Kisruh Komunikasi Kesehatan


Berbagai sengkarut terkait isu RUU Kesehatan disebabkan lemahnya komunikasi publik Kementerian Kesehatan. Kecakapan dalam berkomunikasi ini sangat penting agar persoalan tidak menjadi berlarut-larut dan ada titik temu.

KOMPAS, 24 Mei 2023 , halaman 7 (klik di sini untuk tulisan aslinya di Kompas).

Ada yang tak biasa di Jakarta, 8 Mei silam. Ribuan dokter, dokter gigi, perawat, bidan, dan sejumlah tenaga kesehatan lain turun ke jalan. Mereka protes. ”Rancangan Undang-Undang Kesehatan harus ditinjau ulang,” teriak pendemo.

Tak pelak, aksi damai itu jadi perhatian besar media. Sejak pola omnibus diterapkan, kontroversi memang terus bergulir. Terkait RUU Kesehatan, seperti dilaporkan Kompas, setidaknya 15 undang-undang profesi dan kesehatan akan digabung jadi satu.

Dokter, bidan, hingga mahasiswa demo tolak RUU Kesehatan pada Senin 8 Mei. (Foto: Twitter @PBIDI)

Polemik yang muncul berhubungan dengan kewenangan organisasi profesi (OP), terutama dalam hal izin praktik, kolegium pendidikan, konsil kedokteran, hingga isu investasi dan tenaga kesehatan asing.

Menurut harian ini, persoalan menjadi berlarut-larut karena dari sejak topik RUU Kesehatan omnibus law muncul September 2022, tidak pernah ada titik temu antara pemerintah dan DPR dengan organisasi profesi dan kesehatan. Masing-masing menyampaikan aspirasi ke ruang publik, tanpa upaya mediasi untuk saling mendengarkan. Puncaknya, demonstrasi damai Senin itu.

Secara umum, para pendemo menganggap Kementerian Kesehatan kurang mengakomodasi kepentingan organisasi profesi (OP), seperti Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dan Ikatan Dokter Gigi Indonesia (IDGI).

Baca juga : Aksi Damai Ribuan Tenaga Kesehatan Tuntut Pembahasan RUU Kesehatan Dihentikan

Sejatinya, mudah bagi Menkes dan jajarannya mengakomodasikan suara-suara para pemangku kepentingan. Jika Kemenkes merasa sudah melakukan dialog, bukan berarti pintu harus ditutup karena masih banyak urusan yang disengketakan perlu dikunjungi ulang. Apa salahnya melakukan dua-tiga kali revisit?

Ada dua alasan untuk itu. Pertama, siapa lagi yang harus didengarkan oleh Menkes selain para dokter, perawat, dan tenaga kesehatan lain dalam isu ini? Kedua, kita pernah mengalami buruknya komunikasi pemerintah pada saat awal pandemi Covid-19 yang jadi pelajaran agar tak terulang.

Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin (kiri) menyerahkan daftar inventarisasi masalah RUU Kesehatan kepada DPR RI yang diterima oleh Wakil Ketua Komisi IX DPR RI Emanuel Melkiades Laka Lena dalam Rapat Kerja Komisi IX DPR RI di Jakarta, Rabu (5/4/2023).

Masih hangat dalam ingatan kita, di awal pandemi banyak yang menilai Pemerintah Indonesia, khususnya Kemenkes (waktu itu di bawah Menteri Terawan Agus Putranto), tidak terbuka kepada publik dalam upayanya menanggulangi wabah. Bahkan, Presiden Joko Widodo sendiri tahun 2020 pernah mengakui, komunikasi jajaran pembantunya buruk. Setidaknya tiga kali Presiden menegur dan memperingatkan para menterinya untuk bisa membangun komunikasi publik yang baik.

Untunglah Presiden kemudian menunjuk Menkes baru, Budi Gunawan Sadikin (BGS) yang, meskipun bukan dokter, diharapkan menjadi manajer yang piawai mengelola organisasi sepenting Kemenkes.

Walakin, rupanya asa pada BGS agak terusik ketika sejumlah masukan atau kritik tampak kurang mendapat tanggapan yang layak, termasuk misalnya pada kasus dokter spesialis bedah saraf Zaenal Muttaqin yang diberhentikan dari Rumah Sakit Umum Pusat Dr Kariadi Semarang.

Menurut Kompas (20/4/ 2023), pemberhentian dr Zaenal diduga akibat kritiknya terkait RUU Kesehatan. Menteri BGS sendiri tampaknya pernah menjelaskan sebagian perkara yang disengketakan tersebut.

