Pengalaman kita dua tahun mengelola pandemi memberi pelajaran untuk tetap optimis tanpa mengabaikan tanda-tanda bahaya yang ada. Penerapan protokol kesehatan tak boleh longgar.
Capek sudah dua tahun kita memerangi wabah Covid-19. Meski telah ditemukan kasus Omicron di Indonesia, kita tetap ingin agar badai segera berlalu. Mengutip Berlian Hutauruk, “enyahlah engkau awan hitam di hati yang gelisah semusim yang lalu; jangan lagi ada daun-daun berguguran”.
Cukup sudah 144.000-an orang, termasuk ratusan tenaga kesehatan, yang gugur akibat virus ini. Kini, generasi lebih muda pun, dalam rentang usia enam hingga 11 tahun, disertakan menabuh genderang perang mengganyang sang virus. Jumlah kelompok usia ini 26 juta lebih.
Tulisan ini aslinya dimuat pada harian Kompas, 23 Desember 2021, halaman 6 (klik di sini). Bagi pembaca yang memerlukan, sebagian rujukan artikel jurnal dapat dilihat tautannya pada URL yang ditambahkan dalam tulisan ini.

Memang sudah saatnya kita kian optimistis. Sejauh ini dosis suntikan pertama di Indonesia telah meraih angka 70 persen, sedangkan dosis kedua 50 persen, 10 persen di atas target WHO. “Ini melegakan,” kata seorang peneliti vaksin senior yang juga ahli anak.
Sedikitnya 13 vaksin Covid-19 di dunia telah disetujui untuk digunakan pada saat gawat (emergency use). Hingga pertengahan 2021 belum ada otorisasi untuk dipakai pada anak-anak, yang dianggap tak seberapa peka (less vulnerable) untuk dijangkiti penyakit ini. Kini situasinya berubah.
Sebenarnya sejak Maret 2021 pabrik obat AS Moderna sudah mengumumkan uji klinis pertamanya pada anak usia enam bulan hingga 12 tahun. Pfizer, juga dari AS, siap menguji suntikan itu pada anak di atas 12 tahun; AstraZeneca, perusahaan gabungan Inggris-Swedia, juga tengah menguji klinis pada anak 6-17 tahun.
Anak-anak yang terinfeksi tanpa gejala tetap dapat menularkan virus SARS-CoV-2, ‘preman’ super mungil penyebab Covid-19.
Mengapa uji klinis pada anak harus beda dengan yang untuk dewasa? Hingga pertengahan 2021 anak-anak memang belum jadi target utama para pengembang vaksin, sebab jarang dari mereka sakit. Namun, bukti- bukti menunjukkan, memvaksinasi mereka bisa melindungi seluruh penduduk. Anak-anak yang terinfeksi tanpa gejala tetap dapat menularkan virus SARS-CoV-2, ‘preman’ super mungil penyebab Covid-19.
Juga jarang ada kasus pada anak yang terinfeksi mengembangkan kondisi fatal dalam dirinya, yang disebut sindroma peradangan multisistem (multisystem inflammatory syndrome). Namun, banyak anak yang ternyata menunjukkan gejala-gejala persisten mirip dengan ‘long covid’ pada orang dewasa. Tidak jelas mengapa anak relatif kurang menderita akibat Covid-19 dibandingkan orang dewasa, tetapi beberapa penelitian menghubungkan hal itu dengan perubahan pada sistem imunitas tubuh ketika umur mereka makin bertambah.
Sistem imunitas itu muncul dalam dua bentuk. Pertama, dari dalam tubuh sendiri (innate), yang tersedia dalam badan sejak kita lahir dan muncul sebagai respons awal terhadap setiap serangan, agen asing dan segala patogen (penyebab sakit).
Yang kedua, adaptif: sistem kekebalan yang diperoleh berbarengan dengan bertambahnya usia kita. Mudahnya begini: tubuh kita sangat pandai menyesuaikan dirinya pada situasi yang berubah, beradaptasi melalui sistem kekebalan yang dimilikinya. Ia bertindak ketika sistem yang pertama (innate system) gagal mencegah menyebarnya serangan patogen.
Baca juga : Perkembangan Varian Omicron
Ia juga mengingat (merekam dalam “memori”-nya) segala virus yang pernah dikenali sebelumnya. Ibarat penjahat, patogen yang datang belakangan itu akan dianggap oleh tubuh semacam “residivis” yang dulu sudah pernah merampok harta (kesehatan) kita. Mungkin sekali innate system anak-anak lebih ‘jago’ dalam mengenali serangan patogen baru (si “residivis”) dan memerangi mereka dibanding orang dewasa.
Kalau sistem kekebalan terhadap Covid-19 membawa dampak berbeda pada anak dan orang dewasa, demikian pula halnya efek vaksin. Itu sebabnya penting untuk membuktikan bahwa vaksin-vaksin itu sama-sama aman dan efektif bagi semua umur, baik untuk orang dewasa, maupun bagi anak-anak kita.
