Mengapa Varian Baru Covid-19 Lebih Berbahaya?

Waktu untuk membaca: sekitar 7-8 menit.

Varian baru virus Covid-19 terjadi karena mutasi, sebuah peristiwa yang selalu terjadi pada virus. Tetapi sebelum membahas itu, baik kita bayangkan ini: Pada sebuah kompleks perumahan, ada 14 keluarga ‘baik-baik’ dari empat RT berbeda yang pindah, lalu rumah mereka kemudian dihuni teroris, “preman,” dan kelompok radikal. Tiga rumah lain di kompleks juga roboh. Situasi menjadi gawat, sehingga polisi pun kini terus mengintai kegiatan di situ.

Tulisan ini merupakan naskah asli, yang hasil editingnya dimuat pada harian Kompas, Senin 11 Januari 2021. Dapat dibaca juga pada pranala ini: https://www.kompas.id/baca/opini/2021/01/11/mengapa-varian-baru-covid-19-lebih-berbahaya/

Perumahan itu ibarat virus SARS-CoV-2 (penyebab Covid-19) yang memiliki banyak spike (bayangkan “duri” pada kulit durian, atau paku), dan perpindahan 14 penduduk dan rubuhnya tiga rumah analog dengan mutasi yang terjadi pada gen-gen dalam virus, sedangkan “polisi” adalah para ilmuwan yang terus menginvestigasi perkembangan varian baru itu.

Yang terjadi pada varian ini adalah 14 mutasi yang menghasilkan perubahan susunan asam amino dan tiga bagian yang menghilang (deletions) pada ‘tubuh’ virus itu. Sebagian perubahan itu diyakini membawa pengaruh terhadap daya tular (transmissibility) pada manusia. Sementara itu, bagian yang hilang pada posisi spike protein 69-70 di ‘tubuh’ virus membawa dampak pada salah satu analisis (assay) hasil reaksi pemeriksaan dengan metode polymerase chain reaction (PCR). Organisasi kesehatan dunia WHO pada 20 Desember lalu melaporkan, terhapusnya spike 69-70 menggagalkan target PCR pada gen S (spike). Tetapi kebanyakan PCR yang digunakan di dunia, untungnya, menggunakan multitarget sehingga PCR masih akan menunjukkan hasil diagnosis yang baik.

Baca juga tulisan sebelumnya di sini: Perkara Virus Covid-19 yang Jarang Diungkap (Kompas, 29 Desember 2020.)

Berada di bagian paling luar virus, spike protein menjadi semacam “kunci” bagi virus untuk “menggaet” receptor sel sasaran host di badan kita, lalu masuk dan “meleburkan” dirinya (berfusi) ke dalam sel, untuk kemudian mereproduksi diri. Virus memang tidak kawin. Untuk memperbanyak dirinya (reproduksi), virus melakukannya di dalam sel tuan rumah (host): ada yang menyelusup ke inti sel, atau menyelinap ke bagian sel yang disebut ribosome seperti virus corona. Pada SARS-CoV-2, sejumlah spike yang melingkari tubuh virus menjadikannya mirip mahkota (crown); dari situlah muncul nama corona. Bagian di bawah spike adalah amplop protein. Di dalam amplop ada lapisan membrane yang melingkupi “isi” virus yang tadi berfusi dengan sel host.

Mutasi pada varian baru ini “beda”: ia lebih banyak bertransmisi (berpindah tempat, atau menyebabkan penularan) ketimbang varian-varian lain. Artinya, lebih mudah menyebar

