Bahagiakan Followers – Resep Dokter di Instagram

Tulisan ini berasal dari berita yang ditayangkan Kompas.com, 21 Agustus 2023 silam, terkait dengan disertasi saya.

Penelitian: 84 Persen Followers Berniat Hidup Lebih Sehat karena Konten Positif Dokter

KOMPAS.com – Saat ini terdapat tidak kurang dari empat miliar pengguna media sosial di dunia, termasuk 105 juta pengguna Instagram di Indonesia. Melawan misinformasi atau hoaks tidak hanya menjadi tugas pemerintah, namun juga merupakan tugas bersama antara pemerintah, pemangku kepentingan hingga para profesional yang kredibel di bidangnya. Salah satu misinformasi yang cukup banyak terjadi selama masa pandemi Covid-19 ialah soal kesehatan.

Belajar dari masa pandemi, dokter Syafiq Basri Assegaff dalam promosi doktor ilmu komunikasi di Sekolah Pascasarjana Universitas Sahid, Rabu (16/8/2023) mengatakan, sudah saatnya para profesional seperti dokter memaksimalkan media sosial miliknya sebagai saluran edukasi hingga meluruskan atau membentuk opini positif.

Saat menerima pengukuhan dalam sidang promosi doktor, 16 Agustus 2023.

Dalam penelitian yang dilakukannya, Syafiq mendapati bahwa sebanyak 84 persen followers menaati pesan dokter di media sosial apabila kontennya menyenangkan. “Emosi positif seperti rasa senang atau gembira yang muncul dalam diri followers menyebabkan mereka mau memberi komentar dan lambang hati (likes), yang merupakan tanda adanya engagement antara kedua belah pihak,” kata Syafiq dalam keterangan resmi yang diterima Kompas.com.

Selama penelitian, ia menggunakan 673 konten dari tiga orang dokter yang menjadi influencer di Instagram selama 10 bulan, mulai Maret hingga Desember 2020 saat periode ketika pandemi Covid-19 sedang memuncak. Hasilnya, 487 dari 581 followers yang mengikuti survei (atau 84 persen) berniat untuk mengubah sikap untuk hidup lebih sehat, apabila pesan yang disampaikan para dokter itu membuat mereka merasa gembira.

Melalui metode campuran (mixed-methods) dalam disertasi yang berjudul Kompetensi ‘Emotional Appeals’ Dokter sebagai Influencer Instagram pada masa Pandemi Covid-19, Syafiq menggabungkan antara survei terhadap 581 followers Instagram dengan analisis konten dan wawancara terhadap tiga dokter influencer. Ketiga dokter yang menjadi narasumber itu adalah ahli penyakit dalam dr. Adaninggar Primadia Nariswari SpPD (@dr.ningz), Surabaya, ahli kedokteran olahraga dr. Andhika Raspati (@dhika.dr) Jakarta, dan bintang televisi dr. Lula Kamal (@lulakamaldr).

Saya memfollow ketiganya melalui akun Instagaram saya ini: @syafiqabasri yang kini sudah mengantongi 1300-an followers.

Hasil wawancara menunjukkan bahwa ketiga dokter menerapkan strategi persuasi yang efektif. Hasil survei meneguhkan hal itu, di mana posting (konten) ketiga dokter di Instagram berhasil memantik emosi positif pada 92 persen followers yang mengisi survei. Penelitian juga membuktikan bahwa keterkaitan atau interaksi  atau engagement paling tinggi terjadi pada konten berupa video. Hasil survei juga menunjukkan bahwa setidaknya sejumlah 35 persen followers menyatakan akan melakukan resharing unggahan ketiga dokter pemilik akun.

Undangan sidang terbuka (promosi)

“Oleh karena itu, para tenaga kesehatan dan influencer pada umumnya perlu meningkatkan kecakapannya dalam berkomunikasi di media sosial dengan cara menerapkan strategi persuasi yang baik,” ujar Syafiq. “Terutama karena di media sosial terjadi rebutan pengaruh antara penyedia informasi yang benar dan kredibel dengan para penyebar hoaks dan misinformasi yang menolak realitas adanya wabah,” imbuhnya. Harapannya, dengan adanya sinergitas yang baik antara para komunikator, maka hoaks yang muncul di masyarakat tidak hanya diminimalisir produksinya, tetapi juga diredam dengan cara-cara persuasif yang efektif.

Dokter harus dapat memantik emosi positif

Studi itu menyarankan agar partisipasi di media sosial secara aktif dapat terus dilakukan pasca pandemi, guna mempromosikan kesadaran sehat masyarakat. Dari sisi ilmu saraf (neuroscience), menurut Syafiq, interaksi (engagement) dalam wujud respon dari audience menimbulkan perasaan positif dalam diri komunikator (dokter) juga, yakni timbulnya perasaan gembira atau senang dalam diri komunikator karena adanya penghargaan meskipun mereka tidak menerima upah dari hasil aktivitasnya di Instagram. “Perasaan senang itu dapat dijelaskan melalui neuroscience yakni munculnya hormon dopamine dalam tubuh komunikator,” kata Syafiq.

Di media sosial, lanjut dia, para dokter juga memerlukan kompetensi komunikasi yang diwujudkan melalui pengiriman pesan yang persuasif berdasarkan strategi ethos, logos dan pathos yang menjadi strategi retorika gagasan filsuf Yunani Aristoteles. Ethos dibangun oleh adanya kredibilitas yang telah dimiliki para dokter, adanya niat baik (goodwill) dan kepercayaan (trust) yang ada dan harus dipertahankan. Logos diwujudkan oleh adanya argumen yang dimengerti audience dan masuk akal. Namun, yang paling penting adalah bahwa, keduanya, ethos dan logos, harus disertai dengan pemunculan pathos, yakni emotional appeal.

“Di sini, setiap komunikator termasuk dokter harus dapat memantik emosi positif dalam diri followers mereka di media sosial supaya dapat memunculkan interaksi (engagement) dengan para pengikut itu,” tambah Syafiq. Ketiga strategi itu penting agar pesan para dokter yang menjadi influencer di media digital itu efektif dalam mengubah sikap dan perilaku followers (audience). Persuasi sendiri didasarkan pada retorika, yang jelas-jelas berbicara mengenai kompetensi. Untuk melihat kualitas kompetensi seseorang seperti para dokter dalam penelitian ini, maka harus dilihat persuasinya berdasarkan tiga sekawan, ethos, logos dan pathos. Kesimpulannya, terang Syafiq, dokter harus pandai menciptakan suasana yang relaks, penuh humor, dan berinteraksi secara baik, terbuka dan responsif, agar pasien di ruang praktik, maupun pengikut di media sosial, juga bersikap terbuka, sehingga lebih mudah didiagnosis dan menerima saran kesehatan.

The Importance of Appealing Followers’ Emotions

For more information, please read the following article translated from news published in Kompas.com – 21/08/2023 (See below).

Study: Positive Content from Doctors Inspires 84% of Followers to Embrace Healthier Lifestyles. >> Therefore: A vital key to social media success is stirring your followers’ emotions.

At present, there are over four billion social media users globally, with 105 million of them using Instagram in Indonesia alone. Addressing misinformation or hoaxes is not solely the government’s responsibility but a collective effort involving the government, stakeholders, and reputable professionals in various fields. One prominent area where misinformation has been widespread, particularly during the COVID-19 pandemic, is in the realm of health.

Foto dari Kompas.com, terkait berita tersebut di tautan ini.

In light of the lessons learned from the pandemic, Dr. Syafiq Basri Assegaff, in his doctoral research in communication sciences at Sahid University Postgraduate School on August 16, 2023, emphasizes the importance of professionals, such as doctors, harnessing the potential of social media as an educational platform to promote informed and positive opinions.

Syafiq’s research findings indicate that a significant 84 percent of followers were more inclined to heed doctors’ messages on social media when the content was engaging and enjoyable. Positive emotions, like joy or happiness expressed by followers, encouraged them to engage further by leaving comments and ‘liking’ posts, demonstrating an active interaction between both parties.

During his research, Syafiq analyzed 673 pieces of content posted by three doctors who served as influencers on Instagram over ten months, spanning from March to December 2020, a period when the COVID-19 pandemic was at its peak. The results revealed that 84 percent of the 581 surveyed followers intended to improve their lifestyles and health choices if the doctors’ messages evoked happiness.

Syafiq adopted mixed methods in his dissertation titled ‘Emotional Appeals: Doctors’ Competence as Instagram Influencers during the COVID-19 Pandemic.’ This approach combined a survey of 581 Instagram followers, content analysis, and interviews with three influential doctors. These doctors, experts in internal medicine, sports medicine, and renowned television personality dr. Lula Kamal, proved highly effective in employing persuasive strategies. Survey results confirmed the positive emotional responses from 92 percent of followers who participated. Moreover, video content garnered the highest level of engagement.

Syafiq underscores the importance of health professionals and influencers improving their communication skills on social media by employing effective persuasion strategies, especially considering the ongoing battle between disseminating credible information and spreading hoaxes and misinformation.

The research suggests that active involvement on social media should continue post-pandemic to promote public health awareness. According to Syafiq, from a neuroscience perspective, engagement and responses from the audience also create positive feelings in the communicator, attributed to the release of dopamine, a happiness-inducing hormone.

‘Happy hormone’ dopamine plays role in identifying emotions (source: University of Birmingham).

On social media, doctors should exhibit communication competence by crafting persuasive messages based on Aristotle’s rhetorical strategies of ethos, logos, and pathos. Ethos relies on a doctor’s credibility, goodwill, and trust, while logos requires delivering understandable and rational arguments. Nevertheless, the key lies in incorporating pathos, emotional appeal, to evoke positive emotions in followers.

Mewaspadai Long Covid

Dua tahun pandemi ini dikuatirkan memunculkan ancaman adanya krisis yang tersamar: long covid. Dinamai juga dengan “sindroma pasca covid,” krisis ini bahkan juga mengancam banyak negara maju yang laju vaksinasinya cukup kencang seperti AS dan Inggris.

Syafiq Basri Assegaff. *)

Ancaman bisa makin parah, akibat munculnya galur baru Omicron dan, ini yang paling anyar: adanya sebuah varian baru yang sementara ini dinamai varian IHU (dari nama lembaga penelitinya, Instituts hospitalo-universitaires) di Kota Marseille, Perancis. Galur baru yang diberi kode B.1.640.2 ini mengandung 46 mutasi — lebih banyak ketimbang mutasi pada galur Omicron – dan dikuatirkan lebih menular dan lebih kebal terhadap vaksin.

Tulisan ini dimuat pada harian Kompas, 12 Januari 2022, halaman 6 (klik di sini).

Adapun long covid merupakan kumpulan sejumlah gejala (sindroma) di bagian tubuh tertentu sedikitnya selama tiga bulan setelah serangan singkat Covid. Tiga hal paling sering muncul: kesulitan bernafas, fatigue (merasa sangat lelah) dan kabut otak, alias brain fog. Tiga dari setiap lima (60%) pasien long covid di Inggris menyatakan ‘agak sulit’ melakukan aktivitas sehari-hari, dan satu dari lima (20 %) mengatakan ‘sangat sulit’ beraktivitas bahkan untuk mengerjakan tugas paruh waktu di belakang meja sekalipun.

Memang sejak awal pandemi, banyak laporan menunjukkan adanya gejala yang dialami pasien terkait dengan gangguan jaringan (sistem) syaraf dan otak. Gejala-gejala neurologis ini tampak pada saat maupun setelah infeksi. Selain fatigue dan brain fog, gangguan bisa bervariasi hingga kejang-kejang dan stroke. Pada banyak kejadian, masih tersimpan segudang misteri.

Brain fog sendiri, menurut situs kesehatan Harvard 8 Maret 2021, bukan sebuah istilah medis, melainkan digunakan orang untuk menjelaskan kondisi dirinya yang mengalami gangguan dalam berfikir, saat otak lemah dan tumpul. Ringkasnya, semacam kondisi sulit berkonsentrasi. Pada masa ‘normal’ sebelum ada Covid-19, keadaan itu bisa terjadi beberapa jam, misalnya, akibat terbang jauh (jet-lagged), akibat flu, atau efek samping setelah mengkonsumsi obat tertentu. Namun pada penderita long-covid, dikuatirkan brain fog itu bertahan lama.

Sebuah penelitian oleh Jan Wenzel dan tim dari University of Lübeck, Jerman, yang dimuat jurnal Nature Neuroscience 21 Oktober 2021 dan dikutip Forbes 8 Desember 2021 lalu di antaranya menjelaskan bahwa, di antara pasien Covid-19 menunjukkan adanya kerusakan struktural pada pembuluh darah kecil (atau kapiler) yang mensuplai darah ke otak. Kemungkinan yang terjadi adalah karena sel-sel endothelium pada dinding kapiler darah itu dibunuh oleh ‘protease’ yang dihasilkan sang virus SARS-CoV-2. Protease ini sejenis enzim yang mempercepat terpecahnya protein menjadi pecahan-pecahan asam amino – mirip dengan yang terjadi ketika ia memecah protein dalam saluran cerna.

