
Oleh Syafiq Basri Assegaff*
Kompas.com – 14/01/2021, 06:00 WIB
Artikel ini, dimuat pada laman Kompas.com, pada 14 Januari 2021, dengan judul, “Varian Baru Corona dan Senjata Vaksin Kita, Jangan Sampai Malapetaka Datang.” Silakan klik di sini untuk tautan di Kompas.com itu.
SAAT ini kita memang punya senjata vaksin. Tersedia persis pada saat adanya ancaman (varian) virus baru mengadang kita. Bagaimana reaksi kita dalam beberapa pekan ke depan akan membawa beda hasil yang sangat besar. Jangan sampai malapetaka dulu, ketika cacar (smallpox) membunuh 300 juta orang pada abad ke-20, terulang. Untunglah vaksin telah menyelamatkan jutaan manusia dari cacar. Dunia juga berharap vaksin akan memberantas polio dalam waktu dekat. Kini harapan besar kita pada pengusiran virus corona dari muka bumi.

Setahun ini kita sudah mendalami tentang virus corona. Sang virus pun “mempelajari” kita, calon korbannya, sehingga mereka jadi ‘lebih pintar’ dalam upayanya menginfeksi manusia. Itulah yang terjadi dengan mutasi pada virus.
Miliaran virus di dunia melakukan mutasi, dan satu yang terdeteksi pada Desember 2020 silam di Inggris adalah mutasi virus penyebab Covid-19 menjadi strain baru SARS-CoV-2 yang disebut dengan B.1.1.7.
“Anak” virus ini berhasil memperkuat dirinya, sehingga memiliki daya tular (transmisi) yang 71 persen lebih kuat dari induknya. Diduga kuat varian baru B.1.1.7 ini ‘lebih pandai’ dalam menghindari respons imun kita dan mereplikasi diri, atau ikatannya pada lokasi di tubuh host (tuan rumah) menjadi lebih kuat dan kondusif dalam upayanya menulari orang lain. Yang terjadi pada “anak” SARS-CoV-2 ini adalah perubahan belasan gen pada virus, khususnya pada bagian spike protein, bagian luar virus (bayangkan ‘duri’ pada durian) yang merupakan ‘penggaet’ untuk masuk ke dalam sel host yang diinfeksinya. Jika sel host itu gembok, maka spike (paku atau ‘duri’) adalah kuncinya.
Untungnya, sejauh ini diketahui bahwa mutasi itu tidak mengubah efektivitas vaksin. Kita tahu bahwa sebagai respons pada infeksi alamiah atau vaksinasi, sistem imunitas akan menghasilkan sejumlah kumpulan antibodi di dalam tubuh. Baca juga: Epidemiolog: Setelah Vaksin Jangan Langsung Liburan Meski diperkirakan bahwa di antara mutasi pada varian baru akan berefek pada sebagian wilayah yang dikenali oleh antibodi, tampaknya tidak semua wilayah itu terdampak. “Tetapi ini bukan ilmu instan, kita masih harus menunggu pengembangan virus dan menerapkan uji (laboratorium) dengan serum-serum yang berbeda dalam beberapa pekan mendatang,” kata guru besar Imperial College London Peter Openshaw, sebagaimana ditulis dalam British Medical Journal (BMJ), 23 December silam.
Baca juga: Perkara Virus Covid yang Jarang Diungkap (tulisan di Kompas 29 Desember 2020 yang telah diunggah di blog ini).
Sejatinya vaksin membawa manfaat bukan hanya pada yang menerimanya, tetapi secara potensial juga bagi setiap orang, terlebih bagi mereka yang berada di sekitarnya. Makin berkurang jumlah orang pembawa virus tanpa gejala sakit (orang tanpa gejala, OTG) berarti makin sedikit yang bisa tertular. Memang indikasinya menunjukkan bahwa makin banyak yang divaksinasi akan semakin mengurangi penularan, meski berapa besar pengurangannya masih dalam penelitian, tetapi perbedaannya mungkin akan sangat substantif. Lazim diketahui bahwa mereka yang sudah divaksin akan sangat kecil kemungkinannya dihinggapi penyakit; artinya akan terhindar menjadi orang tanpa gejala (asymptomatic) atau OTG. Dan mereka yang tidak pernah menjadi OTG akan sangat kecil kemungkinannya menularkan Covid-19. (Namun mesti berhati-hati membedakan antara mereka yang asymptomatic (OTG) dengan mereka yang sebenarnya “baru akan sakit” (presymptomatic) yang biasanya sangat menular.