Investigasi para ‘polisi’ melihat varian baru ini lebih menular daripada ‘orangtuanya.’ Bukti-bukti terakhir yang dilaporkan ilmuwan Inggris Desember lalu, varian baru ini 71 % lebih tinggi daya tularnya dibanding varian-varian lain. Varian yang berada dalam investigasi ini dikenal dengan B.1.1.7, atau disebut juga VUI 202012/01 (singkatan dari variant under investigation, tahun 2020, bulan 12, varian 01). Sebagaimana ditulis Elisabeth Mahase dalam British Medical Journal (BMJ), 23 December lalu, varian baru ini pertama kali ditemukan pada 2 September 2020, lalu diteliti kandunganya (sequenced) pada awal Oktober dan baru dijelaskan bahwa ia “penting” pada Desember 2020. Indonesia mengumumkan penutupan pintu masuk pada awal Januari lalu. Sehingga lebarnya jendela waktu antara September 2020 hingga awal 2021 memungkinkan sudah ada varian baru yang masuk ke negeri kita. Jika pun tidak ada varian baru yang diimpor ke Indonesia, siapa bisa menjamin bahwa tidak ada mutasi pada virus domestik? Sebab, sebagaimana lazimnya virus, biang kerok Covid-19 ini juga selalu bermutasi. Di Inggris sendiri, sebenarnya sejak Maret lalu sudah terlihat adanya delapan calon turunan mutasi yang telah dipilah-pilah, hasil penelitian kandungan virus secara mendalam (sequencing), tetapi varian B.1.1.7 inilah yang punya “keistimewaan” mencolok.

Materi Genetik yang Jadi Parasit Sejati.

Bicara virus, mengharuskan kita membahas gen, unsur terpenting pada makhluk hidup. Juga pada setiap virus, yang jumlahnya di dunia, menurut the Economist 22 Agustus 2020, diperkirakan mencapai 1031, yakni 10 dengan 31 nol di belakangnya, mengalahkan semua bentuk kehidupan yang ada di planet kita. Virus adalah sebuah materi genetik yang mengeksploitasi metabolisme organisme lain (host) demi reproduksi diri sang virus. Mereka adalah parasit dalam makna paling sejati. Di luar kode genetik yang dimilikinya (sehingga menjadikan mereka eksis), virus-virus itu meminjam segalanya dari host tempat mereka bercokol, mulai dari hewan bersel satu, protozoa, bakteri, kelelawar, manusia atau host lainnya.

Akibat Wabah Covid-19: Orang lebih banyak meluangkwan waktu berselancar di Internet.

Berbeda dengan virus, makhluk lain memiliki sejumlah sel yang mengalirkan energi dan menyimpan informasi. Metabolisme sel-sel ini memanfaatkan energi yang diperolehnya dari matahari atau makanan, untuk membangun molekul-molekul baru dan mengganti yang menua, menggunakan mekanisme di dalam gen-gen yang diwarisi dari induknya, dan mungkin diwariskan juga kepada anak-cucunya. Tetapi tidak ada metabolism dalam diri virus, karena putusnya hubungan antara metabolisme dengan gen-gen. Partikel superkecil, virion, tempat gen-gen itu dibungkus, sepenuhnya ‘beku’ (mati). Virion ini hanya sebuah rancangan materi, sebuah aransemen ‘benda’. Tetapi virus bukanlah virion. Virus itu sebuah proses, bukan sesuatu (benda). Ia hanya bisa hidup di dalam sel-sel lain, sebuah organisme yang berjalan pada perangkat keras yang dipinjam sang virus untuk memproduksi lebih banyak copy genome dirinya.

Virus tak punya rencana atau pun kehendak, tetapi ketika menginfeksi sebuah sel host, virus akan memaksa sel itu memproduksi ribuan copy virus yang identik dengan virus induk secara amat cepat. Istilah kita: beranak-pinak.

Meski selalu bermutasi sepanjang waktu, seringkali mutasi itu tak membawa dampak. Tetapi pada mutasi varian baru ini beda: ia lebih banyak bertransmisi (berpindah tempat, atau menyebabkan penularan) ketimbang varian-varian lain – yang artinya lebih mudah menyebar. Contoh: hanya selang sehari sesudah ditemukannya varian baru ini di Colorado, AS, sebuah kasus baru muncul di California.

