Catatan kecil bagi Pembelajar Media dan Teori-teori Komunikasi Massa.
Sejarah mencatat bahwa penelitian efek komunikasi menunjukkan adanya anggapan pengaruh media massa yang naik-turun. Awalnya, media massa dianggap punya pengaruh kepada khalayak (audience) secara sangat perkasa, lalu muncul pendapat bahwa efek media massa (selanjutnya ditulis ‘media’ saja) hanya terbatas, dan belakangan ini kembali muncul anggapan bahwa media memiliki pengaruh yang amat perkasa.
Hingga tahun 1940, pasca-Perang Dunia I (PD I), ketakutan terhadap propaganda telah mendramatisasikan efek media. Rakhmat (2018, p.245)[1] mencatat bahwa dalam disertasinya Harold Laswell menulis tentang propaganda pada PD-I melalui The Instittute for Propaganda Analysis, yang menganalisis teknik-teknik propaganda yang digunakan pendeta radio Father Coughlin. Pada saat yang sama, behaviorisme dan psikologi insting sedang populerdi kalangan ilmuwan.
Dalam kaitannya dengan media, keduanya melahirkan apa yang disebut Melvin DeFleur (1975) sebagai instinctive Stimulus-Response (SR) theory, yang menjelaskan bahwa media menyajikan stimulus perkasa yang secara seragam diperhatikan oleh massa (khalayak). Stimulus ini membangkitkan desakan, emosi, atau proses lain yang hampir tidak terkontrol oleh individu. Setiap anggota masyarakat, tempat individu itu berada, kemudian memberikan respons yang sama terhadap stimulus yang datang dari media. Berhubung teori ini mengasumsikan masa yang ‘tidak berdaya’ ditembaki oleh stimulus media massa, teori ini kemudian dinamakan ‘bullet theory’ (teori peluru).
Serupa dengan itu, muncul ‘model jarum hipodermis’ yang menganalogikan pesan komunikasi (dari media) seolah bagaikan obat yang disuntikkan dengan jarum ke bagian bawah kulit pasien. Elizabeth Noelle Neumann (1973), menurut Rakhmat (2018, p.247) menyebut teori ini dengan the concept of powerful mass media.

Namun belakangan muncul penelitian Paul Lazarsfeld yang ‘menyerang’ Model Peluru itu. Media massa, kata Lazarsfeld, hampir tidak berpengaruh sama sekali. Alih-alih sebagai media yang mengubah perilaku, media lebih berfungsi untuk memperteguh keyakinan yang ada. Pengaruh media juga disaring oleh opinion leader (pemuka pendapat), dan kemudian, melalui komunikasi interpersonal pesan itu diteruskan kepada khalayak. Khalayak juga tidaklah pasif, mereka tidak menerima begitu saja segala (pesan atau informasi) yang ‘disuntikkan’ media pada mereka, melainkan akan menyaring informasi (pesan) melalui proses terpaan selektif (selective exposure) dan persepsi selektif (selective perception). Setelah Perang Dunia kedua (PD II) itu, memang ada perubahan perhatian dari efek jangka pendek (terhadap khalayak) menuju penelitian pada efek jangka panjang (dan tidak langsung), seperti munculnya teori Spiral of Silence-nya Noelle Neumann.
Tetapi yang menarik adalah perkembangan berikutnya, ketika perhatian peneliti komunikasi massa lebih berfokus pada perkara agenda setting dan framing.
Berbicara mengenai Framing (pembingkaian) tidak bisa dipisahkan dengan Agenda Setting.
Miller (2005, p. 275)[2] menulis bahwa konsep framing dianggap sebagai level kedua agenda setting. Dalam konteks agenda setting, framing merupakan proses ketika media menekankan beberapa aspek sebuah realitas dan menyingkirkan (menjadikannya tidak penting) aspek-aspek yang lain. Lazimnya pembingkaian (framing) dapat diwujudkan melalui pertimbangan beberapa sub-topik tertentu, melalui ukuran dan penempatan unsur berita (news item), lewat format naratif dan kesan (tone) apa yang dipresentasikan, dan melalui detil-detil tertentu di dalam sebuah peliputan atau pemuatan berita (news coverage). Sebagaimana dikatakan Scheufele (2000, p.309), Miller (p. 275) meringkaskan bahwa, “framing memengaruhi bagaimana para khalayak berpikir mengenai berbagai permasalahan (perkara, kasus atau issues), bukan dengan cara menjadikan aspek perkara itu kian menonjol (significant), tetapi dengan mendesakkan (menggiring) skema-skema interpretatif tertentu yang pada gilirannya akan memengaruhi interpretasi terhadap informasi yang disajikan.”
