Puasa ini Mas Kiwir janji tidak akan menonton televisi. Kang Misro, tetangganya, heran. “Lho, kok memboikot tivi itu, kenapa Mas Kiwir? Bukankah itu media yang bagus untuk komunikasi, untuk menyebarkan pesan-pesan moral?”
(Terima kasih kepada Ust.Muhsin Labib yang menginspirasi tulisan ini.)
“Benar, Kang Misro. Tapi selama TV kita hanya berisi banyolan, games dan hiburan kekerasan yang tidak bermutu, saya mending membaca atau diskusi sama Anda atau dengerin ceramah di radio saja.”
Diskusi berjalan makin seru. Misro masih tidak bisa menerima alasan kawannya itu.
– Tapi bukankah itu hanya metode penyampaian saja, Mas, biar pemirsa tidak bosan?
– Ya,boleh saja mencari metode, demi menggaet penonton, atau biar ‘rating’-nya tinggi. Tapi Kang, sebagian besar acaranya benar-benar membodohi kita.
– Mas Kiwir mestinya tahu, sekarang ini ada belasan saluran TV swasta, dan mereka kan berebut mencari penonton sebanyak-banyaknya, Lebih-lebih pada saat ‘prime time’ seperti sebelum buka puasa dan menjelang sahur.
Anak-anak menonton film kartun di TV: selebihnya main dan tidur
– Justru itu Kang. Kalau banyolan dan games itu ditayangkan di luar ‘prime time’, saya tidak keberatan. Tapi herannya, mengapa pada saat kita kumpul bersama keluarga dan anak-anak, kita tidak mendapatkan sesuatu yang bermutu – yang bisa kita diskusikan bersama mereka. Maksud saya, sesuatu yang mengajarkan budi pekerti, yang meningkatkan keyakinan dan ilmu kita, sehingga kita berpuasa dengan penuh pemahaman dan tidak asal ikut-ikutan.
– Benar, memang tidak semua sih. Ada program yang bagus, tapi hanya sedikit saja.
– Kayaknya jarang ada bersikap seperti Mas Kiwir ini lho… Kebanyakan kita asyik saja menikmati acara-acara itu…
– Ah tidak, Kang Misro. Banyak yang kayak saya, tapi mereka diam saja, menjadi ‘the silent majority.’ Kemarin saya bikin survei kecil-kecilan lewat Black Berry Messenger, mengacu pada acara TV tahun yang silam. Ada 69 dari 100 responden yang sependapat dengan saya.
Misro menyeruput kopi yang disuguhkan Kiwir. Sesekali ia menjentikkan abu rokoknya di asbak.
– Bagaimana kalau acara itu ditayangkan di luar bulan puasa?
Awasi apa yang ditonton anak di TV
– Kalau di luar bulan Ramadhan sih masih mending Kang. Tetapi, tetap harus diingat dampaknya, terutama kepada anak-anak. Kang Misro tahu gak, diperkirakan rata-rata anak usia dua hingga 11 tahun hampir 30 jam berada di depan pesawat TV setiap minggu? Bayangkan bagaimana kalau acaranya merusak mental mereka; sedangkan yang mereka lakukan di luar itu cuma main dan tidur.
– Iya Mas, apalagi mereka sekarang jarang main di tempat terbuka. Main ’video-games’ melulu.
– Nah itu dia… Secara psikologis nonton program yang penuh tekanan emosi akan meninggalkan jejak jangka panjang pada jiwa seseorang, apalagi anak-anak. Tayangan menakutkan juga berdampak negatif pada jiwa mereka; sama halnya dengan aksi kekerasan, perkelahian dan pertumpahan darah yang dipertontonkan, semuanya mempengaruhi pikiran dan emosi pemirsanya.
– Padahal sepintas tampaknya TV bisa menjadi sarana pelepas ‘stress’ ya Mas?
– Iya. Tetapi sebenarnya TV justru menambahkan tekanan mental pada banyak orang. Acara yang buruk malah memperparah beban negatif kepada jiwa pemirsanya.
– Saya dengar kaum muda yang menonton TV akan mengidentifikasi diri mereka dengan apa yang dipertunjukkan ya Mas?