Syukurlah tidak ada indikasi bahwa varian baru ini akan mengganggu keampuhan (efikasi) vaksin atau bakal memperparah penyakit. Meski para ‘polisi’ masih membutuhkan lebih banyak data guna memastikannya, banyak ilmuwan yakin bahwa “anak bandel” ini, kalau pun ada pengaruhnya, tidak akan mengurangi efikasi vaksin. Juga tidak cukup bukti bahwa varian ini akan memperparah gejala penyakit korona.

Walakin, ini yang penting: varian Covid-19 lebih mudah bertransmisi (transmissible). Berarti ia punya potensi membawa malapetaka besar. Menengok pada situasi pandemi sekarang ini, satu varian yang “lebih mudah bertransmisi” akan lebih berbahaya daripada varian yang “lebih ganas” (severe variant). Ini karena virus dengan angka transmisi tinggi menyebabkan sang virus lebih mudah menular (contagious) dengan risiko pertumbuhan eksponensial, sedangkan naiknya keganasan cuma akan meningkatkan risiko pertumbuhannya secara linear, membawa dampak hanya pada yang sudah terinfeksi.

Berbeda dengan hitungan linear, pertumbuhan eksponensial, yang biasa terjadi pada makhluk biologis yang membelah diri, bertambah amat cepat. Ngebut. Dimulai dari ‘seekor’ makhluk, menjadi dua, lalu “melompat” menjadi empat, dari empat ke delapan, delapan menjadi 16, dan seterusnya 16 menjadi 32, 64, 128, 256, lalu 512, kemudian mendadak naik jadi 1.024, dan seterusnya. Maka, peningkatan eksponensial menyebabkan jumlah orang yang terinfeksi virus itu dalam waktu singkat melonjak menjadi puluhan ribu bahkan jutaan.

Beda risiko antara transmisibilitas (daya tular) dan letalitas bisa ditilik dari contoh yang dikemukakan guru besar analisis wabah secara matematis dari London School of Hygiene & Tropical Medicine Adam Kucharski. Ia mensimulasikan adanya peningkatan 50 persen letalitas (daya bunuh) virus dibanding dengan peningkatan 50 persen transmisibilitas virus. Ketika itu, sebagaimana ditulis Zeynep Tufekci dalam theatlantic.com, Kucharski mengacu pada angka reproduksi 1,1 dan risiko fatalitas infeksi 0,8 pada 10.000 kasus aktif – sebuah skenario yang saat itu sesuai dengan keadaan pada berbagai kota di Eropa. Nah, berdasarkan hitungan enam hari periode infeksi, hasil simulasinya menunjukkan bahwa, ketika terjadi 129 kematian dalam sebulan, maka kenaikan fatalitas 50 persen akan menambah jumlah peti mati menjadi 193. Sedangkan, kenaikan transmisibilitas 50 % pada skenario yang sama akan melejitkan angka kematian dalam sebulan menjadi 978.

Prosentase kecil dari angka raksasa tentu masih jauh lebih besar ketimbang prosentase besar dari sebuah angka kecil. Satu persen dari 10 juta (100 ribu) tentu jauh lebih besar daripada 25 persennya sejuta (2500).

Memang transmisibilitas amat cepat melebarkan penyebaran risiko: setiap satu penderita baru secara potensial akan menginfeksi sejumlah besar orang lain. Tentu saja infeksi itu tragis, dan varian baru ini (untungnya) tidak seberapa ganas (letal) yang berarti varian ini tidak lebih mengancam bagi yang terinfeksi. Namun, ia membawa ancaman lebih besar bagi masyarakat sekitarnya, karena dapat menambah jumlah yang tertular secara dramatis. Dalam kalimat lain, prosentase kecil dari angka raksasa tentu masih jauh lebih besar ketimbang prosentase besar dari sebuah angka kecil. Satu persen dari 10 juta (100 ribu) tentu jauh lebih besar daripada 25 persennya sejuta (2500).

