Ini Rahasia Memenangkan Pemilu

Dalam artikel opini yang ditayangkan Detik (pada Senin 4 Desember 2023) berikut ini, Anda dapat mempelajari bagaimana para politisi itu memenangkan pemilu.

Emosi publik digugah ketika seorang calon presiden melakukan gerak tari yang gemoy di panggung. Emosi kita juga terpantik mengikuti peristiwa di Mahkamah Konstitusi (MK). Keriangan lewat hiburan lucu, juga rasa keadilan yang terusik dan kepercayaan rakyat yang merosot, semuanya adalah soal emosi. Berbeda dengan hitung-hitungan proyek infrakstruktur yang merupakan urusan kognisi, kita paham bahwa keadilan dan kepercayaan adalah perkara emosi. Juga kekesalan, bahkan marah karena merasa dikhianati (jika ada), juga urusan perasaan.

Sekjen PDI-P Hasto Kristiyanto, misalnya, mengusap airmatanya saat diwawancarai Akbar Faizal dalam podcast-nya, sehingga rekaman video yang tayang pada 9 November lalu itu diberi judul, “Tangisan Hasto Kristiyanto Untuk Jokowi: “Pak Jokowi Harus Tau Sisi Gelap Istana.”

Memang belakangan kita menyaksikan banyak drama dalam dinamika menjelang Pemilu 2024. Presiden Jokowi pun pernah bilang bahwa politik lebih banyak diwarnai perasaan dan bukan adu gagasan. Singkatnya banyak ‘drakor’ dituntukkan politisi. Ada yang geram, sedih, marah, kecewa, tetapi ada yang senang dan tertawa.

Semuanya adalah perkara emosi. Kita juga menyaksikan suguhan emosi teramat keras pada tragedi pembantaian ribuan anak tak berdosa di Gaza, Palestina.

Lazim dalam drama politik, pihak yang merasa dirugikan mengkapitalisasi peristiwa itu guna mencari simpati publik, bahkan memainkan taktik “playing victim.” Pada pemilihan presiden Amerika Serikat 2016, Donald Trump menggunakan strategi pemantikan emosi, bergaya seolah jadi korban demi menarik simpati pemilih kulit putih. Israel pun berlagak menjadi “korban” serangan Hamas.

The Public Religion Research Institute dan The Atlantic Monthly menyatakan, ketakutan pemilihlah yang mengantarkan Trump ke Gedung Putih — bukan kesulitan ekonomi (Zhang & Clark, 2019). Pemilih kelas pekerja kulit putih mengatakan sering merasa seperti “orang asing di negeri sendiri” dan percaya bahwa AS perlu dilindungi dari pengaruh asing. Mereka 3,5 kali lebih cenderung mendukung Trump daripada mereka yang tidak memiliki kekhawatiran ini.

Trump menciptakan retorika dengan mengombinasikan rasa takut dan kepercayaan, sehingga orang kulit putih Amerika yang takut pada liyan (orang lain) dan yakin adanya ancaman pada budaya mereka, menjadi tidak peduli apakah argumen Trump masuk akal atau tidak.

Para pelaksana kampanye politik di AS tahu persis bahwa kampanye tak bisa dimenangkan hanya dengan mengemukakan fakta. Khususnya di zaman digital, ketika “medan perang” kampanye makin bergerak ke media sosial, berita online, YouTube, dan blog. Tim sukses Trump sangat memahami pentingnya peran emosi. “Dua pendorong dasar bagi manusia untuk menerima informasi adalah harapan dan rasa takut. Sering keduanya tidak disebutkan dalam kata-kata dan bahkan tidak disadari,” kata Mark Turnbull dari Cambridge Analytica. “Kampanye pemilu tidak bisa hanya mengandalkan fakta, sebab kenyataannya semua adalah persoalan emosi,” tambah Turnbull. Maka wajar dalam kampanye Trump tampil sebagai korban (playing victim) akibat ancaman terhadap diri mereka, dan upaya ini berhasil.

Memantik emosi publik

Simpati publik merupakan emosi—sebagaimana rasa sedih, marah, gembira, dan sebagainya. Kehidupan kita diwarnai emosi. Peristiwa emosinal lah yang paling terekam dalam perjalanan hidup kita, seperti saat pertama kali menemukan kekasih atau ketika ditinggal orang yang disayangi.

Emosi sendiri adalah keniscayaan, sesuatu yang sangat manusiawi. Paul Ekman (2003) misalnya, menjelaskan adanya tujuh emosi dasar yang tampak pada wajah manusia secara universal, seperti gembira, sedih, marah, takut, dan jijik. Tentu banyak variasi emosional di antaranya seperti perasaan cemas, cemburu, harapan, simpati, lega, dan sebagainya, walakin dalam komunikasi politik dan kehidupan sehari-hari, para ahli retorika menjelaskan bahwa, seseorang hanya bisa mempersuasi publik apabila berhasil memantik emosi mereka.

Memang ada unsur lain dalam persuasi, seperti kredibilitas, karisma, dan argumen logis misalnya yang didukung data valid, tetapi semuanya hanya bisa efektif kalau komunikator  berhasil memantik emosi publiknya. Boleh jadi seorang politisi menunjukkan pembicaraan persuasif guna menguatkan sebuah sikap, mengubah keyakinan, atau menggerakkan publik untuk bertindak, walakin banyak penelitian yang merujuk pada pemikiran Aristoteles (384-322 SM) menegaskan bahwa, ajakan logis (logical appeals) dan ethos (credibility appeals) saja tak akan berhasil bila tidak disertasi dengan pemantikan emosi terhadap audiens.

Apabila appeal emosional dan appeal logis sama-sama digunakan untuk mencapai tujuan pembicaraan persuasif secara efektif, biasanya audiens akan lebih dulu merespon konten emosional, baru kemudian memeriksa bukti-bukti logisnya. Mengombinasikan emosi dan logika dapat menggandakan dampak. “Ajaklah calon pemilih untuk tertawa, menangis, bersimpati, atau marah lebih dulu, baru setelah itu tunjukkan alasan logis yang mendukung emosi tadi.”

Appeal logis merupakan urusan kognisi, didasarkan pada pengetahuan dan alasan, memerinci cara orang berpikir. Melalui bukti-bukti, appeal logika mengajak audiens untuk mengambil kesimpulan dari informasi. Appeal emosi adalah perkara perasaan, afeksi. Appeal emosional (pathos) didasarkan pada psikologi dan semangat (gairah), menjelaskan cara “merasakan” sesuatu.

Persuasi bahkan terjadi juga dalam retorika digital melalui pemanfaatan hypertext sebagai titik pusat (focal point) sebuah jejaring. Hasil penelitian disertasi penulis sendiri membuktikan bahwa, tiga dokter influencer di media sosial berhasil mengubah niat hidup lebih sehat 581 followers mereka berkat pemunculan emosi positif dalam diri para pengikut.

Emosi dalam politik

Dalam politik, Bung Karno, Mandela, Malcolm X, dan Obama dipersepsi audiens sebagai pembicara karismatik. Mereka memukau berkat kemampuan mengirim sinyal verbal dan nonverbal, dinamis, penuh energi, dan antusiasme, sehingga memperoleh perhatian audiens, dianggap kompeten, dan kredibel.

Bung Karno saat pidato (sumber foto: blog cintamerahputih)

Tetapi, karisma saja tidak cukup. Kredibilitas juga membutuhkan ekspertise dan keterpercayaan (trustworthiness). Semuanya membentuk ethos sang tokoh di depan audiens. Jika ethos lemah, audiens tidak akan menghormatinya, sehingga dia sulit mempersuasi massa, terlepas dari segala appeal logis dan emosional (pathos) yang digunakan. Sebaliknya, meski sang tokoh punya ethos kuat dan menerapkan berbagai alasan logis, ia belum bisa “menggerakkan” audiens jika tidak mampu memantik emosi.

Dalam politik, pada akhirnya pemantikan emosilah yang paling berperan. Itu sebabnya tiap kali pemilu banyak orang memilih berdasarkan alasan emosional ketimbang landasan logis. Tak heran kalau kemudian perencanaan program masa depan seolah tersingkirkan dalam perebutan suara oleh para kontestan pemilu.

Fakta dan alasan saja tidak cukup

Kini teknologi informasi menyediakan lebih banyak fakta. Terdapat ratusan juta situs di Internet, dan sekitar 99 ribu searches di Google setiap detik. Tetapi, tanpa ada pemantikan emosi, argumen rasional yang cuma didukung fakta tidak bisa mempersuasi atau menggerakkan kita. Banyak studi menunjukkan bahwa fakta dan alasan (reason) tidak bisa menjawab masalah. Ketika harus mengambil keputusan, akses pada informasi yang reliable tidak selalu dapat menghasilkan keputusan yang rasional dan tepat. Barangkali itu sebabnya angka-angka polling belum bisa memastikan hasil akhir pemilu.