Perlu sedikit penjelasan di sini. Yang perlu diketahui adalah bahwa seluruh pipa pembuluh darah kita, mulai yang besar hingga yang terkecil seperti kapiler itu, diselimuti beberapa lapisan ‘tembok’. Bayangkan lapisan dinding di rumah kita yang terdiri dari batu bata, semen, adukan pasir dan cat di kedua sisinya. Bedanya, bila tembok rumah itu ‘mati’, lapisan pipa pembuluh darah, sebagaimana semua jaringan tubuh kita, selalu ‘hidup’ dan terus berkembang secara bersinambung.

Nah, sebuah dinding tipis di paling dalam ‘tembok’ pembuluh dinamakan endothelium, yang merupakan lapisan yang langsung bersentuhan dengan sel-sel darah yang mengalir di dalam pipa itu. Lapisan ini menyaring semua yang dapat masuk dan keluar ke aliran darah. Sel-sel endothelium itu juga berperan penting pada pembentukan jejaring pembuluh, memberikan sinyal yang membantu pembentukan dinding-dinding pembuluh darah. Bila sel-sel endothelium itu mati, maka ia menyebabkan terjadinya string vessels, keadaan ketika bagian tertentu di kapiler itu vacuum (kosong), sehingga kapiler darah gagal berfungsi mengalirkan darah. Jika gangguan string vessels ini luas, akan terjadi kerusakan pada jaringan otak, brain pathology.

Long Covid di Indonesia. Sumber: abc.net.au

Lapisan endothelium yang rusak itu mungkin mirip dengan tersumbatnya infrakstruktur pipa yang menyalurkan air dari mesin pompa ke seluruh kran di rumah. Maka logis jika kerusakan struktural kapiler yang mensuplai darah ke otak menyebabkan gangguan fungsi otak. Menurut Jan Wenzel dan kawan-kawannya, meski infeksi langsung dalam otak masih diperdebatkan, pemeriksaan genome SARS-CoV-2 pada otak serta cairan dalam jaringan otak-dan-tulang belakang (cerebrospinal fluid) pada beberapa pasien menunjukkan bahwa sang virus mendapatkan akses ke dalam otak.

Memang ada pendapat bahwa tidak semua gejala serupa long-covid itu disebabkan oleh SARS-COV-2, penyebab Covid-19. Bahkan lama sebelum virus corona itu muncul, banyak orang sehat tertimpa gejala serupa. Sebabnya belum dapat dijelaskan secara medis. Di antara contoh klasik perkara misterius ini adalah chronic fatigue syndrome, yang tampaknya sering mengikuti infeksi virus atau pun bakteri secara umum. Saat itu, sebelum ada Covid-19, beberapa jenis migren kronis dan gejala lain sering juga menyerang banyak orang tanpa sebab yang jelas. Walakin data yang ada belakangan, bagaimana pun, menunjukkan bahwa dampak long-covid kini mendominasi berbagai latar belakang gejala-gejala yang terjadi.

Biaya mengobati kondisi itu luar biasa besar. Sejauh ini belum ada obat pilihan bagi long covid. Apa yang diketahui ilmuwan sejauh ini adalah bahwa penyakit ini merupakan kombinasi infeksi virus yang persisten (yang mungkin suatu saat nanti bisa diobati), gangguan autoimmune kronis yang membutuhkan pengobatan kompleks dan mahal seperti rheumatoid arthritis (sejenis peradangan sendi) atau multiple sclerosis, dan kerusakan terus menerus pada sebagian organ yang diakibatkan infeksi Covid. Obat bagi dua kondisi yang pertama mungkin akhirnya akan ditemukan. AS sendiri sudah mendanai sekitar 1,15 milyar dolar untuk riset. Tetapi pada saat ini, para penderita masih perlu menunggu beberapa bulan untuk direhabilitasi agar bisa kembali normal.

Pada tahun 1890-an pandemi terbesar dalam sejarah dikenal dengan nama “Flu Russia”. Membunuh satu jutaan orang, nama itu sendiri kini dianggap keliru. Mungkin sekali itu bukan influensa, melainkan sejenis nenek moyang coronavirus. Ketika itu, sedikit sekali orang punya kekebalan menghadapinya, sehingga ia lethal (mematikan). Juga ada dugaan, pada saat pandemi menghilang, ia meninggalkan gelombang penyakit baru yang menyerang saraf. Siapa tahu itu semacam long covid sekarang. Gelombang penyakit yang sama menyerang pasca pandemi besar berikutnya, Spanish Flu, 1918. Nah, hal yang serupa kini terjadi dengan pandemi Covid-19. Gelombang yang kemudian dinamakan long covid ini bermunculan di negara-negara di mana kasus akut menurun. Definisi resmi soal itu memang masih ‘cair’, karena pengetahuan mengenainya sedang terus bergulir. 

Kita belum tahu bagaimana angka kejadian long covid di Indonesia. Tetapi di Inggris sudah tampak angka insidensi yang menakutkan: menurut The Economist 1 Mei 2021 lalu, setengah juta orang Inggris menderita long covid selama lebih dari enam bulan. Kans untuk recover total tampaknya kecil, padahal sebagian besar penderita berada pada masa produktif. Diperkirakan sekitar 15 % penduduk Inggris pernah terinfeksi oleh long covid ini. Jika angka yang sama diterapkan pada kasus covid19 di dunia, yang saat itu (Mei 2021) mencapai sekitar 1,2 milyar penduduk, maka diperkirakan lebih dari 80 juta orang telah mengalami long covid.

Namun syukurlah, kini muncul harapan baru. Pada akhir 2022 diharapkan akan terjadi perbaikan pada vaksin dan pengobatan bagi Covid-19 dan beberapa penyakit lain. Meski jutaan orang yang terinfeksi saat ada pandemi akan tetap sakit, dan harus berjuang dalam kesulitan akibat kombinasi sekitar 200 gejala yang termanifestasikan sebagai long covid, namun ada cahaya bagi banyak penderita long covid setelah pertengahan 2022.
Sumber gambar: The Conversation.

Ini karena banyak proyek penelitian long-covid yang dimulai sejak 2021 mulai menunjukkan hasil yang menggembirakan, sebagaimana ditunjukkan dari upaya yang dilakukan beberapa negara maju. Menurut koresponden kesehatan The Economist Slavea Chankova 8 November 2022 silam, lembaga Kesehatan Nasional AS (National Institutes of Health), misalnya, telah menggelontorkan dana lebih dari satu milyar dolar untuk menginvestigasi berbagai penyebab dan pengobatan penyakit ini, sementara Inggris tengah melakukan lebih dari 15 studi terhadap ribuan pasien long-covid.

Sedikitnya diharapkan akan muncul penemuan besar pada tiga bidang.

Pertama, adalah pemetaan biologis pada gejala-gejala paling membahayakan pada long-covid, seperti kesulitan bernafas dan brain fog. Beberapa studi misalnya, berusaha mengungkapkan perubahan apa yang terjadi pada isi (volume) otak dan strukturnya. Dengan mengetahui apakah gejala-gejala long-covid itu disebabkan oleh semacam kerusakan pada jaringan pembuluh darah, sistem syaraf atau jaringan (tissue) organ tubuh diharapkan dapat membantu ditemukannya berbagai pengobatan yang tepat.

Area penelitian kedua berfokus pada uji diagnostik dan pemindaian (scans) yang melacak dampak-dampak long covid pada sebagian organ di tubuh. Satu studi di Inggris, umpamanya, memasukkan xenon, sebuah gas tak beracun ke dalam tubuh pasien, yang kemudian dapat dilihat melalui scans pada saat zat itu berjalan di dalam tubuh, dan oleh karenanya dapat menunjukkan apakah kesulitan bernafas itu disebabkan oleh kerusakan pada paru-paru ataukah pada jaringan aliran darah (blood vessels). Studi yang lain mencari tahu apa yang terjadi pada cytokine dalam darah, molekul-molekul yang punya potensi menjadi penanda berlebihnya respon imunitas (hyperactive immune response), sesuatu yang selama ini dicurigai sebagai penyebab munculnya long covid. Banyak tes itu akan berguna untuk menelusuri bagaimana gejala-gejala long covid merespons berbagai pengobatan yang diberikan.

Wilayah ketiga adalah uji klinis secara besar-besaran guna menguji obat-obatan yang ada dan cara-cara rehabilitasi untuk mengobati gangguan kesehatan serupa yang disebabkan oleh penyakit jantung maupun penyakit paru-paru kronis. Di antara obat yang diselidiki termasuk beberapa jenis yang murah dan tersedia luas di dunia seperti aspirin dan antihistamine.

Banyak di antara penemuan yang akan terkuak dari itu semua juga akan bermanfaat bagi pemahaman dan pengobatan gangguan kesehatan lain yang memiliki gejala serupa atau tumpeng-tindih (overlapping), misalnya seperti penyakit lyme disease, chronic-fatigue syndrome dan komplikasi akibat flu (yang banyak di negara Barat). Bagi jutaan orang yang hidupnya telah dilemahkan oleh infeksi virus yang belum juga sirna, tampaknya 2022 menjadi sebuah tahun harapan.

Menghadapi itu semua, sistem kesehatan dan para pengusaha kita mesti menyiapkan bantuan bagi penderita long covid ini. Rehabilitasi yang tepat dapat mencegah runtuhnya kesehatan pribadi masyarakat dan keuangan. Pemilik perusahaan dapat ikut menampung pekerja dengan disabilitas, sementara pemerintah membantu dengan memberikan insentif. Selain itu, bekerja dari rumah dan jadwal bergilir yang fleksibel akan membantu penderita long covid untuk tetap aktif, setidaknya secara paruh waktu. Lalu, kiranya perlu ada “klinik khusus” bagi penderita ini guna mempercepat pemulihan, serupa dengan perombakan tata laksana di RS bagi penderita Covid saat kasus memuncak. Maksudnya agar tidak ada lagi pasien yang berkeliling dari satu spesialis ke spesialis lain demi menemukan diagnosa yang tepat. Kita mesti ingat dan terus berharap bahwa banyak dari penderita dapat pulih, meski setelah berbulan-bulan.

Sudah banyak kesalahan terjadi pada fase serangan akut Covid dulu. Kini tidak ada alasan untuk gagal lagi dalam merespons long covid. Dan tak ada lagi waktu untuk disia-siakan.

*) Dokter alumnus FK Unpad, Bandung; Pengajar di Institut Komunikasi & Bisnis LSPR, Jakarta.

Menghalau Badai Omicron

Pengalaman kita dua tahun mengelola pandemi memberi pelajaran untuk tetap optimis tanpa mengabaikan tanda-tanda bahaya yang ada. Penerapan protokol kesehatan tak boleh longgar.

Capek sudah dua tahun kita memerangi wabah Covid-19. Meski telah ditemukan kasus Omicron di Indonesia, kita tetap ingin agar badai segera berlalu. Mengutip Berlian Hutauruk, “enyahlah engkau awan hitam di hati yang gelisah semusim yang lalu; jangan lagi ada daun-daun berguguran”.

Cukup sudah 144.000-an orang, termasuk ratusan tenaga kesehatan, yang gugur akibat virus ini. Kini, generasi lebih muda pun, dalam rentang usia enam hingga 11 tahun, disertakan menabuh genderang perang mengganyang sang virus. Jumlah kelompok usia ini 26 juta lebih.

Tulisan ini aslinya dimuat pada harian Kompas, 23 Desember 2021, halaman 6 (klik di sini). Bagi pembaca yang memerlukan, sebagian rujukan artikel jurnal dapat dilihat tautannya pada URL yang ditambahkan dalam tulisan ini.

Kompas, 23 Desember 2021, halaman 6.

Memang sudah saatnya kita kian optimistis. Sejauh ini dosis suntikan pertama di Indonesia telah meraih angka 70 persen, sedangkan dosis kedua 50 persen, 10 persen di atas target WHO. “Ini melegakan,” kata seorang peneliti vaksin senior yang juga ahli anak.

Sedikitnya 13 vaksin Covid-19 di dunia telah disetujui untuk digunakan pada saat gawat (emergency use). Hingga pertengahan 2021 belum ada otorisasi untuk dipakai pada anak-anak, yang dianggap tak seberapa peka (less vulnerable) untuk dijangkiti penyakit ini. Kini situasinya berubah.

Sebenarnya sejak Maret 2021 pabrik obat AS Moderna sudah mengumumkan uji klinis pertamanya pada anak usia enam bulan hingga 12 tahun. Pfizer, juga dari AS, siap menguji suntikan itu pada anak di atas 12 tahun; AstraZeneca, perusahaan gabungan Inggris-Swedia, juga tengah menguji klinis pada anak 6-17 tahun.

