Sudah jamak diketahui, untuk memenangkan pemilihan kepala daerah, seperti gubernur DKI, para calon gubernur itu membutuhkan bantuan ahli komunikasi.
Dalam urusan kampanye mereka, semua tahu, peran ahli citra atau image menjadi sangat sentral.
Sebab, lewat garapan ahli komunikasi, khususnya Public Relations (PR), maka citra sang calon bisa dilejitkan secara signifikan, meninggalkan para pesaing lain. Dalam tempo singkat, seorang calon gubernur yang belum dikenal sebelumnya, umpamanya, bisa merebut simpati dan meningkatkan popularitasnya di mata audience.
Itu sebabnya belakangan ini banyak yang menamakan pengelolaan PR dengan ‘reputation management’, atau image management. Setali tiga uang dengan itu, orang marketing menyebutnya ‘brand management’.
Oleh Syafiq Basri Assegaff*)
Tulisan ini aslinya ditayangkan dalam situs berita “Inilah.Com”, Jumat 27 April 2012.
Sejatinya, tenaga PR itu tidak saja diperlukan saat kampanye, melainkan juga dalam semua situasi. Ahli komunikasi yang mengelola citra (dalam jangka pendek) atau reputasi (jangka panjang) perlu selalu hadir mendampingi orang nomor satu dalam organisasi – bila organisasi itu ingin meraih sukses ‘menaklukkan’ hati dan jiwa audiensnya, membuat sang khalayak menjadi cinta dan loyal kepada organisasi dan pimpinannya.

Politisi yang berkampanye mengatakannya, ‘merebut hati’ pemilih. Para ahli pemasaran menyebutnya ‘meningkatkan kepuasan konsumen menjadi pelanggan yang loyal’, atau dalam bahasa ahli ethnography dan branding Amalia Maulana, mengubah ‘just friends’ menjadi ‘soul mates’.
Bahkan dalam situasi krisis, hal itu lebih kentara lagi. Termasuk dalam negara yang sedang dirundung masalah pun, kebutuhan terhadap ahli citra dan reputasi tadi justru kian besar. Contoh mutakhir adalah saat terjadinya pergolakan di Timur Tengah dan Afrika belakangan ini.
Di tengah riuh-rendahnya krisis di berbagai negara itu, pada Maret tahun lalu (2011) BBC melansir berita bahwa banyak wartawan yang diam-diam dikontak oleh beberapa agen konsultan PR yang bertindak atas nama para pemimpin Arab. Tujuan mereka: mencari cara lewat bantuan ahli PR untuk menghentikan lajunya berbagai berita negatif di media.
Namun yang dilakukan para rezim itu hanya merupakan usaha facelift for reputations, operasi kosmetik wajah belaka. Rupanya para pemimpin tiran itu paham apa yang mesti diperbuat, guna memperbaiki reputasi mereka. Salah satu kunci terpenting adalah mereparasi ‘nama baik’ lewat media, dengan cara menyewa konsultan PR di negara Barat seperti Inggris.

Bagaimana pun, hal itu menunjukkan bahwa bidang PR kini kian berkembang pesat. Ia bahkan telah menyaingi bidang marketing, yang dulu menjadi ‘induk semang’, tempat PR diletakkan di bawah komponen ‘promosi’.
Hal itu juga menunjukkan bahwa semua sektor, baik organisasi pemerintahan maupun swasta memerlukan tenaga ahli pengelola citra dan reputasi itu. Kemudian, yang juga harus dicatat adalah bahwa mereka tetap bisa berfungsi secara efektif dalam berbagai situasi — normal atau pun krisis.
Namun masih ada organisasi atau perusahaan yang hanya mau menggunakan ahli PR saat kondisi baik, atau ketika ekonomi negara sedang jaya. Dengan kata lain, berbagai perusahaan besar dan kecil mencari praktisi PR kenamaan pada saat ekonomi sedang bagus saja.
Tetapi, ketika ekonomi sedang repot — dan para ekskutif perusahaan diuji untuk menyelamatkan perusahaan agar tetap bisa meraup keuntungan — para profesional PR banyak disingkirkan, dan baru bila keadaan ekonomi kembali membaik sajalah PR akan muncul ke permukaan lagi.
Tentu saja itu strategi tidak tepat. Banyak orang tidak menyadari bahwa praktek-praktek yang memaksimalkan keuntungan saat ekonomi bagus adalah praktek-praktek yang sama yang juga bisa mendongkrak untung dan mengurangi kerugian pada saat krisis ekonomi.