Ketika menganalisis pengambilan keputusan dan keterbukaan terhadap persuasi, orang mesti menyadari bahwa otak manusia bukan hanya sekadar sebuah organ. Ada empat bagian otak yang bekerja pada waktu berbeda: wilayah reptilian brain (yang bertanggungjawab pada fungsi vital); otak tengah (di antaranya mengatur tidur dan motivasi); sistem limbic yang penting dalam fungsi emosi; dan cortex yang di antaranya bertanggungjawab mengurusi abstraksi pemikiran dan perencanaan. Ibarat konser, semua bagian otak itu bekerja dalam kebersamaan, sehingga mustahil bagi kita memisahkan pikiran rasional dari emosi.

Dari sudut pandang politik, retorika afektif sangat penting untuk menentukan cara informasi diproses dan suasana hati digunakan oleh para politisi untuk menghasilkan identifikasi, atau bayangan mereka akan diingat seperti apa oleh calon pemilih. Banyak studi menyimpulkan bahwa kandidat presiden yang berhasil menggunakan bahasa emosional dan komunikasi karismatik lazimnya lebih unggul dalam mempengaruhi pemilih.

Tampilan afektif tidak dapat dihindari dalam politik saat ini, dan telah terbukti lebih mempengaruhi pemilih daripada afiliasi partai atau ideologi kandidat. Itu pula sebabnya banyak politisi yang juga menunjukkan image afektif sebagai orang yang sangat mencintai pasangannya (atau terlalu menyayangi anaknya) di depan umum.

###

Dokter, Influencer dan Emosi Anti Ambyar

Tulisan aslinya ada pada tautan ini (Detikinet).

Jakarta – Sekitar 84% followers menaati pesan dokter di media sosial, apabila kontennya menyenangkan mereka. Ya, bisa dibilang dokter saat ini juga berperan sebagai influencer ketika sudah terjun ke sosial media. Mereka tak cuma dituntut untuk memberi informasi sesuai kapabilitasnya, namun juga bak menjadi juru selamat anti ambyar.

Kata ‘ambyar’ dalam bahasa Jawa sering digunakan untuk menggambarkan perasaan hancur, rusak, atau hilang secara emosional. Dalam konteks musik atau seni pertunjukan Jawa, ‘ambyar’ dapat merujuk pada ekspresi perasaan yang mendalam dan intens.

Artikel di Detik 22 Agustus 2023.

Studi yang saya lakukan meneliti sejumlah 673 konten tiga orang dokter yang menjadi influencer (pemengaruh) di Instagram menunjukkan 487 dari 581 followers yang mengikuti survei (atau 84 %) berniat untuk mengubah sikap untuk hidup lebih sehat, apabila pesan yang disampaikan para dokter itu membuat mereka merasa gembira – alias anti ambyar. Terbukti kebanyakan followers juga beranggapan bahwa ketiga dokter jarang menggugah emosi negatif yang bikin perasaan ambyar.

Penelitian dilakukan terhadap unggahan ketiga dokter di Instagram selama 10 bulan, mulai Maret sampai dengan Desember 2020, periode ketika pandemi COVID-19 sedang memuncak.

Hal ini saya paparkan dalam promosi doktor ilmu komunikasi di Sekolah Pascasarjana Universitas Sahid, Rabu (16/8/2023) lalu. Melalui metode campuran dalam disertasi yang berjudul, “Kompetensi ‘Emotional Appeals’ Dokter sebagai Influencer Instagram pada masa Pandemi COVID-19,” saya menggabungkan antara survei terhadap 581 followers Instagram dengan analisis konten dan wawancara terhadap tiga dokter influencer.

Ketiga dokter yang menjadi narasumber itu adalah ahli penyakit dalam dr Adaninggar Primadia Nariswari SpPD (Surabaya), ahli kedokteran olahraga dr Andhika Raspati (Jakarta) dan bintang televisi dr Lula Kamal.

Emosi positif seperti rasa senang atau gembira yang muncul dalam diri followers menyebabkan mereka mau memberi komentar dan lambang hati (likes), yang merupakan tanda adanya engagement (keterikatan) antara kedua belah pihak.

Hasil wawancara menunjukkan bahwa ketiga dokter menerapkan strategi persuasi yang efektif. Hasil survei meneguhkan hal itu, di mana unggahan (konten) ketiga dokter di Instagram berhasil memantik emosi positif pada 92% followers yang mengisi survei.

Penelitian juga membuktikan bahwa keterikatan atau interaksi (engagement) paling tinggi terjadi pada konten berupa video. Hasil survei juga menunjukkan bahwa setidaknya sejumlah 35% followers menyatakan akan melakukan resharing unggahan ketiga dokter pemilik akun.

Itulah satu di antara pelajaran yang bisa dipetik dari pandemi COVID-19 yang lalu. Oleh karena itu, para tenaga kesehatan dan influencer pada umumnya perlu meningkatkan kecakapannya dalam berkomunikasi di media sosial dengan cara menerapkan strategi persuasi yang baik. Terutama karena di media sosial terjadi rebutan pengaruh antara penyedia informasi yang benar dan kredibel dengan para penyebar hoaks dan misinformasi yang menolak realitas adanya wabah.

Dengan kalimat lain, meminjam istilah orang marketing, pada era sekarang ini, target market kita adalah perhatian (attention) khalayak. Berhubung platform media sosial makin sibuk dari waktu ke waktu, dan “durasi perhatian” (attention span) makin menyempit, hanya orang-orang yang memiliki suara unik, pesan yang jelas dan konsisten serta kesadaran diri yang kuat sajalah yang bisa berhasil.

Oleh karena itu, agar efektif, para komunikator di media sosial harus dapat menggiring perhatian (attention) khalayak, karena attention merupakan sebuah kekuatan yang dipakai untuk menyebarkan pesan tertentu dan mempengaruhi orang lain

Saat ini terdapat tidak kurang dari 4 milliar pengguna media sosial di dunia, termasuk 105 juta pengguna Instagram di Indonesia. Melawan misinformasi tidak hanya menjadi tugas pemerintah, namun merupakan tugas bersama dan sinergi antara pemerintah, profesional dengan kredibilitas di bidangnya dan pemangku kepentingan lainnya. Sudah saatnya para profesional seperti dokter memaksimalkan media sosial miliknya sebagai saluran edukasi hingga meluruskan atau membentuk opini positif.

Harapannya, dengan adanya sinergitas yang baik antara para komunikator, maka hoaks yang muncul di masyarakat tidak hanya diminimalisir produksinya, tetapi juga diredam dengan cara-cara persuasif yang efektif. Studi itu menyarankan agar partisipasi di media sosial secara aktif dapat terus dilakukan pasca pandemi, guna mempromosikan kesadaran sehat masyarakat.

Ketiga dokter influencer di Instagram: dr. Adaninggar (atas kiri), dr. Andhika (kanan), dan dr. Lula Kamal (kiri bawah).

Sebagai doktor ke-139 dari Sekolah Pascasarjana Sahid, disertasi saya yang panjangnya hampir 500 halaman itu dipertahankan di hadapan empat penguji, yakni Dr Bertha Sri Eko Murtiningsih, M.Si (dari Universitas Multimedia Nusantara, Tangerang, Banten), Dr Turnomo Rahardjo, M.Si (Universitas Diponegoro Semarang), Dr Titi Widaningsih, MSi (Universitas Sahid), dan Dr J.A. Wempi, MSi, (Institut Komunikasi dan Bisnis LSPR). Penelitian dibimbing promotor Prof. Dr. Alo Liliweri (dari Undana, NTT) dan co-promotor Dr. Alex Seran (dari Unika Atmajaya, Jakarta).

Promosi itu juga dihadiri sejumlah guru besar dan pengajar berbagai perguruan tinggi, perwakilan Majelis Kode Etik (MKEK) IDI, dan mantan rektor Univeritas Paramadina Anies Baswedan, yang pernah menjalani karantina mandiri pada Desember 2020 akibat terserang COVID-19 saat ia menjadi gubernur DKI Jakarta.

Menjawab pertanyaan penguji, saya di antaranya menjelaskan bahwa setiap opinion leader seperti dokter perlu menguasai kompetensi komunikasi yang baik, agar pesannya efektif, sehingga dapat menimbulkan niat (intensi) pada diri publiknya agar mau mengubah sikap dan perilaku sehat mereka. Kompetensi komunikator terwujud oleh adanya motivasi, pengetahuan dan keahlian (skill) yang mereka miliki.

