan McDonalds saja harus menghadapi kritik dari publik seperti Mc Spotlight (klik di sini).

Selamat membaca.

Syafiq.

Eva Bartlett dan Fitnah di Suriah

Konperensi Pers PBB ini membuktikan banyak fitnah di Suriah. Berita tentang Aleppo pun banyak diputarbalikkan media Barat.

media-is-lying-about-syria
Jurnalis sepulang dari Suriah: Ungkap kebohongan yang disiarkan media global.

Seorang wartawan independen asal Kanada Eva Bartlett, bekerja meliput di Suriah untuk waktu yang cukup panjang. Sejak 2014 Eva pernah meliput di Suriah sebanyak enam (6) kali, dan berkunjung ke Aleppo sebanyak empat (4) kali. Pada konperensi pers PBB (9 Desember 2016 silam) yang disiarkan melalui video PBB (klik link ini), empat orang yang baru kembali dari misi di Suriah menerangkan berbagai temuan mereka, yang pada intinya bertolak belakang dengan yang selama ini disiarkan berbagai media Barat.

eva-di-konp-pers-pbb
Eva Bartlett pada Konperensi Pers PBB

Eva sendiri, sebagai wartawan yang hadir pada konperensi pers itu, menjelaskan secara gamblang beberapa hal yang berbeda dengan yang selama in banyak disiarkan media internasional.

Saya bicara dengan rakyat Suriah dalam bahasa Arab, dan sebagaimana dikatakan Sara Flounders dan Donna Nassor (dua pembicara yang lain dalam konperensi pers itu), rakyat Suriah mendukung pemerintah mereka,” kata Eva,”dan itu bertentangan dengan yang selama ini disiarkan media seperti BBC, The Guardian, New York Times, dan lainnya.

Eva kemudian menjelaskan, bahwa banyak ‘hoax‘ alias fitnah yang disiarkan berbagai media. Kebohongan (lies), agenda tersembunyi (hidden agenda) dan misconceptions yang menyesatkan ternyata sengaja disebarluaskan ke dunia.

Menariknya, ketika seorang yang hadir dari koran Norwegia Aftenposten mempertanyakan, ‘mengapa jurnalis dunia harus berbohong tentang yang terjadi di Aleppo‘, Eva menguliahinya secara sangat mengejutkan. Ini di antara yang dikatakan Eva kepada sang wartawan (selengkapnya lihat teks bahasa Inggris di bawah):

“Anda bilang tentang organisasi international di lokasi (Aleppo). Katakan, organisasi mana yang Anda maksud di bagian timur Aleppo? Saya kasih tahu ya, tidak ada. Tak ada satu pun organisasi (yang Anda maksud itu) di sana. Organisasi-organisasi itu hanya mengandalkan (berita) dari sebuah organisasi ‘Pengawas Hak Asasi Manusia Suriah’ – Syrian Observatory for Human Rights (SOHR) — yang sebenarnya berada di Coventry, Inggris (UK), dan hanya dijalankan oleh seorang lelaki saja.”

Perhatikan diskusi mereka di video yang panjangnya sekitar 2 menit ini (Video selengkapnya, sekitar 52 menit, ada di bagian bawah tulisan ini):

Anda tak perlu menonton seluruh video (yang panjangnya sekitar 16 menit) ini, tapi cukup perhatikan beberapa menit, mengenai apa yang dikatakan Eva Bartlett. [Video ini dilengkapi teks bahasa Indonesia]:

 

Continue reading Eva Bartlett dan Fitnah di Suriah

Kebohongan CNN di Bahrain

Sebuah tulisan yang dilengkapi video di The Guardian (Inggris) sempat membuat banyak orang terkejut. Artikel di media Inggris itu muncul pada tahun 2012 lalu, tapi tidak banyak yang mengutip atau menggaungkannya. Maklum saja, sebab tulisan itu mempermalukan raksasa media AS, CNN, yang dikenal sebagai salah satu media paling beken di dunia.

Seperti saya, Anda juga pasti kaget membacanya. Ternyata media sebesar CNN pun masih berlaku tidak etis, dan menyembunyikan berita (kebenaran) yang diliput wartawannya di Bahrain. Setidaknya, demikian yang dilaporkan Amber Lyon dari CNN.
Selain itu, menurut video yang ada di link ini, pemerintah Bahrain rupanya telah menggunakan konsultan PR untuk meredam agar berita tersebut tidak disiarkan.

