Pertengahan Juli lalu ratusan habib berkumpul di Jakarta. Mereka tak sedang menggelar aksi penyisiran menggebrak tempat antimaksiat menjelang puasa. Sebaliknya, mereka justru sedang berdiskusi dalam sebuah seminar internasional tentang cara dakwah yang damai dan toleran, berdasarkan sufisme dan spiritualitas, yang mendasari kesadaran beragama masyarakat kita sejak berabad-abad silam.
Tentu saja bukan hanya habaib (jamak kata ’habib’) yang ada. Selain dari Yaman dan Pakistan, seminar juga menghadirkan pakar dari Amerika Serikat, seperti Prof Engseng Ho (Duke University), Dr Mark Woodward (Arizona State University) dan Ismail Fajri Al-Attas (Michigan State University). Dari dalam negeri, di antaranya, hadir Habib Lutfi bin Yahya (Ketua MUI Jawa Tengah), dan Prof Azyumardi Azra (UIN Jakarta).
Oleh Syafiq Basri Assegaff *) Tulisan ini dimuat harian Kompas, Sabtu 28 Juli 2012, halaman 6. (Dapat dibaca juga di blog ini).
Diskusi ilmiah itu bukan saja penting, juga tepat waktu, khususnya melihat gejala meningkatnya ekstremisme dan intoleransi di tengah umat yang kian mengkhawatirkan belakangan ini. Pasalnya, secara historis, tasawufdan spiritualitas telah jadi tulang punggung penyebaran Islam yang ramah: tidak saja di Nusantara, juga di sejumlah wilayah di Asia Tenggara.