Di media sosial para dokter juga memerlukan kompetensi komunikasi yang diwujudkan melalui pengiriman pesan yang persuasif berdasarkan strategi ethos, logos dan pathos yang menjadi strategi retorika gagasan filsuf Yunani Aristoteles. Ethos dibangun oleh adanya kredibilitas yang telah dimiliki para dokter, adanya niat baik (goodwill) dan kepercayaan (trust) yang ada dan harus dipertahankan.

Logos diwujudkan oleh adanya argumen yang dimengerti audience dan masuk akal. Namun, yang paling penting adalah bahwa keduanya, ethos dan logos, harus disertai dengan pemunculan pathos, yakni emotional appeal. Di sini, setiap komunikator termasuk dokter harus dapat memantik emosi positif dalam diri followers mereka di media sosial supaya dapat memunculkan interaksi (engagement) dengan para pengikut itu.

Ketiga strategi itu penting agar pesan para dokter yang menjadi influencer di media digital itu efektif dalam mengubah sikap dan perilaku followers (audience). Persuasi sendiri didasarkan pada retorika, yang jelas-jelas berbicara mengenai kompetensi. Untuk melihat kualitas kompetensi seseorang seperti para dokter dalam penelitian ini, maka harus dilihat persuasinya berdasarkan tiga sekawan: ethos, logos dan pathos.

Berdasarkan konsep enam emosi dasar manusia yang digagas Ekman (2003), ketiga dokter influencer yang diteliti menunjukkan bahwa pemantikan emosi (rasa) gembira mendominasi unsur pathos yang ada, disusul emosi marah, terkejut dan sedih. Emosi lain yang juga dipantik adalah rasa takut dan jijik.

Sehubungan dengan itu, dokter harus pandai menciptakan suasana yang relaks, penuh humor, dan berinteraksi secara baik, terbuka dan responsif, agar pasien di ruang praktik, maupun pengikut di media sosial, juga bersikap terbuka, sehingga lebih mudah didiagnosis dan menerima saran kesehatan.

Emosi positif yang dipantik itu (atau pathos) penting, karena data saja (logos) tidak bisa menerangkan dirinya sendiri. Sedangkan ethos sendiri akan percuma bila tidak disertai logos dan pathos.

Terakhir harus dicatat bahwa, retorika digital di media sosial bukan saja berfungsi dalam komunikasi antar-pribadi (interpersonal communication), tetapi sekaligus menunjukkan adanya komunikasi massa dari seorang komunikator (misalnya pemilik akun di media sosial) kepada publik luas. Dan ini penting sebagai dasar komunikasi, bahkan setelah wabah berakhir.

*) Penulis, Syafiq Basri Assegaff merupakan dokter alumnus FK Unpad, dan pengajar komunikasi di LSPR Communication & Business Institute, Jakarta.

Bahagiakan Followers – Resep Dokter di Instagram

Tulisan ini berasal dari berita yang ditayangkan Kompas.com, 21 Agustus 2023 silam, terkait dengan disertasi saya.

Penelitian: 84 Persen Followers Berniat Hidup Lebih Sehat karena Konten Positif Dokter

KOMPAS.com – Saat ini terdapat tidak kurang dari empat miliar pengguna media sosial di dunia, termasuk 105 juta pengguna Instagram di Indonesia. Melawan misinformasi atau hoaks tidak hanya menjadi tugas pemerintah, namun juga merupakan tugas bersama antara pemerintah, pemangku kepentingan hingga para profesional yang kredibel di bidangnya. Salah satu misinformasi yang cukup banyak terjadi selama masa pandemi Covid-19 ialah soal kesehatan.

Belajar dari masa pandemi, dokter Syafiq Basri Assegaff dalam promosi doktor ilmu komunikasi di Sekolah Pascasarjana Universitas Sahid, Rabu (16/8/2023) mengatakan, sudah saatnya para profesional seperti dokter memaksimalkan media sosial miliknya sebagai saluran edukasi hingga meluruskan atau membentuk opini positif.

Saat menerima pengukuhan dalam sidang promosi doktor, 16 Agustus 2023.

Dalam penelitian yang dilakukannya, Syafiq mendapati bahwa sebanyak 84 persen followers menaati pesan dokter di media sosial apabila kontennya menyenangkan. “Emosi positif seperti rasa senang atau gembira yang muncul dalam diri followers menyebabkan mereka mau memberi komentar dan lambang hati (likes), yang merupakan tanda adanya engagement antara kedua belah pihak,” kata Syafiq dalam keterangan resmi yang diterima Kompas.com.

Selama penelitian, ia menggunakan 673 konten dari tiga orang dokter yang menjadi influencer di Instagram selama 10 bulan, mulai Maret hingga Desember 2020 saat periode ketika pandemi Covid-19 sedang memuncak. Hasilnya, 487 dari 581 followers yang mengikuti survei (atau 84 persen) berniat untuk mengubah sikap untuk hidup lebih sehat, apabila pesan yang disampaikan para dokter itu membuat mereka merasa gembira.

Melalui metode campuran (mixed-methods) dalam disertasi yang berjudul Kompetensi ‘Emotional Appeals’ Dokter sebagai Influencer Instagram pada masa Pandemi Covid-19, Syafiq menggabungkan antara survei terhadap 581 followers Instagram dengan analisis konten dan wawancara terhadap tiga dokter influencer. Ketiga dokter yang menjadi narasumber itu adalah ahli penyakit dalam dr. Adaninggar Primadia Nariswari SpPD (@dr.ningz), Surabaya, ahli kedokteran olahraga dr. Andhika Raspati (@dhika.dr) Jakarta, dan bintang televisi dr. Lula Kamal (@lulakamaldr).

Saya memfollow ketiganya melalui akun Instagaram saya ini: @syafiqabasri yang kini sudah mengantongi 1300-an followers.

Hasil wawancara menunjukkan bahwa ketiga dokter menerapkan strategi persuasi yang efektif. Hasil survei meneguhkan hal itu, di mana posting (konten) ketiga dokter di Instagram berhasil memantik emosi positif pada 92 persen followers yang mengisi survei. Penelitian juga membuktikan bahwa keterkaitan atau interaksi  atau engagement paling tinggi terjadi pada konten berupa video. Hasil survei juga menunjukkan bahwa setidaknya sejumlah 35 persen followers menyatakan akan melakukan resharing unggahan ketiga dokter pemilik akun.

Undangan sidang terbuka (promosi)

“Oleh karena itu, para tenaga kesehatan dan influencer pada umumnya perlu meningkatkan kecakapannya dalam berkomunikasi di media sosial dengan cara menerapkan strategi persuasi yang baik,” ujar Syafiq. “Terutama karena di media sosial terjadi rebutan pengaruh antara penyedia informasi yang benar dan kredibel dengan para penyebar hoaks dan misinformasi yang menolak realitas adanya wabah,” imbuhnya. Harapannya, dengan adanya sinergitas yang baik antara para komunikator, maka hoaks yang muncul di masyarakat tidak hanya diminimalisir produksinya, tetapi juga diredam dengan cara-cara persuasif yang efektif.

Dokter harus dapat memantik emosi positif

Studi itu menyarankan agar partisipasi di media sosial secara aktif dapat terus dilakukan pasca pandemi, guna mempromosikan kesadaran sehat masyarakat. Dari sisi ilmu saraf (neuroscience), menurut Syafiq, interaksi (engagement) dalam wujud respon dari audience menimbulkan perasaan positif dalam diri komunikator (dokter) juga, yakni timbulnya perasaan gembira atau senang dalam diri komunikator karena adanya penghargaan meskipun mereka tidak menerima upah dari hasil aktivitasnya di Instagram. “Perasaan senang itu dapat dijelaskan melalui neuroscience yakni munculnya hormon dopamine dalam tubuh komunikator,” kata Syafiq.

Di media sosial, lanjut dia, para dokter juga memerlukan kompetensi komunikasi yang diwujudkan melalui pengiriman pesan yang persuasif berdasarkan strategi ethos, logos dan pathos yang menjadi strategi retorika gagasan filsuf Yunani Aristoteles. Ethos dibangun oleh adanya kredibilitas yang telah dimiliki para dokter, adanya niat baik (goodwill) dan kepercayaan (trust) yang ada dan harus dipertahankan. Logos diwujudkan oleh adanya argumen yang dimengerti audience dan masuk akal. Namun, yang paling penting adalah bahwa, keduanya, ethos dan logos, harus disertai dengan pemunculan pathos, yakni emotional appeal.

