Fungsi Watchdog Media di Negara Demokratis


MTSU Mass Media Students - Capitol Street Part...
Mahasiswa jurusan Mass Media di AS (Photo credit: tncountryfan)

Transparansi media berbicara mengenai bagaimana media menjadi sebuah jembatan komunikasi antara pemerintah dan masyarakat.

Sayangnya, seringkali jembatan ini rapuh bahkan terputus oleh karena adanya agenda media atau agenda politik.

Tulisan ini merupakan komentar Jeany Chen terhadap tulisan saya (Syafiq Basri) yang berjudul, “Mana Lebih Dipercaya; Media atau Politisi?”  Berhubung cukup menarik, komentar ini  sengaja saya jadikan tulisan terpisah (dengan editing seperlunya), sebagai penghargaan saya kepada sang komentator, Sdri.Jeany Chen.

Hal ini pernah saya teliti dalam skripsi saya. Saya menemukan beberapa pandangan para ahli yang mengatakan bahwa media tidak mungkin selalu netral. Keanekaragaman yang diberikan dalam motivasi dasar pada pemilihan dan arus ‘gambaran kenyataan (image of reality)’ dalam media dapat dilihat ketika penyelesaian sengketa dengan penengahan melalui media itu (mediation) tidak mungkin menjadi proses yang netral.

Kenyataannya, media akan selalu sampai pada taraf tertentu, untuk memilih dan membangun perannya, sehingga disana akan hadir suatu penyimpangan tertentu (McQuail 2000:67).

Padahal idealnya, kita mengharapkan agar ketiga aspek, yaitu pemerintah, media dan masyarakat harus menjalankan perannya secara seimbang. Ketiganya dapat saling “interlocked”, tidak dapat dipisahkan dan saling membutuhkan.

Dalam ‘functionalism theory’, dijelaskan bahwa media secara langsung melakukan mengarahkan diri (self directing) dan mengkoreksi diri (self correcting) (McQuail, 2007:78).

Teori ini dapat menjadi tolak ukur bahwa disamping ada banyaknya kepentingan yang harus diperjuangkan oleh media, sebenarnya media juga memiliki peran tersendiri dalam menjalankan aktivitasnya (disini media berhak untuk menjadi perantara antara pemerintah dan masyarakat).

Kuncinya ada pada bagaimana media dapat “survive” sebagai watch dog dalam negara demokrasi seperti Indonesia ini. Istilah ‘demokrasi’ dalam hal ini ternyata tidak sederhana seperti yang kita bayangkan.

Apakah sesungguhnya Indonesia telah menjalankan perannya sebagai negara yang ‘sungguh-sungguh demokratis’ atau istilah ‘demokrasi’ hanya sekedar identitas bangsa kita tanpa bukti yang tepat bahwa negara ini telah menjalankan sebuah negara demokrasi yang menyuarakan kepentingan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.

Menurut saya, demokrasi justru mengindikasikan adanya kebebasan, dan suatu kebebasan dapat dengan mudah disalahgunakan keberadaannya. Lalu apakah media yang sering memberitakan hal buruk tentang politisi merupakan dampak dari sisi ‘jahat’ sebuah negara yang berdemokrasi? Saya rasa betul.

Dalam model interaksi kebijakan dan media (media-policy interaction model) pada artikel jurnal Robinson (2001) yang saya baca, dikatakan bahwa pada hakekatnya wartawan dalam negara demokrasi menjadi penyelenggara, dengan sadar atau tidak, ada dalam salah satu kelompok elite.

Pemerintah dihadapkan dengan (1) kemungkinan bahwa pendapat umum (public opinion) mungkin dipengaruhi oleh laporan media yang negatif, (2) dihubungkan dengan kerusakan pada kredibilitas dan gambaran pemerintah yang disebabkan oleh ‘pers yang tidak baik’ (bad press) dan (3) pembuat kebijakan-kebijakan (policy-makers), mulai mempertanyakan keyakinannya terhadap kebijakan pemerintah yang ada.

Semakin besar tingkat ketidak-pastian atas kebijakan dalam eksekutif, semakin peka pengaruh proses kebijakan dalam laporan media yang negatif.

Oleh karena itu, saran saya, jika media mau menjadi “watchdog” yang benar, mereka harus lebih bijaksana dalam memilih pemberitaan yang tidak mendatangkan reaksi negatif dari khalayaknya untuk menghancurkan pemerintahan negaranya sendiri.