Lazimnya, sesudah para periset berhasil membuktikan bahwa vaksin itu aman dan efektif pada orang dewasa, barulah mereka melanjutkan studinya pada kelompok yang lebih muda, dengan cara “de-escalation,” yakni memulai dari kelompok remaja, lalu pada anak yang lebih muda dan terakhir pada si Upik dan teman-temannya yang masih bayi.Dalam uji klinis pada anak-anak juga akan dilihat seberapa banyak antibodi diproduksi dalam merespons dosis vaksin yang diberikan, untuk mencatat apakah mereka memperoleh proteksi yang sama dengan orang dewasa. Tentu saja uji klinis itu disertai pengukuran tanda-tanda keberhasilan (markers of success) lain seperti efek samping, jumlah kasus dan gejala-gejala yang muncul.
Namun, jumlah pengujian tak perlu sebanyak pada orang dewasa, berhubung peneliti sudah (dan akan terus) mengumpulkan data serupa dari jutaan hasil vaksinasi yang telah diberikan ke orang dewasa.
Moderna, misalnya, merekrut lebih dari 30.000 orang dewasa pada uji klinis fase ke-3, sementara untuk uji klinis pada anak, produsen vaksin mRNA yang berpusat di Cambridge, Massachusetts (AS) hanya mengikutsertakan 6.750 peserta.
Kita bisa berharap imunitas kelompok (herd immunity) — ketika sejumlah besar populasi menjadi kebal dari serangan virus— segera terwujud, sebagai hasil vaksinasi atau infeksi virus sebelumnya. Data yang ada di banyak tempat yang sudah meraih vaksinasi pada sejumlah besar penduduknya seperti Inggris, menunjukkan jutaan suntikan itu memang efektif.
Namun, seperempat penduduk dunia kini berada pada usia di bawah 14 tahun. Kalau mereka ini belum divaksin, mustahil bagi dunia menghentikan penyebaran Covid-19 secara tuntas. Makin cepat anak-anak dapat vaksin, makin besar kans kita mengenyahkan virus itu dari planet Bumi.
Itu sebabnya kita optimistis, karena dimulainya program vaksinasi bagi anak-anak di negara kita nyaris bersamaan dengan munculnya Omicron, sehingga harapan mencegah penyebaran berbagai varian virus Covid-19 kian tinggi. Dua jempol untuk Pemerintah Indonesia. Terlebih karena cakupan vaksinasi dosis satu dan dua terus melaju kencang.
Makin cepat anak-anak dapat vaksin, makin besar kans kita mengenyahkan virus itu dari planet Bumi.
Vaksinasi dosis ketiga.
Tetapi pemusnahan virus tak dapat tuntas, jika antibodi banyak penduduk menurun setelah vaksinasi kedua. Penelitian menunjukkan, antibodi yang terbentuk pasca vaksinasi akan terus menurun secara signifikan. “Mulai bulan keenam setelah vaksinasi kedua, turunnya antibodi bisa lebih dari 50 persen dibandingkan dengan tiga bulan pasca vaksinasi,” kata peneliti senior tadi.

Sejauh ini, yang diperiksa pada pasca-vaksinasi adalah sebagian antibodi, sedangkan bagian antibodi yang lain, seperti kadar sel memori dalam darah (yang mungkin saja masih memberikan perlindungan bagi tubuh) tidak dipantau karena biayanya kelewat mahal.
Dengan berpatokan pada kadar sebagian data (antibodi) yang menurun itulah di banyak negara penduduk mulai diberi suntikan dosis ketiga, yang sering disebut ‘booster’. Kita bersyukur bahwa hampir bersamaan dengan imunisasi pada anak, pemerintah segera melaksanakan dosis ketiga itu. Hal ini diharapkan bisa meredam ancaman gelombang ketiga, khususnya yang muncul akibat galur (varian) baru Omicron.
Galur baru Omicron (B.1.1.529) sendiri masih menyimpan banyak misteri. Epidemiolog AS Dr Michael Osterholm yang juga Direktur Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit AS (CDC), misalnya, menyampaikan pada CBS News (30/11/2021) bahwa, saat ini kita lebih rentan karena sejumlah orang yang telah divaksin 6,7 atau delapan bulan lalu belum memperoleh booster dan kembali masuk dalam situasi risiko yang lebih tinggi.
Sebelumnya, CEO produsen vaksin Moderna yang dikutip CBS News mengatakan, vaksin yang ada mungkin sekali tidak efektif melawan Omicron.
Baca juga : Waspadai Omicron, Batasi Mobilitas
Ahli penyakit dalam asal Surabaya RA Adaninggar SpPD yang menjadi influencer di Instagram (@drningz) 17 Desember lalu mengutip sebuah temuan bahwa varian Omicron 70 kali lebih cepat menginfeksi ketimbang varian Delta ataupun varian orisinal SARS-Cov-2, dan berkembang biak di bronkus (saluran napas cabang tenggorokan yang menghubungkan rongga hidung dan rongga mulut dengan paru-paru).