Dalam sebuah studi awal, sebagian vaksin diketahui dapat mencegah dua pertiga (2/3) infeksi asymptomatic. Meski masih diperlukan lebih banyak data untuk meyakinkan, jelas bahwa makin sedikit orang yang bisa menularkan sebuah patogen (seperti virus), makin sulit bagi patogen itu untuk menyebar.
Melandaikan kurva sebelum malapetaka datang Pada saat kita sudah punya vaksin, pelandaian kurva jumlah penularan di hari-hari mendatang berarti juga pemberantasan virus. Seorang mahasiswa pasca-doktoral di UCLA Dylan Morris yang mempelajari penularan virus dan studi kuantitatif penyakit infeksi menyatakan, intervensi non medis – seperti mengurangi kontak, pengunaan masker, jaga jarak, dan menghindari kerumunan – yang bisa menunda kasus, akan selalu berguna, dan saat ini, pada saat ada varian baru, hal itu benar-benar luar biasa bermanfaat. Kita memang berpacu dengan waktu.
Kesabaran dalam disiplin sambil melancarkan jalannya vaksinasi akan membawa perubahan besar terhadap penurunan angka kematian (mortality) dan jumlah kesakitan (morbidity). ”Bahkan, meski tanpa vaksin, memerangi virus meski secara sementara akan sangat penting artinya, khususnya karena adanya dampak eksponensial (hasil penularan),” kata Morris sebagaimana dimuat dalam laman theatlantic.com Desember lalu. Ini karena jumlah prosentase yang sama dari angka yang lebih kecil akan menghasilkan jumlah akhir yang jauh lebih kecil.
Bayangkan hal ini: pada ancaman sebuah tsunami, kita buru-buru memindahkan orang-orang ke lokasi yang tinggi. Setiap orang yang sudah di atas bukit akan selamat. Lebih baik lagi bila setiap mereka membantu orang lain untuk “ikut naik” agar terselamatkan. Hal itu sama dengan dampak eksponensial vaksin. Sebaliknya, dampak eksponensial meningkatnya penularan virus itu ibarat setiap orang yang tertinggal di wilayah pantai akan menghambat naiknya orang lain, sehingga ikut celaka. Pada situasi begini, makit cepat kita bertindak akan makin mudah dan kian baik hasilnya. Sebaliknya, makin lama kita menunggu, apalagi saat gelombang laut mulai masuk ke darat, makin sulit melakukan proses penyelamatan.
Demikianlah dengan varian baru ini, kita seperti berada pada saat awal sebelum tsunami muncul. Semuanya itu berarti bahwa pelaksanaan vaksinasi luar biasa penting. Memang ada indikasi kekhawatiran pada sementara pihak (atau mereka yang percaya pada teori-teori konspirasi), tetapi vaksinasi penduduk secara luas akan menyelamatkan banyak jiwa, dan epidemi diperangi dengan logistik dan infrastuktur yang optimal. Kita mesti menempatkan seluruh kekuatan, energi, biaya dan ketabahan demi memvaksinasi sebanyak mungkin penduduk secepat mungkin.
Jika seandainya, hanya seandainya, varian baru ini ternyata tidak seseram yang diduga, penularannya tidak secepat yang kita takutkan (dan kita akan mengetahuinya dalam waktu dekat), tetap saja kehati-hatian kita akan sangat bermanfaat. Walakin, jika ternyata ia benar sangat menular, kita bisa masuk dalam sebuah malapetaka besar: bersamaan dengan mulai tersedianya vaksin yang efektif, angka pertumbuhan eksponensial jumlah kesakitan dan kematian akan sangat masif. Kita sudah belajar satu tahun, mengenai pentingnya tindakan cepat, tentang perlunya mengambil keputusan segera dalam ketidakpastian, dan agar tidak mengacaukan antara “absennya bukti” dengan “bukti absennya” kita.