Justru Harus Makin Serius dalam Pencegahan

Meski belum sepenuhnya diyakini, data yang ada menunjukkan bahwa varian baru ini 71% lebih menular, disebabkan varian B.1.1.7 ini mempunyai sejumlah besar perubahan genetik yang unik, khususnya pada bagian ‘spike protein’ tadi. Memang masih ada beberapa spekulasi dalam memahami mekanisme detail pada varian baru ini. Tetapi fakta menunjukkan bahwa, cara-cara mencegah dengan protokol kesehatan justru harus dilaksanakan secara lebih serius: masker yang lebih melindungi, waktu dalam ruangan yang kian berkurang, ventilasi yang lebih baik, dan kian banyak disinfeksi pada permukaan yang mudah bersentuhan – demi memperoleh pukulan yang sama mematikan untuk peningkatan proteksi.

Pasalnya, sebagaimana disebutkan di atas, bukan mustahil muncul juga varian baru di Indonesia, meski tidak kita harapkan. Sedikitnya sudah ditemukan adanya varian baru di 35 negara, termasuk Australia, Singapura, Thailand dan Vietnam (Kompas, 5-01-2021). Epidemiolog Inggris Susan Hopkins di BMJ mewanti-wanti, sangat mungkin banyak negara lain akan melaporkan kasus varian baru ini, tergantung berapa banyak tes yang dilakukan. Inggris sendiri melakukan 10 % sample yang diuji dalam genome sequencing, di atas rata-rata yang dilakukan banyak negara lain.

Walhasil, sambil menunggu mendapatkan informasi yang lebih terang soal varian baru ini, yang amat penting dilakukan sekarang ini adalah menekan kurva angka penularan yang ada. Sebab — sementara kejamnya ancaman pertumbuhan eksponensial membayangi kita — kurva yang makin landai akan menunda potensi infeksi selama beberapa pekan, dan itu bisa menyebabkan perbedaan hasil yang amat besar ketika vaksinasi yang efektif telah dilaksanakan.

Baca juga: Jangan Meninggal Akibat Korona.

Perkara Virus Covid-19 yang Jarang Diungkap

Tulisan ini telah dipublikasikan harian Kompas, Selasa 29 Desember 2020, halaman 7.

Syafiq Basri Assegaff
(Dokter, dan pengajar di Institut Komunikasi dan Bisnis LSPR, Jakarta)

Anda bisa membaca artikel aslinya di pranala berikut (harus berlangganan): https://www.kompas.id/baca/opini/2020/12/29/perkara-virus-covid-19-yang-jarang-diungkap/

Setelah sepuluh bulan wabah Covid-19 menghantui kita, tampaknya masih banyak yang bingung tentang apa dan bagaimana virus itu. Padahal memahami sifat dan bagaimana karakterisik virus ini dapat membantu upaya penanggulangannya.

Para ahli bilang, sedikitnya ada tujuh varietas virus corona yang diketahui telah menginfeksi manusia: empat (bukan lima – red.) jenis virus corona ‘kelas ringan’ menyebabkan kita bersin-bersin kayak flu biasa; satu menyebabkan wabah di Timur Tengah sejak 2012 (yang dinamakan MERS, Middle East Respiratory Syndrome); dan dua penyebab sakit (patogen) sisanya meruyak luas hingga menyebabkan pandemi. Satu dari dua jenis virus yang terakhir ini adalah virus penyebab SARS dan “anak”-nya yang bandel, yang menyebabkan Covid-19.

Menyoroti Covid-19 hanya dari persamaannya dengan SARS dapat menjebak kita, sehingga menghasilkan respon keliru. Sebab, novel coronavirus penyebab Covid-19 ini beda, sehingga sangat perlu memahaminya agar masyarakat bisa memeranginya dengan cara terbaik. Dan ini berarti keharusan mengungkapkan urusan epidemiologi sang patogen (penyebab sakit).