Anak-anak yang terinfeksi tanpa gejala tetap dapat menularkan virus SARS-CoV-2, ‘preman’ super mungil penyebab Covid-19.

Mengapa uji klinis pada anak harus beda dengan yang untuk dewasa? Hingga pertengahan 2021 anak-anak memang belum jadi target utama para pengembang vaksin, sebab jarang dari mereka sakit. Namun, bukti- bukti menunjukkan, memvaksinasi mereka bisa melindungi seluruh penduduk. Anak-anak yang terinfeksi tanpa gejala tetap dapat menularkan virus SARS-CoV-2, ‘preman’ super mungil penyebab Covid-19.

Juga jarang ada kasus pada anak yang terinfeksi mengembangkan kondisi fatal dalam dirinya, yang disebut sindroma peradangan multisistem (multisystem inflammatory syndrome). Namun, banyak anak yang ternyata menunjukkan gejala-gejala persisten mirip dengan ‘long covid’ pada orang dewasa. Tidak jelas mengapa anak relatif kurang menderita akibat Covid-19 dibandingkan orang dewasa, tetapi beberapa penelitian menghubungkan hal itu dengan perubahan pada sistem imunitas tubuh ketika umur mereka makin bertambah.

Sistem imunitas itu muncul dalam dua bentuk. Pertama, dari dalam tubuh sendiri (innate), yang tersedia dalam badan sejak kita lahir dan muncul sebagai respons awal terhadap setiap serangan, agen asing dan segala patogen (penyebab sakit).

Yang kedua, adaptif: sistem kekebalan yang diperoleh berbarengan dengan bertambahnya usia kita. Mudahnya begini: tubuh kita sangat pandai menyesuaikan dirinya pada situasi yang berubah, beradaptasi melalui sistem kekebalan yang dimilikinya. Ia bertindak ketika sistem yang pertama (innate system) gagal mencegah menyebarnya serangan patogen.

Baca juga : Perkembangan Varian Omicron

Ia juga mengingat (merekam dalam “memori”-nya) segala virus yang pernah dikenali sebelumnya. Ibarat penjahat, patogen yang datang belakangan itu akan dianggap oleh tubuh semacam “residivis” yang dulu sudah pernah merampok harta (kesehatan) kita. Mungkin sekali innate system anak-anak lebih ‘jago’ dalam mengenali serangan patogen baru (si “residivis”) dan memerangi mereka dibanding orang dewasa.

Kalau sistem kekebalan terhadap Covid-19 membawa dampak berbeda pada anak dan orang dewasa, demikian pula halnya efek vaksin. Itu sebabnya penting untuk membuktikan bahwa vaksin-vaksin itu sama-sama aman dan efektif bagi semua umur, baik untuk orang dewasa, maupun bagi anak-anak kita.

Lazimnya, sesudah para periset berhasil membuktikan bahwa vaksin itu aman dan efektif pada orang dewasa, barulah mereka melanjutkan studinya pada kelompok yang lebih muda, dengan cara “de-escalation,” yakni memulai dari kelompok remaja, lalu pada anak yang lebih muda dan terakhir pada si Upik dan teman-temannya yang masih bayi.Dalam uji klinis pada anak-anak juga akan dilihat seberapa banyak antibodi diproduksi dalam merespons dosis vaksin yang diberikan, untuk mencatat apakah mereka memperoleh proteksi yang sama dengan orang dewasa. Tentu saja uji klinis itu disertai pengukuran tanda-tanda keberhasilan (markers of success) lain seperti efek samping, jumlah kasus dan gejala-gejala yang muncul.

Namun, jumlah pengujian tak perlu sebanyak pada orang dewasa, berhubung peneliti sudah (dan akan terus) mengumpulkan data serupa dari jutaan hasil vaksinasi yang telah diberikan ke orang dewasa.

Moderna, misalnya, merekrut lebih dari 30.000 orang dewasa pada uji klinis fase ke-3, sementara untuk uji klinis pada anak, produsen vaksin mRNA yang berpusat di Cambridge, Massachusetts (AS) hanya mengikutsertakan 6.750 peserta.

Kita bisa berharap imunitas kelompok (herd immunity) — ketika sejumlah besar populasi menjadi kebal dari serangan virus— segera terwujud, sebagai hasil vaksinasi atau infeksi virus sebelumnya. Data yang ada di banyak tempat yang sudah meraih vaksinasi pada sejumlah besar penduduknya seperti Inggris, menunjukkan jutaan suntikan itu memang efektif.

Namun, seperempat penduduk dunia kini berada pada usia di bawah 14 tahun. Kalau mereka ini belum divaksin, mustahil bagi dunia menghentikan penyebaran Covid-19 secara tuntas. Makin cepat anak-anak dapat vaksin, makin besar kans kita mengenyahkan virus itu dari planet Bumi.

Itu sebabnya kita optimistis, karena dimulainya program vaksinasi bagi anak-anak di negara kita nyaris bersamaan dengan munculnya Omicron, sehingga harapan mencegah penyebaran berbagai varian virus Covid-19 kian tinggi. Dua jempol untuk Pemerintah Indonesia. Terlebih karena cakupan vaksinasi dosis satu dan dua terus melaju kencang.

Makin cepat anak-anak dapat vaksin, makin besar kans kita mengenyahkan virus itu dari planet Bumi.

Vaksinasi dosis ketiga.

Tetapi pemusnahan virus tak dapat tuntas, jika antibodi banyak penduduk menurun setelah vaksinasi kedua. Penelitian menunjukkan, antibodi yang terbentuk pasca vaksinasi akan terus menurun secara signifikan. “Mulai bulan keenam setelah vaksinasi kedua, turunnya antibodi bisa lebih dari 50 persen dibandingkan dengan tiga bulan pasca vaksinasi,” kata peneliti senior tadi.

Vaksinasi pada lanjut usia (foto: Kompas).

Sejauh ini, yang diperiksa pada pasca-vaksinasi adalah sebagian antibodi, sedangkan bagian antibodi yang lain, seperti kadar sel memori dalam darah (yang mungkin saja masih memberikan perlindungan bagi tubuh) tidak dipantau karena biayanya kelewat mahal.

Dengan berpatokan pada kadar sebagian data (antibodi) yang menurun itulah di banyak negara penduduk mulai diberi suntikan dosis ketiga, yang sering disebut ‘booster’. Kita bersyukur bahwa hampir bersamaan dengan imunisasi pada anak, pemerintah segera melaksanakan dosis ketiga itu. Hal ini diharapkan bisa meredam ancaman gelombang ketiga, khususnya yang muncul akibat galur (varian) baru Omicron.

Galur baru Omicron (B.1.1.529) sendiri masih menyimpan banyak misteri. Epidemiolog AS Dr Michael Osterholm yang juga Direktur Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit AS (CDC), misalnya, menyampaikan pada CBS News (30/11/2021) bahwa, saat ini kita lebih rentan karena sejumlah orang yang telah divaksin 6,7 atau delapan bulan lalu belum memperoleh booster dan kembali masuk dalam situasi risiko yang lebih tinggi.

Sebelumnya, CEO produsen vaksin Moderna yang dikutip CBS News mengatakan, vaksin yang ada mungkin sekali tidak efektif melawan Omicron.

Baca juga : Waspadai Omicron, Batasi Mobilitas

Ahli penyakit dalam asal Surabaya RA Adaninggar SpPD yang menjadi influencer di Instagram (@drningz) 17 Desember lalu mengutip sebuah temuan bahwa varian Omicron 70 kali lebih cepat menginfeksi ketimbang varian Delta ataupun varian orisinal SARS-Cov-2, dan berkembang biak di bronkus (saluran napas cabang tenggorokan yang menghubungkan rongga hidung dan rongga mulut dengan paru-paru).

Artinya Omicron jauh lebih cepat menular. Namun, penelitian yang dilakukan Dr Michael Chan Chi-wai dan tim dari University of Hong Kong (HKUMed) itu juga mendapati bahwa, 24 jam setelah infeksi jumlah perkembangbiakan (replikasi) virus Omicron di paru hanya sepersepuluh jumlah replikasi akibat infeksi oleh varian orisinal SARS-Cov-2. Ini bisa menjadi indikator kurangnya keganasan varian ini.

Walakin, penting dicatat: “keganasan (severity) penyakit tidak hanya ditentukan oleh jumlah replikasi virus, melainkan juga oleh respons sistem imunitas host (penderita) terhadap infeksi, yang dapat menunjukkan adanya kekacauan pengaturan sistem innate kekebalan (seperti adanya badai sitokin),” kata Dr Chan. Penting juga diperhatikan, akibat makin banyaknya orang yang tertular, virus yang amat menular dapat mengakibatkan penyakit yang lebih ganas dan kematian, meski si virus sendiri tak seberapa ganas (patogenik). Studi itu menunjukkan varian Omicron dapat meloloskan dirinya (artinya ‘kebal’) dari pertahanan imunitas yang dihasilkan vaksin dan infeksi sebelumnya, sehingga secara menyeluruh ancaman Omicron tampaknya bisa sangat signifikan. (Paper Dr. Chan dan tim bisa diakses pada tautan ini.)

Penelitian dokter Haogao Gu dan tim, juga dari HKUMed, mengukuhkan hal itu. Sebagaimana ditulis Gu dan tim dalam jurnal Emerging Infectious Diseases yang diterbitkan CDC 3 Desember lalu, dua pelancong dari Afrika Selatan dan dari Kanada yang tiba dan menjalani karantina di hotel di Hong Kong menunjukkan bahwa mereka telah terpapar Omicron. Padahal kedua pasien itu telah menerima vaksinasi penuh menggunakan vaksin Pfizer. (Catatan: Untuk paper Gu dan tim bisa dirujuk di sini).

Laman penerbit makalah ilmiah Nature, 25 November silam juga menyebutkan kasus kedua pelancong itu. Menurut Nature, penularan yang terjadi di Afrika Selatan terjadi di antara mereka yang menerima salah satu dari tiga vaksin yang dipakai di sana: produksi Johnson & Johnson, Pfizer–BioNTech dan Oxford–AstraZeneca.

Kelihatannya, pada 2022 mendatang Omicron akan mendominasi penyebaran Covid-19 di dunia, menggeser peran galur Delta. Oleh karena itu, kini kita berkejaran dengan waktu untuk mengebut vaksinasi, termasuk penyuntikan booster. Pasalnya, Omicron ini sangat liar: hanya dalam tempo 10 hari, antara 15 dan 25 November 2021, jumlah kasus Covid-19 varian baru ini di Afrika Selatan melonjak dari 400-an sehari menjadi lebih dari 2.000 per hari. Tampaknya Omicron “lebih lihai” dalam merengkuh sel-sel manusia dan lebih pandai menghindari radar antibodi yang muncul berkat vaksinasi bagi infeksi sebelumnya.

Walakin, walaupun keganasan varian baru ini tak “sekejam” induknya, yang bikin kita kuatir adalah daya sebar varian Omicron yang jauh lebih luas itu. Meski sudah ditemukan pada lebih dari 77 negara di dunia, “ada kemungkinan banyak negara yang belum mendeteksinya, karena rendahnya capaian pencatatan genomik (genome sequencing),” kata Dirjen WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus.

Sambil menunggu Omicron menampakkan warna aslinya beberapa pekan ke depan, Indonesia perlu mengebut pendataan genomik ini.

Sambil menunggu Omicron menampakkan warna aslinya beberapa pekan ke depan, Indonesia perlu mengebut pendataan genomik ini. sebab penelusuran genom ini luar biasa penting untuk mengidentifikasi adanya varian baru. Meski kita tidak berharap, boleh jadi Omicron bisa melumpuhkan sistem kesehatan kita seperti sebelumnya.Pengalaman kita dua tahun mengelola pandemi memberi pelajaran untuk tetap optimis tanpa mengabaikan tanda-tanda bahaya yang ada. Penerapan protokol kesehatan tak boleh longgar. Sebelum kekebalan kelompok tercapai, maka pada setiap libur panjang seperti Natal, Tahun Baru dan Lebaran, kewaspadaan mesti ditingkatkan. Agar badai semusim yang lalu tak datang lagi.

Syafiq Basri Assegaff: Dokter Alumnus Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran. Pengajar di Institut Komunikasi dan Bisnis LSPR, Jakarta.

Editor: SRI HARTATI SAMHADI, YOHANES KRISNAWAN

Baca juga:

Hoax, Bahaya Infodemi dan Covid-19

Perkara Virus Covid-19 yang Jarang Diungkap

Hoax, Bahaya Infodemi dan Covid-19

Artikel ini aslinya dimuat pada harian Kompas, Senin 21 Juni 2021 (halaman 7) dengan judul “Bahaya Infodemi dan Covid-19” — klik di sini.

Perlu sekitar 5 menit untuk membaca tulisan 1400-an kata ini.