– Benar sekali, Kang. Mereka menghubungkan berbagai show dan film, juga games di video-games itu sedemikian rupa, sehingga mereka menjadi bosan pada kehidupan normal dan sederhana yang dialami. Secara sadar atau tidak sadar mereka kemudian memimpikan ketenaran, hidup kaya atau tokoh imajiner; bercermin pada kehidupan yang dijalani lakon utama acara TV atau video-games.
– Oh ya?
– Iya Kang. Yang lebih parah, para peneliti menyatakan bahwa penyakit kurangnya perhatian — biasa disebut ‘attention deficit disorders’ — pada anak-anak dapat terjadi akibat kebanyakan menonton TV. Mereka jadi malas membaca, sulit memberi perhatian dan berkonsentrasi.
Misro menghela nafas. Ia sedih mendengar itu, karena sadar anak-anaknya juga sangat doyan menonton TV. Kala libur malah mereka nongkrong di depan TV nyaris seharian. Kiwir melanjutkan obrolannya.
Anak-anak ‘tersihir’ acara TV: penyakit kurang perhatian
– Walhasil, Kang, terlalu banyak lawak dan games pada program siaran TV di bulan puasa ini sama sekali tidak tepat. Seolah mereka tidak paham makna puasa.
– Memang apa maknanya, Mas?
– Puasa kan untuk meningkatkan empati kita, menyadarkan semua ‘shoimien’ (mereka yang berpuasa) agar lebih iba, lebih berempati kepada para ‘mustadz’affien’?
– Siapa itu Mas?
– Mereka itu orang-orang yang tersingkir, kaum papa, yang miskin, dan teralienasi – yang dibuat lapar oleh kerakusan manusia lain – kaum materialis, koruptor dan sebagainya.
– Oh ya… Terus?
– Puasa itu perwujudan sebuah ritus multidimensional agar kita meruntuhkan dinding egoisme dan kesombongan diri.
– Jadi, lewat puasa semuanya itu bisa dihancurkan?
– Insya Allahbisa, Kang. Puasa itu gizi bagi jiwa kita, bagi ruhkani manusia.
Empati kepada mereka yang lemah: mustadz’affien rebutan makanan
– Wah, kayak protein buat menguatkan tubuh dan daya tahan jasmani ya?
– Persis…! Kita bisa berpura-pura di depan manusia, Kang, tapi kita tak bisa menipu Tuhan. Dia tahu apa Anda ikhlas berpuasa atau tidak. Lewat ritus itu, jiwa kita dilatih, agar tidak egois lagi, tidak sombong, dan mencari-cari ‘citra’ di depan manusia lain.
– Jadi, puasa itu semacam gerakan melatih badan untuk belajar merasakan penderitaan orang lain, ya Mas?
– Seratus buat Kang Misro! Lewat puasa itu, energi yang diserap oleh sel-sel tubuh yang lapar dan haus itu akan memantik jiwa, dan menyadarkan manusia agar meninggalkan penyembahan kepada uang, kepada materi, atau pendewaan pada berhala kekuasaan dan tuhan industrial.
– Termasuk ‘tuhan’-nya industri tivi, seperti lembaga rating, ya Mas?
– Hush… Awas Kang, nanti ada yang marah lho…
Kini giliran Kiwir menghirup kopinya…Misro kemudian menukas lagi.
– Jadi, maksud Mas Kiwir, bagaimana kita bisa menciptakan bangsa yang maju, jika di satu saat harus serius beribadah, tetapi di saat lain didorong untuk ‘ketawa ketiwi’, bersikap ‘semau gue’, mengabaikan lingkungan sosial yang terpinggirkan. Begitu?
Bagian otak: banyak dipengaruhi apa yang kita tonton
– Iya. Makanya kita jadi bertanya, mau dibawa ke mana bangsa kita nantinya? Kerja di TV kan juga sebuah ’muamalah’, bagian dari ibadah sosial, yang mengatur hubungan kita dengan sesama manusia.
– Dan muamalah itu tidak kalah pentingnya dengan urusan ritual, ya Mas?
– Benar. Menyediakan siaran yang bermutu, bagi mereka yang bertanggung-jawab itu merupakan ’muamalah’ mereka. Saya takut, seperti kita semua, mereka juga nanti diminta bertanggung-jawab di depan Tuhan.
