Fenomena Jokowi


Pendukung Jokowi boleh lega. Hasil hitungan cepat Pemilihan Gubernur DKI oleh sebuah suratkabar Jakarta menunjukkan pasangan Joko Widodo-Basuki Tjahaja Purnama (alias Ahok) berhasil meraih 42,59%, mengalahkan pasangan Fauzi Bowo (Foke)-Nachrowi Ramli (Nara) yang mengantongi 34,32% suara.

Bila hasil perhitungan resmi Komisi Pemilihan Umum (KPU) kelak diumumkan,dan hasilnya tidak jauh beda dengan ‘quick count’ yang diselenggarakan secara ‘bertanggungjawab’ dan jujur itu, maka itu seolah merontokkan klaim kesahihan beberapa penelitian sebelumnya.

Jokowi di tengah massa: suara rakyat

Tulisan ini aslinya ditayangkan dalam portal “Inilah.Com,” Jumat 13 Juli 2012.

Sehari sebelum Pilgub DKI (11 Juli) itu saja, umpamanya, salah satu lembagasurvei, Jaringan Suara Indonesia (JSI), mengatakan bahwa pasangan Foke-Nara masih meraup dukungan sebesar 49,6%, sementara pasangan Jokowi-Ahok ‘hanya’ mendapat dukungan 15,8% responden.

Walaupun prosentase ‘quick count’ tidak akan persis sama dengan hasil resmi KPU, tetapi biasanya perhitungan statistika itu tidak meleset dari siapa yang memenangkan pemilihan terkait.

Walhasil, sekarang walikota Solo itu bersama pasangannya Ahok boleh bersiap-siap, masuk ke putaran kedua.

Jokowi dan Ahok memang tidak sibuk dengan politik pencitraan yang temporer dan seringkali kosmetis belaka – melainkan justru membangun nama baik secara berkarakter, berkesinambungan (jangka panjang), sederhana, ‘egaliter’, inklusif, dan bersahabat dengan tulus (bukan dibuat-buat) dengan rakyat.

Perlu dicatat, ketika kita bicara ‘rakyat’, maka itu bukan saja ‘wong cilik’ seperti pedagang kaki lima – yang di Solo merasa sangat di-‘manusia’-kan oleh Jokowi – pedagang warteg, buruh, atau ‘rakyat kecil’ lainnya, melainkan juga mereka yang berada di lapisan kelas menengah dan atas.

Barangkali karena itu pula, bahkan di Kelurahan Gondangdia, Menteng,Jakarta Pusat — yang merupakan kelurahan tempat tinggal Foke — pun Jokowi berhasil meraup suara terbanyak, jauh di atas Foke.

Fauzi Bowo: apakah reputasinya bisa kalahkan Jokowi?

Menurut Ketua KPPS Kelurahan Gondangdia Nano Sukatno, di Gondandia itu secara total Jokowi memperoleh 1.073 suara, diikuti Foke dengan 620 suara,sementara suara sisanya diperebutkan keempat pasangan calon gubernur lain.

Boleh jadi keberhasilan Jokowi dan Ahok itu mengejutkan sekaligus mengecewakan sementara politikus partai dan peneliti bayaran; karenaselama ini mereka meremehkan ‘pendatang’ seperti Jokowi yang dianggap tidak mengerti mengurus Jakarta dan tidak akan mendapat simpati masyarakat ibukota.

Barangkali mereka lupa bahwa rakyat – sekali lagi di sini termasuk kelasmenengah dan ‘the haves’ telah makin kritis dan bosan dengan janji-janjisaat kampanye yang seringkali tidak terbukti setelah mereka terpilih.

Sampai di sini, kita jadi ingat pada lelucon yang ramai beredar lewat SMS dan BBM belakangan ini yang mengatakan: beda Pil KB dan Pilkada (dan pemilu lainnya) adalah, kalau Pil KB lupa maka akan ‘jadi’, sedangkan Pilkada kalau sudah ‘jadi’ biasanya lupa (pada pemilihnya).

Nah, rupanya kedua pasangan Jokowi dan Ahok tidak dipersepsi demikian.Minimal itu yang ada di benak banyak orang bahwa, setelah ‘jadi’ mereka tidak akan lupa pada pemilihnya.

Jokowi dan Ahok di bus kota: karakter mirip Ahmadinejad

Belum bisa dibuktikan memang, apakah keduanya kelak akan berhasil membenahi Jakarta secara lebih baik ketimbang Foke. Tetapi rakyat telah melihat sinyal-sinyal dan bukti ‘track record’ perjalanan sejarah keduanya selama ini.