Kasus krisis di berbagai negara Timur Tengah itu membuktikannya. Justru ketika kondisi buruk, dan ekonomi kacau akibat chaos meruyak di seluruh negeri — terlepas apakah kita menyetujuinya atau tidak, dan terlepas dari kritik bahwa tindakan itu melanggar etika — pimpinan negara membutuhkan tenaga PR yang handal untuk membantu perubahan citra secara cepat dan tangkas.
Bagi organisasi komersial, sejatinya program PR atau PR campaign yang strategis tetap dapat memperkuat posisi perusahaan dan mempertajam daya saing perusahaan ketika ekonomi sulit, sementara, di saat stabil dan ekonomi kuat maka PR akan mendukung terciptanya ide-ide penjualan yang brilian.
Pada saat ekonomi lemah, toh orang masih tetap memutar roda usaha; hanya lebih lambat dari biasanya.
Keberhasilan PR sebuah organisasi adalah ketika perusahaan itu berhasil memposisikan dirinya sebagai ‘market leader’ dan berhasil meningkatkan visibility-nya di media secara nyata.
Dan perusahaan yang berhasil bertahan adalah mereka yang memiliki strategi PR paling jitu, dengan pendekatan paling kreatif terhadap customers, memiliki nilai yang dipersepsi tertinggi, dan layanan terbaik saat menjual atau pun purna jual, dan tenaga penjualan yang paling handal dalam persaingan.
Ketika ekonomi kembali merekah, PR dapat mendukung perusahaan yang bertahan mapan, sambil memperkuat reputasi perusahaan kecil yang sedang tumbuh melalui pendidikan publik.
Pasalnya, ketika ekonomi tegak berdiri, demikian pula lah semangat dunia usaha dan konsumen. Sehingga pada saat demikian, saat ekonomi kokoh kuat itu, semua otak pengusaha cenderung terbuka untuk menerima ide-ide baru. Itulah saatnya ketika organisasi mesti menggalakkan persemaian bagi diskusi-diskusi inovatif yang dirancang untuk pengembangan organisasi.
Jadi itu memang kesempatan emas. Sebab saat ekonomi yang semarak secara alamiah, akan memancarkan minat dan semangat bagi munculnya produk-produk dan jasa-jasa baru, sementara – pada saat yang sama – menawarkan sejumlah kesempatan bagi berbagai perusahaan untuk menyuguhkan perbincangan yang menggugah, mencerahkan dan mendidik.
Nah, di antara praktek PR paling efektif yang digunakan oleh perusahaan-perusahaan yang sukses adalah ‘thought leadership’. Maksudnya, adalah seni mengkomunikasikan visi strategis kepada orang lain dengan cara yang informatif dan meyakinkan.
Mereka yang handal dalam thought leadership tidak akan bicara di atas atau di bawah level khalayaknya, melainkan ‘dengan’ atau ‘bersama’ sang khalayak. Dalam bahasa orang marketing, ”bukan bicara kepada pasar’ atau mendikte pasar, melainkan ‘bicara bersama pasar’.

Sebab, hanya dengan memahami publik (bagi orang PR), atau pasar (bagi marketer) sajalah, thought leaders bisa menempatkan diri mereka dalam posisinya sebagai pakar di bidangnya sambil ‘mengukir’ pesan yang hendak disampaikan dengan cara yang bisa mempengaruhi audience lewat cara-cara positif.
Dalam konteks kampanye gubernur, bicara bersama audiens itu sama artinya dengan mendengarkan suara rakyat sebanyak-banyaknya, merasakan keluhan dan concerns mereka, untuk kemudian merekam dan menerapkannya secara penuh kepedulian, tulus dan transparan.
*) Konsultan komunikasi, dosen komunikasi di Universitas Paramadina, dan di STIKOM London School of Public Relations, Jakarta. http://www.syafiqb.com.
saya setuju dengan pembahasan bapak. Artikel ini memberikan banyak ilmu dan materi yang sebelumnya tidak saya dapat di kelas. Khususnya mengenai “thought leadership”. Jujur saja,baru kali ini saya mendengar istilah tersebut. Mungkin karena saya jarang membaca buku-buku tentang Public Relation. Terlepas dari itu, Artikel ini telah mengajari saya tentang kiat-kiat menjadi seorang PR yang handal. Saya rasa artikel ini dapat menjadi solusi dan masukan yang baik bagi perusahaan-perusahaan maupun organisasi di Indonesia guna mencapai kesuksesan dalam karirnya. Karena walau bagaimanpun peran PR saat ini, memegang kunci yang sangat penting untuk membantu keberhasilan suatu organisasi.
terima kasih pak, sangat bermanfaat.