“Di sini, setiap komunikator termasuk dokter harus dapat memantik emosi positif dalam diri followers mereka di media sosial supaya dapat memunculkan interaksi (engagement) dengan para pengikut itu,” tambah Syafiq. Ketiga strategi itu penting agar pesan para dokter yang menjadi influencer di media digital itu efektif dalam mengubah sikap dan perilaku followers (audience). Persuasi sendiri didasarkan pada retorika, yang jelas-jelas berbicara mengenai kompetensi. Untuk melihat kualitas kompetensi seseorang seperti para dokter dalam penelitian ini, maka harus dilihat persuasinya berdasarkan tiga sekawan, ethos, logos dan pathos. Kesimpulannya, terang Syafiq, dokter harus pandai menciptakan suasana yang relaks, penuh humor, dan berinteraksi secara baik, terbuka dan responsif, agar pasien di ruang praktik, maupun pengikut di media sosial, juga bersikap terbuka, sehingga lebih mudah didiagnosis dan menerima saran kesehatan.

The Importance of Appealing Followers’ Emotions

For more information, please read the following article translated from news published in Kompas.com – 21/08/2023 (See below).

Study: Positive Content from Doctors Inspires 84% of Followers to Embrace Healthier Lifestyles. >> Therefore: A vital key to social media success is stirring your followers’ emotions.

At present, there are over four billion social media users globally, with 105 million of them using Instagram in Indonesia alone. Addressing misinformation or hoaxes is not solely the government’s responsibility but a collective effort involving the government, stakeholders, and reputable professionals in various fields. One prominent area where misinformation has been widespread, particularly during the COVID-19 pandemic, is in the realm of health.

Foto dari Kompas.com, terkait berita tersebut di tautan ini.

In light of the lessons learned from the pandemic, Dr. Syafiq Basri Assegaff, in his doctoral research in communication sciences at Sahid University Postgraduate School on August 16, 2023, emphasizes the importance of professionals, such as doctors, harnessing the potential of social media as an educational platform to promote informed and positive opinions.

Syafiq’s research findings indicate that a significant 84 percent of followers were more inclined to heed doctors’ messages on social media when the content was engaging and enjoyable. Positive emotions, like joy or happiness expressed by followers, encouraged them to engage further by leaving comments and ‘liking’ posts, demonstrating an active interaction between both parties.

During his research, Syafiq analyzed 673 pieces of content posted by three doctors who served as influencers on Instagram over ten months, spanning from March to December 2020, a period when the COVID-19 pandemic was at its peak. The results revealed that 84 percent of the 581 surveyed followers intended to improve their lifestyles and health choices if the doctors’ messages evoked happiness.

Syafiq adopted mixed methods in his dissertation titled ‘Emotional Appeals: Doctors’ Competence as Instagram Influencers during the COVID-19 Pandemic.’ This approach combined a survey of 581 Instagram followers, content analysis, and interviews with three influential doctors. These doctors, experts in internal medicine, sports medicine, and renowned television personality dr. Lula Kamal, proved highly effective in employing persuasive strategies. Survey results confirmed the positive emotional responses from 92 percent of followers who participated. Moreover, video content garnered the highest level of engagement.

Syafiq underscores the importance of health professionals and influencers improving their communication skills on social media by employing effective persuasion strategies, especially considering the ongoing battle between disseminating credible information and spreading hoaxes and misinformation.

The research suggests that active involvement on social media should continue post-pandemic to promote public health awareness. According to Syafiq, from a neuroscience perspective, engagement and responses from the audience also create positive feelings in the communicator, attributed to the release of dopamine, a happiness-inducing hormone.

‘Happy hormone’ dopamine plays role in identifying emotions (source: University of Birmingham).

On social media, doctors should exhibit communication competence by crafting persuasive messages based on Aristotle’s rhetorical strategies of ethos, logos, and pathos. Ethos relies on a doctor’s credibility, goodwill, and trust, while logos requires delivering understandable and rational arguments. Nevertheless, the key lies in incorporating pathos, emotional appeal, to evoke positive emotions in followers.

Kisruh Komunikasi Kesehatan

Berbagai sengkarut terkait isu RUU Kesehatan disebabkan lemahnya komunikasi publik Kementerian Kesehatan. Kecakapan dalam berkomunikasi ini sangat penting agar persoalan tidak menjadi berlarut-larut dan ada titik temu.

KOMPAS, 24 Mei 2023 , halaman 7 (klik di sini untuk tulisan aslinya di Kompas).

Ada yang tak biasa di Jakarta, 8 Mei silam. Ribuan dokter, dokter gigi, perawat, bidan, dan sejumlah tenaga kesehatan lain turun ke jalan. Mereka protes. ”Rancangan Undang-Undang Kesehatan harus ditinjau ulang,” teriak pendemo.

Tak pelak, aksi damai itu jadi perhatian besar media. Sejak pola omnibus diterapkan, kontroversi memang terus bergulir. Terkait RUU Kesehatan, seperti dilaporkan Kompas, setidaknya 15 undang-undang profesi dan kesehatan akan digabung jadi satu.

Dokter, bidan, hingga mahasiswa demo tolak RUU Kesehatan pada Senin 8 Mei. (Foto: Twitter @PBIDI)

Polemik yang muncul berhubungan dengan kewenangan organisasi profesi (OP), terutama dalam hal izin praktik, kolegium pendidikan, konsil kedokteran, hingga isu investasi dan tenaga kesehatan asing.

Menurut harian ini, persoalan menjadi berlarut-larut karena dari sejak topik RUU Kesehatan omnibus law muncul September 2022, tidak pernah ada titik temu antara pemerintah dan DPR dengan organisasi profesi dan kesehatan. Masing-masing menyampaikan aspirasi ke ruang publik, tanpa upaya mediasi untuk saling mendengarkan. Puncaknya, demonstrasi damai Senin itu.

Secara umum, para pendemo menganggap Kementerian Kesehatan kurang mengakomodasi kepentingan organisasi profesi (OP), seperti Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dan Ikatan Dokter Gigi Indonesia (IDGI).

Baca juga : Aksi Damai Ribuan Tenaga Kesehatan Tuntut Pembahasan RUU Kesehatan Dihentikan

Sejatinya, mudah bagi Menkes dan jajarannya mengakomodasikan suara-suara para pemangku kepentingan. Jika Kemenkes merasa sudah melakukan dialog, bukan berarti pintu harus ditutup karena masih banyak urusan yang disengketakan perlu dikunjungi ulang. Apa salahnya melakukan dua-tiga kali revisit?

Ada dua alasan untuk itu. Pertama, siapa lagi yang harus didengarkan oleh Menkes selain para dokter, perawat, dan tenaga kesehatan lain dalam isu ini? Kedua, kita pernah mengalami buruknya komunikasi pemerintah pada saat awal pandemi Covid-19 yang jadi pelajaran agar tak terulang.

Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin (kiri) menyerahkan daftar inventarisasi masalah RUU Kesehatan kepada DPR RI yang diterima oleh Wakil Ketua Komisi IX DPR RI Emanuel Melkiades Laka Lena dalam Rapat Kerja Komisi IX DPR RI di Jakarta, Rabu (5/4/2023).

Masih hangat dalam ingatan kita, di awal pandemi banyak yang menilai Pemerintah Indonesia, khususnya Kemenkes (waktu itu di bawah Menteri Terawan Agus Putranto), tidak terbuka kepada publik dalam upayanya menanggulangi wabah. Bahkan, Presiden Joko Widodo sendiri tahun 2020 pernah mengakui, komunikasi jajaran pembantunya buruk. Setidaknya tiga kali Presiden menegur dan memperingatkan para menterinya untuk bisa membangun komunikasi publik yang baik.

Untunglah Presiden kemudian menunjuk Menkes baru, Budi Gunawan Sadikin (BGS) yang, meskipun bukan dokter, diharapkan menjadi manajer yang piawai mengelola organisasi sepenting Kemenkes.

Walakin, rupanya asa pada BGS agak terusik ketika sejumlah masukan atau kritik tampak kurang mendapat tanggapan yang layak, termasuk misalnya pada kasus dokter spesialis bedah saraf Zaenal Muttaqin yang diberhentikan dari Rumah Sakit Umum Pusat Dr Kariadi Semarang.

Menurut Kompas (20/4/ 2023), pemberhentian dr Zaenal diduga akibat kritiknya terkait RUU Kesehatan. Menteri BGS sendiri tampaknya pernah menjelaskan sebagian perkara yang disengketakan tersebut.

