Ini Rahasia Memenangkan Pemilu

Dalam artikel opini yang ditayangkan Detik (pada Senin 4 Desember 2023) berikut ini, Anda dapat mempelajari bagaimana para politisi itu memenangkan pemilu.

Emosi publik digugah ketika seorang calon presiden melakukan gerak tari yang gemoy di panggung. Emosi kita juga terpantik mengikuti peristiwa di Mahkamah Konstitusi (MK). Keriangan lewat hiburan lucu, juga rasa keadilan yang terusik dan kepercayaan rakyat yang merosot, semuanya adalah soal emosi. Berbeda dengan hitung-hitungan proyek infrakstruktur yang merupakan urusan kognisi, kita paham bahwa keadilan dan kepercayaan adalah perkara emosi. Juga kekesalan, bahkan marah karena merasa dikhianati (jika ada), juga urusan perasaan.

Sekjen PDI-P Hasto Kristiyanto, misalnya, mengusap airmatanya saat diwawancarai Akbar Faizal dalam podcast-nya, sehingga rekaman video yang tayang pada 9 November lalu itu diberi judul, “Tangisan Hasto Kristiyanto Untuk Jokowi: “Pak Jokowi Harus Tau Sisi Gelap Istana.”

Memang belakangan kita menyaksikan banyak drama dalam dinamika menjelang Pemilu 2024. Presiden Jokowi pun pernah bilang bahwa politik lebih banyak diwarnai perasaan dan bukan adu gagasan. Singkatnya banyak ‘drakor’ dituntukkan politisi. Ada yang geram, sedih, marah, kecewa, tetapi ada yang senang dan tertawa.

Semuanya adalah perkara emosi. Kita juga menyaksikan suguhan emosi teramat keras pada tragedi pembantaian ribuan anak tak berdosa di Gaza, Palestina.

Lazim dalam drama politik, pihak yang merasa dirugikan mengkapitalisasi peristiwa itu guna mencari simpati publik, bahkan memainkan taktik “playing victim.” Pada pemilihan presiden Amerika Serikat 2016, Donald Trump menggunakan strategi pemantikan emosi, bergaya seolah jadi korban demi menarik simpati pemilih kulit putih. Israel pun berlagak menjadi “korban” serangan Hamas.

The Public Religion Research Institute dan The Atlantic Monthly menyatakan, ketakutan pemilihlah yang mengantarkan Trump ke Gedung Putih — bukan kesulitan ekonomi (Zhang & Clark, 2019). Pemilih kelas pekerja kulit putih mengatakan sering merasa seperti “orang asing di negeri sendiri” dan percaya bahwa AS perlu dilindungi dari pengaruh asing. Mereka 3,5 kali lebih cenderung mendukung Trump daripada mereka yang tidak memiliki kekhawatiran ini.

Trump menciptakan retorika dengan mengombinasikan rasa takut dan kepercayaan, sehingga orang kulit putih Amerika yang takut pada liyan (orang lain) dan yakin adanya ancaman pada budaya mereka, menjadi tidak peduli apakah argumen Trump masuk akal atau tidak.

Para pelaksana kampanye politik di AS tahu persis bahwa kampanye tak bisa dimenangkan hanya dengan mengemukakan fakta. Khususnya di zaman digital, ketika “medan perang” kampanye makin bergerak ke media sosial, berita online, YouTube, dan blog. Tim sukses Trump sangat memahami pentingnya peran emosi. “Dua pendorong dasar bagi manusia untuk menerima informasi adalah harapan dan rasa takut. Sering keduanya tidak disebutkan dalam kata-kata dan bahkan tidak disadari,” kata Mark Turnbull dari Cambridge Analytica. “Kampanye pemilu tidak bisa hanya mengandalkan fakta, sebab kenyataannya semua adalah persoalan emosi,” tambah Turnbull. Maka wajar dalam kampanye Trump tampil sebagai korban (playing victim) akibat ancaman terhadap diri mereka, dan upaya ini berhasil.

Memantik emosi publik

Simpati publik merupakan emosi—sebagaimana rasa sedih, marah, gembira, dan sebagainya. Kehidupan kita diwarnai emosi. Peristiwa emosinal lah yang paling terekam dalam perjalanan hidup kita, seperti saat pertama kali menemukan kekasih atau ketika ditinggal orang yang disayangi.

Emosi sendiri adalah keniscayaan, sesuatu yang sangat manusiawi. Paul Ekman (2003) misalnya, menjelaskan adanya tujuh emosi dasar yang tampak pada wajah manusia secara universal, seperti gembira, sedih, marah, takut, dan jijik. Tentu banyak variasi emosional di antaranya seperti perasaan cemas, cemburu, harapan, simpati, lega, dan sebagainya, walakin dalam komunikasi politik dan kehidupan sehari-hari, para ahli retorika menjelaskan bahwa, seseorang hanya bisa mempersuasi publik apabila berhasil memantik emosi mereka.