Artinya Omicron jauh lebih cepat menular. Namun, penelitian yang dilakukan Dr Michael Chan Chi-wai dan tim dari University of Hong Kong (HKUMed) itu juga mendapati bahwa, 24 jam setelah infeksi jumlah perkembangbiakan (replikasi) virus Omicron di paru hanya sepersepuluh jumlah replikasi akibat infeksi oleh varian orisinal SARS-Cov-2. Ini bisa menjadi indikator kurangnya keganasan varian ini.
Walakin, penting dicatat: “keganasan (severity) penyakit tidak hanya ditentukan oleh jumlah replikasi virus, melainkan juga oleh respons sistem imunitas host (penderita) terhadap infeksi, yang dapat menunjukkan adanya kekacauan pengaturan sistem innate kekebalan (seperti adanya badai sitokin),” kata Dr Chan. Penting juga diperhatikan, akibat makin banyaknya orang yang tertular, virus yang amat menular dapat mengakibatkan penyakit yang lebih ganas dan kematian, meski si virus sendiri tak seberapa ganas (patogenik). Studi itu menunjukkan varian Omicron dapat meloloskan dirinya (artinya ‘kebal’) dari pertahanan imunitas yang dihasilkan vaksin dan infeksi sebelumnya, sehingga secara menyeluruh ancaman Omicron tampaknya bisa sangat signifikan. (Paper Dr. Chan dan tim bisa diakses pada tautan ini.)
Penelitian dokter Haogao Gu dan tim, juga dari HKUMed, mengukuhkan hal itu. Sebagaimana ditulis Gu dan tim dalam jurnal Emerging Infectious Diseases yang diterbitkan CDC 3 Desember lalu, dua pelancong dari Afrika Selatan dan dari Kanada yang tiba dan menjalani karantina di hotel di Hong Kong menunjukkan bahwa mereka telah terpapar Omicron. Padahal kedua pasien itu telah menerima vaksinasi penuh menggunakan vaksin Pfizer. (Catatan: Untuk paper Gu dan tim bisa dirujuk di sini).
Laman penerbit makalah ilmiah Nature, 25 November silam juga menyebutkan kasus kedua pelancong itu. Menurut Nature, penularan yang terjadi di Afrika Selatan terjadi di antara mereka yang menerima salah satu dari tiga vaksin yang dipakai di sana: produksi Johnson & Johnson, Pfizer–BioNTech dan Oxford–AstraZeneca.
Kelihatannya, pada 2022 mendatang Omicron akan mendominasi penyebaran Covid-19 di dunia, menggeser peran galur Delta. Oleh karena itu, kini kita berkejaran dengan waktu untuk mengebut vaksinasi, termasuk penyuntikan booster. Pasalnya, Omicron ini sangat liar: hanya dalam tempo 10 hari, antara 15 dan 25 November 2021, jumlah kasus Covid-19 varian baru ini di Afrika Selatan melonjak dari 400-an sehari menjadi lebih dari 2.000 per hari. Tampaknya Omicron “lebih lihai” dalam merengkuh sel-sel manusia dan lebih pandai menghindari radar antibodi yang muncul berkat vaksinasi bagi infeksi sebelumnya.
Walakin, walaupun keganasan varian baru ini tak “sekejam” induknya, yang bikin kita kuatir adalah daya sebar varian Omicron yang jauh lebih luas itu. Meski sudah ditemukan pada lebih dari 77 negara di dunia, “ada kemungkinan banyak negara yang belum mendeteksinya, karena rendahnya capaian pencatatan genomik (genome sequencing),” kata Dirjen WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus.
Sambil menunggu Omicron menampakkan warna aslinya beberapa pekan ke depan, Indonesia perlu mengebut pendataan genomik ini.
Sambil menunggu Omicron menampakkan warna aslinya beberapa pekan ke depan, Indonesia perlu mengebut pendataan genomik ini. sebab penelusuran genom ini luar biasa penting untuk mengidentifikasi adanya varian baru. Meski kita tidak berharap, boleh jadi Omicron bisa melumpuhkan sistem kesehatan kita seperti sebelumnya.Pengalaman kita dua tahun mengelola pandemi memberi pelajaran untuk tetap optimis tanpa mengabaikan tanda-tanda bahaya yang ada. Penerapan protokol kesehatan tak boleh longgar. Sebelum kekebalan kelompok tercapai, maka pada setiap libur panjang seperti Natal, Tahun Baru dan Lebaran, kewaspadaan mesti ditingkatkan. Agar badai semusim yang lalu tak datang lagi.
Syafiq Basri Assegaff: Dokter Alumnus Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran. Pengajar di Institut Komunikasi dan Bisnis LSPR, Jakarta.
Editor: SRI HARTATI SAMHADI, YOHANES KRISNAWAN