Setahun mengajarkan pada kita agar tidak “memimpikan kesempurnaan” dalam pengetahuan, tetapi lebih mementingkan dampak yang maksimal, meski dengan pertimbangan konsekuensi tertentu. Dan yang paling penting, pelajaran setahun ini mendidik kita agar tidak menunggu sampai dihadapkan pada ancaman dinamika eksponensial itu. Situasi memaksa kita bertindak sesegera mungkin dan membuat keputusan setegas kita bisa, dan baru membuat penyesuaian-penyesuaian nanti, belakangan, jika diperlukan. Jangan menunggu sampai tingginya kasus yang 13 Januari 2021 lalu mencapai 846.765 melonjak cepat hingga tembus angka satu juta. Meski belum diketahui masuknya “anak bandel” itu ke Indonesia, bukan berarti tidak akan ada varian baru virus SARS-CoV-2 di negara kita, sebab virus senantiasa bermutasi dari waktu ke waktu.
Memang masih ada ketidakpastian tentang rincian mekanisme pada varian baru ini, walakin fakta menunjukkan peningkatan disiplin protokol kesehatan luar biasa penting. Jika saat ini belum ada strain virus corona baru di Indonesia, siapa bisa memastikan tidak akan muncul “anak” yang lebih bandel dari induknya itu? Diperlukan dukungan untuk penelitian Untuk mengetahui perkembangan wabah, seharusnya negara makin menggalakkan dukungan pada penelitian dan pengembangan yang mendorong ilmuwan kita supaya dapat lebih banyak melakukan riset sejak dari hulu.

Sebab, riset mendasar di pangkal proses terjadinya wabah, seperti genome sequencing virus untuk “menguliti” segala yang terjadi di dalam virus (sebagaimana banyak dilakukan negara maju) merupakan tulang-punggung pengembangan ilmu kesehatan. Satu dasawarsa silam pernah ada gagasan pengembangan vaksin flu burung di Indonesia, tetapi sayang pelaksanaannya terseok-seok. Bersyukur Menteri Kesehatan (Menkes) yang baru sudah menunjukkan hal itu. Menteri Budi Gunadi Sadikin juga mengatakan akan menggalakkan peningkatan upaya mitigasi untuk menemukan kasus (surveillance) Covid-19 sedini mungkin (agar bisa tahu pola penyebaran) dalam jumlah yang lebih besar, khususnya melalui langkah sequencing itu. Dan rencana Menkes memanfaatkan belasan laboratorium di Indonesia untuk melakukan hal itu perlu diacungi jempol, sebab itu merupakan satu di antara yang mesti dilakukan, agar kita lebih mudah mengetahui jika ada mutasi yang ganas.
Pasti Menkes sudah mendapat info bahwa sebenarnya dari virus yang ada di Indonesia dapat diproses menjadi vaksin nasional, sebagaimana vaksin Merah-Putih yang tengah kita kembangkan. Pengembangan vaksin dalam negeri itu krusial, agar kita tidak membatasi diri hanya dengan mengerjakan bagian hilir (seperti uji klinis vaksin yang diimpor), atau sekadar menjadi “tukang assembling” vaksin saja. Pembandingnya ada pada negara tetangga Vietnam dan Thailand. Desember lalu, menurut Bloomberg 24-12-2020, Vietnam telah melakukan fase pertama uji klinis vaksin yang diproduksinya sendiri, Nanocovax. Sementara Thailand, yang tak ingin hanya bergantung pada inokulasi (pembiakan) bibit dari luar negeri, juga mengembangkan proyek vaksin dalam negeri, baik berupa vaksin mRNA (yang diharapkan tersedia pada akhir 2021) maupun vaksin DNA.
(*Syafiq Basri Assegaff, Dokter alumnus FK Unpad, pengajar pada Institut Komunikasi & Bisnis LSPR, Jakarta)
Baca juga: Mengapa Varian Covid Baru Lebih Berbahaya? (tulisan di Kompas yang diunggah di sini).