Meski SARS yang pertama, yang disebabkan SARS-CoV-1, punya persamaan dengan Covid-19, tetapi secara epidemiologis keduanya memiliki perbedaan penting. SARS disebabkan oleh virus yang dikenal sebagai SARS-CoV-1, muncul pada 2002 dan menyebar ke 30 negara. Tetapi ia cuma menginfeksi 8422 orang dan ‘hanya’ membawa kematian 916 orang sebelum akhirnya berhasil dihentikan penyebarannya delapan bulan kemudian. Di sisi lain, virus penyebab Covid-19, SARS-CoV-2 yang kini berada di tengah-tengah kita hingga 5 Desember 2020 lalu telah membunuh lebih dari 1,5 juta orang di dunia.

Menurut Nicholas Christakis, seorang dokter dan sosiolog Yale University yang banyak melakukan riset dalam bidang jejaring sosial dan epidemiologi, patogen seperti virus penyebab Covid-19 memiliki banyak aspek yang sama dengan penyebab SARS. Keduanya berasal dari famili yang sama-sama merupakan coronavirus, dan memiliki sekuen genetik yang 79% identik. Keduanya muncul pertama kali di China, sama-sama menyerang alat pernafasan dan dapat sangat mematikan (letal). Kemampuan bertransmisi (transmissibility) keduanya juga mirip. Transmissibility, alias angka reproduksi penyebaran [“reproduction number” yang kini terkenal dengan istilah ‘er-nol’ (‘R0’)] merupakan kuantifikasi berapa kasus baru muncul dari setiap kasus yang ada lebih dulu. Menurut Christakis di The Economist, Agustus 2020, R0 SARS-CoV-1 dihitung berada pada kisaran 2,3 hingga 3,6. Demikian pula bagi SARS-CoV-2, berada di angka yang serupa. Seumpama angka itu dapat diterapkan pada penyebab Covid-19, secara kasar kita bisa mengatakan bahwa setiap satu orang pembawa virus mampu menginfeksi rata-rata tiga orang lain.

Tetapi ada beda di antara keduanya, yang jarang diungkapkan orang: virus penyebab SARS memiliki kualitas dalam dirinya yang menyebabkannya lebih sulit menyebar dan lebih mudah dikontrol, dibandingkan dengan penyebab Covid-19. Hal ini karena perbedaan angka rata-rata fatalitas kasus (case fatality rate atau CFR), gejala-gejala yang timbul, jangka waktu ‘daya menginfeksi’ dan nuansa reproduksi penyebaran yang dimiliki keduanya. Pertimbangan pada semua fitur itu penting, karena hal ini bisa menjelaskan mengapa virus Covid-19 sangat merusak, dan bagaimana cara terbaik memeranginya.

Daya Bunuh Covid-19.
Satu di antara perbedaan penting adalah fatalitas, atau ‘daya bunuh’. Sebuah cara epidemiolog menilai daya bunuh (letalitas) adalah tingkat fatalitas satu jenis virus (CFR), yang berarti kemungkinan seseorang akan meninggal saat ia menghadapi tindakan medis. Secara perhitungan meta-analisis angka case fatality rate (CFR), atau angka rata-rata fatalitas kasus adalah jumlah kematian yang dicatatkan dibagi jumlah kasus yang dilaporkan. Pada Agustus 2020 lalu, Christakis menyatakan bahwa SARS memiliki CFR sekitar 11 %, sedangkan CFR Covid-19 diperkirakan antara 0,5 – 1,2 %, menjadikannya sepersepuluh ‘kekejaman’ (daya bunuh) SARS.

Dari data yang ada pada situs WHO 6 Desember lalu terdapat 65,651,683 penderita terkonfirmasi di dunia, dan 1,519,193 di antaranya meninggal. Artinya angka CFR dunia saat ini adalah sekitar 2,3 %. Meski angka CFR terakhir ini lebih tinggi dari dugaan Christakis, tetap saja angka CFR Covid-19 itu hanya seperlima fatalitas (CFR) SARS-CoV-1. Memang angka CFR bisa berubah-ubah. Tetapi secara garis besar dapat dikatakan bahwa angka kematian Covid-19 lebih rendah dibanding melejitnya angka penyebaran kasusnya.

