Perkara Virus Covid-19 yang Jarang Diungkap


Tulisan ini telah dipublikasikan harian Kompas, Selasa 29 Desember 2020, halaman 7.

Syafiq Basri Assegaff
(Dokter, dan pengajar di Institut Komunikasi dan Bisnis LSPR, Jakarta)

Anda bisa membaca artikel aslinya di pranala berikut (harus berlangganan): https://www.kompas.id/baca/opini/2020/12/29/perkara-virus-covid-19-yang-jarang-diungkap/

Setelah sepuluh bulan wabah Covid-19 menghantui kita, tampaknya masih banyak yang bingung tentang apa dan bagaimana virus itu. Padahal memahami sifat dan bagaimana karakterisik virus ini dapat membantu upaya penanggulangannya.

Para ahli bilang, sedikitnya ada tujuh varietas virus corona yang diketahui telah menginfeksi manusia: empat (bukan lima – red.) jenis virus corona ‘kelas ringan’ menyebabkan kita bersin-bersin kayak flu biasa; satu menyebabkan wabah di Timur Tengah sejak 2012 (yang dinamakan MERS, Middle East Respiratory Syndrome); dan dua penyebab sakit (patogen) sisanya meruyak luas hingga menyebabkan pandemi. Satu dari dua jenis virus yang terakhir ini adalah virus penyebab SARS dan “anak”-nya yang bandel, yang menyebabkan Covid-19.

Menyoroti Covid-19 hanya dari persamaannya dengan SARS dapat menjebak kita, sehingga menghasilkan respon keliru. Sebab, novel coronavirus penyebab Covid-19 ini beda, sehingga sangat perlu memahaminya agar masyarakat bisa memeranginya dengan cara terbaik. Dan ini berarti keharusan mengungkapkan urusan epidemiologi sang patogen (penyebab sakit).

Meski SARS yang pertama, yang disebabkan SARS-CoV-1, punya persamaan dengan Covid-19, tetapi secara epidemiologis keduanya memiliki perbedaan penting. SARS disebabkan oleh virus yang dikenal sebagai SARS-CoV-1, muncul pada 2002 dan menyebar ke 30 negara. Tetapi ia cuma menginfeksi 8422 orang dan ‘hanya’ membawa kematian 916 orang sebelum akhirnya berhasil dihentikan penyebarannya delapan bulan kemudian. Di sisi lain, virus penyebab Covid-19, SARS-CoV-2 yang kini berada di tengah-tengah kita hingga 5 Desember 2020 lalu telah membunuh lebih dari 1,5 juta orang di dunia.

Menurut Nicholas Christakis, seorang dokter dan sosiolog Yale University yang banyak melakukan riset dalam bidang jejaring sosial dan epidemiologi, patogen seperti virus penyebab Covid-19 memiliki banyak aspek yang sama dengan penyebab SARS. Keduanya berasal dari famili yang sama-sama merupakan coronavirus, dan memiliki sekuen genetik yang 79% identik. Keduanya muncul pertama kali di China, sama-sama menyerang alat pernafasan dan dapat sangat mematikan (letal). Kemampuan bertransmisi (transmissibility) keduanya juga mirip. Transmissibility, alias angka reproduksi penyebaran [“reproduction number” yang kini terkenal dengan istilah ‘er-nol’ (‘R0’)] merupakan kuantifikasi berapa kasus baru muncul dari setiap kasus yang ada lebih dulu. Menurut Christakis di The Economist, Agustus 2020, R0 SARS-CoV-1 dihitung berada pada kisaran 2,3 hingga 3,6. Demikian pula bagi SARS-CoV-2, berada di angka yang serupa. Seumpama angka itu dapat diterapkan pada penyebab Covid-19, secara kasar kita bisa mengatakan bahwa setiap satu orang pembawa virus mampu menginfeksi rata-rata tiga orang lain.

Tetapi ada beda di antara keduanya, yang jarang diungkapkan orang: virus penyebab SARS memiliki kualitas dalam dirinya yang menyebabkannya lebih sulit menyebar dan lebih mudah dikontrol, dibandingkan dengan penyebab Covid-19. Hal ini karena perbedaan angka rata-rata fatalitas kasus (case fatality rate atau CFR), gejala-gejala yang timbul, jangka waktu ‘daya menginfeksi’ dan nuansa reproduksi penyebaran yang dimiliki keduanya. Pertimbangan pada semua fitur itu penting, karena hal ini bisa menjelaskan mengapa virus Covid-19 sangat merusak, dan bagaimana cara terbaik memeranginya.