Amber Lyon di CNN
Amber Lyon di CNN

Internal whistleblowing on CNN’s coverage of the Bahrain protests.

On September 5, 2012 with the help of journalist Glenn Greenwald, Lyon exposed that CNN International never aired her documentary, iRevolution, on the Bahrain uprising. In an article by Greenwald in The Guardian newspaper, Lyon accuses the network of censoring the documentary because the Bahrain regime is a paying customer at the network.

The article also exposes that the government of Bahrain, as well as other governments throughout the world, are paying CNN for special content casting their countries in a positive light.

On September 29, 2012, Lyon appeared on the Infowars program. She described her investigation of how the US ally Bahrain was committing human rights abuses, but said that CNN and the US government pressured her to suppress the news.[35] She said that Bahrain paid CNN for positive news coverage.[36] Lyon said that Kazakhstan and Georgia also paid for positive coverage by CNN.

In March 2013, a report from the state-run Syrian Arab News Agency said the “Slovak main news website” reported Lyon claiming to have received orders from CNN to report selectively and falsely in order to sway public opinion in favor of direct American aggression against Iran and Syria, and that this was common practice at CNN.

In October 2013, Lyon self-published a book: Peace, Love and Pepper Spray, a photographic essay of protests in the United States.

 

Amber Lyon: berita yang disembunyikan
Amber Lyon: berita yang disembunyikan

Video di bawah menunjukkan bahwa sejak tahun 2011, pemerintah Bahrain dibantu pemerintah negara lain, telah menyiksa dan membunuhi rakyatnya sendiri. Dan rakyat negeri itu, menurut laporan Amber Lyon, berusaha melakukan revolusi via Internet semaksimal mungkin.

Continue reading Kebohongan CNN di Bahrain

Anies Baswedan Menginspirasi melalui Twitter

Berita peluncuran buku lazimnya jarang mendapat perhatian media. Tapi peristiwa launching dan diskusi buku ‘Melampaui Mimpi Anies Baswedan @Twitterland’ Senin 3 Februari 2014 lalu, syukur alhamdulillah, berhasil memperoleh peliputan media secara cukup luas. Berikut di bawah ini beberapa media online yang memuatnya.

Anies diwawancara media seusai peluncuran buku ‘Melampaui Mimpi’, 3 Februari 2014.

“Anak muda memang minim pengalaman, maka ia tak menawarkan masa lalu. Anak muda menawarkan masa depan.”
Itulah salah satu contoh kicauan (tweet) Anies Baswedan pada 28 Oktober 2012, yang dapat ditemukan pembaca dalam buku berjudul Melampaui Mimpi Anies Baswedan @Twitterland, yang di-retweet (atau digaungkan) sebanyak 651 kali, dan 97 orang menandainya sebagai favorit.
“Jarang ada kicauan tokoh yang digaungkan hingga ratusan kali begitu, apalagi karena saya tahu persis Anies tidak menyuruh ahli informasi teknologi untuk menggunakan ‘mesin pengganda’ seperti yang dilakukan sementara (oleh) tokoh untuk merekayasa konten media sosial mereka,” kata Syafiq Basri Assegaff, penulis buku tersebut, saat peluncuran di Jakarta, Senin (3/2/2014), seperti dikutip dari Antara. Continue reading Anies Baswedan Menginspirasi melalui Twitter

MasyaAllah… Fitnah di Syria itu Luar Biasa

Mengapa Suriah (atau Syria) ‘gonjang-ganjing’? Panjang ceritanya. Tetapi secara singkat bisa dikatakan bahwa masalah Syria ini adalah soal geo-politik yang menyangkut dua kelompok yang bertikai:

  1. Iran – Syria – Hisbullah: ketiganya adalah yang paling gigih membela Palestina, dan menjadi musuh besar Israel.
  2. Israel dan Amerika (AS): dengan beberapa negara yang membantunya. Uniknya, negara-negara Arab Teluk seperti Arab Saudi, Qatar, dan lain-lain, juga tidak suka pada kelompok 1 (Syria, Iran dan Hisbullah). Bukan melulu karena perbedaan mazhab Syiah dan Sunni, melainkan ini didasari politik kekuasaan, minyak dan uang.

Iran bukan saja musuh utama Israel, tetapi juga musuh AS. Untuk melemahkan Iran, maka Israel dan AS berusaha menggoyang sekutu Iran, yakni negara Syria dan Hisbullah.