(Jeany Chen — dalam komentar atas tulisan “Media: Antara Politisi dan Rakyat“)

6 thoughts on “Fungsi Watchdog Media di Negara Demokratis

  1. Saya setuju. Idealnya, sebagai jembatan komunikasi antara pemerintah dan masyarakat, media seharusnya dapat memberikan informasi positif terkait dengan kinerja pemerintah. Bukan malah terus-menerus menerpa khalayak dengan menampilkan informasi dan berita-berita negatif di negara ini. Saya rasa, masih banyak hal-hal positif yang layak untuk disampaikan kepada publik, khususnya terkait dengan kinerja dan prestasi pemerintah. Tidak salah jika saat ini sikap khalayak justru apathis terhadap pemerintah, karena kepercayaan publik terhadap pemerintah sudah mulai luntur karena pengaruh media. Media memegang peran yang sangat ampuh untuk mempengaruhi pemikiran khalayak. Jika hal tersebut digunakan dengan baik, bukan hal yang mustahil bahwa hal tersebut akan membuat kondisi negara ini menjadi lebih baik tanpa adanya perlawanan dan kekerasan yang seringkali dilakukan oleh rakyat terhadap pemerintah.
    terima kasih pak, sangat menginspirasi 😀

  2. Terima kasih Bapak Syafiq telah menjadikan komentar saya sebagai referensi. Saya merasa sangat bersyukur dan terhormat atas apresiasi yang bapak telah berikan. Tulisan yang diambil dari skripsi saya ini juga pernah dimuat dalam buku Exposure (Journal of Advanced Communication) Vol. I No.2, Agustus 2011. Dalam tulisan ini pun, saya menyadari bahwa peran media sebagai jembatan komunikasi dapat terlihat melalui “public sphere” (ruang publik) yang disediakan oleh media sebagai sarana untuk diskusi, debat, dan beragam jenis komunikasi lainnya yang tidak hanya mengundang partisipasi dari kalangan masyarakat untuk menyuarakan kepentingannya, melainkan juga dari kalangan politisi. Dalam penelitian saya tersebut, saya mengambil contoh media “koran” (Kompas) yang memberikan rubrik “opini” sebagai sarana tersebut. Gadi Wolsfeld menyebutkan bahwa media menjadi sebuah arena pertarungan antara pihak penguasa (authorities) dengan penantangnya (challengers). Kompas dalam hal ini menyediakan kolom opini yang memiliki potensi untuk menjadi suatu sarana penyampaian gagasan yang dapat bersifat “menentang”, “memperdebatkan” atau hanya sekedar “menanggapi” suatu pendapat atau permasalahan yang diangkat dan melibatkan pihak tertentu. Posisi yang diangkat oleh penulis opini dalam hal ini berbeda dengan posisi pemerintah sehingga pembaca dapat melihatnya seperti dua pihak yang berbeda pendapat. Peran media dalam konflik ketidakseimbangan politik meliputi konfrontasi publik antara pemerintah dan setidaknya satu orang antagonis dalam suatu negara yang melakukan hal-hal seperti protes, aksi teroris, riots, rebellions, revolusi dan segala bentuk perang antara yang kuat dan yang lemah. Maksud kata antagonis dalam hal ini berarti lembaga, kelompok atau negara yang terlibat dalam konflik yang berkelanjutan dengan kelompok lain, institusi atau negara atas masalah politik. Wolfsfeld menggambarkan pemerintah sebagai pihak antagonis yang memiliki kekuasaan dan wewenang yang paling kuat dan pihak yang lebih lemah adalah pihak penantang (challengers) (Cottle, 2003:81). Namun perlu diingat bahwa bagaimanapun, seberapa akurat media dapat dipercaya, bergantung pada sikap dan tindakan kita terhadap informasi yang media sebarkan atau kirimkan dengan melihat kualitas dan kuantitas dari informasi tersebut (dan hal ini juga pernah dikatakan oleh McCullagh (2002) dalam melihat power yang ada dalam suatu media).

    1. Excellent, Jeany. Sudah saatnya Anda menulis di media massa (koran atau majalah) mengenai hal di atas.

  3. Saya pikir, yang harus dilakukan media – saat memberitakan sesuatu – adalah memeriksa dulu keabsahan berita tersebut (tabayuun). Berusahalah memiliki first hand information – inipun harus dikaji ulang dulu. Pertimbangkan manfaat dan mudharatnya. Perhatikan juga cara menyampaikannya. Hal yang sama namun disampaikan dengan cara berbeda, biasanya memberi hasi yang berbeda – bil hikmah lah. Di sinilah ilmu komunikasi banyak berperan (maaf, saya sok tahu nih). Nah, saya pikir, di sinilah kita wajib mempraktekkan ilmu BAIK dan BURUK menurut syariat. Bagi yang belum membaca “Baik dan Buruk,” mari kita baca sama-sama dalam blog ini. Selamat pagi.

    1. Anda benar, Teh Mieke, media harus melakukan check and re-check sebelum menerbitkan tulisan atau menayangkan beritanya. Dengan begitu, wartawan (media) bisa menjaga akurasi dalam menyampaikan ‘kebenaran’ (truth) sebuah peristiwa. Seingat saya wartawan mesti mengedepankan empat hal ini dalam beritanya: kecepatan, akurasi, menembus sumber(misalnya berhasil mewawancarai tokoh yang sulit ditemui), dan kelengkapan.

      – Terima kasih lagi Teh Mieke sudah ‘mempromosikan’ tulisan soal ‘Baik dan Buruk’ itu. Nuhun pisan. 🙂

Silakan Beri Komentar

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s