Di sebuah potongan film pada the arrivals. Seorang motivator (mgkn pendeta) di amerika, memberikan ceramah dg sgt bersemangat ttg bahayanya menonton tv. Bukan hny bagi anak2, tp bagi org2 dewasa. Dia bilang tv ini merupakam alat hipnotis yg luar biasa efektif. Dan industri media yg satu ini hny dikuasai oleh segelintir org saja yg sepertinya dipersepsikan sebagai org2 yg tidak baik.
Klo dia saja bilang bgitu pd waktu itu, apalagi sekarang? Apalagi terhadap anak2 kita? Apalagi pd bulan puasa?
Semenjak ntn ceramahnya ana mulai mempercayai hanya sekitar 5% saja dari keseluruhan acr tv kita (hatta beritanya)
Sementara “menunggu” pemerintah bergerak, mari kita amankan rumah tangga kita masing-masing atau lingkungan terdekat kita lainnya. Caranya? Buat acara tandingan pada jam-jam tersebut. Untuk mereka yang mempunyai anak-anak kecil (dari pengalaman pribadi), ternyata, sebetulnya, mereka lebih menikmati bermain dan berkreasi bersama orangtuanya. Banyak hal dapat dilakukan, misalnya berlumba menghafalkan surat-surat pendek atau ayat-ayat pilihan, balapan mengisi teka-teki silang atau sudoku, main tebak-tebakan peta, main Garuda, bergantian bercerita – apapun, bahkan sampai nonton film tertentu pilihan orangtua, atau pilihan anak yang kita sepakati (menonton bersama masih menjadi keasyikan tersendiri bagi keluarga kami – meskipun nontonnya hanya pakai laptop, maksimal via layar TV).
“Menyelenggarakan” acara pribadi jauh lebih bermanfaat, karena – Insya Allah – menjadi lem perekat jalinan kasih sayang dalam keluarga, apalagi disertai shalat berjamaah – sip deh
Di sebuah potongan film pada the arrivals. Seorang motivator (mgkn pendeta) di amerika, memberikan ceramah dg sgt bersemangat ttg bahayanya menonton tv. Bukan hny bagi anak2, tp bagi org2 dewasa. Dia bilang tv ini merupakam alat hipnotis yg luar biasa efektif. Dan industri media yg satu ini hny dikuasai oleh segelintir org saja yg sepertinya dipersepsikan sebagai org2 yg tidak baik.
Klo dia saja bilang bgitu pd waktu itu, apalagi sekarang? Apalagi terhadap anak2 kita? Apalagi pd bulan puasa?
Semenjak ntn ceramahnya ana mulai mempercayai hanya sekitar 5% saja dari keseluruhan acr tv kita (hatta beritanya)
Syahrul mubaarok 🙂
Terima kasih banyak atas komentar yang sangat mencerahkan…
Syahrul Mubaarok ‘alaina wa ‘alaikum.
Sementara “menunggu” pemerintah bergerak, mari kita amankan rumah tangga kita masing-masing atau lingkungan terdekat kita lainnya. Caranya? Buat acara tandingan pada jam-jam tersebut. Untuk mereka yang mempunyai anak-anak kecil (dari pengalaman pribadi), ternyata, sebetulnya, mereka lebih menikmati bermain dan berkreasi bersama orangtuanya. Banyak hal dapat dilakukan, misalnya berlumba menghafalkan surat-surat pendek atau ayat-ayat pilihan, balapan mengisi teka-teki silang atau sudoku, main tebak-tebakan peta, main Garuda, bergantian bercerita – apapun, bahkan sampai nonton film tertentu pilihan orangtua, atau pilihan anak yang kita sepakati (menonton bersama masih menjadi keasyikan tersendiri bagi keluarga kami – meskipun nontonnya hanya pakai laptop, maksimal via layar TV).
“Menyelenggarakan” acara pribadi jauh lebih bermanfaat, karena – Insya Allah – menjadi lem perekat jalinan kasih sayang dalam keluarga, apalagi disertai shalat berjamaah – sip deh
Terima kasih. Komentar dan saran Teh Mieke sangat menarik dan bermanfaat.