Gelandang Timnas Spanyol Cesc Fabregas, yang negaranya baru saja menjuarai Piala Eropa 2012, menilai Indonesia memiliki potensi besar berprestasi di dunia sepak bola.

Itu dikatakan Fabregas saat berada di Jakarta, Kamis (5/7) kemarin. Pemain FC Barcelona itu rupanya optimis melihat antusiasme anak-anak yangmengikuti ‘coaching clinic’ bersamanya di Jakarta.
Menurut mantan pemain Arsenal itu, Indonesia sebenarnya punya potensi besar. Tapi, “Untuk mencapai prestasi Anda harus berlatih keras,” kata Fabregas.
Artikel ini dimuat dalam portalmedia “Inilah.Com,” Jumat 6 Juli 2012.
Kata Fabregas, anak muda sebetulnya bisa menjadi apa saja yang mereka inginkan. “Mereka bisa bermain apa saja, sepak bola, basket, tenis atau apapun. Jika mau menjadi pesepak bola profesional mereka harus berusaha dan belajar. Jangan cuma berkhayal,” ujar Fabregas sebagaimana dimuat INILAH.COM.
Francesc “Cesc” Fbregas Soler [baca: ‘Sesk Faβrayas’] yang lahir pada 4 Mei 1987 memulai karirnya sebagai ‘trainee’ di Barcelona, tetapi mendapat kontrak sebagai pemain profesional pertama kali di Arsenal untuk ikut dalam kejuaraan Premier League, pada September 2003.

Pada 2003 itu juga, ketika usianya baru 16 tahun, Fabregas ikut dalam tim di bawah 17 tahun pada Kejuaraan Dunia U-17 FIFA di Finlandia. Itulah pertama kali pemuda ganteng ini ikut dalam kejuaraan sepakbola dunia.
Sepanjang karirnya ia berhasil memecahkan berbagai rekor, dan meraih reputasi sebagai salah seorang pemain muda terbaik di posisinya.
Pada 2011, pemain yang waktu kecil mengidolakan Josep Guardiola itu pulang kampung dan kembali bermain untuk Barcelona (Barca) dengan nilai kontrak pertama sekitar 34 juta Euro (plus ekstra 5 juta Euro).
Nama baiknya membawa peraih Golden Boy 2006 itu untuk memperkuat squad Spanyol pada Kejuaraan Piala Dunia (World Cup) FIFA 2006. Kemudian Fabregas ikut berperan penting ketika Spanyol memenangkan tiga turnamen internasional secara berturut-turut: Piala Eropa 2008, World Cup 2010, dan Piala Eropa 2012 di Kiev belum lama berselang.

Tak pelak, nama Fabregas dan Spanyol sendiri makin moncer. Optimisme dan kebanggaan pada negaranya pun kian menggelembung — meski saat ini Spanyol juga sedang dirundung krisis ekonomi sebagaimana banyak negara Eropa lainnya.
Walhasil, bila Anda saat ini bertanya pada orang Spanyol mana pun, Anda pasti beroleh jawaban yang menunjukkan perasaan senang dan penuh semangat, khususnya setelah para Spaniards itu meraih kemenangan bersejarah 4-0 melawan Italia di Kiev, Ukraina, pada 2 Juli lalu itu.
Di tengah resesi dan meningkatnya pengangguran di Spanyol, kemenangan itu memberikan kesempatan bagi warga Spanyol untuk menggelembungkan kebanggaan nasionalnya kembali.