Ini adalah tentang infodemi. Terma tentang fenomena adanya ‘wabah informasi kesehatan’, yang belakangan dipenuhi fakta palsu yang menyesatkan. Banyak bukti menunjukkan dampak negatifnya, seperti pengingkaran realitas ancaman virus atau manfaat vaksinasi. Akibatnya muncullah berbagai pelanggaran protokol kesehatan sebagai intervensi non-medis atau penolakan pada vaksinasi – yang efeknya merugikan masyarakat luas.

Diperkirakan setengah kematian akibat Covid-19 di AS pada masa-masa awal pandemi seharusnya bisa dicegah kalau saja intervensi non-medis (yakni menjaga jarak dan tetap tinggal di rumah) dilaksanakan para penderita satu pekan sebelumnya. Itu disampaikan Leonardo Bursztyn dari University of Chicago dan beberapa koleganya dalam kertas kerja, September 2020 lalu.

Infodemi terkait kesehatan.

Ketika dokter asal Kanada, Gunther Eysenbach mendedahkan kata infodemi (infodemic) pertama kali pada 2002 mungkin ia tidak menyangka bahwa istilah itu dua dasawarsa kemudian diadopsi badan kesehatan dunia WHO. Bahkan Sekjen PBB Antonio Guterres pada 14 April 2020 lalu mencuitkan dalam Twitter-nya tentang pentingnya memerangi infodemic dengan fakta-fakta dan bukti nyata. PBB mengkhawatirkan wabah informasi terkait kesehatan yang bahayanya bersaing dengan ancaman virus corona sendiri.

Eysenbach kecewa. Twitter belakangan menerbitkan aturan yang di antaranya tidak mengijinkan organisasi sains dan penerbit jurnal ilmiah menyiarkan kontennya di situ – karena dianggap sebagai “konten yang tidak layak” (“inappropriate content”). Ini sebuah realitas salah kelola terhadap infodemi di media sosial. Padahal tersedia kesempatan bagi para ahli kesehatan masyarakat untuk mengelola infodemi berikutnya, yang kita hadapi segera setelah tersedianya vaksin,” tulis Eysenbach di Journal of Medical Internet Research (JMIR) Juni 2020.

Kekhawatiran Eysenbach sangat beralasan. Kita semua menyaksikan banyaknya misinformasi, disinformasi ataupun hoax yang kini dikonsumsi orang dari media konvensional maupun media sosial. Sebuah studi Cornell University yang dimuat di New York Times September 2020 lalu menyebutkan adanya 38 juta artikel di dunia yang menunjukkan Presiden Trump adalah sumber terbesar munculnya misinformasi global.

Agustus 2020 lalu Facebook menghapus tujuh juta unggahan yang mengandung misinformasi tentang COVID-19 Amazon pada Februari 2020 juga menghapus lebih dari satu juta produk yang ditawarkan dengan klaim bisa mengobati atau melindungi orang dari virus corona.

Sebagai orang pertama yang menggagas istilah infodemi (dari infodemiology atau the epidemiology of misinformation) dalam American Journal of Medicine (2002), Eysenbach mendefisikannya sebagai “sebuah disiplin riset baru dan metodologi”. Dalam bingkai Eysenbach, istilah infodemiology menjadi cara untuk mengidentifikasi area-area tempat adanya kesenjangan (gap) pada knowledge translation, yakni celah antara bukti-bukti ilmiah terbaik yang diketahui para ahli dari hasil risetnya dan praktik tenaga kesehatan di lapangan.

Tak pelak lagi akibat meledaknya informasi terkait pandemi itu banyak orang yang bingung, gundah, cemas, bahkan stress.  Apabila infodemi berkaitan dengan kesehatan, sebenarnya kita juga menghadapi infobesity yakni fenomena kelewat banyaknya informasi tentang segala hal yang kita hadapi,  tak hanya urusan kesehatan. Fenonema infobesity (dari info-obesity, alias kelebihan beban informasi) itu terjadi ketika ribuan atau jutaan informasi menyeruak ke gawai kita setiap saat, sejak pagi hingga saat tidur.  Situasinya diperparah oleh munculnya sejumlah orang yang mengalami gejala fear of missing out (FOMO). Mereka ini takut ketinggalan informasi dan ingin tampil, sehingga buru-buru menyebarkan dan menerus-ulangkan (forward) informasi yang diterimanya tanpa menyaringnya lebih dulu.

Kita mengenal tiga jenis istilah terkait dengan ‘penyakit informasi’ (information disorder) ini. Pertama, “misinfomasi”. Ia punya ‘pasangan’ yang dinamakan “disinformasi”. Keduanya sama-sama mengandung informasi yang tidak benar (false atau fake), tetapi bedanya misinformasi disebarkan oleh orang yang meyakini bahwa itu benar, sedangkan aktor penyebar disinformasi tahu bahwa info itu palsu tetapi ia secara sengaja menyebarkannya.

Dengan kata lain, penyebar misinformasi tidak punya niat jahat, makanya disebut sebagai “honest mistake”. Mungkin dosanya tidak sebesar pelantun disinformasi, yang sengaja membohongi korban yang hendak disesatkannya. Itu sebabnya disinformasi dinamakan “deliberate lie to mislead”.

Seringkali terorganisasikan dan diperkuat teknologi yang diotomatisasi agar mudah merebak luas. Biasanya disinformasi menyasar mereka yang punya banyak pengaruh atau follower di media sosial.

Disinformasi ini mirip dengan (atau dipakai sebagai alat) propaganda, tetapi pada propaganda jauh lebih manipulatif.

Walakin, barangkali dosa terbesar ada pada penyebar hoax, kepalsuan yang sengaja diciptakan agar seolah tampak sebagai sebuah kebenaran (deliberately fabricated faleshood, made to masquerade as truth).

Serupa dengan tipuan atau trick, secara etimologi “hoax” berasal dari kata hocus (yang muncul pada abad 18), yang berarti “mengelabui” — dan kita tahu ini kerap digunakan dalam dunia sihir. Sering dipakai untuk menyesatkan pembaca demi keuntungan finansial atau politik, banyak berita hoax bernuansa sensasional, deseptif atau merekayasa judul (seperti clickbait, umpamanya).

Targetnya: meningkatkan jumlah pembaca, dengan harapan masuknya fulus (seperti perolehan  pendapatan iklan) ke kantong penggagas.

Adapun jenis ketiga adalah “malinformasi. Barangkali termasuk yang paling membahayakan, realitas informasi yang dikandung malinformation bisa mengandung kebenaran atau sebagian benar. Namun, masalahnya ia digunakan untuk menimbulkan bahaya atau keburukan pada pihak lain.

Parahnya, hal ini kadang dipakai menyerang negara lain. Sebuah contoh malinformasi adalah ketika lebih dari 20 ribu email pribadi kandidat presiden Perancis Emmanuel Macron diretas dan ditebar menjelang  pemilihan presiden ronde kedua, 7 Mei 2017. Meski sebagian email itu dianggap asli, belakangan ia diramu dengan banyak informasi palsu dan diberai-beraikan di banyak platform media sosial, demi merusak nama baik presiden termuda dalam sejarah Perancis sejak Napoleon itu.

Keracunan informasi.

Banyak pakar, termasuk psikolog menjelaskan bahwa kelebihan beban informasi, information overload atau ledakan informasi (information explosion) bisa menjadikan kita keracunan infomasi (infoxication). Akibat pesatnya teknologi informasi terjadi peningkatan jumlah informasi yang luar biasa, bagaikan sebuah tsunami. Ini kemudian memunculkan kecemasan (information anxiety) yang menyebabkan kita susah memahami perkara yang ada dan sulit mengambil keputusan. Jika input melebihi kapasitas otak memproses, kata Roetzel (2019), maka information overload itu, apalagi bila informasi itu rumit, kompleks dan saling kontradiksi, kualitas keputusan menurun atau menyebabkan kita sulit mengambil keputusan. Alvin Toffler (1970) dan Bertram Gross (1964) juga menegaskan dampak information overload ini.

Penjelasan lebih detail diungkapkan George Armitage Miller. Penggagas psikologi kognitif dan guru besar Princeton itu berpendapat, kapasitas memori jangka-pendek otak manusia hanya bisa mencerap dan mengolah tujuh plus minus dua (yakni 5-9) ‘bongkah’ informasi pada satu saat. Bagi Miller, otak manusia itu mirip dengan komputer: memproses informasi dalam empat tahap, memaparkan diri pada informasi (membaca, menyimak), mengkodifikasi, menyimpan dan mengungkapkannya kembali (retrieve). Jika beban otak lebih dari kapasitasnya, orang jadi bingung dan akhirnya mengambil keputusan yang kurang tepat atau salah.

Walakin angka tujuh terlalu besar, kata Nicholas Carr. Menurut Carr, memori kita hanya memiliki kapasitas maksimum tiga hingga empat elemen. Carr yang menulis “The Shallows: What The Internet Is Doing To Our Brains,” mengatakan bahwa ledakan keinginan mencari informasi baru itu menyebabkan orang kecanduan informasi, sehingga memunculkan hambatan berfikir secara mendalam (obstructing deep thinking), mencegah pemahaman dan makin sulit dalam belajar. Ini disebutnya sebagai “cognitive overload”. (Tambahan: Yang terakhir ini penting untuk para siswa dan mahasiswa dalam mencerap pelajaran – pen.)

Empat kunci lawan  hoax

Kalau Eysenbach menganjurkan penelitian konten terkait kesehatan sebagai infoveillance, kita bisa menyelidiki dan menanggulangi hoax bagi informasi secara umum melalui empat cara praktis ini.

Pertama dan terpenting, cek keterandalan (reliability) sumber informasi. Dari mana ia berasal. Informasi dari media arus-utama (Kompas, Tempo, Reuters, BBC) lebih dapat dijamin ketimbang kutipan dari platform jejaring sosial seperti Facebook. Telitilah nama penulis dan institusi pembuat informasi itu: pemerintah, aktivis politik, atau siapa? Ingat, tidak semua yang “viral” dijamin benar, dan seringkali pencipta hoax mengutip pihak lain untuk menyesatkan, sedangkan nama penulis sendiri tidak ada di situ.

Kedua, pertanyakan konten yang terasa aneh karena kemungkinan memang ia sebuah kepalsuan. Jika isinya sesuatu yang amat penting atau berita besar, mengapa tidak ada di media arus-utama? Gunakan intuisi Anda: jika perasaan kita meragukannya, mungkin memang “palsu”. Kita harus makin waspada bila informasi itu sebuah forward dari tempat lain.

Ketiga, waspadai “bias diri”. Kebencian atau cinta berlebihan pada seorang tokoh, biasanya di dunia politik menjelang pemilu, seringkali menjadi pemicu munculnya kebohongan. Jangan mudah percaya atau ingin dianggap hebat (akibat FOMO), misalnya dengan buru-buru menekan tombol ‘share’ atau ‘forward’. Boleh jadi Anda ikut menanggung dosa kalau itu fitnah.

Keempat, tengarai ciri-ciri kepalsuan. Salah ketik, tata bahasa yang kacau, atau tidak ada nama penulis dalam sebuah utas informasi sangat mencurigakan sebagai palsu. Patut diingat bahwa banyak konstruksi berita merupakan sebuah rekayasa untuk tujuan tertentu.

Itu sebabnya di media arus-utama para redaksi mengedit dan meneliti semua tulisan yang akan dipublikasikan; itulah di antara fungsi “gatekeeper” (penjaga gawang) di media, sesuatu yang absen pada media sosial.

Gunakanlah situs untuk meneliti adanya hoax. Banyak yang malas, padahal kita bisa meneliti sebentar melalui kanal seperti Factcheck.org, Situs Kominfo, NewsGuard, dan cekfakta.com, sebuah laman yang muncul pada 2018 dan secara gotong royong dikurasi oleh 22 media massa seperti Kompas, Liputan6, Jakarta Post, Tirto, dan Detik .

Between political legacy and the pandemic

Indonesia is swimming in Covid-19. The curve rocketed significantly in the past two months, added with the news that a doctor opposed the handling of the pandemic.

The original article was published in the New Straits Times, Malaysia, on 25 July 2021. Pictures added separately.

This is exacerbated by vaccination hoaxes and the denial of a new Covid-19 variant, and it was only handled by the government after it got attention on social media. Too little, too late. This led to increased criticism against President Joko Widodo’s government.

The rapid spike of cases and the “collapse” of the healthcare system is even worse than what happened in India. Several factors have exacerbated the latest outbreak. The government never imposed a full lockdown in fear of paralysing the economy and impoverishing millions of informal workers, who cannot work from home.

The restrictions imposed were poorly enforced. One example was during last Ramadan and the Aidilfitri festivities: around 1.5 million people eventually spurned the homecoming travel ban. Labelled as “herd stupidity”, those travellers contributed to the spreading of the ‘Delta’ variant, which now makes up 90 per cent of the Covid-19 cases in Indonesia.

The article in the New Straits Times (Malaysia) 25 07 2021.

On the criticism, there are opinions that some political figures are deliberately opposing the policies imposed by Jokowi’s government, as if they are preparing to increase their own electability for the 2024 presidential election.

