Bahagiakan Followers – Resep Dokter di Instagram

Tulisan ini berasal dari berita yang ditayangkan Kompas.com, 21 Agustus 2023 silam, terkait dengan disertasi saya.

Penelitian: 84 Persen Followers Berniat Hidup Lebih Sehat karena Konten Positif Dokter

KOMPAS.com – Saat ini terdapat tidak kurang dari empat miliar pengguna media sosial di dunia, termasuk 105 juta pengguna Instagram di Indonesia. Melawan misinformasi atau hoaks tidak hanya menjadi tugas pemerintah, namun juga merupakan tugas bersama antara pemerintah, pemangku kepentingan hingga para profesional yang kredibel di bidangnya. Salah satu misinformasi yang cukup banyak terjadi selama masa pandemi Covid-19 ialah soal kesehatan.

Belajar dari masa pandemi, dokter Syafiq Basri Assegaff dalam promosi doktor ilmu komunikasi di Sekolah Pascasarjana Universitas Sahid, Rabu (16/8/2023) mengatakan, sudah saatnya para profesional seperti dokter memaksimalkan media sosial miliknya sebagai saluran edukasi hingga meluruskan atau membentuk opini positif.

Saat menerima pengukuhan dalam sidang promosi doktor, 16 Agustus 2023.

Dalam penelitian yang dilakukannya, Syafiq mendapati bahwa sebanyak 84 persen followers menaati pesan dokter di media sosial apabila kontennya menyenangkan. “Emosi positif seperti rasa senang atau gembira yang muncul dalam diri followers menyebabkan mereka mau memberi komentar dan lambang hati (likes), yang merupakan tanda adanya engagement antara kedua belah pihak,” kata Syafiq dalam keterangan resmi yang diterima Kompas.com.

Selama penelitian, ia menggunakan 673 konten dari tiga orang dokter yang menjadi influencer di Instagram selama 10 bulan, mulai Maret hingga Desember 2020 saat periode ketika pandemi Covid-19 sedang memuncak. Hasilnya, 487 dari 581 followers yang mengikuti survei (atau 84 persen) berniat untuk mengubah sikap untuk hidup lebih sehat, apabila pesan yang disampaikan para dokter itu membuat mereka merasa gembira.

Melalui metode campuran (mixed-methods) dalam disertasi yang berjudul Kompetensi ‘Emotional Appeals’ Dokter sebagai Influencer Instagram pada masa Pandemi Covid-19, Syafiq menggabungkan antara survei terhadap 581 followers Instagram dengan analisis konten dan wawancara terhadap tiga dokter influencer. Ketiga dokter yang menjadi narasumber itu adalah ahli penyakit dalam dr. Adaninggar Primadia Nariswari SpPD (@dr.ningz), Surabaya, ahli kedokteran olahraga dr. Andhika Raspati (@dhika.dr) Jakarta, dan bintang televisi dr. Lula Kamal (@lulakamaldr).

Saya memfollow ketiganya melalui akun Instagaram saya ini: @syafiqabasri yang kini sudah mengantongi 1300-an followers.

Hasil wawancara menunjukkan bahwa ketiga dokter menerapkan strategi persuasi yang efektif. Hasil survei meneguhkan hal itu, di mana posting (konten) ketiga dokter di Instagram berhasil memantik emosi positif pada 92 persen followers yang mengisi survei. Penelitian juga membuktikan bahwa keterkaitan atau interaksi  atau engagement paling tinggi terjadi pada konten berupa video. Hasil survei juga menunjukkan bahwa setidaknya sejumlah 35 persen followers menyatakan akan melakukan resharing unggahan ketiga dokter pemilik akun.

Undangan sidang terbuka (promosi)

“Oleh karena itu, para tenaga kesehatan dan influencer pada umumnya perlu meningkatkan kecakapannya dalam berkomunikasi di media sosial dengan cara menerapkan strategi persuasi yang baik,” ujar Syafiq. “Terutama karena di media sosial terjadi rebutan pengaruh antara penyedia informasi yang benar dan kredibel dengan para penyebar hoaks dan misinformasi yang menolak realitas adanya wabah,” imbuhnya. Harapannya, dengan adanya sinergitas yang baik antara para komunikator, maka hoaks yang muncul di masyarakat tidak hanya diminimalisir produksinya, tetapi juga diredam dengan cara-cara persuasif yang efektif.

Dokter harus dapat memantik emosi positif

Studi itu menyarankan agar partisipasi di media sosial secara aktif dapat terus dilakukan pasca pandemi, guna mempromosikan kesadaran sehat masyarakat. Dari sisi ilmu saraf (neuroscience), menurut Syafiq, interaksi (engagement) dalam wujud respon dari audience menimbulkan perasaan positif dalam diri komunikator (dokter) juga, yakni timbulnya perasaan gembira atau senang dalam diri komunikator karena adanya penghargaan meskipun mereka tidak menerima upah dari hasil aktivitasnya di Instagram. “Perasaan senang itu dapat dijelaskan melalui neuroscience yakni munculnya hormon dopamine dalam tubuh komunikator,” kata Syafiq.

Di media sosial, lanjut dia, para dokter juga memerlukan kompetensi komunikasi yang diwujudkan melalui pengiriman pesan yang persuasif berdasarkan strategi ethos, logos dan pathos yang menjadi strategi retorika gagasan filsuf Yunani Aristoteles. Ethos dibangun oleh adanya kredibilitas yang telah dimiliki para dokter, adanya niat baik (goodwill) dan kepercayaan (trust) yang ada dan harus dipertahankan. Logos diwujudkan oleh adanya argumen yang dimengerti audience dan masuk akal. Namun, yang paling penting adalah bahwa, keduanya, ethos dan logos, harus disertai dengan pemunculan pathos, yakni emotional appeal.

“Di sini, setiap komunikator termasuk dokter harus dapat memantik emosi positif dalam diri followers mereka di media sosial supaya dapat memunculkan interaksi (engagement) dengan para pengikut itu,” tambah Syafiq. Ketiga strategi itu penting agar pesan para dokter yang menjadi influencer di media digital itu efektif dalam mengubah sikap dan perilaku followers (audience). Persuasi sendiri didasarkan pada retorika, yang jelas-jelas berbicara mengenai kompetensi. Untuk melihat kualitas kompetensi seseorang seperti para dokter dalam penelitian ini, maka harus dilihat persuasinya berdasarkan tiga sekawan, ethos, logos dan pathos. Kesimpulannya, terang Syafiq, dokter harus pandai menciptakan suasana yang relaks, penuh humor, dan berinteraksi secara baik, terbuka dan responsif, agar pasien di ruang praktik, maupun pengikut di media sosial, juga bersikap terbuka, sehingga lebih mudah didiagnosis dan menerima saran kesehatan.