Billboard with portrait of Assad and the text ...
Billboard di Damaskus dengan potret Assad. Teks itu berbunyi: Tuhan melindungi Syria (Photo credit: Wikipedia)

Perang dan permusuhan kedua kelompok itu juga merambah ke media, baik media massa seperti koran, TV dan Internet, maupun media sosial seperti blog, Facebook, Youtube dan Twitter.

Maka muncullah berbagai berita tentang pembantaian oleh Rezim Bashar Al-Assad — termasuk provokasi bahwa yang terjadi adalah ‘perang antar-mazhab’ — baik lewat tulisan atau pun foto. Di berbagai media kita bisa melihat berbagai foto korban yang dibunuh secara sadis dengan penjelasan bahwa Rezim pemerintah Assad yang melakukannya. Akibatnya, ratusan ribu orang merasa perlu berjihad memerangi Assad, dan ribuan orang tewas. Berhubung agama dibawa-bawa, karena seolah yang terjadi adalah perang antar-mazhab Sunni vs Syiah, maka mereka yang merasa paling benar, ingin membela saudaranya yang katanya dibantai rezim Assad (yang dianggap Syiah).  

Ini pun aneh, karena sebenarnya pemimpin Syria, Bashar Al-Assad itu bukan Syiah. Malah partai Assad (sebagai penguasa di Syria) adalah Partai Baath — yang cenderung sosialis, mirip dengan Partai Baath-nya Saddam Husein (Irak) dulu. Para ulama Syria yang pro- Assad pun (seperti Syeikh Ramadhan Al-Buthy) dimusuhi oleh para teroris yang dikirim dari negara-negara Arab lain. (Lihat video-nya di bawah).

Yang asli dan yang palsu
Yang asli dan yang palsu

Adapun mengenai berita-berita dan pelbagai foto itu, ternyata palsu belaka. Setidaknya ada lebih dari 80 foto yang diketahui palsu, hoax atau fake — hasil rekayasa pihak tertentu — dengan cara mengubah foto-foto pembantaian di Gaza (Palestina), Iraq, dan Afghanistan menjadi seolah-olah foto kejadian di Suriah. Malah, foto korban gempa bumi di Azerbaijan pun disebut sebagai foto korban pembantaian Rezim Assad.

Jika ingin melihat foto-foto itu, silakan merujuknya ke situs ini:

http://kabarislam.wordpress.com/2013/07/18/kumpulan-pemalsuan-data-foto-konflik-suriah/

Silakan cek juga soal ini di situs ini: http://www.mediafire.com/download/hr6d5w4x24w2tox/Pemalsuan_data_konflik_syria.chm

Bisa juga download yang ini:

https://www.dropbox.com/s/gc923e8bn149shp/Pemalsuan%20data%20konflik%20syria.chm

Format PDF: https://www.dropbox.com/s/57leve7b1vxa8xw/Pemalsuan%20data%20konflik%20syria2.pdf

Format DOCX: https://www.dropbox.com/s/kvi1alos6vzfhqi/Pemalsuan%20data%20konflik%20syria.docx

Terakhir, silakan simak tayangan video menarik tentang ‘Prahara Suriah’ ini:

Berantem Yuk!

Sengaja judul di atas saya pilih untuk mengajak orang membaca, bukan berkelahi. Adapun judul asli artikel ini adalah, “Inilah Akibat Berita Kekerasan di TV”. Mengapa ditulis dengan gaya mengajak berantem, karena tampaknya banyak siaran TV yang seolah sangat getol mengajak orang ramai-ramai berantem, atau menjadi marah dan beringas. 

Contoh kekerasan dari orang tua (sumber kartun harian Pos Kota).
Contoh kekerasan dari orang tua (sumber kartun harian Pos Kota).

Anda pasti miris melihat berbagai kekerasan dan aksi premanisme di negara kita belakangan ini.

Bukan hanya di kalangan rakyat biasa, artis, dukun, dan tukang santet, tetapi kejadian itu sudah melanda ke tengah keluarga, terhadap anak-anak dan remaja, bahkan di antara petugas keamanan negara.

Tentu semuanya bukan masalah sederhana yang bisa dengan mudah dicarikan solusinya, karena berbagai kejadian itu menyangkut aspek sosial, ekonomi dan budaya mereka yang terlibat.