One of the critics says Jokowi stood as an obstacle, which prompted prospective presidential candidates, like Jakarta Governor Anies Baswedan and West Java Governor Ridwan Kamil to distance themselves from him.

While certain polling showed that Anies dan Ridwan were seen as two of the strongest candidates for the 2024 presidential election, both governors’ “concealed” meetings last June were interpreted as a sort of preparation for the election.

Ridwan himself has recently announced the postponement or cancellation of the construction of many infrastructure projects, which has been Jokowi’s economic policy keystone since 2014, and reallocate the funds for Covid-19 treatments in his province.

Meanwhile, Anies proclaimed that Jakarta’s Covid-19 mitigation has been more successful in implementing test-and-trace compared with other provinces; even eight times higher than the World Health Organistaion’s standard. The efforts of Ridwan and Anies to distance themselves from Jokowi suggested that the president and his administration are “liabilities” due to their flop in controlling the pandemic.

It is also clear that when Jokowi leaves the office in 2024, his legacy will not be any signature infrastructure projects, but by how well he handled the pandemic.

Regardless of the debate, Anies and Ridwan may refuse to admit it, with a reason to save their citizens, and defend themselves. Anies has always emphasised that the actions taken by the Jakarta government are based on scientific reasons, even since last year.

But, I tend to view that Anies opted to regard Jokowi. Recently, he asked the public to follow the president in the fight against Covid-19 and put political differences aside. In a recent TV interview, he maintained that “Jakarta residents must unite… under the direction of President Joko Widodo, who is leading us all in implementing the (latest) emergency public activity restrictions”.

As usual in the political realm, actions may be separate from opinions. His critics may suspect Anies is hiding his real motives, perhaps seeking to boost his image ahead of the 2024 presidential race, while his supporters may be disappointed by the governor’s about-face.

Like it or not, Anies has apparently made peace with it. As governor, Anies must collaborate closely with the central government, especially the president, to accelerate the vaccine rollout. The city must inoculate 7.5 million people (of its 10 million population) to achieve herd immunity, predicted to happen next month.

The current pandemic situation in Jakarta shows that Anies cannot protect the city single-handedly. A recent survey found that one third of Jakartans rejected the central government-sponsored vaccination programme.

This vaccine hesitancy may be a reverberation of the 2017’s polarised gubernatorial election, when Anies triumphed over Jokowi’s ally, Basuki “Ahok” Tjahaja Purnama. Ties between the two deteriorated after Jokowi dismissed Anies as his education minister in 2016.

Anies visiting vaccination program at JI Expo at Kemayoran, Jakarta, 11 July 2021.

But now the nation needs to unite more than ever. Like what Anies said, politicisation of the pandemic will only aggravate the contagion. His rapprochement with Jokowi seems a display of statesmanship. Putting aside political differences, including the agenda for 2024’s election, will allow elite politicians and citizens to focus on coping with this deadly virus.

Rather than defending his electoral interest, it seems that Anies will need to work together with all parties to deal with this difficult situation, given that Jakarta is the pandemic epicentre and the capital city of most Indonesians’ mobility.

Based on Jakarta’s crisis handling, his government has added health facilities, provided more support for medical staff, facilitated public access to healthcare and vaccination, and also ensured health protocols have been observed well.

For Anies, if he successfully manage the outbreak, he has a great chance of winning the 2024 presidential election.

Success in Fighting the Pandemic: Hopes from Jakarta

Note: Since first time it was published, this article has been updated from time to time, so that readers can have better comprehension in the reading. [Sejak awal diterbitkan, tulisan ini mengalami perbaikan dari waktu ke waktu, agar pembaca mendapatkan informasi terbaru.]

AFTER 18 months of the Covid-19 pandemic, it still seems not easy to get a clear picture of the outbreak in Indonesia. We still do not know whether we will be weaker in the near future or get stronger. As we all can see, Indonesia has become one of the epicentres of the global pandemic in recent weeks, with positive COVID-19 cases leaping fivefold in the past five weeks.

Worse still, in the middle of unsuccessful recent lockdown, it is weird (for many) to see the government only seeks to simplify curbs regime with another name change. No wonder that (or because of that) the World Health Organization (WHO) on Thursday (22 July 2021) urged this country to implement a stricter and wider lockdown to combat surging COVID-19 infections and deaths, just days after President Joko Widodo flagged the easing of restrictions, as reported by Reuters in The Jakarta Post recently.

Lately daily deaths hit record highs over 1,300, among the highest tolls in Asia, or even in the world. In its latest situation report, the WHO said strict implementation of public health and social restrictions were crucial and called for additional “urgent action” to address sharp rises in infections in 13 of Indonesia’s 34 provinces.

Indonesia is currently facing a very high transmission level, and it is indicative of the utmost importance of implementing stringent public health and social measures, especially movement restrictions, throughout the country,” it said.

Under Indonesia’s partial lockdown, social restrictions such as work-from-home and closed malls are limited to the populated Java Island, and Bali, as well as small pockets in other parts of Indonesia. Large sectors of the economy deemed critical or essential are exempt from most, or some, of the lockdown measures.

Recently President Joko “Jokowi” Widodo identified an easing of restrictions from next week, citing official data showing a fall in infections in recent days. “If the trend of cases continues to decline, then on July 26, 2021, the government will gradually lift restrictions,” President Jokowi said.

But we worry about this, since, as epidemiologists said, the decrease has been driven by a drop in testing from already low levels. Indonesia’s daily positivity rate, the proportion of people tested who were infected, has averaged 30 percent over the past week even as cases numbers have fallen. A level above 20 percent meant “very high” transmissibility, the WHO said. Apart from Aceh, all Indonesia’s provinces had a positivity rate above 20 percent.

However, looking from Jakarta’s way in fighting the pandemic, we can put better expectation. Although the number of cases has recently increased, there are hopes that Jakarta is going to win the war soon. This can be seen, at least, through the way its governor, Anies Baswedan, implemented and controlled the policy of harsher ‘lockdown’ in the capital.

Cases in Jakarta show good indication of decrease. After its peak on July 12 (with 14619 cases), daily case in Jakarta went down to 12415 (16 July), 9128 (18 July), and to 6213 on 20 July. Although in volatile time like now cases are up and down from time to time, but at least we have seen a light at the end of the tunnel.

Graph of recent COVID-19 daily case in Jakarta (orange) vs Indonesia (blue) — source: https://corona.jakarta.go.id/en

Last July 6, for instance, Anies Baswedan has made it known that he is leading the charge to enforce a full work from home (WFH) policy following the implementation of the Emergency Enforcement of Restriction on Public Activities (PPKM), as many offices in the capital remain open when they should not.

Governor’s actions.

On his Instagram, Anies posted stories of him performing unannounced inspections at an office building in the center of the capital, where he found that the offices of Ray White, a real estate agency, and an insurance firm (Equity Life) remained open. They were judged as violating the PPKM, which mandates that all workplaces in non-essential sectors must close and implement a full WFH policy.

Your company is not being responsible. This isn’t about profit or loss, this is about people’s lives. People like you are so selfish,” Anies scolded the woman in the video, who is a human resources staff at one of the companies. Media portal Coconuts reported that the governor also reserved some harsh words for an office manager at the other company.

We are burying people every day, Sir. You take responsibility. We are all stumped. Especially as there is a pregnant woman here. Going into labor is difficult for pregnant women during COVID-19. This morning I was told that one pregnant woman died. Why? Because she gave birth while she had COVID-19,” he said.

Watch this Kompas TV sequence, when Anies reprimanded the human resources staff at a Jakarta office:

Anies said employees at both offices were told to go home and that the police will sanction those responsible with possible violations of the Health Quarantine Law and the Criminal Code (KUHP).

The office was not taking the public beating lying down. The insurance company said it should be exempted from the full WFH policy, which gives concessions to companies in the finance and banking sector to enforce a 50 percent WFH policy.

As things stand, both offices have been ordered to close for the entire duration of Emergency PPKM, which is set to last until at least July 20.

There have been concerns that many companies in Jakarta were not fully complying with the WFH policy, with one indicator being the traffic gridlocks on some of the capital’s major roads. Employees in non-essential sectors who were forced to work at the office were encouraged to report their employers through the smart city mobile app JAKI.

In recent action, Anies Baswedan has issued a new gubernatorial decree concerning the PPKM Level 4, which in essence extending the public mobility restrictions policy (previously called Emergency PPKM) from July 21 to 25.

Since the beginning of the pandemic, Jakarta has suggested two policies — early detection and a regional quarantine — but it was soothed by the central government. In the end, the central government provided all local governments with “large-scale social restrictions”, but since February, this has changed into seemingly half-hearted “micro-scale public activity restrictions” across Java and Bali.

When Jakarta was named the epicentre for Covid-19 transmission, its administration immediately asked all employees in the city to work from home, besides shutting down public places as well as school and campus activities.

Governor Anies Baswedan has declared that the pandemic is serious and cannot be eradicated instantaneously. That is why he has always refrained from making assumptions or giving false hope that the outbreak will only be temporary.

It has not been easy for the city of almost 11 million people to handle the highest spike in cases a few weeks before the end of last year. Before the spike in June and July 2021, the situation also became worse in the first week of January.

In April 2020, the governor ordered people to use face masks, particularly while using public transport which has also been restricted. He suggested that people wear washable masks due to the scarcity of disposable ones in the market, where prices for a box jumped by 300 to 1,000 per cent.

Since last year he has disciplined the city’s bus drivers and required the Jakarta mass rapid transit operator to only allow passengers with masks to board, a policy which was subsequently adopted by the national rail services.

The capital administration also carried out real time reverse-transcription PCR tests — which, according to the deputy governor, is eight times higher than the WHO standard — showing a serious step to obtain accurate and reliable data. While waiting for the RT-PCR equipment to arrive, city administrators focused on providing more doctors and health workers to serve the people.

Then, before the Idul Fitri (“lebaran”) long holiday there were the two-week Christmas and New Year holidays that led to a surge in Covid-19 cases. The daily active cases, which was 13,082 in Dec 22, soared to 15,376 on Jan 5 and further to 21,679 on Jan 17 before topping 26,029 on Feb 5.

Learning from this incidence, the governor urged Jakartans to stay home during the three-day Chinese New Year holidays, which started on Feb 12. And it was effective: daily active cases, which was 20,662 in Feb 12, dropped to 16,986 on Feb 15, then further to 12,065 on Feb 23, 9,913 on Feb 27, and finally, to 7,179 on March 3.

Counting daily active cases, comprising people under treatment in hospitals plus the ones in home isolation, is an important parameter for preparing medical facilities to cater to the pandemic.

All the above information is available on a Covid-19 site (corona.jakarta.go.id). The Jakarta administration keeps the data open to maintain public trust. Any government does have a limited playing field to assert its authority.

When it comes to private lives, it is up to the people to decide whether to continue practicing safe procedures against the virus, or to leave them out on the streets. It is undeniable that transparency and truth will lead to surprises.

Stealing thunder.

But it will be desirable if we handle the crisis with transparency and goodwill. Apparently, the Jakarta administration has been responsive to suggestions by communication experts like Timothy Coombs.

When an organization, as an information source, is open about an occurring crisis, there will be less reputation damage if other sources deliver the vital information. This is known as “Stealing thunder strategy“.

The authorities are advised to be open from the early stage, especially with regards to accuracy and consistency, to win public trust. In contrast, inaccuracy destroys credibility and creates confusion among the public.

The Jakarta way in handling the outbreak shows that if we rely on analysis and policies based on information from health and communication scientists — rather than economists and military men only—we may expect better results in handling the pandemic.

How Important to Perceive Risk in a Pandemic

The biggest vaccine rollout in history is underway. In the face of the resurgence in COVID-19 cases, vaccination is one of the best ways to flatten the curve of transmission. Yet, it must be seen how quickly we can move to inoculate 70 percent of the population as needed to achieve herd immunity, and amid the looming threat of new virus variants.

This article was published in The Jakarta Post 23 June 2021 with the title “Flattening the curve by increasing perceived risk”.

Worldometer data show an upward trend in Indonesia’s number of active COVID-19 cases, from 89,129 cases on May 17 to 101,639 cases on May 30 and then to 115,787 cases on June 15. To handle this critical stage, President Joko Widodo has instructed that vaccine administration be accelerated to 1 million doses per day.

Let’s Flatten the Curve: the original article in The Jakarta Post, 23 June 2021.

He also asked Jakarta Governor Anies Baswedan to administer 100,000 vaccine doses per day so the capital could achieve herd immunity by the end of August. At a daily rate of 70,000 jabs, Jakarta has the second highest vaccination rate after Bali. To achieve herd immunity, the nation’s capital needs to vaccinate 7.5 million residents out of its 10 million population (The Jakarta Post, June 15, 2021).