Berdasarkan dialognya dengan para dokter dan OP, di antara perkara yang menurut BGS perlu dibenahi adalah urusan izin praktik dokter yang di dalamnya terdapat penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power), ancaman terkait rekomendasi izin praktik dokter, masalah pembagian kompetensi (shared competency) di antara para tenaga medis, dugaan adanya feodalisme di lingkungan kesehatan, dan rebutan lahan di antara sebagian tenaga medis.

Dalam sebuah wawancara dengan sebuah stasiun televisi, BGS, di antaranya, mengatakan, dirinya merasa kasihan kepada tenaga medis seperti dokter karena banyaknya biaya yang menjadi beban mereka dalam berbagai urusan administrasi.

Di antara sekian banyak kekhawatiran para dokter terhadap RUU Kesehatan adalah pelemahan OP karena banyak tugas dan fungsinya yang diambil alih Kemenkes.

Pandangan dokter

Masih banyak dokter yang tak sependapat dengan narasi-narasi yang dikemukakan BGS. Di antara sekian banyak kekhawatiran para dokter terhadap RUU Kesehatan adalah pelemahan OP karena banyak tugas dan fungsinya yang diambil alih Kemenkes. Juga bergesernya fungsi pendidikan atau keilmuan dari fakultas kedokteran universitas kepada Kemenkes.

Di sebuah diskusi dengan sejumlah dokter di grup media sosial para dokter, misalnya, dikatakan bahwa boleh jadi terdapat kekurangan di IDI, tetapi bukan berarti semuanya buruk karena sangat mungkin itu hanya ulah oknum. Kata seorang dokter senior, Kemenkes mesti ingat, berbeda dengan banyak OP atau lembaga independen lain, IDI tak menerima bantuan sepeser pun dari pemerintah.

Oleh karena itu, menurut mereka, naif untuk mempermasalahkan iuran anggota yang menjadi satu-satunya sumber dana bagi operasional IDI.

Seorang ahli kedokteran nuklir yang juga guru besar FK Universitas Padjadjaran, Johan S Masjhur, menulis di Surat Pembaca Kompas, alih-alih menyelesaikan masalah, RUU Kesehatan omnibus law justru akan mengacaukan sistem pelayanan kesehatan nasional. ”RUU itu tampaknya dirancang oleh orang-orang yang tak paham masalah kesehatan dan kedokteran di Indonesia, mungkin pula mempunyai maksud tertentu di baliknya,” tulisnya.

Lemahnya komunikasi

Sejatinya berbagai sengkarut terkait isu RUU Kesehatan dapat diselesaikan secara lebih baik kalau saja ada tanggapan dan interaksi (komunikasi) yang cukup dari Menkes BGS.

Kurangnya tanggapan itu, misalnya, tampak dari interaksi BGS di akun Instagram miliknya (@budigsadikin). Dengan pengikut (follower) lebih dari 59.000, kita melihat pemilik akun nyaris tak pernah menanggapi komentar dan pertanyaan para pengikutnya.

Penulis menyimak perbincangan dalam unggahan @budigsadikin, 14 Maret 2023. Unggahan berisi ajakan memberi tanggapan untuk RUU Kesehatan yang mengutip potongan video KompasTV itu mendapat lebih dari 400 komentar (terbanyak di antara unggahan lainnya), termasuk pertanyaan, bahkan hujatan kasar, dari audiens yang di antaranya memintanya mundur atau mencelanya sebagai—maaf—”bodoh.”

Sebegitu banyaknya kritik yang cukup keras (bahkan tak etis) di unggahan itu, sama sekali tak memperoleh jawaban balik dari Pak Menteri.

Padahal, di era informasi digital yang sangat transparan serta cepat dan mudah menyebar luas, percuma saja punya pengikut banyak di medsos jika kita tak pernah ngobrol (berinteraksi) karena sekarang ini yang namanya publik (”pasar”) adalah conversation atau perbincangan, saling bertukar informasi dan berinteraksi sesama pengguna.

Itulah yang kini disebut e-WOM, electronic-word-ofmouth, yang menjadi andalan para pemasar di dunia. Kata ahli pemasaran, ”Market’ Anda sekarang adalah perhatian (attention) publik. Alih-alih sebagai saluran untuk propaganda (atau bicara satu arah), medsos mestinya bisa jadi wadah bagi semua komunikator (pribadi ataupun organisasi) untuk memonitor perbincangan yang berlangsung dan berinteraksi secara terbuka.”

Sebab, dari situ sering kali muncul bara api yang bisa memantik isu-isu penting atau bahkan sebuah krisis.

Di samping medsos, penulis memandang semua centang perenang dalam sengketa RUU Kesehatan itu boleh jadi berasal dari urusan komunikasi yang tidak nyambung.

Di samping medsos, penulis memandang semua centang perenang dalam sengketa RUU Kesehatan itu boleh jadi berasal dari urusan komunikasi yang tidak nyambung. Peringatan Presiden Jokowi tiga tahun lalu dalam perkara komunikasi publik para pembantunya sangat patut diperhatikan.

Penulis bersangka baik bahwa pasti Menteri BGS punya maksud baik, tetapi sebagai komunikator mungkin saja ada yang perlu ditingkatkan dalam dirinya agar proses pelaksanaan RUU itu tidak tercoreng.

Guna menangani ini, kita berharap BGS dapat berperan sebagai komunikator yang kompeten. Jika dilihat dari lensa komunikasi, kompetensi komunikasi setidaknya memerlukan tiga hal: motivasi, pengetahuan yang cukup, dan berbagai kecakapan (skills) yang andal.

Pertama, motivasi yang menunjukkan adanya sejumlah maksud baik (goodwill)—sikap yang amat penting bagi seorang komunikator selevel menteri. Dalam hal ini, BGS telah sering menyatakan tujuan berbagai kebijakannya sebagai ”demi kepentingan masyarakat luas”, termasuk ketika ia bicara di depan DPR dan media massa.

Kedua, seorang komunikator yang kompeten juga memerlukan pengetahuan (knowledge) yang cukup tentang apa yang dibicarakannya. Untuk ini kita pun cukup percaya bahwa BGS termasuk menteri yang selama lebih dari dua tahun terakhir telah berhasil menimba pengetahuan dalam perkara kesehatan dan kedokteran dari para staf dan orang-orang di sekitarnya.

Sebagai sosok yang pandai, lulusan ITB dan bankir ini dikenal senang dan cepat belajar hal-hal baru. Kita tidak ragukan hal itu. Itu sebabnya pula barangkali mengapa Presiden memilihnya sebagai Menkes.

Namun, motivasi dan pengetahuan saja tidaklah cukup. Seorang komunikator yang kompeten juga memerlukan kecakapan (skills) dalam berkomunikasi, seperti hubungan antar-pribadi (interpersonal) yang unggul, koordinasi, dan melakukan persuasi yang efektif.

Melalui skill persuasi dan hubungan pribadi yang lebih baik, misalnya, dokter senior sekelas Zaenal Muttaqin dapat diajak bicara dari hati ke hati sehingga dapat diperoleh solusi yang saling menguntungkan.

Kecakapan lain, yang juga jadi kualitas pemimpin, adalah koordinasi, yang juga kunci bagi jalannya komunikasi dalam sebuah ketidaksepakatan. Guna membantu koordinasi yang baik agar dicapai hasil akhir yang efektif, akses ke informasi yang sesuai dan benar harus disebarkan dengan cara yang sesuai, pada saat yang tepat.

Mungkin saja banyak nakes kurang dapat informasi cukup, padahal tak adanya informasi menciptakan kecemasan, bahkan frustrasi. Namun, informasi hanya menjadi komunikasi ketika ada hubungan saling percaya (trust) di antara para pihak. Dalam kasus RUU Kesehatan, jelas trust itu mesti terus dibangun dan dipertahankan.

Dalam kasus RUU Kesehatan, jelas trust itu mesti terus dibangun dan dipertahankan. Repotnya, dalam banyak isu atau krisis, pihak yang bertanggung jawab sering kali lebih suka membela diri ketimbang berusaha bersikap terbuka. Caywood dan Englehart (2007) menerangkan, berbagai krisis di Amerika menunjukkan banyak organisasi masih mengulangi kesalahan fatal, seperti memilih membela diri ketimbang memproteksi ”brand” atau reputasi lembaga (negara)-nya.

Adanya kecakapan dalam berkomunikasi ini sangat penting agar seorang komunikator tidak terkungkung sehingga seolah berada dalam echo chamber, hanya dapat mendengar suara sendiri.