Dengan kata lain, jika seseorang dikenai Covid-19, kecil kemungkinan ia akan meninggal, sedangkan pada kejadian SARS dulu, kemungkinan meninggal bila sudah terinfeksi lebih besar, meski pun angka penyebaran penularannya rendah. Hal ini menjadikan virus Covid-19 sulit dikontrol akibat banyaknya orang tanpa gejala (OTG), yakni orang ‘sakit’ (membawa virus dalam tubuhnya) yang berkeliaran ke sana ke mari karena merasa dirinya sehat. Adapun SARS tidak menyebar seluas Covid-19 karena, secara paradoks, ia sangat mematikan. Artinya orang yang terinfeksi SARS-CoV-1 (penyebab SARS) sudah keburu meninggal sebelum ia sempat ‘berjalan-jalan’ ke berbagai tempat.

Rendahnya “daya bunuh” SARS-CoV-2 dibanding SARS-CoV-1, bukan berarti penyebab Covid-19 ini kurang membahayakan. Sebaliknya, ia justru menimpa lebih banyak orang. Untuk memahami bagaimana hal itu terjadi, mari bayangkan adanya dua patogen A dan B. Misalkan di antara 1000 orang ada 20 yang terinfeksi patogen jenis A sehingga sakit berat, lalu dua di antaranya meninggal, maka tingkat fatalitasnya adalah 10 % (dua dibagi 20).

Sementara itu ada patogen B, yang juga menjadikan 20 orang sakit berat dan membunuh dua dari 1000 orang, tetapi patogen B itu sekaligus juga menulari 180 orang lainnya yang akan ikut sakit ringan atau sedang, tetapi tidak (belum) menyebabkan kematian. Dalam perjalanannya, di antara 180 korban patogen B itu mungkin bisa menjadi sakit serius, seperti 20 yang pertama. Tetapi berhubung yang meninggal hanya dua dari 200 yang terinfeksi, maka angka fatalitas adalah satu persen.

Di sini, serangan virus B tersebut tampaknya lebih ringan, tetapi pada kenyataannya justru ia jauh lebih membahayakan. Maka wajar jika tidak seorang pun memilih berada pada kelompok yang terinfeksi patogen B – yang mengakibatkan terinfeksinya orang-orang 10 kali lebih banyak (dari yang jenis A).

Kondisi kedua (akibat patogen B) itu menjadi bagian dari karakter pandemi Covid-19 ini. Diperkirakan lebih dari separuh mereka yang terinfeksi tidak menunjukkan gejala (asimptomatik). Sebagian yang jatuh sakit akan menderita masalah kesehatan jangka panjang yang serius. Walakin, karena sebagian besarnya menunjukkan gejala yang mirip flu biasa, ada kecenderungan masyarakat menganggapnya tidak seberapa serius, sehingga menyebabkan kontrol terhadapnya makin sulit. Inilah fenomena yang terjadi pada OTG.

Periode Laten.

Keadaan semakin repot apabila menilik periode terjadinya penularan sebelum penyakit itu menunjukkan gejala. Para dokter biasa menamakannya “masa inkubasi” – jangka waktu antara saat mulai terinfeksi patogen sampai munculnya berbagai gejala (yang diakibatkannya). Rentang waktu masa inkubasi pada virus SARS-CoV-2 berkisar antara dua hingga 14 hari (sehingga direkomendasikan periode karantina selama 14 hari), dengan angka rata-rata sekitar 6-7 hari. (Untuk SARS akibat SARS-CoV-1, masa inkubasi ini adalah 2-7 hari.)

Walakin, beda yang jauh lebih penting di antara kedua patogen adalah perkara periode laten (latent period), yakni jarak bentangan waktu (tempo) antara mulai terinfeksinya seseorang hingga saat ia bisa menularkannya pada orang lain. Periode laten ini bervariasi, tidak selalu sama pada setiap penderita, yang sering dinamakan dengan “mismatch period”.