Dan track record itulah yang dibutuhkan setiap kali orang hendak membangun ‘reputasi’ jangka panjang. Di benak masyarakat berhasil tercipta sebuah ‘bekas’ positif Jokowi (dan Ahok) – bagaikan jutaan tetes air di atas batu selama bertahun-tahun – yang sulit untuk dienyahkan begitu saja, apalagi untuk dihapus dalam waktu singkat (dalam masa kampanye) oleh pesaing mereka.

Harus diakui bahwa Foke pun juga punya track record, meski mungkin tidak dipersepsi sehebat Jokowi. Sebagai petahana, dan bekas Wakil Gubernur pada era Sutiyoso dulu, gubernur Dr.Ing.Fauzi Bowo — yang dikenal dengan kumisnya yang gagah — itu memang telah berusaha melakukan  di ibukota.

Arsitek bidang perencanaan kota lulusan Jerman itu, antara lain, telah berupaya menyelesaikan masalah banjir di Jakarta dengan mengoperasikan Banjir Kanal Timur, sehingga tak heran bila ia dan pasangannya (NachrowiRamli) memperoleh sekitar 34 % suara.

Jokowi menyalami warga: sederhana dan egaliter

Kita belum tahu, apakah reputasi Foke itu bisa mengalahkan nama baik Jokowidi putaran kedua nanti. Yang jelas, kita boleh menduga bahwa tak banyakperubahan akan terjadi kalau hanya mengandalkan program instant, secara ‘ngebut’, guna merebut simpati lewat tebaran pesona pencitraan belaka.

Kalau pun kedua pesaing sama-sama menggebrak Jakarta dan ‘ngebut’ untuk mendongkrak perolehan suara pada putaran kedua mendatang, mungkin tambahan suara dari situ tidak akan terlalu signifikan.

Artinya, jika nanti Jokowi dan Ahok berhasil memenangi putaran kedua, makaitu juga bukan karena hasil ‘crash program’ dua bulan mendatang (Agustushingga September) ini saja – melainkan lagi-lagi karena reputasi mereka berhasil menarik suara baru dari para pemilih, yang pada putaran pertama kemarin memberikan suara pada empat pasangan calon lainnya.

Jokowi usai solat lohor di Pulo Gadung,Jakarta (Foto: Tribune.News)

Demikian pula halnya dengan Foke dan Nara. Jika nanti mereka berdua yang mengungguli Jokowi-Ahok pada putaran kedua, maka hal itu kemungkinan besar berkat kepercayaan ‘pemilih baru’ terhadap reputasi mereka.

Tetapi, bila melihat pendapat sementara pengamat, Foke bakalan sulit mengalahkan Jokowi. Di luar program seperti Banjir Kanal itu, masyarakat Jakarta tidak melihat –artinya tidak mempersepsi — adanya perubahan yang sangat signifikan dan bisa dibanggakan selama lima tahun terakhir.

Kemudian, nama Partai Demokrat sendiri, yang mengusung Foke dan Nara,belakangan juga dipersepsi kurang baik akibat kasus korupsi yang melanda beberapa tokohnya.

Sementara itu, kita mencatat bahwa ada keberanian luar biasa pada pribadi Jokowi yang dikenal bersih, dan secara sangat sederhana dan sak madyo berani menggelandang untuk berlaga ‘away’ di Jakarta.

Dari sisi komunikasi, Jokowi telah membuktikan cara terbaik menyusun bata-demi-bata bangunan sebuah ‘nama baik’, sebuah reputasi — sehingga ia telah ‘memenangkan hati’ masyarakat luas sejak bertahun silam, ketika ia memimpin Solo, ketika ia mendukung program mobil Esemka, dan ketika ia selalu bicara ‘dengan’ – dan bukan ‘kepada’ – rakyat.

Jokowi gunakan mobil rakitan anak SMK: bicara ‘dengan’ rakyat, bukan ‘kepada’ rakyat

Dalam dunia public relations, pengelolaan nama baik yang dilakukan Jokowi itu biasa disebut dengan ‘reputation management‘ – yang harus dibedakan dengan ‘image management‘ yang sifatnya hanya sementara dan tambal-sulam.

Ibarat seorang pedagang, maka Jokowi dan Ahok boleh dibilang berhasil ‘menaklukkan’ hati para pembeli, membuat mereka menjadi cinta, loyal dan terpuaskan.

Nanti, setelah produk dipakai – artinya Jokowi menjadi Gubernur DKI – para pemilihnya akan melihat dan kembali membuktikan, apakah ada ‘layanan purna jual’ yang bagus, sehingga kepuasan pembeli meningkat – dan reputasi sang pedagang pun semakin moncer.

Baca juga:

Silakan Beri Komentar

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s