Kita berharap Menkes BGS yang sudah berhasil menangani pandemi Covid-19 bersama tenaga kesehatan dan OP bisa saling berkomunikasi secara lebih baik agar tenaga dan pikiran bisa fokus pada pemerataan kesehatan di seluruh Indonesia.

Kita tidak mungkiri adanya kelemahan di sana-sini. Namun, kalau ada nila setitik yang dapat merusak susu sebelanga, bukankah tidak berarti kita harus membuang seluruh susu, melainkan mencegah masuknya pewarna itu ke dalam kuali?

###

Syafiq Basri Assegaff Dokter dan Dosen Komunikasi di LSPR Communication and Business Institute, Jakarta.

Rela pada Keputusan Tuhan -2 kunci dari Imam Ali as

Halaman Quran tulisan Imam Ali bin Abithalib as

Dua kata-kata Imam Ali bin Abithalib as berikut ini sangat menarik dan penting untuk pedoman hidup setiap Mukmin.



A.

من رضي با القضاء طاب عيشه

Barangsiapa ridho pada putusan Allah, maka akan indah (bagus) hidupnya.” Begitulah nasihat Imam Ali bin Abithalib (as).
Hal ini sejalan juga dengan perintah beliau, yg mengatakan:

B.

اذا لم يكن ما تريد
فارد ما يكون

Artinya, “Jika tidak engkau dapati yg kau inginkan, maka inginkan lah yang (telah) terjadi.”

Rupanya itu sebuah instruksi dari beliau. Jika kita menerapkan yang B itu, maka otomatis kita akan menjalani hidup seperti yang di atasnya (A). Agar bisa meraihnya, kiranya.kita dapat mengikuti sabda Rasulullah SAW yang mengajarkan agar kita sering membaca do’a berikut ini:


اله رضني بقضاءك

Wahai Ilaahi, jadikan daku rela (ridha) dengan semua putusan-putusan-Mu. Artinya, kita selalu membutuhkan kehadiran Allah agar selalu ridha dengan keputusan-Nya.

Wah, Cewek Berjilbab ini jadi anggota Parlemen Australia

Ini adalah tentang Fatima Payman. Seorang wanita cantik yang kalau di Indonesia mungkin sudah diperebutkan sebagian partai politik untuk menggaet suara pemilih (vote getter).

Almarhum ayah Fatima berusaha lari dari kekejaman rezim Taliban di Afghanistan. Dengan perahu, berbulan-bulan ia berjuang menjadi pengungsi. Australia jadi sasarannya.

Sesudah perjalanan berat di laut berbulan-bulan, sang ayah berhasil mendarat di Australia Barat. Sesudah lepas dari detention centre, sang ayah bekerja keras sebagai apa saja di Negeri Kanguru itu, kadang beberapa pekerjaan sekaligus: satpam, kitchen hand, sopir taksi, dan lainnya.

Sang ayah kemudian menabung demi mencukupi biaya untuk mensponsori ibu Fatima dan anak-anak mereka hijrah ke Western Australia. Saat itu, 1999, umur Fatima baru 8 tahun. Ayah Fatima meninggal pada 2018 (menurut Wikipedia karena sang ayah menderita Leukemia).

Ibu Fatima sendiri juga pekerja keras. Di antaranya sang ibu mengajar orang menyetir mobil di driving school.

Kini Fatima menjadi anggota parlemen dari partai buruh (Labour) Australia yang paling muda. Umurnya baru 27 tahun. Di samping mengantongi gelar sarjana (BA) dalam antropologi dan sosiologi, Fatima juga meraih gelar graduate diploma ilmu farmasi, dan kini ia sedang melanjutkan studi di program S2 dalam kebijakan publik (public policy).

Baca ulasannya di Kompas.com: klik di sini.



Fatima (atas dan bawah) di Blue Mountain National Park, dan di Parlemen pada 13 Maret 2023 silam (sumber: Instagram Fatimapayman)

Di bawah ini beberapa video tentang pemudi yg smart dan menjadi kebanggaan Muslimin di Perth (Western Australia) itu.

Pidato pertama Fatima di Parlemen Australia (durasi 26 menitan) — klik di sini.

Video lain-lain:

https://youtu.be/EnmDRYhujh0

https://youtu.be/faJpp7b4w6c

https://youtu.be/vuRlxFH-OPY

Will Jakarta Still Congested if Not Capital City?

The congested Capital.

It is difficult to imagine Jakarta without the “capital city” title. But that’s what the Acting Governor of Jakarta, Heru Budi Hartono, reminded recently.

The discourse on moving the national capital (IKN) to East Kalimantan has been echoed for a long time. The government targets the transfer to occur in the first half of 2024. The building of this upcoming capital, which is relatively close to Sabah and Sarawak, may also attract Malaysian investors.

Yet, what will be the fate of Jakarta after the transfer? Former Jakarta Governor, Anies Baswedan, said that capital relocation would not impact Jakarta, including congestion.

Jakarta is the most populous province with a population of more than 10 million people. According to Anies, the shift of the central government’s state civil apparatus to East Kalimantan will only reduce Jakarta’s congestion by less than 7 percent. This is because most road activities are filled by citizens for household and business needs, including the high mobility of Bogor, Depok, Tangerang, and Bekasi (Bodetabek) citizens who commute to Jakarta daily to work.

Heru, in his article entitled “Jakarta Kini dan Nanti” (Jakarta Now and Later) published recently in Kompas Daily, noted that around 20 million residents from buffer zones work in Jakarta. From this, it is clear that traffic jams will still haunt Jakarta, even without its “capital city” status. Meanwhile, office and trading activities must be continued to maintain the stability of the country’s economy.

Jakarta contributes 17 percent to the national Gross Domestic Product (GDP). Even prior to COVID-19 pandemic, Jakarta contributed 5-6 percent to national economic growth and 60-70 percent of national tax revenue, showing its important role to the country’s economy.

The head of the Presidential Secretariat acknowledged that Jakarta will always be a business center and a global city. He suggested in developing Jakarta as a resilient, transit-based, and digital economic axis after the shift of the capital city.

Unravelling Jakarta’s traffic gradually

Since his first day as an Acting Governor on 17 October 2022, Heru focused on the issues of traffic jams, flooding, and spatial planning in Jakarta – the three priorities that President Joko Widodo mandated to him. In a rally with Jakarta Regional Leadership Coordination Forum (Forkopimda) at the National Monument on October 24, Heru conveyed the importance of creating an orderly and safe traffic conditions as a priority. Jakarta needs to have an integrated transportation infrastructure.

Now, a program named Jaklingko has been implemented prior to his office. With this, citizens can enjoy an integrated service of Transjakarta Bus, MRT and LRT trains with a maximum fee of IDR10 thousand. Another step to be done is to invite PT Kereta Commuter Indonesia (KCI) as Jabodetabek’s electric train (KRL) operator to be part of the integration. One of the plans is to acquire KCI’s shares by PT MRT Jakarta.

The 2023’s Jakarta Regional Budget has allocated IDR 100 billion to launch the acquisition. The budget is provided in the form of regional equity participation, or a capital injection to PT MRT Jakarta.

Other than that, minimizing U-Turns and implementing one-way roads at certain hours are also considered. However, there is no recent development regarding the plan, though it may not sound as effective.

The problem is the volume of vehicles crossing Jakarta’s streets continues to grow. The Central Statistics Agency (BPS) noted that the number of motorized vehicles in Jakarta continued to increase within 2017-2021. In 2017, the number of motorized vehicles reached 17.6 million units, and jumped to 21.8 million units in 2021.

Minimizing private vehicle on the streets would make a perfect sense to control the traffic. However, the development of mass transportation should be elevated.

Public transport as one of sustainable city transportations.

Several public transportation development projects are ongoing in the city, including the construction of the MRT train line up to ‘Phase 4’, Jakarta’s LRT ‘Phase 1B’ (Velodrome-Manggarai), and ‘Phase 2’ subway infrastructure for HI-Ancol route. The government also signed cooperation agreements with Japan and the UK for the construction of the first ‘Phase 3’ MRT, which stretches from Ujung Menteng to Kalideres. South Korea is also interested in funding the construction of ‘Phase 4’ MRT (Fatmawati-Taman Mini Indonesia Indah). The signing took place at the G20 Summit in Bali on 14 November 2022.

For Jakarta’s LRT ‘Phase 1B’, the construction will begin next year by PT Jakarta Propertindo (Jakpro), where the company will receive a capital injection of IDR 916 billion for the initial construction. Meanwhile, Jakarta Transportation Agency is responsible for procuring land for the railway line, which costs IDR 20 billion. This is regulated in the Government Regulation Number 13 of 2017, concerning National Spatial Plans, covering Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak, and Cianjur (Jabodetabekpunjur) as a national strategic area.