Berdasarkan dialognya dengan para dokter dan OP, di antara perkara yang menurut BGS perlu dibenahi adalah urusan izin praktik dokter yang di dalamnya terdapat penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power), ancaman terkait rekomendasi izin praktik dokter, masalah pembagian kompetensi (shared competency) di antara para tenaga medis, dugaan adanya feodalisme di lingkungan kesehatan, dan rebutan lahan di antara sebagian tenaga medis.

Dalam sebuah wawancara dengan sebuah stasiun televisi, BGS, di antaranya, mengatakan, dirinya merasa kasihan kepada tenaga medis seperti dokter karena banyaknya biaya yang menjadi beban mereka dalam berbagai urusan administrasi.

Di antara sekian banyak kekhawatiran para dokter terhadap RUU Kesehatan adalah pelemahan OP karena banyak tugas dan fungsinya yang diambil alih Kemenkes.

Pandangan dokter

Masih banyak dokter yang tak sependapat dengan narasi-narasi yang dikemukakan BGS. Di antara sekian banyak kekhawatiran para dokter terhadap RUU Kesehatan adalah pelemahan OP karena banyak tugas dan fungsinya yang diambil alih Kemenkes. Juga bergesernya fungsi pendidikan atau keilmuan dari fakultas kedokteran universitas kepada Kemenkes.

Di sebuah diskusi dengan sejumlah dokter di grup media sosial para dokter, misalnya, dikatakan bahwa boleh jadi terdapat kekurangan di IDI, tetapi bukan berarti semuanya buruk karena sangat mungkin itu hanya ulah oknum. Kata seorang dokter senior, Kemenkes mesti ingat, berbeda dengan banyak OP atau lembaga independen lain, IDI tak menerima bantuan sepeser pun dari pemerintah.

Oleh karena itu, menurut mereka, naif untuk mempermasalahkan iuran anggota yang menjadi satu-satunya sumber dana bagi operasional IDI.

Seorang ahli kedokteran nuklir yang juga guru besar FK Universitas Padjadjaran, Johan S Masjhur, menulis di Surat Pembaca Kompas, alih-alih menyelesaikan masalah, RUU Kesehatan omnibus law justru akan mengacaukan sistem pelayanan kesehatan nasional. ”RUU itu tampaknya dirancang oleh orang-orang yang tak paham masalah kesehatan dan kedokteran di Indonesia, mungkin pula mempunyai maksud tertentu di baliknya,” tulisnya.

Lemahnya komunikasi

Sejatinya berbagai sengkarut terkait isu RUU Kesehatan dapat diselesaikan secara lebih baik kalau saja ada tanggapan dan interaksi (komunikasi) yang cukup dari Menkes BGS.

Kurangnya tanggapan itu, misalnya, tampak dari interaksi BGS di akun Instagram miliknya (@budigsadikin). Dengan pengikut (follower) lebih dari 59.000, kita melihat pemilik akun nyaris tak pernah menanggapi komentar dan pertanyaan para pengikutnya.

Penulis menyimak perbincangan dalam unggahan @budigsadikin, 14 Maret 2023. Unggahan berisi ajakan memberi tanggapan untuk RUU Kesehatan yang mengutip potongan video KompasTV itu mendapat lebih dari 400 komentar (terbanyak di antara unggahan lainnya), termasuk pertanyaan, bahkan hujatan kasar, dari audiens yang di antaranya memintanya mundur atau mencelanya sebagai—maaf—”bodoh.”

Sebegitu banyaknya kritik yang cukup keras (bahkan tak etis) di unggahan itu, sama sekali tak memperoleh jawaban balik dari Pak Menteri.

Padahal, di era informasi digital yang sangat transparan serta cepat dan mudah menyebar luas, percuma saja punya pengikut banyak di medsos jika kita tak pernah ngobrol (berinteraksi) karena sekarang ini yang namanya publik (”pasar”) adalah conversation atau perbincangan, saling bertukar informasi dan berinteraksi sesama pengguna.

Itulah yang kini disebut e-WOM, electronic-word-ofmouth, yang menjadi andalan para pemasar di dunia. Kata ahli pemasaran, ”Market’ Anda sekarang adalah perhatian (attention) publik. Alih-alih sebagai saluran untuk propaganda (atau bicara satu arah), medsos mestinya bisa jadi wadah bagi semua komunikator (pribadi ataupun organisasi) untuk memonitor perbincangan yang berlangsung dan berinteraksi secara terbuka.”

Sebab, dari situ sering kali muncul bara api yang bisa memantik isu-isu penting atau bahkan sebuah krisis.

Di samping medsos, penulis memandang semua centang perenang dalam sengketa RUU Kesehatan itu boleh jadi berasal dari urusan komunikasi yang tidak nyambung.

