
Media, Nama Baik dan Kesempatan
MENGAPA ada orang cepat tenar, sementara sebagiannya lagi sulit untuk dikenal? Banyak jalannya. Tapi salah satu yang membuat orang — juga produk dan jasa — cepat dikenal, adalah berkat peran media massa. Baik itu media cetak, maupun elektronik dan media online seperti situs ini (maksudnya: http://www.inilah.com – SB).
Tulisan selengkapnya dapat dilihat di Inilah.Com, 9 September 2011.
Media massa dapat melejitkan tingkat awareness khalayak terhadap seseorang atau pun sebuah perusahaan dan produk atau jasanya. Bahkan bukan hanya awareness sebenarnya. Media malah secara mudah meningkatkan pemahaman dan pengetahuan pembaca koran, pemirsa TV dan pengguna (user) situs online terhadap suatu produk atau orang.
Dalam waktu singkat citra orang atau brand bisa melejit secara positif atau ambruk (secara negatif).
Tak asing brand di bawah ini yang Anda ketahui semata-mata karena Anda mengakses informasinya lewat media massa: Teten Masduki, Anies Baswedan, Gita Wirjawan, Munir, Komaruddin Hidayat, Ibu Prita, KPK dan banyak lagi brand lainnya; atau Gayus, Nazaruddin, Bank Century, DPR, dll.
Mereka itu, jika sering muncul di media secara baik, ya positif. Kalau munculnya karena kasus negatif, maka citranya runtuh cepat. Repotnya, menurut ahli komunikasi, orang lebih ‘bergairah’ pada berita buruk tujuh kali lipat dari yang positif.
Pemunculan nama di media juga terjadi karena tokoh itu sendiri yang menulis opini di media. Tapi orang suka bertanya, mengapa ada nama yang sering muncul di media, sementara lainnya tidak?
Ah, mudah saja kok menjelaskannya. Jika tulisan kolom Anda tidak dimuat di sebuah media, misalnya, mungkin sekali (antara lain) karena Anda belum sepopuler Saldi Isra atau Faisal Basri.
Meski seandainya tulisan Anda lebih bermutu dari artikel ’elite person’ lain, bila artikel itu tidak dipublikasikan sebuah media, maka itu bukan karena Anda tidak berbakat. Boleh jadi Anda punya talenta – dan tulisan Anda mengalir jernih, berbobot dan sangat mencerahkan – tapi Anda belum ’beruntung’.
Penulis kenamaan Malcolm Gladwell menyebutkan bahwa agar sukses, Anda membutuhkan talenta, kesempatan dan kerja keras. Menurut Gladwell orang-orang tersukses kelas dunia seperti John Lennon, PaulMcCartney, Bill Gates, Steve Jobs (Apple), dan Warren Buffet pun berhasil berkat adanya kesempatan yang diberikan pada saat yang tepat pada orang-orang cerdas (Outliers; The Story of Success).
Menurutnya, kunci sukses adalah passion, talent, dan kerja keras. Tapi itu saja tidak cukup. Penting nih: “Perlu ada kesempatan (opportunity) yang diberikan kepada para outliers pada saat yang tepat,” kata Gladwell.
Semua orang-orang sukses mendapatkan kesempatan luar biasa yang tidak diperoleh orang lain. John Lennon dan PaulMcCartney memang punya bakat musik, Gates juga sangat pintar dalam matematika dan computer programming.
Mereka semua punya bakat yang tidak terbantahkan. Tapi kesempatan mewujudkan bakat dan kerjakeras merekalah yang menjadikan mereka berhasil.
Nah, dalam kaitan dengan tulis-menulis di media itu, beberapa nama tenar yang sering muncul di media sebenarnya terjadi karena adanya kelima hal itu. Sebutlah nama seperti Abdurrahman Wahid (dulu), Anies Baswedan, Eep Saifullah, Marie Pangestu, Effendi Ghazali, Yudi Latif, Faisal Basri dan lainnya; mereka adalah orang-orang berbakat, mumpuni di bidangnya, penuh semangat (passion) dan pekerja keras – sehingga nama mereka menjadi besar.
Tapi naiknya nama mereka juga berkat kesempatan yang muncul pada saat yang tepat; dan mereka tidak menyia-siakan kesempatan itu. Kesempatan itu seolah menjadikan mereka memperoleh ’panggung’ untuk sebuah pertunjukan.
Makin hari nama mereka makin dikenal. Sedemikian rupa seringnya mereka tampil di media ternama, maka media lain pun mengekor: meminta mereka menulis di medianya.

Begitu seterusnya, seperti bola salju. Dan karena sifat sementara pengelola media yang selalu mencari ’elite person’ – yang sebagian sebenarnya mereka ’ciptakan’ sendiri, maka orang-orang yang samalah yang kemudian sering muncul di berbagai media.