For this reason, Heru highlights the importance of developing logistics integration transportation services at ports and airports, as well as public transportation integration to facilitate the mobility of citizens, both for work and trade.

Bicycles, an alternative to sustainable city transportation

Other than an integrated public transportation service that was projected to minimize private vehicles while contributing to better air quality, more efforts are needed to solve the congestion issue in the city. One of them was the construction of bicycle lanes for better integration.

During Anies Baswedan’s leadership, bicycle paths were built adjacent to train stations and bus stops, including providing bicycle spaces inside MRT and Transjakarta bus stations. This encouraged residents to use bicycle to reach the nearest public transportation points and conveniently reach their final destinations.

In other words, bicycles should be included in an integrated mass transportation network. It is hoped that the Jakarta government targets to build 195.6 kilometers of bike paths this year.

Keeping in mind on the goal of making Jakarta a business center and a resilient global city, more than the acceleration of public transportation system, building a green-city is also hoped. One way is to make Jakarta ‘cyclist and pedestrian friendly’ as the future of the city. Overall, it takes an integrated effort to make Jakarta a safe and convenient space for citizens.

List of Publications

Please find many articles in English and Indonesian languages published in the following media:

English Publications:

Article about Kampung Akuarium in the New Straits Times, 18 September 2021.

My article in The Jakarta Post, 23 June 2021

In Indonesian Language:

Health Related Issues:

Hundreds of articles in Tempo. Few examples only (all in Indonesian language):

On Communication, Corruption and Ethics:

My book on Anies Baswedan: on youth, dreams and Indonesia (2016).

Books:

  • Writer, ‘Anies, on Youth, Dreams and Indonesia’ (book in Indonesian language about ex Minister of Education (now the Jakarta Governor), Anies Baswedan PhD); (Originally titled “ANIES: Tentang Anak Muda, Impian, dan Indonesia.”); Bandung, Indonesia: Penerbit Noura, 2016;
  • Writer, ‘Beyond Dreams, Anies Baswedan at Twitterland’ (book in Indonesian about inspirational tweets of one of Indonesia’s president candidates (now the Jakarta Governor) Anies Baswedan PhD. (Originally titled: ‘Melampaui Mimpi Anies Baswedan @Twitterland’’); Bandung, Indonesia: Mizan, 2014.
  • Editor, Views of Indonesian Muslim Intellectuals on Tolerance Principles (book in Indonesian language: “Menuju Persatuan Umat, Pandangan Intelektual Muslim Indonesia,”) Bandung, Mizan Publisher, New Edition (2012); available at: http://www.slideshare.net/Syafiqb/menuju-persatuan-umat-ebook?related=1

Anies Baswedan & Presidential Election.

All’s fair in Indonesian presidential race.

Anies with Christmas Carrol participants, Jakarta, December 2019. (Anies disambut umat Kristiani).

Benarkah, Anies harus lebih ke “tengah”? Ada sinyalemen bahwa, jika ingin meningkatkan elektabilitasnya dalam pemilihan presiden tahun 2024 mendatang, maka Anies Baswedan harus “bergeser” ke tengah. Sebagai disiratkan Direktur Eksekutif Parameter Politik Indonesia Adi Prayitno, Anies (yang pernah dituduh membiarkan dirinya dipakai oleh kelompok Islam tertentu untuk meraih kemenangannya dalam Pilkad DKI 2017 silam) agar bergeser lebih ke “tengah.” Tetapi banyak bukti menunjukkan bahwa sebenarnya Anies selalu berada di tengah: berbagai kegiatannya selama memimpin Jakarta memperlihatkan hal itu. Tulisan di The New Straits Times 4 September ini menjelaskannya.

The article has been published in The New Straits Times, Malaysia, 4 September 2022 under the title, “All’s fair in Indonesian presidential race. (click here).

Adi Prayitno, a political analyst and the Executive Director of Parameter Politik Indonesia, gave an interesting argument about the electability of Jakarta Governor Anies Baswedan for the 2024 presidential election.

He argued that Anies needs to shift more to the “middle” to improve his electability, seen fair and affective in the eyes of the citizens, as found in the Parameter’s surveys.

Over the years, Baswedan has been accused for using religious sentiments to win the 2017 Jakarta gubernatorial election, beating incumbent Basuki “Ahok” Tjahaja Purnama, who then was jailed for blasphemy.

He was also labelled as an “inflexible leader”, leaning to certain Islamic groups to hold his electability. Yet, no compelling proof have been found on that innuendo. Instead, after five years in office, Anies exhibited tolerance by supporting diverse religious events in Jakarta.

It should be noted that recently Anies invited Ahok to his daughter’s wedding, where Ahok sent a congratulatory wreath at the reception in Ancol on July 29.

Political polls show that Anies ranks highest among the top three potential candidates for the 2024 presidential election. Two others are two-time candidate and Gerindra party chairman (and Defense Minister) Prabowo Subianto, and Central Java Governor Ganjar Pranowo, from the ruling Indonesian Democratic Party of Struggle (PDI-P).

Taking 1,200 respondents from 34 of Indonesia’s provinces, the Parameter survey found that 52.7 per cent picked a leader based on emotional or psychological connections, more than rational (30.1 per cent) or sociological (2.2 per cent). With the six simulations done, Ganjar, Prabowo, and Anies consistently topped the electability factor.

Based on the survey, Ganjar was presumed to be elected due to his performance as governor in Central Java (26.2 per cent), down-to-earth behaviour (24.4 per cent), and kindness (14.0 per cent). Prabowo was picked for his bravery and firmness (39.1 per cent); and Anies was picked based on his current leadership performance (42.9 per cent) and diligence (10.1 per cent).

Anies always strived to stay in the “middle” through his fairness and tolerance. He supported not only Islamic organisations, but also other religions’ activities through facilitations and funds.

To promote unity, Anies provided operational assistance funds for the houses of worship (known as BOTI), allocated in the city government grant budget. In 2022, Jakarta’s Regional Budget, 352 billion rupiahs were allocated for places of worship and religious institutions in the capital, showing an improved effort from the budgeted 140 billion rupiahs in 2021.

Anies’s government had collaborated with communities and citizens to hold Christmas celebrations in public spaces in 2019, and online in 2020 due to the pandemic. In 2021, the carols took place across the capital streets, involving 30 small and medium enterprises, as well as 30 performers from communities and residents.

Last year’s Christmas in Jakarta series took place from Dec 15, 2021, to Jan 1, 2022, in 15 locations, including Kota Tua, Hotel Indonesia’s Roundabout, Kendal Tunnel, Blok M MRT Station, and Semanggi’s interchange.

“I’ve been in Jakarta since childhood, but this is the first time I celebrate Christmas on the streets. Usually it’s only in our churches, at home or in hotels,” said one of the attendees in Kendal Tunnel, Menteng, Jakarta, on Dec 25, 2021.

In November 2019, Anies facilitated the first Deepavali Festival in Ancol, North Jakarta. In 2021, he even urged the capital’s enterprises to give Hindu workers a holiday to allow them to celebrate wholeheartedly.

Since his time in office, inter-community tolerance in the capital is strong. Credit to Anies for bringing a sense of equality and justice to all Jakarta citizens from all religious denominations.

Nevertheless, in a democratic contestation, choosing a leader invariably involves supporters, lovers, detractors, opponents, and haters.

Supporters and detractors are rational voters who base their decision on the measurable achievements of the candidate, whereas, lovers and haters measure through their limited perceptions and experiences, applying emotions as the foundation for their decision.

“This is one of the weaknesses in democracy and the cause for polarisation that cracks the nation’s unity,” said political analyst, Abdillah Toha in Kompas.com on August 1.

Anies has always been judged well by his proponents, yet his opponents tend to blame him for every fault that happens in the capital, like the accusation of relying on Islamic hardliners like Rizieq Shihab’s FPI, for his benefit.

Recalling the 2017’s Jakarta gubernatorial election between Ahok-Djarot Saiful Hidayat and Anies-Sandiaga Uno, Anies secured passage to the second run-off, having secured approximately 40 per cent of the vote on Feb 15, 2017, behind Ahok with 44 per cent, and well ahead of Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) with 16 per cent.

On April 19, 2017, Anies and Sandiaga won the run-off election, with approximately 58 per cent of the votes. Anies was sworn in as governor on Oct 16, 2017, replacing interim governor, Djarot Saiful Hidayat. It was found that Anies and Sandiaga won the second round due to the additional support from AHY’s supporters.