Juianti, kunci untuk menjadi sarjana yang pandai dan handal adalah banyak membaca. Saran saya barangkali mahasiswi seperti Anda harus lebih banyak membaca, dan tidak hanya mengandalkan apa yang disampaikan dosen di kelas.
Artikel ini pun hanya membahas sebagian kecil masalah PR. Keterbatasan di media (news media khususnya) adalah kita tidak bisa menulis panjang lebar, melainkan hanya membahasnya sesuai angle tertentu. Itu sebabnya jika ingin tahu lebih lengkap kita harus membaca buku dan jurnal, serta bacaan lain yang bisa menajamkan pemahaman dan menambah ilmu.
Terima kasih atas komentar Anda.
Agree! Profesi PR kini kian diperhitungkan. Seperti yag mungkin telah kita ketahui bersama bahwa negara seperti Singapura, Korea Selatan dan Malaysia juga menggunakan jasa PR untuk mengemas pesan dan konsep iklan pariwisata negara mereka. Terbukti strategi mereka itu berhasil.
Setiap profesi memiliki keahlihan dan fungsinya masing – masing. Keahlian dari setiap profesi, baik PR maupun Marketing akan maksimal penggunaannya jika para pemakai jasa (dalam hal ini negara) mengerti fungsi masing masing profesi tsb.
Apapun profesinya yang penting adalah ‘profesionalitas’. Bekerja sebagai PR, berarti harus PR profesional. Sebagai Marketing,harus Marketing yg profesional, apalagi yg bekerja di pemerintahan, harus menjadi wakil rakyat yg profesional. Bekerja sesuai fungsi dan etika profesinya.
Terima kasih, Winner.
Komentar yang menarik. Saya juga setuju, semua orang harus bekerja secara profesional di bidangnya masing-masing.
Salam.
Saya setuju bahwa peran PR dalam mengelola citra dan reputasi terhadap perusahaan, organisasi ataupun negara menjadi sangat penting. Terutama apabila kita melihat perkembangan dunia pendidikan di Indonesia yang semakin membuka lebar kesempatan bagi masyarakat untuk belajar tentang “Public Relations” dan sekaligus turut berusaha untuk menjadi PR. Tentunya, PR dalam hal ini bukanlah PR yang hanya sebatas “advokat”. PR yang baik adalah PR yang dapat menerapkan “Responsible Advocacy”, yang berarti bahwa PR tidak hanya secara profesional berusaha memenuhi permintaan kliennya dalam membentuk citra dan reputasi yang positif dengan menghalaukan segala cara, melainkan secara etika, PR juga memiliki kesadaran sosial untuk memperjuangkan kepentingan masyarakat. PR dalam hal ini dituntut untuk selalu accountable (dapat dipercaya) oleh masyarakat luas. Melalui teori dan penelitian dari Fitzpatrick & Gauthier mengenai “Responsible Advocacy in Public Relations”, secara spesifik dijelaskan bahwa PR Professional harus memegang tiga prinsip dasar dalam menjalankan tanggung jawabnya. Pertama, PR harus berhati-hati untuk selalu mempertimbangkan setiap tindakan yang dapat melukai atau memberi keuntungan bagi pihak tertentu. Kedua, PR harus menjamin bahwa dirinya menghormati semua pihak. Ketiga, PR harus secara seimbang mengalokasikan setiap keberhasilan maupun kesulitan yang ada disekitarnya (Cox, 2006, p.2). Kerjasama pemerintah dan PR ternyata memang sangat penting, karena kita mengharapkan pemerintah yang tidak hanya membela kepentingan politik, melainkan juga mempertimbangkan kesejahteraan dan kepentingan masyarakat secara adil. PR yang menjalankan “responsible advocacy” adalah kunci untuk menjawab persoalan ini. Dalam hal ini, tidak ada salahnya para calon kepala daerah memakai jasa PR untuk membantu mereka dalam berkomunikasi. Saya juga berharap bahwa dalam pemilihan kepala daerah di Indonesia dapat berjalan dengan lancar. Setiap calon memiliki potensinya masing-masing untuk sukses. Melalui kemampuan setiap calon dalam berkomunikasi, masyarakat dapat menilai kepribadian mereka. Bahasa mencerminkan bangsa. Kata-kata yang terucap, tidak pernah dapat ditarik kembali. Mulutmu harimaumu, sehingga jangan sampai yang diucapkan oleh para pemimpin hanya sekedar omong kosong atau janji yang tidak pernah terwujud untuk rakyatnya.
Terima kasih Jeany, sebuah komentar yang mencerahkan. Setuju, pemimpin harus menjaga apa yang dikatakannya, apalagi selama kampanye, sebab masyarakat pemilih (maupun yang tidak memilihnya) akan mengingat hal itu, dan menagihnya.