”Ah, Anda mengada-ada,” kata teman saya. ”Tidak,” jawab saya, ”Berani sumpah geluduk disamber geledek, itulah juga yang kami lakukan ketika dulu mengelola majalah Prospek – yang lahirnya dibidani pengusaha Soetrisno Bachir pada awal 90an – dalam hal mencari nara sumber untuk diwawancarai atau ketika mencari penulis opini untuk sebuah topik.”
Meski sebagian besar kami sebelumnya pernah bekerja di Majalah Tempo, tetap saja untuk masalah tertentu, para wartawan pengelola perlu ’pinjam mulut’ (baca: tangan) orang lain untuk mengatakan sesuatu,untuk menulis sesuatu.
Dan tangan yang redaksi pilih biasanya adalah yang ’hendak diciptakan’ – orang-orang yang diberi kesempatan untuk muncul, menonjol – suka atau tidak suka pembaca itu soal lain, tapi itulah ketetapan redaksi, atau satu-dua orang yang berpengaruh di jajaran redaksi.
Saya yakin ada ratusan ekonom lebih hebat dari ’elite persons’ yang Anda kenal di media, tapi karena mereka kenal dekat dengan pimpinan media, maka mereka mendapat kesempatan — dalam hal ini artinya space satu halaman di majalah atau 600-an kata di koran.
Maka, ketika tulisan Anda bisa tampil di majalah sekaliber Tempo, koran sebaik Kompas, atau situs sebagus Inilah.Com, artinya Anda boleh bangga sebagai orang berbakat dan hebat. Tapi, meminjam Teori Gladwell, sesungguhnya pimpinan redaksi di media itulah yang lebih hebat. Mereka itulah ‘sang penentu’ atau character makers– pencipta tokoh baru, elite persons baru.
Namun masalahnya tidak berhenti di situ. Untuk tahu apakah seseorang punya bakat bagus, talented atau tidak, tentu harus ada pembuktikan.
Dengan kata lain, pada akhirnya adalah usaha – kita baru tahu ada kesempatan yang terbuka, ada kesempatan emas, hanya bisa jelas setelah kita berikhtiar membuktikannya dengan cara memanfaatkan kesempatan itu.
Ketika siswa SMA yang bernama Bill Gates diberi kesempatan memanfaatkan fasilitas komputer di Washington University saat tidak dipakai, ia begadang selama berbulan-bulan, mengutak-atik komputer di universitas itu. Ini sesuai kata kitab-Nya,” Dan tidak ada bagi manusia kecuali apa yang ia usahakan.”
* Penulis adalah mantan wartawan, dan peneliti di Pusat Studi Islam dan Kenegaraan Universitas Paramadina. [mor]
CATATAN:
Dari posting tulisan ini di Facebook, tanggal 10 September 2011,diperoleh beberapa komentar. Di antaranya adalah berikut ini:
- Haura Samira: Barangkali visi misi juga diangkat dari nilai dasar apa yg dibawa…yg menjadi persoalan berikutnya apakah sesungguhnya ia telah mewakili karakter sesungguhnya ?? Ini terkait dg kejujuran media dalam menyampaikan berita… (September 10, 2011 at 7:57pm)
- Haura Samira: Selama ini media lebih didominasi untuk kepentingan politik. Media sendiri dihadapkan pada kondisi dilematis antara kepentingan jurnalistik, ekonomi atau politik…(September 10, 2011 at 8:18pm).
- Beryl C. Syamwil: ”Dan tidak ada bagi manusia kecuali apa yang ia usahakan.” (Al Qur’an). Inti tulisan ini, untuk “sukses MEDIA “ pertama ada kemauan, bakat, profesional, semangat dan kerja keras untuk menulis, sehingga lambat laun jadi ternama dan membuat laku Media Massa itu. Kedua, rekayasa redaksi Media itu terhadap penampilan orang2 tertentu demi cari untung. Keduanya perlu kesempatan yg tepat. Namun, kelompok “sukses media” pertama yang bisa diharapkan peran iman, ilmu dan amalnya, agar Media langgeng manfaatnya bagi masyarakat. (September 10, 2011 at 10:29pm)
- Bunga Kejora Trihusodo: Saya paham maksudnya. Tapi yang saya sayangkan ada juga budaya latah di media.Satu media pake si A,stasiun lain ikut-ikutan. Padahal, misalnya Ruhut…apa ada kata2 yang mencerahkan buat kita? Harusnya media menjadi trend setter pencerdasan. Bukan memilih sumber semata karena talkative dan tukang serang…hehehe, ini emang contoh ekstreem…Thanku Syafiq Basri. (September 12, 2011 at 9:18am).
Related articles
- What Will Matter… (syafiqb.com)