Daya Bunuh Covid-19.
Satu di antara perbedaan penting adalah fatalitas, atau ‘daya bunuh’. Sebuah cara epidemiolog menilai daya bunuh (letalitas) adalah tingkat fatalitas satu jenis virus (CFR), yang berarti kemungkinan seseorang akan meninggal saat ia menghadapi tindakan medis. Secara perhitungan meta-analisis angka case fatality rate (CFR), atau angka rata-rata fatalitas kasus adalah jumlah kematian yang dicatatkan dibagi jumlah kasus yang dilaporkan. Pada Agustus 2020 lalu, Christakis menyatakan bahwa SARS memiliki CFR sekitar 11 %, sedangkan CFR Covid-19 diperkirakan antara 0,5 – 1,2 %, menjadikannya sepersepuluh ‘kekejaman’ (daya bunuh) SARS.

Dari data yang ada pada situs WHO 6 Desember lalu terdapat 65,651,683 penderita terkonfirmasi di dunia, dan 1,519,193 di antaranya meninggal. Artinya angka CFR dunia saat ini adalah sekitar 2,3 %. Meski angka CFR terakhir ini lebih tinggi dari dugaan Christakis, tetap saja angka CFR Covid-19 itu hanya seperlima fatalitas (CFR) SARS-CoV-1. Memang angka CFR bisa berubah-ubah. Tetapi secara garis besar dapat dikatakan bahwa angka kematian Covid-19 lebih rendah dibanding melejitnya angka penyebaran kasusnya.

Dengan kata lain, jika seseorang dikenai Covid-19, kecil kemungkinan ia akan meninggal, sedangkan pada kejadian SARS dulu, kemungkinan meninggal bila sudah terinfeksi lebih besar, meski pun angka penyebaran penularannya rendah. Hal ini menjadikan virus Covid-19 sulit dikontrol akibat banyaknya orang tanpa gejala (OTG), yakni orang ‘sakit’ (membawa virus dalam tubuhnya) yang berkeliaran ke sana ke mari karena merasa dirinya sehat. Adapun SARS tidak menyebar seluas Covid-19 karena, secara paradoks, ia sangat mematikan. Artinya orang yang terinfeksi SARS-CoV-1 (penyebab SARS) sudah keburu meninggal sebelum ia sempat ‘berjalan-jalan’ ke berbagai tempat.

Rendahnya “daya bunuh” SARS-CoV-2 dibanding SARS-CoV-1, bukan berarti penyebab Covid-19 ini kurang membahayakan. Sebaliknya, ia justru menimpa lebih banyak orang. Untuk memahami bagaimana hal itu terjadi, mari bayangkan adanya dua patogen A dan B. Misalkan di antara 1000 orang ada 20 yang terinfeksi patogen jenis A sehingga sakit berat, lalu dua di antaranya meninggal, maka tingkat fatalitasnya adalah 10 % (dua dibagi 20).

Sementara itu ada patogen B, yang juga menjadikan 20 orang sakit berat dan membunuh dua dari 1000 orang, tetapi patogen B itu sekaligus juga menulari 180 orang lainnya yang akan ikut sakit ringan atau sedang, tetapi tidak (belum) menyebabkan kematian. Dalam perjalanannya, di antara 180 korban patogen B itu mungkin bisa menjadi sakit serius, seperti 20 yang pertama. Tetapi berhubung yang meninggal hanya dua dari 200 yang terinfeksi, maka angka fatalitas adalah satu persen.

Di sini, serangan virus B tersebut tampaknya lebih ringan, tetapi pada kenyataannya justru ia jauh lebih membahayakan. Maka wajar jika tidak seorang pun memilih berada pada kelompok yang terinfeksi patogen B – yang mengakibatkan terinfeksinya orang-orang 10 kali lebih banyak (dari yang jenis A).

Kondisi kedua (akibat patogen B) itu menjadi bagian dari karakter pandemi Covid-19 ini. Diperkirakan lebih dari separuh mereka yang terinfeksi tidak menunjukkan gejala (asimptomatik). Sebagian yang jatuh sakit akan menderita masalah kesehatan jangka panjang yang serius. Walakin, karena sebagian besarnya menunjukkan gejala yang mirip flu biasa, ada kecenderungan masyarakat menganggapnya tidak seberapa serius, sehingga menyebabkan kontrol terhadapnya makin sulit. Inilah fenomena yang terjadi pada OTG.

Periode Laten.

Keadaan semakin repot apabila menilik periode terjadinya penularan sebelum penyakit itu menunjukkan gejala. Para dokter biasa menamakannya “masa inkubasi” – jangka waktu antara saat mulai terinfeksi patogen sampai munculnya berbagai gejala (yang diakibatkannya). Rentang waktu masa inkubasi pada virus SARS-CoV-2 berkisar antara dua hingga 14 hari (sehingga direkomendasikan periode karantina selama 14 hari), dengan angka rata-rata sekitar 6-7 hari. (Untuk SARS akibat SARS-CoV-1, masa inkubasi ini adalah 2-7 hari.)