According to Abdillah, this showed that the hardliners’ support was not enough to lead Baswedan to win in the first round. Moreover, the hardliners were also not able to lead Prabowo to win during the 2019 presidential election, proving the limited power they carry in these contestations.

Therefore, Abdillah disagreed with the accusation that Anies is an opportunist and orchestrating support from Muslim hardliners.

“I rather believe that the support from the hardliners is from their own will, and not Anies’ effort to prohibit Ahok in becoming the governor. Had the hardliners supported Ahok and Djarot last 2017, would they reject it?”

Commenting further, Giora Eliraz from University of Washington was quoted as saying:

“Politicians, including in evolved, matured democracies, use political freedom to play on sensitive racial and religious sentiments for electoral interests. In this way, candidates worldwide inflame intolerance, xenophobia, and discrimination, particularly during election campaigns,” stated Eliraz.

Time for Our Youth to Increase Cyber Awareness

Happy #InternationalYouthDay, August 12, 2022.

While you read this, according to UNDP recent stories about 1.8 billion young people, the largest generation of youth in history, are transitioning to adulthood. That is one side. On the other hand, they are challenged by social media misused, particularly cyberbullying.

Cyberbullying: Be aware and avoid it. Source: Kompas.com

Indonesia, with about 70 % population in their productive age is also facing many challenges faced by its youths. One of the challenges is the cyberbullying. As cited by the Jakarta Post last August 10, one of the recent victims of cyberbullying acts was an 11-year-old student living in Tasikmalaya, West Java, Indonesia. This poor young student was coerced by his schoolmates into engaging in bestiality with a cat. And many of us shocked — of course.

Here is part of the story written by The Jakarta Post:

Shocking details aside, the death of a bullied student in Tasikmalaya last July goes to show how widespread cyberbullying remains here. When the news about a boy who died after having intercourse with a cat surfaced online, Indonesians were left in shock. But the tragedy turned even more disturbing when it was found that he was bullied by his classmates into doing the act. The incident happened in stages: The boy — an 11-year-old student living in Tasikmalaya, West Java — was coerced by his schoolmates into engaging in bestiality with a cat. They recorded the act and uploaded the video online. When the clip went viral, the boy spiraled into a deep depression and his health rapidly declined in a matter of days. Despite the hospital’s help with a suspected typhoid fever from his depressive episode, he passed away on July 18.

What happened to the cyberbullying victims? Source: Into The Light.

According to media, in their investigation local police has questioned 15 people on the incident. The victim act apparently was taped and his friends spread the video into social media, which in turn embarrassed the young boy and made him traumatized.

He fell into psychological stress, did not want to eat nor drink, and brought into other depression syndromes. He was hospitalized and died in the hospital.

Read this: How to Stop Cyberbullying.

Expert thinks that the bullying has, as usual, happened many times and tainted by pornographic video content through social media. According to Indonesian National Commission for Children (KPAI) there are about 226 cases of physical and psychological harassments, including bullying in 2022 (see Kompas.com , July 24, 2022).

Last year (2021) UNICEF Indonesia reported that, in Indonesia, bullying is among the key issues that negatively impact the well-being of children. According to recent data:

  • 2 out of 3 girls and boys aged 13-17 have experienced at least one type of violence in their lives. 
  • 41 per cent of students aged 15 have experienced bullying more than a few times a month.
  • 45 per cent of 2,777 young people aged 14-24 surveyed through UNICEF’s youth engagement platform U-Report said that they have experienced cyberbullying.
Protect your child. Source: Very Well Family.

As stated by UNDP, youth are the most connected population on earth. Around 71 percent of the world’s young people use the Internet compared with 57 percent of other age groups. Especially on social media platforms, they have carved out a space for themselves to freely raise their voices to fight injustice and inequality. On that note, and in relation with the above incident, we must pay add the following:

It is now the time for Indonesian youth to increase their awareness and understanding on cyber literacy and be more mindful in using social media, particularly avoiding all illicit (or dirty) content.

For our Youth: Happy #InternationalYouthDay

Jakarta governor among three frontrunners for President

MANY opinion polls and analysis had shown that Jakarta Governor, Anies Baswedan is among the most popular candidates for the 2024 presidential election.

This article was published in The New Straits Times, Malaysia, 19 July 2022. (click here).

Opinion polls consistently ranked Anies among the top three potential candidates. Two others are two-time presidential candidate, Gerindra party chairman (and Defence Minister) Prabowo Subianto, and Central Java Governor, Ganjar Pranowo from the ruling Indonesian Democratic Party of Struggle (PDI-P).

While none of the three have confirmed their 2024 bid to date, a political poll conducted from June 16-21, 2022, by Polmatrix Indonesia showed Anies is now ahead of Subianto and Pranowo. According to the Polmatrix survey, 2,000 respondents representing 34 provinces placed Anies in the first place with a score of 20.8 per cent, Prabowo in second place (19.3 per cent), and Pranowo as third at 18.8 per cent. Polmatrix Executive Director, Dendik Rulianto, said public support for Anies in the presidential candidacy has increased this year.

Another recent survey conducted on June 15-19, 2022, by Parameter Politik Indonesia revealed that in six simulations, Pranowo, Prabowo and Anies consistently topped the list. This survey took 1,200 samples from 34 Indonesia provinces.

Factors in favour of Pranowo include his performance in Central Java province (26.2 per cent), down-to-earth character (24.4 per cent), and a kind person (14.0 per cent), said the survey. Prabowo was chosen because of his military character of being courageous and firm (39.1 per cent) while voters picked Anies due to his good performance and leadership (42.9 per cent) and smartness (10.1 per cent),” said Executive Director of Parameter, Adi Prayitno on July 12, quoted by tempo.co portal.

It seemed people would choose a president due to emotional or psychological reason (52.7 per cent) rather than rational (30.1 per cent) or sociological reasons (2.2 per cent).

Interestingly, the Parameter simulation showed that Anies was said to have a chance of winning if he is paired with Democrat Party chief, Agus Harimurti Yudhoyono (30.5 per cent).Pranowo has the biggest electability (37.2 per cent) if he is joined by West Java Governor, Ridwan Kamil while Prabowo would gain a high number of votes if he partnered with Golkar Party leader, Airlangga Hartarto (27.1 per cent).

As Anies is still unaffiliated to any political party, it is unclear whether he can garner enough support to secure a nomination, though several parties seemed to have approached him including PKS (Prosperous Justice Party), and the National Democrat (NasDem), nominating him as one of three presidential candidates.

On June 17, NasDem, the nation’s fourth-largest party and a member of the ruling coalition supporting Jokowi, officially announced that it would nominate either Anies, Ganjar or the Indonesian Military (TNI) commander Gen. Andika Perkasa — none of whom are the party flag bearers — as its presidential candidates.

Anies Baswedan with Surya Paloh at Nasdem’s head quarter at Gondangdia, Menteng, Jakarta, 24 July 2022. (Source: nasdem.id).

NasDem Party chairman and media mogul, Surya Paloh will decide which of the three would represent NasDem in the 2024 presidential election.

While believing that Anies will become more popular, an analyst quoted by Jakarta Post also said: “…as regards a presidential run in 2024, it is about whether he can find a political party to back him.”

Since he is not a party figure, many political parties would possibly prioritize their cadres to be candidates. PDI-P most probably will enthrone House of Representative (DPR) speaker, Puan Maharani, the daughter of party matriarch, Megawati Soekarnoputri, the PDI-P chairwoman.

With its 22 per cent seats in the DPR, the ruling PDI-P is the only party, from nine parties in DPR, able to nominate a candidate without needing a coalition. The remaining eight parties must seek to confederate with one or two other parties and find a common ground to appoint a candidate due to the existing presidential threshold.

A party or a coalition of parties must have at least 20 per cent seats in the 575-member DPR. Some pundits argue that the 20 per cent presidential threshold was too high. “The number shouldn’t be that high, 10 per cent is ideal. More candidates to run, people will have more figures to elect,” said analyst from Airlangga University, Surabaya, Ali Sahab.

Pro-Anies alliance NasDem support for the Jakarta governor, if approved by Surya, could be a breakthrough.

The Jakarta governor lacks the political support to join the 2024 race as the Democrat Party (with 9 per cent seats) and PKS (9 per cent seats) do not have enough seats to nominate a candidate.

NasDem’s support for Ganjar would also be of benefit to the Central Java governor, given that there is no indication yet that his party, the PDI-P, will field him in the upcoming election. Ganjar is not seen as part of the party establishment and is competing with Puan Maharani for the presidential nomination.

Since NasDem controls only 10 per cent of seats in DPR, the party must align with other parties to nominate a candidate to meet the 20 per cent requirement.

###