Tetapi dari sisi komunikasi, kita bisa melihat adanya peran media massa terhadap kekerasan — khususnya televisi (TV). Banyak pendapat soal ini yang dikemukakan para ahli komunikasi; sebagian di antaranya mengedepankan perspekstif bahwa ada kemungkinan bahwa penonton TV secara sadar atau tidak sadar meniru adegan yang ditontonnya di layar kaca.

Opini ini aslinya ditayangkan dalam media online Inilah.Com, rubrik Celah, Kamis 11 April 2013.

Sebagian pendapat lain menyatakan bahwa banyaknya aksi kekerasan di media mendorong munculnya suasana ketakutan di tengah penduduk, sehingga muncullah ketegangan di ‘dunia yang kejam’ dalam benak banyak orang. Beberapa ahli seperti Gerbner dan kawan-kawan menyatakan, bahwa akibat adanya anggapan ‘dunia yang kejam’ itu, maka pecandu TV (heavy viewers, dalam istilah Gerbner) akan melebih-lebihkan tingginya angka kekerasan atau kriminalitas yang terjadi di dunia nyata.

Bila pendapat itu bisa diterima, barangkali kita jadi paham mengapa dalam praktek sehari-hari orang lalu mengambil sikap seperti, ‘berhubung dunia ini kejam, maka jalan terbaik untuk menghindarkan diri dari kebatilan adalah dengan mempersenjatai diri, dan jika perlu menyerang lebih dulu ketimbang diserang orang lain.’

Melawan premanisme: makin menggejala di sana-sini (foto: detik.com)
Melawan premanisme: makin menggejala di sana-sini (foto: detik.com)

Itulah sebabnya barangkali, mengapa saat terjadi kecelakaan di jalan, meski dalam level hanya ‘serempetan’ sekali pun, maka salah satu yang terlibat cenderung buru-buru ‘menyerang’ pihak lainnya, walaupun pihak pertama itu yang sebenarnya bersalah.

Kita belum tahu bagaimana sebenarnya efek program TV di Indonesia terhadap meruyaknya kekerasan, karena hal itu memang patut diteliti secara seksama. Tetapi jika mengamati secara lebih serius, dan Anda bisa membuktikannya sendiri, betapa sering TV kita menayangkan berita kekerasan di sana-sini, bahkan dalam takaran yang terkesan agak berlebihan. Over dosis. Sehingga puluhan teman saya belakangan lebih suka menonton program TV asing yang disediakan TV cable berbayar.

Jangan langsung percaya pendapat ini, tetapi saksikanlah sendiri. Hitung dan kajilah. Perhatikan apa yang sering muncul di layar kaca Anda: penduduk marah dan melabrak petugas Pemda, remaja tawuran, polemik sesama politisi, artis ricuh dengan dukunnya, calon hakim ‘membela’ pemerkosa, orang tua menggagahi anak sendiri, guru ‘ngerjain’ muridnya, suami memutilasi isteri sendiri gara-gara perselingkuhannya terbongkar, ricuh di pengadilan, keributan di lapangan bola, oknum aparat menyerang rekannya, dan preman serta penjahat yang kian nekad.

Sering di antara kekerasan itu dilakukan secara tidak semena-mena oleh pihak yang sebenarnya bersalah — misal PKL yang menempati tanah negara, atau pengusir warga seagama yang beda aliran — terhadap korban yang tak berdosa dengan tegangan amarah sangat tinggi, meledak-ledak.

Warga membakar rumah saudara sekampung di Sampang, Madura: bebas yang kebablasan
Warga membakar rumah saudara sekampung di Sampang, Madura: bebas yang kebablasan

Boleh jadi banyak di antara kejadian itu berkait dengan makin demokratisnya negara kita — sehingga orang merasa bebas untuk melakukan apa saja, termasuk ‘bebas melabrak’ pihak lain, tak peduli apakah pihak lain itu aparat keamanan, teman, atau bahkan keluarga sendiri.

Tetapi dari sisi komunikasi, banyak ahli mensinyalir besarnya peran media, film dan hiburan terhadap berbagai tindak kekerasan dan kekejaman itu. Belakangan, sinyalemen itu juga menuding peran program berita, seperti hard news, buletin dan tayangan ‘current affairs’ kabar berbagai peristiwa.

