Pesan yang Membosankan di WA: Inflasi Pengunggah Konten?


Kalau para ekonom biasa bicara inflasi, ada yang tanya, apakah hal itu dapat terjadi pada manusia?

Entahlah, tapi mungkin ini bisa memberi sedikit gambaran yang mendekati hal itu.

Begini.

Kata para ahli komunikasi, dari Aristoteles sampai zaman kiwari, jika ingin komunikasi Anda efektif, sebagai pembicara atau penulis, maka Anda harus persuasif.  Sebab kalau tidak efektif, maka pesan Anda itu sia-sia. (Saya lalu ingat pesan seorang ustaz, yang pertama melakukan kesia-siaan itu adalah setan).

Contoh gambaran ethos yang diragukan, karena sikap mementingkan diri sendiri (egois) dan hipokrit.

Supaya pesan Anda persuasif, membawa dampak, maka setiap komunikator (atau ‘rhetor,’ dalam istilah zaman Aristoteles) mesti mempertimbangkan audiens mereka, dan *mengenali* benar siapa audiens itu.

Bicaralah sesuai dengan kadar pikiran audiens Anda,_ kata nasihat Arab. _Khotibun naasa ‘alaa qadri uquulihim.
خاطب الناس على قدر عقولهم

Maksudnya, “sampaikan pesan pada orang lain, sesuai level akalnya.”

Hal ini tampaknya sejalan dengan pesan pada Surat An-Nahl 125, atau Surat Al-Baqarah 83:

ادع إلى سبيل ربك بالحكمة والموعظة الحسنة وجادلهم بالتي هي أحسن [النحل:125].
وقولوا للناس حسنا [البقرة:83].

Nah, kunci persuasi ada tiga.

*Pertama,* adalah bahwa sang rhetor, pengirim pesan atau komunikator punya *ethos*, yakni semacam kredibilitas diri. Dokter, misalnya, punya ethos untuk bicara tentang kesehatan, sedangkan ethos dalam diri akuntan jelas ketika dia bicara perkara keuangan, dsb. 

*Kedua,* pembicaraan itu mesti punya “argumen” yang dapat diterima akal sehat, atau *logos.*

Hanya dengan keduanya barulah kita dapat mempengaruhi audiens, misalnya, memunculkan rasa senang, puas, gembira, rasa iba, kasihan, sedih — tergantung tujuan yang diinginkan dalam pengiriman pesan itu.

Yang ketiga itulah yang disebut *pathos,* yakni emosi atau perasaan (ingat kata _pathy_ dalam simpati atau empati, atau antipati?)

Bukankah berbagai pesan yang disajikan melalui media (media sosial, radio, suratkabar, televisi, bahkan film), lazimnya punya tujuan *memantik timbulnya emosi* dalam diri audiens, pendengar, pembaca atau penonton?

Hanya dengan adanya pathos sajalah, pesan yang masuk akal (logis) oleh seorang yang punya ethos bisa menghasilkan dampak yang diharapkan.

Walakin masalahnya, ethos *bisa berubah-ubah,* bisa naik bisa turun. Ethos Anda meningkat, misalnya, karena ada rekomendasi dari orang lain. Jika ada teman yang bilang, _”Dokter A itu jago lho, dan ia satu dari sedikit ahli dalam urusan penyakit jantung,”_ misalnya, maka ethos dokter A di mata pendengarnya akan naik. Sebaliknya, jika ada informasi negatif terkait seseorang yang muncul belakangan, misalnya, informasi bahwa seorang rhetor adalah orang yang sering ingkar janji, atau pembohong, maka ethos-nya di mata audiens menurun.

Ternyata, menurut para ahli komunikasi, ethos juga merosot apabila seorang rhetor terlalu banyak bicara, berulang kali mengirim pesan == alias “cerewet” — baik dalam komunikasi tatap muka (offline), maupun online di media sosial. Audiens jadi jenuh, atau kasarnya ‘bosan’ terhadap sang pembicara, terutama bila pesan-pesan itu tidak dibutuhkan audiens. Terlebih dalam era sekarang, pada saat kita dibanjiri ribuan pesan setiap hari dalam media sosial, maka sejumlah konten seringkali dilewatkan atau dihapus oleh penerima (pengguna medsos).

Maka tidak salah, jika dalam suatu ruang publik (public sphere), kayak dalam grup WA, misalnya, mereka yang terlalu sering mengirim pesan, terlebih bila itu sekadar forward posting orang lain, akan memicu turunnya kredibilitas (ethos) dirinya di mata orang lain.

Ada kawan saya yang menguasai ilmu komunikasi bilang, “Jika ada seseorang yang begitu, saya akan melewatkan konten yang dikirimnya di grup WA itu, tidak pernah lagi menyimaknya, dan makin lama, harga dirinya makin merosot di mata saya. Ternyata, waktu saya cek pada teman-teman yang lain di grup, banyak yang punya sikap sama dengan saya.

Harga diri yang merosot itulah yang rupanya *setara dengan inflasi* di bidang keuangan.

Siapa yang kayak begitu?

Lazimnya pengiriman pesan (konten) yang terlalu sering dilakukan oleh mereka yang kurang teliti, tidak berhati-hati, atau punya terlalu banyak “waktu luang,” sampai-sampai segala hal dikomentarinya.

Kawan yang lain menimpali, makanya benar pesan agama, “sebaik-baik segala sesuatu adalah yang di pertengahannya.”

Wallahu a’lam.

Silakan Beri Komentar