Pergantian waktu, Ramadhan ke Syawal, adalah salah satu gejala alam atau sunnatullah. Ia mengajarkan hikmah bahwa: realitas yang kita persepsi sering menipu, dan bahwa tidak ada yang tetap di dunia ini. Begitu pula diri kita sendiri: secara sunnatullah selalu berubah, menjadi tua, aus dan mati, karena tak ada yang sama dari waktu ke waktu. Itu semua ‘gejala’ kefanaan, lawan keabadian.
Apa filosofi yang dapat kita petik saat lebaran? Apa makna mudik?
Sejatinya, ada pelajaran menarik di dalam setiap pergantian hari, bulan dan tahun, pada setiap perubahan waktu. Kapan saja, termasuk juga pada setiap Ramadhandan Syawal. Ada makna dari ’napak tilas’ bergulirnya waktu — yang terkait dengan realitas dan filosofi kehidupan kita.

Tapi apa sih realitas itu? Berhubung panca indera kita mencerap informasi (baca: pesan) secara sangat baik, kita jadi mudah melihat realitas atau ’kenyataan’ di sekitar kita. Apa yang tampak oleh mata, suara yang terdengar, dan rasa yang dicecap lidah, semua menentukan ’kenyataan’ yang kita ’persepsi’.
Sayang, tidak semua ’pesan’ kita terima sesuai dengan kenyataan yang sebenarnya. Ada saatnya ia seperti menipu. Ketika kita di perjalanan mudik, misalnya, kita menerima ’pesan’ seolah dunia ini rata dan diam di tempat, dan kendaraan kita saja yang bergerak. Padahal bumi ini bulat dan berotasi. Juga rel kereta yang kita tumpangi saat pulang kampung tampak menyatu di kejauhan, padahal sebenarnya berjalan paralel.
Di situ ada ’pesan’ dari alam kepada kita, agar manusia tahu jati dirinya, dan menjadi bijak. Ada hikmah pada setiap pergantian waktu: bahwa manusia perlu belajar dari alam dan tidak menyimpulkan berdasarkan panca indera semata. Seeing is believing, dalam hal ini, tak dapat dijadikan sandaran.
Gejala alam — yang kita kenal sebagai Sunnah Ilahi atau sunnatullah – berupa pergantian waktu itu, antara lain, mengajarkan hikmah agar tidak beranggapan bahwa semuanya tetap dan tidak berubah. Sebab kita tidak mungkin napak-tilas alur sungai yang sama dua kali.

Begitu pula diri kita sendiri: secara sunnatullah selalu berubah, dan mengirim sinyal setiap saat, selama bumi terus berputar. Tidak ada yang sama dari waktu ke waktu. Itu semua ‘gejala’ kefanaan, lawan keabadian
Dalam kefanaan itulah sesungguhnya manusia baru bisa merengkuh cinta kepada Tuhannya, kepada Sang baqa’, Yang Abadi. Sebagaimana dikatakan Jalaluddin Rumi, puncak cinta adalah kefanaan diri, dan dengan begitu ia dapat memasuki tahap baqa’ — keabadian. Saat itu seseorang tidak lagi dibebani oleh kepentingan nafsu rendah (atau ego-nya) dalam melaksanakan tugas kewajibannya – persis sebagaimana dimaksudkan dalam tujuan mem-fana-kan diri lewat puasa, karena hakikatnya puasa dan ibadah-ibadah lain adalah menyerahkan diri secara total kepada Sang Cinta, Yang Maha Baqa’.
Menurut Rumi, pencerapan indera atau pengalaman empiris adalah kunci bagi ilmu-ilmu lahir, tetapi ia tidak mampu membawa seseorang ke tingkat kerohanian yang tinggi (Abdul Hadi WM, 1985). Hanya lewat pengalaman rohani sajalah seseorang bisa naik ke tingkat pengetahuan yang lebih tinggi. Oleh karenanya, tak perlu ada pertentangan antara ilmu lahir dan rohani, antara kehidupan duniawi dan kehidupan ukhrawi, sebab keduanya sama diperlukan, dan harus berjalan secara seimbang.
Maka, hidup hendaklah diterima dengan penuh tanggung jawab, sebab ia adalah anugerah Tuhan. Adapun segala musibah dan ujian, kesulitan dan bahaya, mesti dihadapi dengan tabah, dengan kerja keras dan cinta, dan dengan tekad meraih cita-cita.

