Hoax Anti-Vaksin dan Kebodohan


Sudah jadi sifat manusia untuk cari sesuatu yang mudah. Jarang ada yang mau mempersulit dirinya, termasuk ketika membaca berita atau cerita di media sosial (medsos). Orang seperti ini seringkali langsung mempercayai berita yang diterimanya di handphone (gadget)-nya, dan secara instan lalu meneruskannya pada teman-teman atau keluarganya di berbagai grup, baik di Whatsapp, di Facebook atau akun medsos lain yang dimiliknya, tanpa pikir panjang. Mereka ini rupanya menderita penyakit baru yang disebut dengan FOMO, Fear of Missing Out. Penderita FOMO takut dianggap ketinggalan, kurang gaul, atau bodoh: masa’ yang begitu saja tidak tahu; belum pernah dengar berita itu?

Tetapi mereka yang bijak, biasanya lebih berhati-hati, tidak akan sembrono meneruskan (forward) berita yang dibacanya, khususnya karena mereka sadar banyaknya berita palsu (fake-news) atau hoax dan fitnah yang beredar di medsos.

Jadi bagaimana caranya menandai sebuah berita itu hoax atau palsu (fake-news)? Richard M. Perloff (2020) menulis (dalam “The Dynamics of News_ Journalism in the 21st-Century Media Milieu.” terbitan New York: Routledge, halaman 28-30). bahwa, di antara tips yang bisa diikuti adalah berikut ini. (Saya menambahkan beberapa di luar tulisan Perloff itu):

  • Pertama dan Terpenting: cek keterandalan (reliability) laman (situs, website) asal berita yang Anda baca. Telitilah lebih dulu, dan jangan mudah membagikannya pada orang lain atau telalu cepat menekan keypad ‘share’ atau ‘forward’ ke orang lain. Jangan ikut menanggung dosa menyebarkan kebohongan yang dibuat orang lain.
Di mana Logikanya — Ibu gadis yang tidak mau divaksin ini bilang bahwa, “meski tertular cacar, anak gadis saya ini tidak meninggal. Lalu, kita bisa juga menjawab: “Kakek veteran perang juga tidak gugur…

  • Jika tulisan yang ada terasa aneh, patut dipertanyakan, maka kemungkinan memang demikian. Coba simak headline ini: “Pertama Kali di Dunia, Dokter Berhasil Mencangkok Kepala sesudah 19 Jam Operasi.” Mana bisa dokter memindahkan kepala orang, secanggih apa pun ilmunya. Lalu ini: “Paus Menggoncangkan Dunia: Dukung Pencalonan Donald Trump Sebagai Presiden.” Dari mana asalnya seorang Paus ikut campur dalam pemilu sebuah negara, lalu mendukung kandidat apalagi yang menikah tiga kali?
  • Jika ceritanya seolah “mungkin” benar, tetapi intuisi kita meragukannya (mengatakannya “mustahil”), maka pertimbangkanlah kemungkinannya bahwa itu sebuah kepalsuan. Aturan prinsip: waspadai berita yang ditanamkan (disebarluaskan) di media sosial atau YouYube. Baca atau simaklah secara lebih hati-hati.
  • Waspadai Cerita Absurd (Terlalu Aneh) khususnya yang terkait dengan Bias Anda. Kebencian atau Suka yang berlebihan pada seorang tokoh seringkali menjadi pemicu munculnya kisah bohong atau fitnah. Seseorang yang benci pada Donald Trump, umpamanya, mungkin akan mudah termakan berita bahwa ia pernah menindak siswa SD gara-gara murid itu pernah bilang, “saya tidak suka Presiden Trump.” Boleh saja tidak suka atau terlalu cinta pada seseorang, tetapi pisahkan bias kebencian atau kecintaan Anda dari penilaian sebuah kebenaran.

Untuk berita dalam bahasa Inggris terkait wabah Covid-19, bisa cek semuanya di sini.

  • Tenggarai ciri-ciri yang mengarahkan pada kepalsuan. Jika banyak salah ketik, tidak ada nama penulis, atau penulisnya anonym, maka cerita atau berita itu sangat mencurigakan. Begitu juga kalau tata-bahasanya kacau, maka konstruksi berita itu kemungkinan sebuah rekayasa. Mesti ingat, media arus-utama (yang bisa dipercaya) pasti mengedit dan meneliti semua tulisan yang akan dipublikasikan. Ada redaksi, ada pemimpin redaksi dan jajarannya yang akan ‘memeras’ sebuah berita secara serius – itu di antara fungsi gatekeeper (penjaga gawang) di media. Memang sayangnya, di Media Sosial sekarang ini siapa saja bisa menulis, dan tidak ada gatekeeper di situ.
  • Cek ulang, pastikan, bahwa berita itu berasal dari sumber yang dipercaya atau dapat diandalkan (reliable sources). Ini misalnya datang dari media arus-utama seperti Kompas, Detik, Tempo, Liputan-6, BBC, CNN, The New York Times atau Al-Jazeera. Jika tulisan itu berasal dari Facebook, atau disebarkan oleh seseorang dengan alamat yang tidak jelas, maka curigailah. Jika ada berita banyak viral beredar di sana sini, bukan jaminan bahwa berita itu benar.
Kata sang virus Corona: beruntung tidak ada vaksin untuk melawan “kebodohan”. Jadi biarkan saja mereka yang bodoh tidak mau divaksin anti-corona itu tetap bodoh.
  • Pastikan bahwa berita itu datang dari sumber pemerintah, lingkaran bisnis (perusahaan), politik atau aktivis. makin banyak kisah yang datang dari wilayah itu, dan sumber beritanya sudah sering Anda dengar, adanya perusahaan, grup atau nama tokoh yang dikenal, atau kutipan dari tokoh politik yang terpercaya, makin besar kemungkinannya hal itu benar. Tapi ingat: seringkali penulis berita bohong suka mengutip nama-nama itu, tetapi sang penulis sendiri tidak punya identitas, pakai nama palsu atau bahkan tidak ada namanya.

  • Jika ceritanya kelihatan tidak biasa (aneh), bandingkan (cek) di sumber berita yang lain, guna mendapatkan konfirmasi. Kalau itu sebuah berita besar, amat penting, maka pasti semua media akan memberitakannya. Itu sudah rumus dan keharusan bagi semua media arus-utama. Jika tidak, sebuah judul berita yang aneh biasanya palsu.
  • Cek ulang pada sumber-sumber yang meneliti adanya hoax: ada “Fact Check,” ada Situs Kominfo, ada NewsGuard, dan banyak lagi. Pastikan yang Anda baca itu bukan berita palsu. Kadang ada yang mengutip tulisan di jurnal (dalam bahasa Inggris) dengan narasi pengantar yang isinya sangat berbeda dari jurnal yang dimuat – -berhubung banyak orang malas membaca tulisan kecil di jurnal.

Silakan Beri Komentar