Walakin, beda yang jauh lebih penting di antara kedua patogen adalah perkara periode laten (latent period), yakni jarak bentangan waktu (tempo) antara mulai terinfeksinya seseorang hingga saat ia bisa menularkannya pada orang lain. Periode laten ini bervariasi, tidak selalu sama pada setiap penderita, yang sering dinamakan dengan “mismatch period”.

Nah, ketika periode inkubasi lebih panjang ketimbang latent period, maka OTG yang sebenarnya membawa virus dalam tubuhnya belum (tidak) menyadari hal itu, kecuali jika dilakukan pemeriksaan darah. Ini berbeda sekali dengan sifat penyakit lain seperti smallpox, yang memiliki periode laten lebih panjang sehingga seseorang akan menunjukkan gejala sebelum (atau pada saat yang sama ketika) ia punya kemampuan menulari orang lain: akibatnya penyakit itu jelas tampak pada semua orang (yang terinfeksi).

Berhubung masa inkubasi virus Covid-19 pada umumnya lebih panjang daripada latent period-nya, maka ia jauh lebih merusak (membahayakan) ketimbang virus penyebab SARS. Pasien Covid-19 memerlukan sekitar tujuh (7) hari (sejak terinfeksi) untuk menunjukkan gejala, tetapi ia dapat menyebarkan (menulari orang lain) selama 2-4 hari sebelum gejalanya muncul. Pada kenyataannya, menurut para ahli, satu hingga dua (1-2) hari sebelum gejala muncul mungkin merupakan saat penularan paling gencar– the most contagious.

Banyaknya orang yang lolos (survive) dari infeksi serius menyebabkan para petugas kesehatan mesti menyiapkan diri untuk pelayanan jangka panjang. Prevalensi (banyaknya kejadian) orang yang mengalami gejala mirip flu mengharuskan pemerintah, media, perusahaan dan masyarakat luas harus melipatgandakan kewaspadaan, sebab makin banyak orang yang merasa ‘lega’ atau tenang-tenang (complacency).

Menjaga jarak – agar tidak tertular atau menulari orang lain.

Kemudian, kesulitan kian menjadi-jadi untuk mengorganisasikan pesan-pesan kesehatan masyarakat ketika virus itu menunjukkan ketidakkonsistenan pada siapa ia menginfeksi, membahayakan dan siapa yang akan ‘dibunuhnya’. Fakta bahwa banyak OTG dapat menulari orang lain sebelum ada gejala berarti deteksi jadi sulit, sehingga isolasi mandiri dan kewajiban karantina menjadi sangat masuk akal.

Yang terpenting adalah kondisi para OTG tadi: kelompok ini, yang merupakan bagian besar penduduk, seringkali tidak menyadari bahwa mereka bisa menulari orang lain, karena tidak adanya gejala pada tubuh mereka. Konsekuensinya, kita tak bisa mengacu pada pendekatan program yang dilakukan pada kasus SARS dulu, ketika orang datang ke RS saat merasakan gejala dan pada saat yang sama sudah bisa menulari. Sebab, untuk kasus Covid-19 ini, kita tak bisa mengandalkan gejala untuk menetapkan kasus positif. Pengujian (testing) harus digencarluaskan dan hasilnya harus diketahui sesegera mungkin.

Mereka yang enggan mengenakan masker nantinya akan lebih paham jika mengerti bahwa hal itu lebih baik daripada bangkrutnya ekonomi dan menghitung banyaknya kafan. Berdasarkan epidemiologi virus, respon terbaik adalah sebagaimana dianjurkan petugas kesehatan – meski kadang ditolak sebagian komunitas: sampai nanti ketika vaksin yang efektif ada di depan kita, mengurangi interaksi sosial, menjaga jarak, dan memperluas testing (mitigasi) dan mengenakan masker.

Karakteristik nyata Covid-19 memastikan sebagian besar penduduk dunia akan terinfeksi olehnya sebelum virus pembawa bencana ini punah – sebuah parameter epidemiologis yang dikenal dengan istilah tingkat serangan (attack rate). Bagi SARS dulu, tingkat serangan sangatlah kecil: hanya 8422 orang dari seluruh (6,3 milyar) penduduk dunia pada 2003, atau sekitar 0.00013 persen. Sedangkan bagi Covid-19, sedikitnya 40 % dari 7,6 milyar penduduk dunia mungkin bakalan terinfeksi, dan membawa jutaan korban yang wafat. Perjalanan kita masih panjang. Maka lebih baik kita meresponsnya secara bijak.

Silakan Beri Komentar