Mana Lebih Dipercaya: Media atau Politisi?


Portrait of Sergeant Major Susilo Bambang Yudh...
Susilo Bambang Yudhoyono ketika berpangkat Sersan Mayor (Photo: Wikipedia)

Media: Antara Politisi dan Rakyat

HINGGA hari ini kita belum tahu persis apa hasil akhir polemik antara Dipo Alam dan Media Group. Namun, pernyataan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam ulang tahun Majalah Tempo 9 Maret (2011) lalu seperti mengingatkan adanya ‘persaingan’ antara penguasa dan pers.

Saat itu SBY menilai fungsi pers sebagai kontrol terhadap penguasa saat ini sudah berjalan. “Dulu pers takut terhadap penguasa. Sekarang saya tidak tahu, mungkin penguasa takut kepada pers,” kata SBY setengah bercanda.

Oleh: Syafiq Basri Assegaf; Artikel di Media Indonesia 13 April 2011 (halaman 15 – Opini)

Meski pernyataan Dipo Alam konon merupakan sikap pribadinya, toh orang sulit memisahkan antara Dipo sebagai individu dan predikatnya sebagai Sekretaris Kabinet yang menjadi ‘tangan kanan’ pemerintah, sehingga orang seperti anggota DPR Pramono Anung pun, misalnya, sempat menilainya sebagai ‘pernyataan pejabat pemerintah’.

Masalah persaingan media dan politisi memang bukan hal baru. Ketika Guglielmo Marconi mengirimkan pesan sinyal radionya pertama kali menyeberangi Selat Inggris pada 1899, ia seolah menghadiahi para politikus sesuatu yang sejak lama mereka idamkan: kekuatan mengontrol media. Selama 400-an tahun sebelum radio ada, sejak mesin cetak ditemukan, politisi telah berusaha keras mengontrol penerbitan surat kabar dengan mewajibkan perizinan, penyensoran, pajak, ancaman, suap, dan korupsi.

Sesudah itu sejarah mencatat adanya perseteruan kuat antara media dan politisi. Belakangan, berkat penemuan mesin cetak berteknologi tinggi dan meluasnya sistem pendidikan umum yang mengajarkan orang membaca, surat kabar bersirkulasi massal berhasil mengungguli kontrol politisi.

Dalam perkembangannya, urusan media, pemerintah, dan rakyat belakangan menjadi demikian kompleks. Dalam koridor pilar demokrasi keempat, media memang mesti berpihak kepada rakyat ketimbang kepada pemerintah, antara lain karena premis-premis kekuasaan yang cenderung korup. Karena media menjalankan fungsi kontrolnya sebagai watchdog, selayaknya pemerintah melonggarkan kontrol perizinan media dan frekuensi radio dan TV.

Ketika sebuah pemerintahan memboikot suatu media atau membatasi masuknya pengusaha baru ke industri media, umpamanya, hal itu bisa mengakibatkan pemonopolian kekuatan kontrol informasi oleh sekelompok kecil konglomerat. Maka, tak mengherankan bila banyak yang menentang hal itu.

Kepercayaan publik terhadap media di AS menurun: di mana independensi redaksi?

Pasalnya, kalau itu terjadi, `gigi’ pemerintah jadi `ompong’, dan orang jadi sulit membedakan mana fungsi media sebagai `lembaga pers’ (yang melindungi kebebasan watchdog) dan sebagai perusahaan (konglomerasi) media yang hanya sibuk mencari keuntungan semata.

Kebenaran dan transparansi

 

 

Sesungguhnya semua yang telah disebutkan mesti merujuk ke tugas utama media, yakni menyuguhkan kebenaran. Pun bicara kebenaran sama artinya dengan bicara soal transparansi–baik dari sumber berita maupun dari dalam media sendiri.

Pertama membantu proses transparansi pada sumber berita. Meski kata `media’ berarti `di tengah’ –antara penulis opini ini dengan pembaca, atau di tengah antara Dipo Alam dan pemirsa Metro TV –­ toh media lebih suka pada cerita bagus (good stories) ketimbang cerita mengenai hal-hal yang bagus (stories of good things).

Pejabat seperti Dahlan Iskan sering menjadi rebutan sumber berita bagi media: fungsi sebagai watchdog:

Akibatnya, berita pertikaian, konflik, dan kecerobohan (termasuk urusan keuangan dan seks) punya daya tarik tinggi bagi media. Itu sebabnya pula berita pejabat yang ketahuan bohong atau kekerasan seorang artis terhadap wartawan, misalnya, akan lebih menarik ketimbang sebuah ‘terobosan baru’ yang hendak dibanggakan seorang politisi.

Makin tinggi derajat konflik, makin tenar seorang tokoh. Makin besar dampak peristiwa, kian besarlah minat media untuk menyiarkannya.