Informing citizens on the vaccine drive is vital to speeding up efforts to achieve herd immunity. The authorities and the public must adhere to the principles of risk management, a useful tool to understand the importance of vaccination and of complying with the health protocols. Risk management matters in understanding the risks of transmission and emerging variants as vulnerabilities are identified and changes are made to assess the possible outcomes and liabilities.

From the beginning, the risk of infection was especially prevalent in large groups, areas without social distancing, intercity travel (such as in the latest Idul Fitri exodus) and public places. Vaccination is one of two efforts that can facilitate immunity against COVID-19. The other is to limit virus transmission by perceiving the risk more seriously. One of the tools to do this is failure mode and effects analysis (FMEA).

The Jakarta administration has shown quick response and prudent measurements to prevent further outbreaks by intensifying its COVID-19 policies, contact tracing and patient treatment. For instance, it has been able to provide early treatment due to its quick and comprehensive tracing efforts, and it recently doubled the city’s testing rate to around 75,000 people per day, almost eight times the World Health Organization (WHO) recommendation.

Risk is Crucial in Controlling the Pandemic.

Traditionally, FMEA is used to quantify risks for user, design and process, to review maximum components and subsystems in identifying potentials that may cause system failure and impacts, especially those with a critical need for change. During the pandemic, applying FMEA can prevent death, reduce medical costs and create anti-failure processes. FMEA starts with reckoning the risk priority number (RPN), which results from calculating three factors: severity multiplied by probability (likelihood), multiplied by the detectability of a case.

Although other scientists use a scale of 1 to 5 for the RPN factors, many prefer to apply a range of 1 to 10. The higher the RPN, the more important it is to act. Both the severity (S) and probability (P) have a range of 1 to 10, but detection (D), on the other hand, uses an inverted scale of 10 to 1. This is useful for authorities and managers to define the risks in order to determine mitigation efforts, risk tolerance and policy adjustments. According to Frank Rath from the University of Wisconsin-Madison, who cofounded the Center for the Assessment of Radiological Sciences, an RPN of 125 or higher is problematic in terms of either safety or process capability.

To assist in our understanding, let us take an example. “Mr. A” is an asymptomatic carrier (OTG) who has returned to Jakarta from his hometown, where he attended a family gathering that may have included elderly people and people with comorbidities. Say he has been infected by another OTG during his journey, and has now brought the virus to Jakarta.

During an Idul Fitri get-together in Jakarta, Mr. A transmits the virus to other people. The probability (P) is extremely high at a large gathering that does not observe the health protocols, which increases the level of likelihood of virus transmission. As new variants emerge in the country, the probability also increases, so for our purposes, let us say Mr. A has a probability of 10.

Among the attendees of the Idul Fitri get-together were people with a high mortality rate, such as elderly persons or people with comorbidities, who are more likely to contract COVID-19. This can create the highest severity (S) of 10. Through investigation and tracing, the authorities detect Mr. A and other OTGs and find that the majority (say, 80-90 percent) test positive for the virus. This means a detection (D) of 1.

If the authorities only found that half of these people tested positive, D would be 5. If the authorities failed to detect any of these people, D would be 10. Let us see how the simulation using these various detection figures (1, 5 and 10) differ. The RPN from Mr. A’s case will show the different degrees of risk the authorities face. If the majority of infected people is detected in surveillance, the RPN will be 100 = 1 (D) x 10 (P) x 10 (S).

This indicates that our case has the lowest risk because almost all infected people were detected, so the health authorities can treat them immediately before it gets worse. When D is 5 with only half of the infected people detected during surveillance, the RPN is 5x10x10 = 500. If none of the infected people are detected during testing and tracing, then D is 10 and the RPN will be 1,000.

As mentioned above, the higher the RPN, the more important it is to act. Low detection indicates nothing negative in the surveillance, provided that the investigation was done carefully. Severity may be lessened if healthy people have been vaccinated, but we cannot change the severity of transmission among people with comorbidities and other high-risk groups.

However, we are able to change their probability and detection through vaccination and applying the health protocols, whereas detection alone can be strengthened by extra surveillance. This is like lowering the risk of home burglary by installing CCTV cameras. Although we may be content with a lower RPN, we need to remain vigilant.

In managing its COVID-19 outbreak, the Jakarta administration seems to be refraining from complacency. Instead of calming the public, it openly “frightens” the people through strict measures. Since the severity of transmission cannot be manipulated, Jakarta has opted to increase detection so that all stakeholders are seriously aware of the threat while accelerating vaccination.

Read also:

Five future strategies for fighting COVID-19



Syafiq Basri Assegaff (The Jakarta Post)

Jakarta Wed, June 2, 2021

It seems we may have to reconsider our optimism, which blossomed thanks to the mass vaccination program, following the recent Idul Fitri holiday in mid-May. The likelihood of achieving herd immunity against SARS-CoV-2 has remained low due to two important factors: not all individuals in Indonesia (and elsewhere) have access to vaccines, and many eligible individuals are refusing vaccination.


This article was published in thejakartapost.com with the title “Five future strategies for fighting COVID-19”. Click to read: https://www.thejakartapost.com/paper/2021/06/01/five-future-strategies-for-fighting-covid-19.html.

It seems we may have to reconsider our optimism, which blossomed thanks to the mass vaccination program, following the recent Idul Fitri holiday in mid-May. The likelihood of achieving herd immunity against SARS-CoV-2 has remained low due to two important factors: not all individuals in Indonesia (and elsewhere) have access to vaccines, and many eligible individuals are refusing vaccination.

Green coronavirus with a vaccine. Covid-19. Funny cartoon character with emotion. Sadness, tears, chagrin.

Worse, the vaccines do not provide full immunity against infection and some available vaccines are less effective against the new B.1.351 (Beta) variant first detected in South Africa, and possibly other variants as well. Accordingly, public health systems need to plan for the possibility that COVID-19 will be her to stay as a recurrent seasonal disease.

Yet, we may be content with the anticipatory measures of local administrations like Jakarta’s. The capital city has intensified its contact tracing and treatment efforts, following its mudik (exodus) restrictions and as 1.5 million mudik travelers return to Greater Jakarta after celebrating Idul Fitri in their hometowns. The Jakarta Health Agency has prepared health facilities and increased the bed capacity of isolation and intensive care units. More than 6,600 hospital beds have been allocated for the treatment of COVID-19 patients (The Jakarta Post, May 22, 2021).

Furthermore, the city has cut the operational hours of the MRT Jakarta and the Commuter Line services. It is also monitoring returning Idul Fitri travelers, has implemented “micro” (localized) lockdowns in certain neighborhoods to anticipate “Idul Fitri clusters” and has enhanced border checks at 14 posts. A week after Idul Fitri on May 13-14, apart from increasing its testing rate, Jakarta has also managed to cut its single-day positivity rate from 13.8 percent on May 13 to 6.6 percent on May 21 and has generally maintained this rate.

Despite these achievements, the fight against COVID-19 is still far from over. A pulmonologist at a city-owned hospital said that, apart from anxiety and mental health issues, many patients were suffering from social stigma. This confirms a study I and my colleagues conducted in September 2020, which found that 74 percent of doctors encountered individuals who had concealed their health condition for fear of stigmatization by friends and family.

People who do so could exacerbate the country’s struggle to contain the virus through testing and tracing. At the national level, however, we have yet to flatten the curve. Instead, the latest figures show a distressing increase in infection. The official tally of the Covid-19 task force on May 15 (two days after Idul Fitri) showed 2,685 confirmed cases, which increased to 4,185 cases on May 18 and then to 5,797 cases on May 20.

The chance to achieve herd immunity against SARS-CoV-2 could narrow, particularly due to vaccine hesitancy. As Christopher Murray and Peter Piot wrote in a March issue of The Journal of the American Medical Association (JAMA), the currently available vaccines were possibly less effective against new coronavirus variants like the B.1.351 (P.1) first detected in Brazil. As such, public health systems needed to plan for the possibility that COVID-19 could persist to become a recurrent seasonal disease.

As health experts have suggested, it is our duty to achieve herd immunity in the presence of new and more contagious variants by requiring 70 percent to 80 percent of the population to be vaccinated. This is a huge challenge. Murray and Piot also suggested that vaccines would have reduced efficacy in preventing infection by certain variants. While some vaccines have an overall effectiveness of around 95 percent for against symptomatic disease from wild variants, but other vaccines have lower effectiveness.

If new variants continue to appear, infection surges could become the norm. This potential needs serious advance planning and consideration of five strategies to mitigate the consequences for our communities and health systems in the coming months. First, intensify nationwide vaccination. As Murray and Piot suggested, new variants could emerge anywhere, but wider vaccination coverage could help reduce the risk of recurrent COVID-19 as well as the frequency at which new variants might emerge.

Second, invest in broader surveillance, including genome sequencing, to facilitate early detection of variants and to track local trends. If new variants continue to emerge, it is possible we might need annual vaccination. Third, manage and finance possible surges in hospital patients, like the Jakarta administration has done.

Fourth, reduce transmission during peak seasons, particularly after long holidays like Idul Fitri or Christmas, through measures imposed at workplaces and educational institutions. Although it is unlikely that the government will mandate year-round social distancing, employers and schools could adopt certain measures like mandatory vaccination and virtual meetings and classes. Finally, modify the behavior of at-risk individuals. This is not an easy task, but people will become motivated if they understand that the risk could be fatal. Apart from wearing masks, which can prevent infection by 30 percent, individuals at higher risk, like seniors above 65 or people with preexisting comorbidities, can modify their behavior by avoiding large gatherings, among others.

Although the prospect of persistent and seasonal COVID-19 appears to be real, we cannot confirm this at present. There is huge uncertainty about the probability and frequency of the occurrence of new variants and the potential for reduced vaccine efficacy against each variant, as well as the critical issue of cross-variant immunity and the consistency of safe human behavior. We need to learn about them all in the coming months and prepare for such scenarios by aligning surveillance, public health response and, of course, relief programs.

The author is a medical doctor and lecturer at the LSPR Communication & Business Institute in Jakarta. The views expressed are personal.


The Bigger Threat the Better in Pandemic

With the new wave threatening countries like Indonesia after the Idul Fitri long holiday (May-June 2012), it is paramount for the Indonesian government to emphasize the ‘bigger threat perception’ strategy to the citizen. This article, written in The Jakarta Post last February 24, 2021, tell us why.

Although there has been an increase in COVID-19 cases, Indonesians may be content with the new health minister, Budi Gunadi Sadikin, as he has established a better scientifically based approach to testing and tracing.  “The test should target ‘suspected’ persons, not someone who wants to travel, or, like Budi Sadikin, who is to meet the President,” Budi said, claiming that he took five swab tests a week, each as part of protocols to enter the Presidential Palace. 

The new infection surge in Indonesia: the bigger threat perceived the better for lessening the case.

He recently likened the pandemic to World War I and II, as both claimed millions of lives. The ministry has therefore adopted a surveillance strategy through prudent testing and tracing, and aiming to vaccinate more than 181 million Indonesians within one year.

“This is a war and we have to annihilate the enemy. That’s why we involve the police and military. They do not brandish guns but syringes,” Budi told the media.

Although Budi is not a physician, his managerial experience at various national banks has sparked new hope for many, especially medical workers to whom he has shown his sympathy for their hard work. He does not belittle threats of COVID-19 either, unlike his predecessor. Perhaps Budi aims to replicate the methods in place and successful in Singapore and New Zealand. The government announced the first two confirmed cases of COVID-19 on March 2, 2020, although epidemiologists had seen it coming in January and warned the government of it.

President Joko “Jokowi” Widodo admitted that the government had deliberately hid some information so as to not create panic among the nation’s 270 million people. This reminds us of then-United States president Donald Trump, who chose to cover up the real number of Americans contracting the virus. After almost a year into the pandemic and 34,691 dead (as per Feb. 23) in Indonesia, what has often featured in government communications is the high recovery rate. Unsurprisingly, many Indonesians have not taken the pandemic seriously. 

From the beginning, however, the reliability of the government’s data has been questionable, so the point that it could not form the basis of an accurate epidemiological curve. Luckily Budi has acknowledged the problematic data and promised to fix it. The data discrepancy may have resulted in an underreported mortality rate.

What interests us is the fact that Jakarta applies a different standard for calculating the number of deaths. In the capital city, the mortality number is divided into two categories. The first includes those who died with positive swab test results. This is the data that has always been reported to the central government. But Jakarta has also counted all bodies laid to rest under COVID-19 procedures, regardless of whether tests had been performed.

The reason is that the cause of death was similar or related to COVID-19 symptoms. No wonder the number is higher than that reported to the central government. Rationally, this approach provides more accurate data as the foundation of policies and COVID-19 response. It also gives the Jakarta administration and its residents a sense of readiness. Jakarta is not alone in this regard. 

The Economist (Sept. 26, 2020) reported that in many countries, the number of deaths and confirmed cases were undercounted. One way to prove the practice is finding what is called the “excess mortality” rate by comparing the number of deaths in 2020 to the predicted mortality number. Between March and August 2020, countries in Western Europe, some Latin America nations, the United States, Russia and South Africa documented 580,000 COVID-19 deaths but there were 900,000 excess deaths.