Agenda Setting pertama kali digagas oleh Max McCombs dan Donald Shaw (1968) yang mengamati jalannya pemilu di AS pada masa itu. (Selengkapnya bisa dibaca di sini.
Sejalan dengan teori agenda setting dan framing, peneliti media juga mengetengahkan adanya priming. Ia didefinisikan sebagai efek-efek proses kognitif yang menjelaskan bahwa bila sebuah stimulus (tertentu) sering diakses atau menonjol dalam struktur kognitif seseorang, ia akan menjadi jalan baginya untuk menginterpretasikan stimuli yang ambigu. Menurut Miller (p. 276), priming menyuguhkan sebuah penjelasan proses-proses psikologis yang menguatkan efek agenda setting. Yakni, ketika media menyediakan sejumlah besar ruangan (bagi media cetak) dan waktu tayang atau waktu siar (untuk radio dan TV) pada sebuah perkara (issue), maka perkara (kejadian) itu akan menjadi mudah diakses dan menonjol dalam struktur kognitif (pikiran) orang. Maka, topik yang dibingkai demikian itu, kemudian akan dianggap penting oleh khalayak (agenda setting tingkat pertama). Kemudian, berhubung manusia memiliki kemampuan memproses informasi secara terbatas, topik yang dibingkai tadi akan menjadi jalan bagi penganalisaan (pemahaman) terhadap informasi lainnya, khususnya yang bersifat ambigu (agenda setting level kedua).

Lazim diketahui bahwa media massa memengaruhi persepsi khalayak (audience) tentang apa yang dianggap penting. Memang media massa (selanjutnya disebut ‘media’) tidak menetapkan what to think (apa yang harus kita pikirkan), tetapi menggiring kita (audience) kepada what to think about (masalah apa yang harus kita pikirkan).
Meski memberitakan peristiwa yang sama, sering kali audience (khalayak) mendapatkan berita yang memiliki kecenderungan berbeda dari dua (atau lebih) media berlainan – yang di atas kita sebut sebagai ‘ambigu’. Perbedaan berita bisa sebatas redaksional (teks atau narasi)-nya saja, namun dapat juga berbeda pada kesan dan kecenderungan berita, sehingga pada sebuah konflik, misalnya, pembaca bisa menilai sebuah media (A) cenderung mendukung pihak tertentu sementara media yang lain (B) mendukung pihak yang berbeda.
Perbedaan pada berita seperti ini terjadi karena ada perbedaan cara pandang di antara media terhadap suatu kasus (atau isu), sehingga menimbulkan beragamnya framing berita.
Simak video yang Lima (5) filter Mesin Media Massa yang digambarkan Noam Chomsky ini (Noam Chomsky – The 5 Filters of the Mass Media Machine):
Hubungan Kekuasaan (Power) antara Media dan Sumber-sumber lain:
Littlejohn dan Foss (2011) berpendapat bahwa terdapat empat (4) jenis hubungan power antara media dan sumber-sumber lain (other sources):
- Sumber yang sangat kuat (high-power source) dan media berpengaruh (high-power media): keduanya secara sejajar sama-sama mengatur agenda.
- Sumber berpengaruh dan media yang rendah pengaruhnya: sumber mengatur agenda bagi media.
- Sumber yang tidak seberapa berpengaruh (low-power source) dan media berpengaruh (high-power media): media mengatur agendanya sendiri, dan mungkin (bisa) menyingkirkan sumber.
- Sumber yang tidak seberapa berpengaruh dan media yang rendah pengaruhnya: keduanya sama-sama terlalu lemah untuk mengatur agenda setting bagi publik.
- (Sumber: Littlejohn, Stephen W.; Foss, Karen A. (2010). Theories of Human Communication (10th ed.). Long Grove, IL: Waveland Press, Inc.)
Framing sendiri adalah metode untuk melihat cara bercerita (story telling) media atas sebuah peristiwa. Bagi Robert N. Entman framing adalah, proses seleksi data atau fakta dan penonjolan aspek tertentu dari realitas sehingga terlihat lebih penting dalam berita disbanding aspek lainya (Eriyanto, 2002, p.186).[3]
Sebuah berita, pasti menceritakan suatu peristiwa, dari sebuah berita bisa terlihat bagaimana jurnalis atau media melihat suatu peristiwa. Setiap jurnalis, atau setiap media memiliki caranya sendiri dalam menceritakan kembali suatu peristiwa. Sudut pandang atau cara melihat seorang jurnalis terhadap suatu peristiwa inilah yang menentukan konstruksi realitas, yakni bagaimana peristiwa dipahami oleh media.