Seorang yang beriman secara tegar akan menghadapi bahaya dan kejahatan, dengan menerobos keterbatasan intelek, sehingga pikirannya terbuka; tercerahkan. Dan itulah jalan bagi seseorang untuk memperoleh pencerahan tentang hakikat kehidupan.
Tulisan ini pernah ditayangkan di media online “Inilah.Com”, Kamis 15 Agustus 2012.
Pada gilirannya, ketika seseorang telah mengalami pencerahan, ia akan mampu melihat dunia dalam perspektif yang berbeda. Nah, dalam sejarah umat manusia, hanya para nabi — serta ahli makrifat dan para wali atau orang saleh, yakni mereka yang meneladani nabi – sajalah yang mampu menunjukkan jalan kepada manusia apabila mengalami jalan buntu. Sebab mereka telah mengalami pencerahan batin, sehingga mampu dengan kekuatan rohaninya melihat dunia dalam perspektif yang berbeda.
Berhubung manusia berbeda dari hewan dalam penalaran dan pemahamannya, mereka mesti selalu menggunakan keduanya. Tetapi penalaran saja tidak dapat mengantar kita menuju pemahaman akan hakikat – apalagi, sebagaimana kita sebut di atas, penalaran atau persepsi bisa mengelabui.
Pemahaman akan hakikat akan tercapai bila seseorang mampu menyatukan kehendak dirinya (free-will) dengan kehendak Pribadi Semesta (Tuhan). Bila berhasil mencapai tahapan ini, tidak ada lagi persoalan antara ‘takdir’ dan kehendak bebas (free will). Sambil terus menjalankan kehendak bebasnya meraih cita-cita, ia tahu dirinya berada di jantung takdir, dan ia tidak akan goncang karenanya.
Artinya, orang hanya harus ‘berusaha’ sebaik mungkin – berdasarkan penalaran dan ilmu yang dimilikinya — dan kemudian menerima hasilnya (takdir), tanpa mempersoalkan lagi apakah hasilnya itu sesuai dengan yang diinginkannya atau tidak – karena ia yakin bahwa ‘segala yang sudah ditakdirkan (Tuhan) untuknya itu pasti merupakan kebaikan’. Dan itulah hasil akhir ketakwaan kepada Tuhan.

Dalam puncak ketakwaan itulah kemudian orang memperoleh makrifat, pencerahan. Lalu, pada saat orang sudah tidak lagi mempersoalkan antara takdir dan kehendak bebasnya, maka baginya, “duka cita akan menjadi suka cita, dan belenggu (Tuhan) akan menjadi kebebasan.” Inilah tahap pencerahan, tahap penemuan potensi atau jatidiri yang paling tinggi.
Walhasil, saat lebaran ini kita belajar bahwa ’sunnatullah’ adalah guru terbaik kita. Ia murni dan ‘pandai’ dari ‘sana’-nya, bergerak dan bukannya statis — diatur oleh pengelolaan ‘kontrol’ yang tak kasat mata. Hukum alam memang absolut dalam esensinya, saling bergantung dalam penerapannya, tapi independen, terlepas bebas dalam ruang dan waktunya masing-masing. Tujuannya: mengatur yang kacau, menganugerahi cinta dalam kebencian, dan memberi kebijakan dalam ketidaktahuan.
Lewat pergantian waktu ini kita belajar bahwa sunnatullahmengubah dunia, juga kita: saat lebaran ini kita kian tua, dan cepat atau lambat kita akan berpisah dari yang fana (dunia) dan dari segala yang kita cintai di dalamnya.

Namun, Tuhan ’yang tak pernah berhenti bekerja’ mengajarkan agar manusia — justru di dalam kefanaannya itu — tak boleh berhenti menanam benih sebanyak dan sebaik mungkin, serta terus bergerak secara berkesinambungan di dalam koridor cinta-Nya, untuk bekal menemui-Nya kelak di alam baqa’, dalam keadaan fitri. Itulah ’mudik’ yang sesungguhnya.
Baca juga: Related articles
- 60 Quranic Practical Ayats – 1 (syafiqb.com)
- Dakwah Cinta dari Hadramaut; opini di Kompas.
- Betapa Baiknya Tuhan: tulisan pendek di blog ini.
- Mana Ismail Kita? : artikel di Koran Tempo 5 Nov.2011.
- Poem ~ Rumi (discombobulaated.wordpress.com)
- Video tentang Islam dan orang-orang yang baru masuk Islam di AS.
Nyaris tepat setahun yang lalu saya membaca tulisan ini. Kini, saat saya membacanya lagi, terasa berbeda. Yang jelas, ada rasa sedih menyadari kedunguan saya yang masih juga “terpuruk”, masih belum tercerahkan. Tolong, bantu do’akan saya agar mampu menjadi pribadi yang tercerahkan, yang dapat memahami hakekat kehidupan . . . . .
Terima kasih, Teteh Mieke yang baik.
Sama-sama, saling doakan ya…
Jazaakillah khairan katsieran.
Inilah bagian paling saya sukai dari tulisan di atas : “Tuhan ’yang tak pernah berhenti bekerja’ mengajarkan agar manusia — justru di dalam kefanaannya itu — tak boleh berhenti menanam benih sebanyak dan sebaik mungkin, serta terus bergerak secara berkesinambungan di dalam koridor cinta-Nya, untuk bekal menemui-Nya kelak di alam baqa’, dalam keadaan fitri. Itulah ’mudik’ yang sesungguhnya.” Mudah-mudahan Allah swt masih memberi kita kesempatan bertemu dengan Ramadhan tahun depan – dalam keadaan diri yang jauh lebih baik daripada sekarang – aamien.
Terima kasih sudah berbagi.
Terimakasih untk selalu mendapat informasinya. Kami tunggu.