Kedua, transparansi si media sendiri. Dari sisi kepentingan publik, media punya tugas penting untuk memberitakan secara transparan. Biasanya ini diukur dari akurasi dan bahwa berita itu lolos berbagai `uji kebenaran’ alias verifikasi.

Bagaimanapun, dari kacamata media sendiri, pimpinan redaksi (editor) dan wartawan lazimnya sangat menekankan perlunya ‘kebebasan pers’, yang mudah ditengarai keberadaannya di sebuah negara yang represif pada media.

Akan tetapi, di mana batas kebebasan pers itu? Sejauh ini banyak yang menyangkutkannya dengan ‘independensi keredaksian’ yang idealnya bersih dari sikap arogan, elitis, ataupun terisolasi. Mengingat adanya tekanan untuk memilih berita dari beberapa pemangku kepentingan (stakeholder)-pembaca atau pemirsa, pemasang iklan, investor, pemilik dan pemerintah–maka ‘independensi keredaksian’ menjadi sebuah ambisi yang sangat beralasan.

Sayangnya, sulit menjelaskan bagaimana mungkin pimpinan redaksi (editor) atau wartawan bisa tidak bergantung sama sekali pada stakeholder sebuah organisasi media. Editor, misalnya, adalah puncak harapan pemangku kepentingan dalam pemilihan sebuah berita, tapi pada kenyataannya mereka bertanggung jawab kepada pemilik media dan (ada kalanya) pada pemasang iklan.

Demikian pula, jurnalis bertanggung jawab terhadap redaksi, dan semua pihak (redaksi dan jurnalis) terhadap tuntutan publik.

Hasil survei Pew Research Centre (Pew, 2000) menjelaskan bahwa 35% dari 300 wartawan broadcast AS mengakui bahwa mereka sering kali menghindari berita yang dikhawatirkan ‘melukai’ kepentingan bisnis tempat kerja mereka, dan 29% menghindari berita yang bisa merusakkan kepentingan pemasang iklan.

Performance Media Makin Menurun - Riset Pew 2011
(Bisa dicek di situs Pew mengenai hasil-hasil riset yang lain)

Walhasil, harus diakui bahwa apa yang dipublikasikan sebuah media sebagai ‘berita’ kelihatannya sangatlah bergantung pada sekian banyak stakeholder. Dengan kata lain, ‘independensi total’ adalah mustahil. Itu sebabnya kita khawatir, bila sebuah berita dikaitkan dengan penem pat an iklan, umpamanya, sangat boleh jadi berita menjadi tumpul dan tidak transparan, dan publik menjadi dirugikan.

Berkaitan dengan itu, ada yang menyarankan pertimbangan ketidakberpihakan (impartiality). Tapi, dalam praktik, sulit sekali mengukur ‘bias-tidaknya’ sebuah berita, apalagi mengingat keterbatasan halaman (space) dan sempitnya tempo tayang yang tersedia.

Adalah lebih baik mendorong media untuk mengutamakan sikap kebinekaan (diversity). Lewat diversity itu berbagai pandangan diberitakan sehingga otomatis pelbagai kepentingan akan terwakili. Semakin banyak aspek kebineka an dikedepankan, semakin baiklah ia. Dengan kata lain, diversity diterapkan dengan menghadirkan pelbagai sumber berita, berbagai pandangan dan kritik, beragam kelompok konstituen dalam masyarakat, dan sebanyak mungkin aspek lain dalam produksi sebuah berita.

Kritik terhadap media AS (sumber: http://uppitynegronetwork.com/2010/09/15/failure-to-communicate-when-the-press-became-the-media/ )

Selain bisa menghadirkan keseimbangan, diversity menjadi penting karena dapat menghindari ‘penyaringan berita’ oleh kepentingan penguasa, sponsor, atau iklan dan dominasi perusahaan media bersangkutan atau lainnya.

Kiranya, di tengah tekanan untuk memilih stakeholder, banyak yang meyakini bahwa editorial diversity akan dapat melanjutkan fungsi-fungsi jurnalisme secara menyeluruh.

 

 

Memang, menerapkan diversity bisa berarti bahwa sebuah media akan menyiarkan berita yang tampak tidak konsisten atau kontradiktif untuk sebuah isu yang sama. Tapi, justru konsistensi di sini bisa melengkapi alat ‘uji kebenaran’, persis seperti dalam sidang di pengadilan: hasil akhir sebuah kebenaran akan menjadi makin kuat dengan adanya pertentangan antara pembela dan jaksa penuntut.

— 0o0 —

Baca juga:

4 thoughts on “Mana Lebih Dipercaya: Media atau Politisi?