Di antara ahli ada yang menduga bahwa berita kekerasan – violent news – yang ditayangkan TV menyebabkan meluasnya kekuatiran akan munculnya tindak kriminal. Menurut mereka, ingatan pada tayangan violent news di TV cenderung lebih kuat ketimbang jenis informasi lain, sehingga menjadikan perilaku kriminalitas dan kekerasan kian berperan pada penonton. Sebagaimana dikatakan Johnston & Davey dalam buku ‘Media Psychology’ yang ditulis David Giles (2008), pada level pribadi, berita negatif terbukti meningkatkan kekuatiran personal, meski pun berita itu tidak langsung berhubungan dengan isi program yang sedang tayang.

Secara umum sering muncul kekuatiran adanya ‘copycat violence’ (kekerasan yang dilakukan gara-gara meniru-niru belaka), khususnya yang terkait dengan kericuhan masyarakat. Berbagai kericuhan di jalanan pada beberapa wilayah perkotaan di Inggris, misalnya, seringkali muncul pada saat berbarengan, dan jelas berperan sebagai katalisator bagi kericuhan-kericuhan di wilayah-wilayah lain.

Anak heavy viewers menonton TV dari dekat: copy cat violence?
Anak heavy viewers menonton TV dari dekat: copy cat violence?

Barangkali begitu pula yang terjadi di Indonesia. Entahlah. Yang jelas, di Jerman, hasil penelitian lain menunjukkan bahwa serangan kelompok rasis ‘sayap kanan’ terhadap etnik minoritas kentara sekali memiliki pola yang berkaitan dengan peliputan media terhadap penyerangan-penyerangan sebelumnya.

Dalam kaitan itu, para peneliti juga melihat hasil serangan-serangan yang terjadi. Pada serangan gelombang pertama, misalnya, korban cenderung untuk pindah atau mengungsi ke daerah yang lebih aman – yang boleh jadi merupakan tujuan utama yang diinginkan penyerang. Ternyata, berita tentang pengungsian para korban itu menjadi pemantik bagi gelombang penyerangan berikutnya.

Hal itu sangat mirip dengan yang disebut priming effect, yakni semacam dampak ajakan yang seolah disengaja, saat mana para preman ‘sayap kanan’ di Jerman lebih mungkin melakukan penyerangan terhadap kelompok minoritas jika mereka mendengar adanya serangan serupa telah berhasil memaksa korban untuk mengamankan diri ke tempat lain.

Sejalan dengan yang di atas, Anderson dan Bushman dalam ‘The Effects of Media Violence on Society’ (dan dimuat dalam sciencemag.org) menyatakan, bahwa berbagai bentuk riset secara jelas menunjukkan adanya kaitan positif antara kekerasan yang ditampilkan media dan peningkatan agresi yang terjadi. Studi eksperimental membuktikan hubungan kasual yang nyata. Percobaan laboratorium pun menghasilkan bukti yang jelas. Sementara, eksperimen di lapangan juga mengarahkan adanya dampak sebab-akibat dalam setting yang lebih alami. Selain itu, ini yang tidak kalah penting, studi lintas-cara (cross-sectional studies) menunjukkan hubungan erat antara media violence dengan jenis agresi di dunia nyata.

Masyarakat yang kian beringas: kebanyakan menonton kekerasan di TV?
Masyarakat yang kian beringas: kebanyakan menonton kekerasan di TV?

Memang ada yang meremehkan dampak program berita TV, khususnya karena anggapan bahwa program berita adalah ‘refleksi kebenaran realitas sehari-hari’, dan bahwa ia merupakan kebutuhan masyarakat untuk mendapatkan informasi mengenai kekerasan nyata dalam kehidupan sehari-hari.

Tetapi, bila banyak studi belakangan kian menunjukkan bukti bahwa media violence memengaruhi kekerasan di tengah masyarakat, tidakkah perlu ada usaha pencegahan yang lebih serius terhadap hal itu?

Baca juga:

Ketika Malaikat Bicara Haji

Alkisah, pada suatu musim haji, dua malaikat bercakap-cakap di dekat Kabah di Masjidil Haram.

 – Berapa jumlah orang yang naik haji tahun ini?
+ Enam ratus ribu.
– Berapa yang diterima hajinya?
+ Hanya dua orang, salah satunya bahkan tidak menunaikan hajinya ke sini.

Aslinya dimuat pada harian Kompas, 5 November 2011 hal 7

Kisah bernuansa sufi itu dinisbatkan kepada ulama Abdullah bin Mubarak yang bermimpi bertemu dua malaikat saat ia tidur di dekat Kabah. Dalam mimpi itu, malaikat menyatakan, seorang yang tidak pergi, tetapi diterima hajinya itu adalah Ali bin Al-Mufiq, orang Damaskus.