This means that the true toll of their share of the pandemic appears to have been 55 percent higher than the official data. While such an approach, which shows the magnitude of the threats and risks of the pandemic, may create panic rather than calm, it prompts society to respond to the crisis more seriously and therefore strictly comply with the health protocols.  From the viewpoint of crisis communication, such a strategy has proven to be more effective in dealing with any threat of risk.

Communication expert Kim Witte (2001) explained how the threat could be a good way to generate proactive, healthy and protective actions by those who received the message of risk. We can argue that to persuade people to act, it is suggested that messages should be given so that people are aware of threats and strengthen their self-efficacy to act in mitigating threats.

When people think that the threat is low, they will not respond to the message. However, when someone perceives a serious threat, they will usually be motivated to take action. Witte said the greater the threat in one perception and the more sensitive a person is to the threat, the more likely they are to take action to avoid the negative feeling about their fear.

That’s why epidemiologist Syahrizal Syarif has suggested that the government adopt stricter measures. Learning from the Jakarta case, micro-level quarantines in place need revision. The University of Indonesia scholar opined that COVID-19 cases in Jakarta and other regions could not be controlled without implementing a lockdown or regional quarantine for 28 days (tempo.co Feb. 9). With the positivity rate reaching 20 percent, many people who have been infected are not traced and they may have transmitted the virus to the surrounding communities.

The micro-level quarantines come too late and there is no guarantee they will work properly.

Read also:

  • The Best Way to Manage Large Gathering during Long Holiday such as “Mudik” After Idul Fitri: another post in this blog.

Benahi Program Vaksinasi

Pemerintah perlu untuk segera mengevaluasi dan mengubah pendekatan program vaksinasi agar dapat lebih cepat menjangkau lebih banyak warga. Ketertiban berlebihan dalam pendataan jangan sampai mengganggu kelancarannya.

Opini ini aslinya telah diterbitkan harian Kompas, 26 Matet 2021; dan dimuat juga dalam situs Kompas.id berikut ini (klik di sini).

Program vaksinasi terbesar dalam sejarah sedang berlangsung. Hingga 20 Maret, Bloomberg mencatat lebih dari 420 juta dosis sudah disuntikkan di 133 negara, dengan kecepatan hampir 10 juta dosis sehari. Negara padat populasi seperti China sudah menyuntikkan 65 juta dosis bagi 2,3 persen penduduk, India 41 juta dosis (1,5 persen penduduk), dan Brasil 15 juta dosis (3,7 persen penduduk). Sejauh ini, Indonesia baru menyuntikkan 7,3 juta dosis bagi 1,4 persen penduduk.

Namun, kita belum bisa memastikan Covid-19 akan sirna. Sebaliknya, penyakit ini akan bertahan selama beberapa tahun ke depan dan tampaknya akan berubah menjadi endemi di sebagian negara—bukan lagi pandemi (yang mendunia). Vaksin bisa menyelamatkan kita, menghambat wabah serta konsekuensinya sehingga memberi kesempatan untuk melonggarkan pembatasan atau lockdown.

Baca juga : Menyikapi Varian Baru Covid-19

Walakin, urusan virus korona dengan kemanusiaan belum selesai. Virus ini akan tetap bersirkulasi secara luas, khususnya setelah diketahui bahwa sang virus tampaknya akan menjadikan manusia sebagai ”domisili tetap”-nya.

Maka, apa yang akan terjadi dalam ”perang” ini di depan tergantung respons pemerintahan di dunia. Pertanyaannya, bagaimana dunia bisa membuat vaksin dalam jumlah cukup dan mendistribusikannya untuk melindungi 7,8 miliar penduduk dalam waktu secepat-cepatnya? Sebuah tugas raksasa. Sebagian negara khawatir, jika program vaksinasi lambat, manfaat suntikan pertama keburu hilang sebelum booster (suntikan kedua) diberikan (The Economist, 1/2/2021).

Sementara, 85 persen negara di dunia baru akan memulai program vaksinasi mereka. Hingga miliaran orang di dunia nantinya disuntik, yang diduga baru bisa selesai setelah 2023, berarti virus itu masih bebas berkeliaran di planet kita.

Alur Vaksinasi (Infografik Kompas).

Bukan penerima bantuan sosial

Di tengah itu semua, program vaksinasi di Indonesia sendiri wajib dibenahi. Yang terjadi sejauh ini, orang didata, disaring, dibeda-bedakan dengan dasar yang kadang membingungkan, penduduk diteliti KTP dan identitasnya secara ketat, dan seterusnya. Proses panjang itu perlu waktu lama. Pasalnya, kecepatan rata-rata vaksinasi kita masih rendah.

Menurut Bloomberg, kita baru mampu menyuntikkan sekitar 320.000 dosis vaksin per hari, masih di bawah Brasil (370.000 dosis), dan jauh di bawah China (960.000 dosis). Yang hebat India, sekitar 1,8 juta dosis per hari. Agar meraih kekebalan kelompok, waktu yang diperlukan untuk menyuntik 181 juta penduduk Indonesia 568 hari (termasuk akhir pekan), alias 1,5 tahun.

Baca juga : Vaksinasi dan Ancaman Mutasi Virus

Sejauh menyangkut petugas kesehatan, pelayan publik, TNI dan polisi, kita bisa memahaminya karena mereka ujung tombak pelayanan bagi orang banyak di garis depan sehingga layak diutamakan.

Namun, selain kepada mereka, seharusnya yang dilakukan adalah minta siapa saja untuk datang ke tempat vaksinasi, baru kemudian mendata mereka setelah disuntik. Artinya, orang disuntik dulu, baru kemudian dicatat datanya. Ini berbeda dengan yang dilakukan sekarang, ketika orang dicatat dulu, didaftarkan, baru kemudian divaksinasi.

Pasalnya, penerima vaksinasi bukan penerima bansos, yang harus ditertibkan agar bisa dicegah penerimaan bantuan berulang oleh orang yang sama. Dalam setiap tahap vaksinasi ini, memang siapa yang ingin disuntik berkali-kali, misalnya dengan cara menipu petugas?

Seorang penulis (mantan wartawan) lansia yang juga dosen sebuah perguruan tinggi di Jakarta bercerita. Ia juga seorang dokter yang tak praktik lagi. Tempat tinggalnya di Kelurahan Cisalak Pasar, Kota Depok, yang tak termasuk 10 kelurahan prioritas vaksinasi tahap pertama Depok sehingga ia tak bisa ikut mendaftar. Belum ada giliran vaksinasi bagi pendidik di kampusnya di Jakarta.

Sebagai (mantan) wartawan, artinya orang yang banyak bertatap muka dengan publik, belum juga ada giliran baginya. Secara logika, ia memenuhi beberapa kriteria untuk dapat prioritas: sebagai lansia, sebagai penulis, dan sebagai dokter (meski tak praktik), tetapi sistem yang ada mengharuskannya menunggu sampai gilirannya tiba.

Baca juga : Respons Cepat Varian Baru Virus Korona

Namun, bayangkan risiko yang ada: sang dosen tinggal bersama delapan anggota keluarganya, termasuk istri yang juga lansia, dua cucu dan dua pembantu (yang rutin berbelanja ke pasar di kelurahan lain).

Dua dari tiga anaknya dan satu menantunya juga sering ke Jakarta, mencari nafkah, yang berarti membuka peluang terjadinya transmisi dalam keluarganya. Beruntung ia dan keluarga serta para tetangga di kompleks perumahannya taat melaksanakan protokol kesehatan.

Meski harus bersabar menunggu giliran, dokter itu berpikir keras: apa yang salah dalam program vaksinasi yang dilaksanakan para sejawatnya? Dari pendekatan logika kesehatan, khususnya saat darurat di tengah wabah, seharusnya sistem yang dilaksanakan itu tak terlalu mementingkan predikat, jabatan, ataupun identitas yang disandangnya.

Tak peduli apakah seseorang punya KTP setempat, ia bisa juga tertular dan jadi sumber penularan, karena virus korona (dan semua patogen lain) tak pandang bulu calon korbannya. Bahkan, jika ada orang asing yang tinggal di Depok tanpa identitas apa pun, umpamanya, seharusnya juga ikut divaksinasi, apalagi mengingat ia juga berpotensi membawa virus varian baru yang 70 persen lebih menular.

Vaksinasi Lansia (foto Kompas).

Pendekatan dari bawah

Pelaksanaannya mudah saja, lewat pendekatan dari bawah ke atas. Misalnya, sekitar 10.000 puskesmas yang ada di semua kelurahan (berdasarkan data Kementerian Kesehatan, 2018) langsung saja melaksanakan vaksinasi itu. Puskesmas bisa menggandeng lembaga lain, seperti sekolah, di sekitarnya.

Baca juga : Vaksinasi Mandiri: Strategi Jitu atau Keliru?

Melalui instruksi camat kepada lurah, lalu dari lurah kepada ketua RW, warga di seluruh RW dan RT bersangkutan diberi tahu. Ketua RW mengatur urutannya, misalnya, berdasarkan nomor RT tertentu: warga bisa datang dalam jumlah sesuai kuantitas vaksin yang tersedia pada pekan itu, dan tetap membuat skala prioritas sebagaimana mestinya.

Puskesmas tak perlu mendata dari awal, tak penting mencocokkan KTP atau kartu keluarga, tetapi segera setelah vaksin tersedia, langsung saja suntik semua penduduk (yang memenuhi syarat divaksin) di situ, dilandasi oleh urutan prioritas (misal lansia lebih dulu) dan sebagainya. Pelaksanaan tentu harus memperhatikan kaidah medis, termasuk pemeriksaan sebelum penyuntikan, monitoring pascavaksinasi, dan sebagainya. Warga yang sudah disuntik dicatat, dan datanya diberikan kepada kelurahan.

Cara seperti ini tampaknya bisa membantu mewujudkan niat baik Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin untuk melejitkan kecepatan penyuntikan jadi 1 juta per hari.

Di samping itu, seharusnya keran vaksinasi mandiri bagi swasta juga dibuka. Sebagaimana program vaksinasi yang lain bagi anak-anak selama ini—yang menyediakan program gratis dan program mandiri (dengan membayar)—semestinya pemerintah menggandeng swasta.

Baca juga : Vaksin dan Vaksinasi Covid-19

Biarkan mereka yang punya uang, malas mengantre, atau kurang percaya pada program gratis pemerintah datang secara mandiri ke pelayanan kesehatan swasta. Yang penting semua yang sudah divaksin masuk pendataan yang terpusat, tak peduli KTP, atau tempat domisilinya. Langkah ini juga memudahkan bagi mereka yang tak punya ponsel atau gagap teknologi, yang selama ini sulit masuk ke dalam sistem digital yang disediakan.

Apa masalahnya kalau nanti catatan di kelurahan, misalnya, berbeda dengan data baru dari puskesmas; bukankah selama ini sebagian pendataan kita terkadang memang kacau? (Masih ingat program satu data (single identification number) yang disimpan dalam cip di e-KTP yang sempat jadi ajang korupsi?)

Tak usah khawatir ada yang menipu minta divaksin lagi, karena ini, sekali lagi, bukan pembagian uang kontan atau sembako.

Akan tetapi, dalam urusan wabah ini, yang penting puskesmas berhasil mengimunisasi sebanyak mungkin warga, tak peduli KTP-nya, asalkan ia berdomisili di tempat itu. Jika jumlah vaksin belum cukup, mereka bisa menunggu dan diatur lewat koordinasi petugas setempat. Tak usah khawatir ada yang menipu minta divaksin lagi, karena ini, sekali lagi, bukan pembagian uang kontan atau sembako.

Kalau model ini tak dilaksanakan, kita khawatir pemerintah hanya sibuk dengan data melulu, sementara target mengejar kekebalan kelompok tak segera tercapai. Sambil meningkatkan penelitian terhadap mutasi virus, dan persiapan penerapan suntikan kedua, serta pengobatan mereka yang terpapar, hasil terbaik tampaknya hanya terwujud jika angka imunitas di tengah masyarakat meningkat secara cepat dan pesat.

Kita tahu pemerintah ingin tertib. Namun, jangan lupa, sering kali ketertiban berlebihan bisa mengganggu kelancaran. Saat tsunami mengancam, kita harus melarikan penduduk ke atas bukit. Kian banyak dan cepat orang sampai di bukit, kian besar jumlah yang bisa diselamatkan.