Bahkan Perdana Menteri Spanyol Mariano Rajoy, yang menyaksikan final di Olympic Stadium Kiev, juga berharap bahwa kemenangan itu mendorong munculnya rasa ‘nyaman’ bagi masyarakat Spanyol yang sedang berada dalam krisis ekonomi.
“Kita ini manusia, kita selalu punya berbagai masalah,” kata Rajoy kepada televisi Spanyol Telecinco, “Perasaan dan kegembiraan, dan semua yang keluar dari jiwa ini adalah keindahan. Kita harus berterima kasih kepada tim kita dan para pelatih. Mereka bagus sekali.”
Jangan salah, yang bangga itu bukan hanya Rajoy, Fabregas dan timnya. Sangat mungkin, setiap orang dalam masyarakat yang berbahasa Spanyol atau bekas jajahan Spanyol di benua Amerika, Afrika, atau bahkan yang sedang belajar bahasa Spanyol pun bisa diduga turut gembira.
Dan itu tidak aneh. Berbagai teori komunikasi dan psikologi mengemukakan bahwa, kesukaan (afiliasi) terhadap tim yang menang tidak hanya berpengaruh pada identitas sosial, melainkan juga — bahkan lebih kentara lagi – sangat berpengaruh kepada perasaan pribadi setiap orang, ‘individual well-being’.

Beberapa studi membuktikan hal itu, yakni bahwa dampak hasil pertandingan olahraga sangat berperan pada ‘perasaan’ (mood) pribadi setiap orang, khususnya para penonton, baik di lapangan ataupun jutaan pemirsa televisi di dunia.
Sebabnya bisa diperkirakan karena dalam sport terdapat ‘pengkaitan diri’ (afiliasi) penonton atau fans kepada tim pilihan mereka, sehingga bila tim itu menang, maka itu berarti ‘kita’-lah yang menang. Maka, ‘kita’ yang berada ribuan kilometer dari lapangan pertandingan pun menjadi sangat senang bila tim (kita) tadi menang.
Kemudian, jika pertandingan tadi berlangsung secara sangat menegangkan, misalnya antara dua tim yang sama kuat dan merupakan musuh bebuyutan, maka rasa senang atau mood gembira’ itu pun kian besar.
Berbagai studi telah menguji dampak hasil pertandingan olahraga pada perasaan pribadi sang penonton (self-reported mood). Salah satu penelitian Schwarz dkk (1987), misalnya, menunjukkan bahwa, ketika tim Jerman Barat (dulu) memenangi pertandingan, maka secara sangat signifikan hal itu menghasilkan ‘perasaan nyaman secara global’ yang lebih tinggi (higher levels of global well-being) pada penonton Jerman Barat.
Sebelum bersatu dengan Jerman Timur (pada 1990), negara Jerman Barat dulu merebut juara Piala Dunia pada 1974, dan dua kali runner-up pada tahun 1982 dan 1986).
Maka tidak heran kalau saat ini orang seperti Fabregas merasa sangat nyaman berkeliling dunia, apalagi jika ia bertandang ke negeri seperti Indonesia yang juga memiliki jutaan pengagum kepada Spanyol dan Barca.

Selain itu, kemenangan tim Jerman Barat tadi juga membawa ‘kepuasaan dalam pekerjaan’ (di perusahaan Jerman). Analog dengan itu, sekiranya saat ini Anda bekerja di salah satu perusahaan Spanyol, bisa dipastikan bahwa Anda pun merasa sangat puas bekerja di situ, meski barangkali gaji kawan Anda yang bekerja di perusahaan lain sedikit lebih tinggi ketimbang yang Anda peroleh.
Studi yang ada juga membuktikan bahwa, ‘optimisme politik’ pun ikut meningkat akibat tim favorit kita memenangi pertandingan, ketimbang jika hasilnya draw (seimbang). Dengan demikian, tidak heran kalau dalam forum internasional, pembicara dari negara Brazil atau Argentina, misalnya, akan merasa lebih percaya diri dalam berdebat ketimbang pembicara yang berasal dari negara berkembang lain yang tim sepakbolanya masih ‘tiarap’.
Begitulah Pembaca, kemenangan di Piala Eropa tentu sangat membanggakan Spanyol. Tetapi mereka memang tidak duduk manis. Mereka bekerja keras. Seluruh komponen bangsa berjuang, berpikir dan mengerahkan segala daya upaya demi kebaikan tim sepakbola nasionalnya.

Lalu, kapankah kita bisa berbangga dengan PSSI kita? Kapankah sinyal optimisme yang dikatakan Fabregas itu dapat kita wujudkan?
jangan hanya bermimpi, raih mimpi dg kerja keras & tak mudah putus asa…
hmmm….keyakinan itu memang penting bangeeett..