  1. Mana Lebih Dipercaya: Media atau Politisi?

    Dua-duanya sulit dipercaya… tapi yang paling sulit diperaya adalah politikus, ada pepatah bilang “As Siyasi Kadzdzab Shorih” (Politikus adalah pembohong yang nyata)
    Perlu kejelian melihat keduanya!

    1. Terima kasih atas komentar Antum.
      Tapi banyak yang bilang, bagaiamana pun media masih jauh lebih bisa dipercaya, karena dua kaidah terpenting seorang wartawan (media) adalah membela rakyat dan mengungkapkan kebenaran (truth). Kalau sampai salah satu dari keduanya tidak ada pada sebuah media, tentu masyarakat tak akan memeprcayainya lagi.

  2. Ini merupakan sebuah tulisan yang sangat menginspirasi saya. Transparansi media disini berbicara mengenai bagaimana media menjadi sebuah jembatan komunikasi antara pemerintah dan masyarakat. Sayangnya, seringkali jembatan ini rapuh bahkan terputus oleh karena adanya agenda media atau agenda politik. Hal ini pernah saya teliti dalam skripsi saya. Saya menemukan beberapa pandangan para ahli yang mengatakan bahwa media tidak mungkin selalu netral. Keanekaragaman yang diberikan dalam motivasi dasar pada pemilihan dan arus ‘gambaran kenyataan (image of reality)’ dalam media dapat dilihat ketika penyelesaian sengketa dengan penengahan melalui media itu (mediation) tidak mungkin menjadi proses yang netral. Kenyataannya, media akan selalu sampai pada taraf tertentu, untuk memilih dan membangun perannya, sehingga disana akan hadir suatu penyimpangan tertentu (McQuail 2000:67). Padahal idealnya, kita mengharapkan agar ketiga aspek, yaitu pemerintah, media dan masyarakat harus menjalankan perannya secara seimbang. Ketiganya dapat saling “interlocked”, tidak dapat dipisahkan dan saling membutuhkan. Dalam ‘functionalism theory’, dijelaskan bahwa media secara langsung melakukan mengarahkan diri (self directing) dan mengkoreksi diri (self correcting) (McQuail, 2007:78). Teori ini dapat menjadi tolak ukur bahwa disamping ada banyaknya kepentingan yang harus diperjuangkan oleh media, sebenarnya media juga memiliki peran tersendiri dalam menjalankan aktivitasnya (disini media berhak untuk menjadi perantara antara pemerintah dan masyarakat).Kuncinya ada pada bagaimana media dapat “survive” sebagai watch dog dalam negara demokrasi seperti Indonesia ini. Istilah ‘demokrasi’ dalam hal ini ternyata tidak sederhana seperti yang kita bayangkan. Apakah sesungguhnya Indonesia telah menjalankan perannya sebagai negara yang ‘sungguh-sungguh demokratis’ atau istilah ‘demokrasi’ hanya sekedar identitas bangsa kita tanpa bukti yang tepat bahwa negara ini telah menjalankan sebuah negara demokrasi yang menyuarakan kepentingan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Kalau menurut saya, demokrasi justru mengindikasikan adanya kebebasan, dan suatu kebebasan dapat dengan mudah disalahgunakan keberadaannya. Lalu apakah media yang sering memberitakan hal buruk tentang politisi merupakan dampak dari sisi ‘jahat’ sebuah negara yang berdemokrasi? Saya rasa betul. Dalam model interaksi kebijakan dan media (media-policy interaction model) pada artikel jurnal Robinson (2001) yang saya baca, dikatakan bahwa pada hakekatnya wartawan dalam negara demokrasi menjadi penyelenggara, dengan sadar atau tidak, ada dalam salah satu kelompok elite. Pemerintah dihadapkan dengan (1) kemungkinan bahwa pendapat umum (public opinion) mungkin dipengaruhi oleh laporan media yang negatif, (2) dihubungkan dengan kerusakan pada kredibilitas dan gambaran pemerintah yang disebabkan oleh ‘pers yang tidak baik’ (bad press) dan (3) pembuat kebijakan-kebijakan (policy-makers), mulai mempertanyakan keyakinannya terhadap kebijakan pemerintah yang ada. Semakin besar tingkat ketidak-pastian atas kebijakan dalam eksekutif, semakin peka pengaruh proses kebijakan dalam laporan media yang negatif. Oleh karena itu, saran saya, jika media mau menjadi “watchdog” yang benar, mereka harus lebih bijaksana dalam memilih pemberitaan yang tidak mendatangkan reaksi negatif dari khalayaknya untuk menghancurkan pemerintahan negaranya sendiri.

    1. Jeany,
      Waaah.. komentar ini sendiri sudah merupakan sebuah tulisan yang sangat mencerahkan. Saya akan menjadikannya sebuah posting terpisah, karena isinya terlalu penting dan menarik untuk dilewatkan.
      Terima kasih.

Silakan Beri Komentar

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s