Baca juga : Pentingnya Membangun Gerakan Sosial PPKM Terpadu

Terakhir, pendidikan tentang perilaku masyarakat sehari-hari untuk menerapkan protokol kesehatan harus digencarkan. Sebagaimana terjadi pada setiap wabah, masyarakat harus disadarkan: ketimbang harus melaksanakan pembatasan ketat dan menutup sekolah berbulan-bulan, para ketua RW dan RT diberi tanggung jawab besar mendidik warganya, bukan cuma disibukkan dengan urusan pembatasan skala mikro (PPKM).Mereka harus tahu bahwa kebiasaan ”memakai masker” dan ”menjaga jarak” bakal menjadi kegiatan hidup sehari-hari, mungkin hingga beberapa tahun mendatang. Jika tidak, kita khawatir awan hitam pandemi (atau endemi) yang suram terus menggelayut di tengah kita.

*) Dokter, Dosen di Institut Komunikasi dan Bisnis LSPR, Jakarta.

Malapetaka Masih Mengancam, Meski Ada Vaksin?

Dokter ini menyapa anaknya dari balik pintu kaca: demi mencegah penularan.

Oleh Syafiq Basri Assegaff*

Kompas.com – 14/01/2021, 06:00 WIB

Artikel ini, dimuat pada laman Kompas.com, pada 14 Januari 2021, dengan judul, “Varian Baru Corona dan Senjata Vaksin Kita, Jangan Sampai Malapetaka Datang.” Silakan klik di sini untuk tautan di Kompas.com itu.

SAAT ini kita memang punya senjata vaksin. Tersedia persis pada saat adanya ancaman (varian) virus baru mengadang kita. Bagaimana reaksi kita dalam beberapa pekan ke depan akan membawa beda hasil yang sangat besar. Jangan sampai malapetaka dulu, ketika cacar (smallpox) membunuh 300 juta orang pada abad ke-20, terulang. Untunglah vaksin telah menyelamatkan jutaan manusia dari cacar. Dunia juga berharap vaksin akan memberantas polio dalam waktu dekat. Kini harapan besar kita pada pengusiran virus corona dari muka bumi.

Jaga jarak: salah satu cara mengurangi penularan.

Setahun ini kita sudah mendalami tentang virus corona. Sang virus pun “mempelajari” kita, calon korbannya, sehingga mereka jadi ‘lebih pintar’ dalam upayanya menginfeksi manusia. Itulah yang terjadi dengan mutasi pada virus.

Miliaran virus di dunia melakukan mutasi, dan satu yang terdeteksi pada Desember 2020 silam di Inggris adalah mutasi virus penyebab Covid-19 menjadi strain baru SARS-CoV-2 yang disebut dengan B.1.1.7.

“Anak” virus ini berhasil memperkuat dirinya, sehingga memiliki daya tular (transmisi) yang 71 persen lebih kuat dari induknya. Diduga kuat varian baru B.1.1.7 ini ‘lebih pandai’ dalam menghindari respons imun kita dan mereplikasi diri, atau ikatannya pada lokasi di tubuh host (tuan rumah) menjadi lebih kuat dan kondusif dalam upayanya menulari orang lain. Yang terjadi pada “anak” SARS-CoV-2 ini adalah perubahan belasan gen pada virus, khususnya pada bagian spike protein, bagian luar virus (bayangkan ‘duri’ pada durian) yang merupakan ‘penggaet’ untuk masuk ke dalam  sel host yang diinfeksinya. Jika sel host itu gembok, maka spike (paku atau ‘duri’) adalah kuncinya.

Untungnya, sejauh ini diketahui bahwa mutasi itu tidak mengubah efektivitas vaksin. Kita tahu bahwa sebagai respons pada infeksi alamiah atau vaksinasi, sistem imunitas akan menghasilkan sejumlah kumpulan antibodi di dalam tubuh. Baca juga: Epidemiolog: Setelah Vaksin Jangan Langsung Liburan Meski diperkirakan bahwa di antara mutasi pada varian baru akan berefek pada sebagian wilayah yang dikenali oleh antibodi, tampaknya tidak semua wilayah itu terdampak. “Tetapi ini bukan ilmu instan, kita masih harus menunggu pengembangan virus dan menerapkan uji (laboratorium) dengan serum-serum yang berbeda dalam beberapa pekan mendatang,” kata guru besar Imperial College London Peter Openshaw, sebagaimana ditulis dalam British Medical Journal (BMJ), 23 December silam.

Baca juga: Perkara Virus Covid yang Jarang Diungkap (tulisan di Kompas 29 Desember 2020 yang telah diunggah di blog ini).

Sejatinya vaksin membawa manfaat bukan hanya pada yang menerimanya, tetapi secara potensial juga bagi setiap orang, terlebih bagi mereka yang berada di sekitarnya. Makin berkurang jumlah orang pembawa virus tanpa gejala sakit (orang tanpa gejala, OTG) berarti makin sedikit yang bisa tertular. Memang indikasinya menunjukkan bahwa makin banyak yang divaksinasi akan semakin mengurangi penularan, meski berapa besar pengurangannya masih dalam penelitian, tetapi perbedaannya mungkin akan sangat substantif. Lazim diketahui bahwa mereka yang sudah divaksin akan sangat kecil kemungkinannya dihinggapi penyakit; artinya akan terhindar menjadi orang tanpa gejala (asymptomatic) atau OTG. Dan mereka yang tidak pernah menjadi OTG akan sangat kecil kemungkinannya menularkan Covid-19. (Namun mesti berhati-hati membedakan antara mereka yang asymptomatic (OTG) dengan mereka yang sebenarnya “baru akan sakit” (presymptomatic) yang biasanya sangat menular.

Dalam sebuah studi awal, sebagian vaksin diketahui dapat mencegah dua pertiga (2/3) infeksi asymptomatic. Meski masih diperlukan lebih banyak data untuk meyakinkan, jelas bahwa makin sedikit orang yang bisa menularkan sebuah patogen (seperti virus), makin sulit bagi patogen itu untuk menyebar.

Melandaikan kurva sebelum malapetaka datang Pada saat kita sudah punya vaksin, pelandaian kurva jumlah penularan di hari-hari mendatang berarti juga pemberantasan virus. Seorang mahasiswa pasca-doktoral di UCLA Dylan Morris yang mempelajari penularan virus dan studi kuantitatif penyakit infeksi menyatakan, intervensi non medis – seperti mengurangi kontak, pengunaan masker, jaga jarak, dan menghindari kerumunan – yang bisa menunda kasus, akan selalu berguna, dan saat ini, pada saat ada varian baru, hal itu benar-benar luar biasa bermanfaat. Kita memang berpacu dengan waktu.

Kesabaran dalam disiplin sambil melancarkan jalannya vaksinasi akan membawa perubahan besar terhadap penurunan angka kematian (mortality) dan jumlah kesakitan (morbidity). ”Bahkan, meski tanpa vaksin, memerangi virus meski secara sementara akan sangat penting artinya, khususnya karena adanya dampak eksponensial (hasil penularan),” kata Morris sebagaimana dimuat dalam laman theatlantic.com Desember lalu. Ini karena jumlah prosentase yang sama dari angka yang lebih kecil akan menghasilkan jumlah akhir yang jauh lebih kecil.

Bayangkan hal ini: pada ancaman sebuah tsunami, kita buru-buru memindahkan orang-orang ke lokasi yang tinggi. Setiap orang yang sudah di atas bukit akan selamat. Lebih baik lagi bila setiap mereka membantu orang lain untuk “ikut naik” agar terselamatkan. Hal itu sama dengan dampak eksponensial vaksin. Sebaliknya, dampak eksponensial meningkatnya penularan virus itu ibarat setiap orang yang tertinggal di wilayah pantai akan menghambat naiknya orang lain, sehingga ikut celaka. Pada situasi begini, makit cepat kita bertindak akan makin mudah dan kian baik hasilnya. Sebaliknya, makin lama kita menunggu, apalagi saat gelombang laut mulai masuk ke darat, makin sulit melakukan proses penyelamatan.

Demikianlah dengan varian baru ini, kita seperti berada pada saat awal sebelum tsunami muncul. Semuanya itu berarti bahwa pelaksanaan vaksinasi luar biasa penting. Memang ada indikasi kekhawatiran pada sementara pihak (atau mereka yang percaya pada teori-teori konspirasi), tetapi vaksinasi penduduk secara luas akan menyelamatkan banyak jiwa, dan epidemi diperangi dengan logistik dan infrastuktur yang optimal. Kita mesti menempatkan seluruh kekuatan, energi, biaya dan ketabahan demi memvaksinasi sebanyak mungkin penduduk secepat mungkin.

Jika seandainya, hanya seandainya, varian baru ini ternyata tidak seseram yang diduga, penularannya tidak secepat yang kita takutkan (dan kita akan mengetahuinya dalam waktu dekat), tetap saja kehati-hatian kita akan sangat bermanfaat. Walakin, jika ternyata ia benar sangat menular, kita bisa masuk dalam sebuah malapetaka besar: bersamaan dengan mulai tersedianya vaksin yang efektif, angka pertumbuhan eksponensial jumlah kesakitan dan kematian akan sangat masif. Kita sudah belajar satu tahun, mengenai pentingnya tindakan cepat, tentang perlunya mengambil keputusan segera dalam ketidakpastian, dan agar tidak mengacaukan antara “absennya bukti” dengan “bukti absennya” kita.

Setahun mengajarkan pada kita agar tidak “memimpikan kesempurnaan” dalam pengetahuan, tetapi lebih mementingkan dampak yang maksimal, meski dengan pertimbangan konsekuensi tertentu. Dan yang paling penting, pelajaran setahun ini mendidik kita agar tidak menunggu sampai dihadapkan pada ancaman dinamika eksponensial itu. Situasi memaksa kita bertindak sesegera mungkin dan membuat keputusan setegas kita bisa, dan baru membuat penyesuaian-penyesuaian nanti, belakangan, jika diperlukan. Jangan menunggu sampai tingginya kasus yang 13 Januari 2021 lalu mencapai 846.765 melonjak cepat hingga tembus angka satu juta. Meski belum diketahui masuknya “anak bandel” itu ke Indonesia, bukan berarti tidak akan ada varian baru virus SARS-CoV-2 di negara kita, sebab virus senantiasa bermutasi dari waktu ke waktu.

Memang masih ada ketidakpastian tentang rincian mekanisme pada varian baru ini, walakin fakta menunjukkan peningkatan disiplin protokol kesehatan luar biasa penting. Jika saat ini belum ada strain virus corona baru di Indonesia, siapa bisa memastikan tidak akan muncul “anak” yang lebih bandel dari induknya itu? Diperlukan dukungan untuk penelitian Untuk mengetahui perkembangan wabah, seharusnya negara makin menggalakkan dukungan pada penelitian dan pengembangan yang mendorong ilmuwan kita supaya dapat lebih banyak melakukan riset sejak dari hulu.

Dokter memeriksa pasien Covid-19 di ruangan isolasi.

Sebab, riset mendasar di pangkal proses terjadinya wabah, seperti genome sequencing virus untuk “menguliti” segala yang terjadi di dalam virus (sebagaimana banyak dilakukan negara maju) merupakan tulang-punggung pengembangan ilmu kesehatan. Satu dasawarsa silam pernah ada gagasan pengembangan vaksin flu burung di Indonesia, tetapi sayang pelaksanaannya terseok-seok. Bersyukur Menteri Kesehatan (Menkes) yang baru sudah menunjukkan hal itu. Menteri Budi Gunadi Sadikin juga mengatakan akan menggalakkan peningkatan upaya mitigasi untuk menemukan kasus (surveillance) Covid-19 sedini mungkin (agar bisa tahu pola penyebaran) dalam jumlah yang lebih besar, khususnya melalui langkah sequencing itu. Dan rencana Menkes memanfaatkan belasan laboratorium di Indonesia untuk melakukan hal itu perlu diacungi jempol, sebab itu merupakan satu di antara yang mesti dilakukan, agar kita lebih mudah mengetahui jika ada mutasi yang ganas.

Pasti Menkes sudah mendapat info bahwa sebenarnya dari virus yang ada di Indonesia dapat diproses menjadi vaksin nasional, sebagaimana vaksin Merah-Putih yang tengah kita kembangkan. Pengembangan vaksin dalam negeri itu krusial, agar kita tidak membatasi diri hanya dengan mengerjakan bagian hilir (seperti uji klinis vaksin yang diimpor), atau sekadar menjadi “tukang assembling” vaksin saja. Pembandingnya ada pada negara tetangga Vietnam dan Thailand. Desember lalu, menurut Bloomberg 24-12-2020, Vietnam telah melakukan fase pertama uji klinis vaksin yang diproduksinya sendiri, Nanocovax. Sementara Thailand, yang tak ingin hanya bergantung pada inokulasi (pembiakan) bibit dari luar negeri, juga mengembangkan proyek vaksin dalam negeri, baik berupa vaksin mRNA (yang diharapkan tersedia pada akhir 2021) maupun vaksin DNA.

(*Syafiq Basri Assegaff, Dokter alumnus FK Unpad, pengajar pada Institut Komunikasi & Bisnis LSPR, Jakarta)

Baca juga: Mengapa Varian Covid Baru Lebih Berbahaya? (tulisan di Kompas yang diunggah di sini).