Peter L. Berger menggambarkan realitas sebagai sesuatu yang tidak terbentuk secara alamiah, realitas dibentuk dan dikonstruksi oleh individu atau masyarakat sehingga akan ada banyak pemahaman tentang realitas. Dengan kata lain wajah realitas akan ganda/plural (Eriyanto, 2002, p.15). Sebagai contoh ketika ada demonstrasi memprotes hasil pemilihan umum oleh sebuah kelompok masyarakat, umpamanya, dapat terjadi perbedaan berita di berbagai media yang memuatnya, tergantung bagaimana media memandang realitas (kejadian) itu. Gambaran tentang sebuah realitas tergantung bagaimana orang (wartawan dan khalayak) memandangnya, sehingga sebuah realitas akan memiliki ‘wajah’ (atau dipandang) secara berbeda-beda. Dalam kaitanya dengan berita, realitas yang tertuang dalam berita merupakan hasil konstruksi awak pers.
Menganalisis isi berita atau framing berita termasuk dalam paradigma konstruksionisme, yang menganggap realitas bersifat subjektif karena dihadirkan oleh konsep subjektif wartawan dengan sudut pandangnya sendiri (Eriyanto, 2002:19). Paradigma konstruksionisme yang diperkenalkan oleh L. Berger, beranggapan bahwa wartawan turut membentuk suatu fakta, karena dalam proses meliput suatu peristiwa wartawan tak bisa lepas dari sudut pandang tertentu, konteks tertentu, dan konsepsi awal yang dibawa dari kantor tempatnya bekerja, dan sebagainya.

Berbeda dengan paradigma konstruksionisme, paradigma positivisme beranggapan bahwa fakta bersifat objektif, dan ‘telah ada’ sebelum wartawan datang. Artinya, pada kaum positivis menganggap fakta sebagai sesuatu yang objektif yang harus diambil oleh wartawan. Bagi kelompok positivis ada fakta ‘riil’, objektif, yang sudah ada dan diatur oleh kaidah-kaidah tertentu yang berlaku universal, sementara kelompok konstruksionis menganggap bahwa, menyatakan sebuah fakta merupakan ‘hasil konstruksi’ manusia atas realitas. Pada paradigma konstruksionis kebenaran suatu fakta bersifat relatif, berlaku sesuai konteks tertentu (Eriyanto, 2002:20). Pandangan ini pada akhirnya juga membuat pandangan yang berbeda tentang media massa, para positivis menganggap media sebagai saluran pesan, sedangkan para konstruksionis menganggap media sebagai agen konstruksi pesan.
Teori agenda setting bukan tanpa kritik. Berhubung teori ini beranggapan bahwa pada umumnya audience (publik) bersikap pasif, maka John Fiske, misalnya, menentang konsep tersebut, karena menurut Fiske, publik bersikap aktif (misalnya memilih kanal siaran TV yang disukainya, dan tidak menerima begitu saja semua berita yang disajikan sebuah stasiun TV. (Lihat misalnya: Fiske, John. "Television: Polysemy and popularity." Critical Studies in Media Communication 3.4 (1986): 391-408.)
Pada kerja sehari-harinya, seorang jurnalis mengemas sedemikian rupa semua informasi yang kemudian disajikan pada publik (audience) dalam bentuk berita. Dalam proses pembentukan berita itu, termuat skema interpretasi individu sang jurnalis yang turut membentuk makna dalam paket berita. Menulis fakta, berarti merangkai kembali seluruh data yang didapat dalam bentuk tulisan. Dalam proses ini jurnalis, sesuai dengan perspektifnya sendiri, akan menentukan mana fakta paling penting yang akan ditekankan dengan menempatkan di paragraph pertama, diulang ulang, bahkan ditambah grafis atau foto. Fakta yang dianggap tidak penting lazimnya akan ditempatkan pada bagian belakang tulisan (pada sebuah suratkabar), tak perlu pengulangan atau bahkan jika ruang suratkabar (space-nya) tidak cukup, maka berita itu akan dibuang. Semua pilihan struktur berita ini, bertujuan untuk membuat berita lebih menarik dan lebih diingat oleh pembaca.
Footnotes (References):
[1] Rakhmat, Jalaluddin. (Edisi Revisi). (2018). “Psikologi Komunikasi.” Bandung: Simbiosa Rekatama Media.
[2] Katherine Miller, 2005, Communication Theories: Perspectives, Processes, and Contexts. New York: McGrawHill.
[3] Eriyanto, 2002, Analisis Framing, Konstruksi, Ideologi dan Politik Media. Yogyakarta: LKiS.