Memang ada unsur lain dalam persuasi, seperti kredibilitas, karisma, dan argumen logis misalnya yang didukung data valid, tetapi semuanya hanya bisa efektif kalau komunikator  berhasil memantik emosi publiknya. Boleh jadi seorang politisi menunjukkan pembicaraan persuasif guna menguatkan sebuah sikap, mengubah keyakinan, atau menggerakkan publik untuk bertindak, walakin banyak penelitian yang merujuk pada pemikiran Aristoteles (384-322 SM) menegaskan bahwa, ajakan logis (logical appeals) dan ethos (credibility appeals) saja tak akan berhasil bila tidak disertasi dengan pemantikan emosi terhadap audiens.

Apabila appeal emosional dan appeal logis sama-sama digunakan untuk mencapai tujuan pembicaraan persuasif secara efektif, biasanya audiens akan lebih dulu merespon konten emosional, baru kemudian memeriksa bukti-bukti logisnya. Mengombinasikan emosi dan logika dapat menggandakan dampak. “Ajaklah calon pemilih untuk tertawa, menangis, bersimpati, atau marah lebih dulu, baru setelah itu tunjukkan alasan logis yang mendukung emosi tadi.”

Appeal logis merupakan urusan kognisi, didasarkan pada pengetahuan dan alasan, memerinci cara orang berpikir. Melalui bukti-bukti, appeal logika mengajak audiens untuk mengambil kesimpulan dari informasi. Appeal emosi adalah perkara perasaan, afeksi. Appeal emosional (pathos) didasarkan pada psikologi dan semangat (gairah), menjelaskan cara “merasakan” sesuatu.

Persuasi bahkan terjadi juga dalam retorika digital melalui pemanfaatan hypertext sebagai titik pusat (focal point) sebuah jejaring. Hasil penelitian disertasi penulis sendiri membuktikan bahwa, tiga dokter influencer di media sosial berhasil mengubah niat hidup lebih sehat 581 followers mereka berkat pemunculan emosi positif dalam diri para pengikut.

Emosi dalam politik

Dalam politik, Bung Karno, Mandela, Malcolm X, dan Obama dipersepsi audiens sebagai pembicara karismatik. Mereka memukau berkat kemampuan mengirim sinyal verbal dan nonverbal, dinamis, penuh energi, dan antusiasme, sehingga memperoleh perhatian audiens, dianggap kompeten, dan kredibel.

Bung Karno saat pidato (sumber foto: blog cintamerahputih)

Tetapi, karisma saja tidak cukup. Kredibilitas juga membutuhkan ekspertise dan keterpercayaan (trustworthiness). Semuanya membentuk ethos sang tokoh di depan audiens. Jika ethos lemah, audiens tidak akan menghormatinya, sehingga dia sulit mempersuasi massa, terlepas dari segala appeal logis dan emosional (pathos) yang digunakan. Sebaliknya, meski sang tokoh punya ethos kuat dan menerapkan berbagai alasan logis, ia belum bisa “menggerakkan” audiens jika tidak mampu memantik emosi.

Dalam politik, pada akhirnya pemantikan emosilah yang paling berperan. Itu sebabnya tiap kali pemilu banyak orang memilih berdasarkan alasan emosional ketimbang landasan logis. Tak heran kalau kemudian perencanaan program masa depan seolah tersingkirkan dalam perebutan suara oleh para kontestan pemilu.

Fakta dan alasan saja tidak cukup

Kini teknologi informasi menyediakan lebih banyak fakta. Terdapat ratusan juta situs di Internet, dan sekitar 99 ribu searches di Google setiap detik. Tetapi, tanpa ada pemantikan emosi, argumen rasional yang cuma didukung fakta tidak bisa mempersuasi atau menggerakkan kita. Banyak studi menunjukkan bahwa fakta dan alasan (reason) tidak bisa menjawab masalah. Ketika harus mengambil keputusan, akses pada informasi yang reliable tidak selalu dapat menghasilkan keputusan yang rasional dan tepat. Barangkali itu sebabnya angka-angka polling belum bisa memastikan hasil akhir pemilu.

Ketika menganalisis pengambilan keputusan dan keterbukaan terhadap persuasi, orang mesti menyadari bahwa otak manusia bukan hanya sekadar sebuah organ. Ada empat bagian otak yang bekerja pada waktu berbeda: wilayah reptilian brain (yang bertanggungjawab pada fungsi vital); otak tengah (di antaranya mengatur tidur dan motivasi); sistem limbic yang penting dalam fungsi emosi; dan cortex yang di antaranya bertanggungjawab mengurusi abstraksi pemikiran dan perencanaan. Ibarat konser, semua bagian otak itu bekerja dalam kebersamaan, sehingga mustahil bagi kita memisahkan pikiran rasional dari emosi.

Dari sudut pandang politik, retorika afektif sangat penting untuk menentukan cara informasi diproses dan suasana hati digunakan oleh para politisi untuk menghasilkan identifikasi, atau bayangan mereka akan diingat seperti apa oleh calon pemilih. Banyak studi menyimpulkan bahwa kandidat presiden yang berhasil menggunakan bahasa emosional dan komunikasi karismatik lazimnya lebih unggul dalam mempengaruhi pemilih.

Tampilan afektif tidak dapat dihindari dalam politik saat ini, dan telah terbukti lebih mempengaruhi pemilih daripada afiliasi partai atau ideologi kandidat. Itu pula sebabnya banyak politisi yang juga menunjukkan image afektif sebagai orang yang sangat mencintai pasangannya (atau terlalu menyayangi anaknya) di depan umum.

###