Miniature of Muhammad re-dedicating the Black ...
Miniature of Muhammad re-dedicating the Black Stone at the Kaaba. From Jami Al-Tawarikh, c. 1315 (Photo credit: Wikipedia)

Belakangan, Abdullah pun mencarinya. Ternyata Al-Mufiq adalah tukang semir sepatu yang menyerahkan 3.000 dinar hasil jerih payah yang ditabungnya untuk bekal haji kepada seorang tetangga dengan anak-anak yang sudah tiga hari kelaparan.

Esensi haji

Itu dulu. Itu di Damaskus. Di Indonesia, yang terjadi sekarang ini berbeda. Di media sosial Twitter terbetik pembicaraan bahwa meski tiap tahun jumlah jemaah haji kita terus meningkat, agaknya banyak di antara mereka adalah para koruptor yang menganggap bisa mencuci uang haramnya di Masjidil Haram.

Namun, ulama bilang, ”Mereka beranggapan sepulang haji akan bersih dari dosa, padahal haji yang dibiayai uang haram sama sekali tak akan diterima.” Bahkan, seorang yang pergi haji, tetapi membiarkan tetangganya yang kelaparan pun tidak akan mabrur sekalipun uang yang dipakai berhaji itu uang halal. Continue reading Ketika Malaikat Bicara Haji

6 Alasan Menolak TV

Belakangan ini tampaknya kian banyak orang yang kritis. Mereka kian selektif dalam menonton acara di televisi (TV). Sebagian mereka memilih berlangganan TV kabel yang menyajikan banyak acara bermutu dan mendidik seperti National Geographic, History, Discovery, Animal Planet, dan sebagainya. Kalau tidak, banyak dari mereka hanya menonton acara di TV berita seperti TV One dan Metro TV. Selebihnya orang kini lebih tertarik browsing internet atau sibuk bersosialisasi di social media seperti Twitter, Facebook dan Youtube.

Memang tidak semua acara TV buruk, tetapi Anda punya pilihan melakukan banyak hal lain yang mungkin lebih berguna untuk otak

Ada banyak alasan yang dikemukakan para ahli agar orang menjauhi TV — khususnya acara TV yang buruk. Berikut ini enam di antaranya:

1. Bahaya Sex Bebas:  Tanyalah diri Anda sejujurnya: melihat banyaknya jumlah ciuman dan berbagai contoh perilaku seks di layar TV, apa yang akan terjadi bila ibu atau ayah tiba-tiba muncul dan duduk di samping Anda pada saat yang sama? Dampak buruk TV ini kian hari kian menyeramkan. Mengapa membiarkan diri Anda terperangkap di dalamnya, dan ia hanya membuat Tuhan marah meski pun Anda hanya mencicipi secuil saja tindakan haram itu?

Continue reading 6 Alasan Menolak TV

Silatturahmi lewat Radio

Catatan: Di Jakarta belakangan ini sebuah radio swasta, Radio Silaturahim (720 AM), makin banyak digemari. Penggemarnya makin banyak, karena radio Islam itu hanya menyiarkan dakwah yang menyejukkan, tidak memfitnah, tidak teriak atau menghardik. Misinya hanya “untuk Islam yang satu”.

Tetapi belum lama ini, rekan saya, Geisz Chalifah, yang menjadi salah satu pengurusnya kesal, karena radionya itu dituding sebagai “radio Syiah”. Tentu tidak ada yang salah dengan perbedaan mazhab — setiap Muslim boleh saja memilih mazhab yang diyakininya — dan orang yang berbeda mazhab mesti saling menghormati keyakinan (mazhab) saudaranya yang lain. Tetapi, Geisz menampik jika dikatakan bahwa “Rasil” adalah Radio Syiah. Berikut ini  tulisan di blog Geisz itu:


Dari:
Geis Chalifah

Kepada: “alirsyad@yahoogroups.com”

Dikirim: Rabu, 25 April 2012 22:48
Judul: [Alirsyad] RASIL (Radio Silaturahim Am 720 Sedikit keterangan Buat Tukang Fitnah Diluar Sana)

Saya membaca begitu banyaknya tulisan bernada fitnah tentang radio silaturahim. Fitnah yang paling gencar adalah sebagai radio syiah.  Continue reading Silatturahmi lewat Radio