Menumbangkan Pemimpin Diktator Arab dan TV


1 September 2010. During Middle East negotiati...
Saat negosiasi Timur Tengah: 1 September 2010 -- Mubarak (tengah) and Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu melihat jam tangan mereka untuk memastikan tibanya maghrib saat bulan puasa Ramadhan. Presiden Obama (kanan) berbincang dengan peserta perundingan lainnya (Wikipedia)

Benarkah umat Islam tidak boleh menurunkan pemimpin yang diktator, selama ia masih terlihat solat dan tidak terang-terangan kafir ?

Revolusi di Libia dan Yaman sesudah Mesir?

Kiwir nonton TV-One. Ia sama antusiasnya dengan ratusan ribu pemirsa lain, berpindah-pindah kanal dari TV Al-jazeera ke TV-One,yang dianggapnya ‘mending’ dalam menyiarkan berita ketimbang Metro TV pesaingnya.

Judul asli tulisan ini adalah, “Revolusi di Libia dan Yaman sesudah Mesir?” — pernah dimuat dalam Note di Facebook 27 Februari 2011. Sehubungan dengan berkembangnya berbagai revolusi di negara-negara Arab dan Timur Tengah belakangan ini — yang dikenal dengan ‘Arab Spring‘  — kiranya tulisan ini menarik untuk diangkat lagi lewat blog ini.

Hari hari ini (Februari 2011 – SB) ramai sekali broadcast (siaran) TV memberitakan pergolakan di Libia, Bahrain dan Yaman. Mengerikan sekali yang terjadi di Libia, kata Kiwir dalam hati. Gila tuh si Ghaddafi — kolonel gaek yang sudah jadi ‘megalomania’ model Saddam Husein dulu.

Ia bertanya, apakah ada hubungannya antara negeri-negeri kacau dengan pemimpin mereka yang rata-rata  tentara? Ghaddafi, Husni Mubarak, Saddam Husein (Irak dulu) — semuanya tentara.

Kemudian ia juga mengkuatirkan Yaman yang bisa tersulut perang saudara atau bentrokan antar-suku. Dalam hati ia bertanya: bisakah rakyat pro demokrasi menumbangkan diktator (yang mengaku Muslim tapi) kejam dan tiranik itu?

(Catatan: Sudah banyak yang berubah sejak tulisan ini muncul pada Februari 2011 lalu di Facebook. Yang terakhir, Presiden Yaman Ali Abdullah Saleh pun sudah tumbang. Kini pergolakan serupa masih ramai di Bahrain — dengan sedikit sekali pemberitaan di media (karena AS dan Arab Saudi mendukung penguasa Bahrain — dan juga di Syria. Di bagian dunia lain, semisal Arab Saudi juga terdengar letupan-letupan demonstrasi, tapi arus media utama (mainstream media) nyaris tidak pernah memberitakannya.)

Kiwir nonton TV-One. Ia sama bersemangatnya dengan jutaan pemirsa lain, berpindah-pindah saluran dari TV Al-jazeera ke TV-One atau CNN. Hari itu,  Jumat 4 Februari 2011  petang. Ia kaget. TV Bang One itu menghadirkan komentator seorang Imam Masjid Istiqlal. Kalau tidak salah namanya Mustafa Ya’kub.

Mubarak before and after
Mubarak sebelum dan sesudah revolusi (Wikipedia)

Saat itu di tayangan TV tampak ratusan ribu Muslimin Mesir sedang berkumpul di lapangan “Tahrir Square” (Lapangan Kebebasan), Kairo, tidak lama setelah mereka usai menjalankan solat Jum’at. Sesudah mengulas pemandangan riuh-rendah itu, secara tidak semena-mena, sang kiai yang pernah ketemu Presiden Barack Obama (ketika berkunjung ke Jakarta tempo hari) itu, bilang bahwa, umat Islam tidak boleh menurunkan pemimpinnya, selama ia masih terlihat solat dan tidak terang-terangan kafir. Imam Masjid Istiqlal itu bilang bahwa ‘larangan’ tadi sesuai dengan hadis yang ada dalam kitab Sahih Buchari dan Sahih Muslim.

Di tengah semangat menurunkan presiden Husni Mubarak, Kiwir berpikir bahwa itulah rupanya salah satu “dilemma” yang terjadi di negara-negara berpenduduk Muslim Sunni. Kata ‘Sunni’ perlu ditegaskan di sini, sebab dalam kaidah mazhab yang lain, semisal Syiah, aturan (atau larangan) itu tidak ada. Dalam Syiah, konon seorang pemimpin non-Muslim yang adil, lebih baik daripada pemimpin Muslim yang tiran atau dzalim. (Dalam hati ia bertanya: benarkah demikian halnya? Seorang pemimpin non-muslim yang adil lebih baik? Benarkah?)

Conservative Muslim women holding anti Mubarak...
Wanita-wanita Mesir demo antik rezim Mubarak: Conservative Muslim women holding anti Mubarak banners in the protest as well From left to right -Abi El-Kassem El Shabi poem - Change, Freedom and social justic -Mubarak go away , tomorrow Egypt will have a feast (Wikipedia)

Wallahu a’lam.

Kiwir jadi bingung. Tapi dalam hati ia berpikir, mestinya penyiar TV One bisa menyanggah pak kiai tadi, dan bilang, toh sang diktator sudah bilang bahwa ia sebenarnya sudah ‘muak’ mengabdi sebagai pegawai negeri di Mesir selama lebih 60-an tahun (30-an tahun di antaranya sebagai presiden), dan ingin segera turun. “Saya siap untuk berhenti hari ini, tapi saya kuatir negeri ini jatuh dalam chaos,” kata sang presiden yang menggantikan Anwar Sadar pada 1981 itu, bersandiwara.

Kiwir juga pengin muntah melihat gaya ‘sinetron’ sang presiden yang menjadi sohib dekat Israel itu — sebagaimana muaknya Kiwir pada sebagian pemimpin negara Arab (Muslim) lainnya. Untunglah Presiden yang tidak ‘Mubarak’ itu sudah makzul. Alhamdulillah.

Kiwir bicara pada dirinya sendiri: “Saat ini, ketika jutaan orang miskin — di Libia, Tunisia, Mesir, Yaman (juga di Indonesia) – berteriak mencari pembela mereka, dunia membutuhkan pemimpin yang tidak elitis, yang tidak hanya menyemarakkan masjid, tapi juga memerangi kebodohan, mengentaskan kemiskinan, dan membawa kesejahteraan umat.”

Semoga Allah berikan jalan keluar bagi Muslimin dan Mukminin di negara-negara itu memperoleh kebaikan yang berlimpah dari pemimpin-pemimpin (baru) yang adil dan pro-rakyat,  bukan kantong sendiri.

Bagaimana menurut Anda, Pembaca?

One thought on “Menumbangkan Pemimpin Diktator Arab dan TV

Silakan Beri Komentar

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s