Nah, ketika periode inkubasi lebih panjang ketimbang latent period, maka OTG yang sebenarnya membawa virus dalam tubuhnya belum (tidak) menyadari hal itu, kecuali jika dilakukan pemeriksaan darah. Ini berbeda sekali dengan sifat penyakit lain seperti smallpox, yang memiliki periode laten lebih panjang sehingga seseorang akan menunjukkan gejala sebelum (atau pada saat yang sama ketika) ia punya kemampuan menulari orang lain: akibatnya penyakit itu jelas tampak pada semua orang (yang terinfeksi).

Berhubung masa inkubasi virus Covid-19 pada umumnya lebih panjang daripada latent period-nya, maka ia jauh lebih merusak (membahayakan) ketimbang virus penyebab SARS. Pasien Covid-19 memerlukan sekitar tujuh (7) hari (sejak terinfeksi) untuk menunjukkan gejala, tetapi ia dapat menyebarkan (menulari orang lain) selama 2-4 hari sebelum gejalanya muncul. Pada kenyataannya, menurut para ahli, satu hingga dua (1-2) hari sebelum gejala muncul mungkin merupakan saat penularan paling gencar– the most contagious.

Banyaknya orang yang lolos (survive) dari infeksi serius menyebabkan para petugas kesehatan mesti menyiapkan diri untuk pelayanan jangka panjang. Prevalensi (banyaknya kejadian) orang yang mengalami gejala mirip flu mengharuskan pemerintah, media, perusahaan dan masyarakat luas harus melipatgandakan kewaspadaan, sebab makin banyak orang yang merasa ‘lega’ atau tenang-tenang (complacency).

Menjaga jarak – agar tidak tertular atau menulari orang lain.

Kemudian, kesulitan kian menjadi-jadi untuk mengorganisasikan pesan-pesan kesehatan masyarakat ketika virus itu menunjukkan ketidakkonsistenan pada siapa ia menginfeksi, membahayakan dan siapa yang akan ‘dibunuhnya’. Fakta bahwa banyak OTG dapat menulari orang lain sebelum ada gejala berarti deteksi jadi sulit, sehingga isolasi mandiri dan kewajiban karantina menjadi sangat masuk akal.

Yang terpenting adalah kondisi para OTG tadi: kelompok ini, yang merupakan bagian besar penduduk, seringkali tidak menyadari bahwa mereka bisa menulari orang lain, karena tidak adanya gejala pada tubuh mereka. Konsekuensinya, kita tak bisa mengacu pada pendekatan program yang dilakukan pada kasus SARS dulu, ketika orang datang ke RS saat merasakan gejala dan pada saat yang sama sudah bisa menulari. Sebab, untuk kasus Covid-19 ini, kita tak bisa mengandalkan gejala untuk menetapkan kasus positif. Pengujian (testing) harus digencarluaskan dan hasilnya harus diketahui sesegera mungkin.

Mereka yang enggan mengenakan masker nantinya akan lebih paham jika mengerti bahwa hal itu lebih baik daripada bangkrutnya ekonomi dan menghitung banyaknya kafan. Berdasarkan epidemiologi virus, respon terbaik adalah sebagaimana dianjurkan petugas kesehatan – meski kadang ditolak sebagian komunitas: sampai nanti ketika vaksin yang efektif ada di depan kita, mengurangi interaksi sosial, menjaga jarak, dan memperluas testing (mitigasi) dan mengenakan masker.

Karakteristik nyata Covid-19 memastikan sebagian besar penduduk dunia akan terinfeksi olehnya sebelum virus pembawa bencana ini punah – sebuah parameter epidemiologis yang dikenal dengan istilah tingkat serangan (attack rate). Bagi SARS dulu, tingkat serangan sangatlah kecil: hanya 8422 orang dari seluruh (6,3 milyar) penduduk dunia pada 2003, atau sekitar 0.00013 persen. Sedangkan bagi Covid-19, sedikitnya 40 % dari 7,6 milyar penduduk dunia mungkin bakalan terinfeksi, dan membawa jutaan korban yang wafat. Perjalanan kita masih panjang. Maka lebih baik kita meresponsnya secara bijak.