Di samping medsos, penulis memandang semua centang perenang dalam sengketa RUU Kesehatan itu boleh jadi berasal dari urusan komunikasi yang tidak nyambung. Peringatan Presiden Jokowi tiga tahun lalu dalam perkara komunikasi publik para pembantunya sangat patut diperhatikan.

Penulis bersangka baik bahwa pasti Menteri BGS punya maksud baik, tetapi sebagai komunikator mungkin saja ada yang perlu ditingkatkan dalam dirinya agar proses pelaksanaan RUU itu tidak tercoreng.

Guna menangani ini, kita berharap BGS dapat berperan sebagai komunikator yang kompeten. Jika dilihat dari lensa komunikasi, kompetensi komunikasi setidaknya memerlukan tiga hal: motivasi, pengetahuan yang cukup, dan berbagai kecakapan (skills) yang andal.

Pertama, motivasi yang menunjukkan adanya sejumlah maksud baik (goodwill)—sikap yang amat penting bagi seorang komunikator selevel menteri. Dalam hal ini, BGS telah sering menyatakan tujuan berbagai kebijakannya sebagai ”demi kepentingan masyarakat luas”, termasuk ketika ia bicara di depan DPR dan media massa.

Kedua, seorang komunikator yang kompeten juga memerlukan pengetahuan (knowledge) yang cukup tentang apa yang dibicarakannya. Untuk ini kita pun cukup percaya bahwa BGS termasuk menteri yang selama lebih dari dua tahun terakhir telah berhasil menimba pengetahuan dalam perkara kesehatan dan kedokteran dari para staf dan orang-orang di sekitarnya.

Sebagai sosok yang pandai, lulusan ITB dan bankir ini dikenal senang dan cepat belajar hal-hal baru. Kita tidak ragukan hal itu. Itu sebabnya pula barangkali mengapa Presiden memilihnya sebagai Menkes.

Namun, motivasi dan pengetahuan saja tidaklah cukup. Seorang komunikator yang kompeten juga memerlukan kecakapan (skills) dalam berkomunikasi, seperti hubungan antar-pribadi (interpersonal) yang unggul, koordinasi, dan melakukan persuasi yang efektif.

Melalui skill persuasi dan hubungan pribadi yang lebih baik, misalnya, dokter senior sekelas Zaenal Muttaqin dapat diajak bicara dari hati ke hati sehingga dapat diperoleh solusi yang saling menguntungkan.

Kecakapan lain, yang juga jadi kualitas pemimpin, adalah koordinasi, yang juga kunci bagi jalannya komunikasi dalam sebuah ketidaksepakatan. Guna membantu koordinasi yang baik agar dicapai hasil akhir yang efektif, akses ke informasi yang sesuai dan benar harus disebarkan dengan cara yang sesuai, pada saat yang tepat.

Mungkin saja banyak nakes kurang dapat informasi cukup, padahal tak adanya informasi menciptakan kecemasan, bahkan frustrasi. Namun, informasi hanya menjadi komunikasi ketika ada hubungan saling percaya (trust) di antara para pihak. Dalam kasus RUU Kesehatan, jelas trust itu mesti terus dibangun dan dipertahankan.

Dalam kasus RUU Kesehatan, jelas trust itu mesti terus dibangun dan dipertahankan. Repotnya, dalam banyak isu atau krisis, pihak yang bertanggung jawab sering kali lebih suka membela diri ketimbang berusaha bersikap terbuka. Caywood dan Englehart (2007) menerangkan, berbagai krisis di Amerika menunjukkan banyak organisasi masih mengulangi kesalahan fatal, seperti memilih membela diri ketimbang memproteksi ”brand” atau reputasi lembaga (negara)-nya.

Adanya kecakapan dalam berkomunikasi ini sangat penting agar seorang komunikator tidak terkungkung sehingga seolah berada dalam echo chamber, hanya dapat mendengar suara sendiri.

Kita berharap Menkes BGS yang sudah berhasil menangani pandemi Covid-19 bersama tenaga kesehatan dan OP bisa saling berkomunikasi secara lebih baik agar tenaga dan pikiran bisa fokus pada pemerataan kesehatan di seluruh Indonesia.

Kita tidak mungkiri adanya kelemahan di sana-sini. Namun, kalau ada nila setitik yang dapat merusak susu sebelanga, bukankah tidak berarti kita harus membuang seluruh susu, melainkan mencegah masuknya pewarna itu ke dalam kuali?

###

Syafiq Basri Assegaff Dokter dan Dosen Komunikasi di LSPR Communication and Business Institute, Jakarta.

Silakan Beri Komentar

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s