Lima Pelajaran dari Kasus Afriyani


Pekan ini Afriyani Susanti dkk menjalani pemeriksaan kejiwaan. Sebanyak 14 ahli dikerahkan memeriksa mereka, guna menyelidiki lebih jauh peristiwa ketika mobil mereka menabrak dan menewaskan 9 pejalan kaki di Jalan Ridwan Rais, Jakarta Pusat, Minggu (22/1). Dari pemeriksaan tes urine, Afriyani dan kawan-kawan positif mengkonsumsi narkoba sebelum insiden terjadi.

Kita mencatat setidaknya ada lima pelajaran bisa dipetik dari tragedi itu. Pertama, bahwa hari libur seperti Sabtu dan Minggu merupakan hari yang tidak selalu aman. Meski pada akhir pekan biasanya Jakarta lebih lengang dan nyaman ketimbang hari kerja, tetap saja ibukota belum seaman yang diharapkan orang.

Artikel ini aslinya disiarkan media online “Inilah.Com”, Jumat 3 Februari 2012.

Bukan saja tabrakan seperti kasus Afriyani, tapi juga kejadian perampokan dan perkosaan sering terjadi saat banyak orang masih bermalas-malas atau istirahat di rumah mereka.

Polisi belum siap benar berdinas seperti di kala hari kerja. Pada saat libur, memang tidak banyak kegiatan resmi pemerintahan berlangsung – maka tak heran bila petugas pun mungkin saja mengurangi aktivitasnya di jalan.

Kedua, para ahli forensik, komunikasi dan psikolog selayaknya bisa meneliti kaitan kecelakaan itu dengan pola kehidupan Afriyani dkk. Pasalnya, hampir semua tahu bahwa ada hubungan antara problema hidup yang dihadapi setiap orang dengan kebahagiaan. Sehingga kita ingin tahu adakah hal itu juga terjadi pada Afriyani dkk.

Banyak riset menunjukkan beberapa faktor ikut menentukan apakah seseorang bisa lebih bahagia (happy) atau tidak. Kondisi eksternal ikut memengaruhi: mereka yang bekerja lebih bahagia ketimbang penganggur, dan orang dengan penghasilan tinggi juga lebih senang ketimbang yang penghasilannya rendah. Maka, dalam kaitan ini, kiranya dapat ditelusuri apakah Afriyani dkk bekerja, dan seberapa besar penghasilan mereka?

Penentu lain adalah umur: orang muda dan tua lebih bahagia ketimbang yang di umur pertengahan. Oleh karena itu, dalam kasus ini menarik untuk dicari tahu apakah orang-orang seusia Afriyani (29 tahun) juga punya problem yang mengganggu kebahagiaan mereka, ataukah hal itu hanya terjadi di Barat – tempat penelitian itu berlangsung — saja?

Selain yang di atas, menurut majalah The Economist (15 Oktober 2011), sesungguhnya, yang paling berperan adalah kepribadian (personality) seseorang.

Orang-orang yang punya kepribadian extrovert (terbuka) rata-rata lebih bahagia dari pada yang introvert (tertutup), dan mereka yang percaya diri juga lebih mudah berbahagia ketimbang mereka yang sering cemas (anxious).

Dengan demikian, adalah penting untuk melihat lebih jauh bagaimana ‘personality’ Afriyani dkk. Hal itu, ditambah dengan kepribadian orang tua mereka, menjadi elemen yang menarik untuk diteliti.

Pasalnya, menurut para ahli ,belakangan ini, soal personality – sebagaimana juga faktor ‘inteligensia’ – yang sebagiannya diwariskan kepada anak-cucu, kini makin jelas perannya; keduanya memiliki kecenderungan menentukan apakah seseorang akan menjadi bahagia atau susah, dan, sampai batas tertentu, diwariskan kepada keturunan mereka melalui DNA.

Pelajaran ketiga, terkait dengan kegiatan menonton film atau video yang berbau kekerasan yang berhubungan dengan tabrakan. Maksudnya, adalah penting bagi polisi untuk menyelidiki, apakah selain nyabu dan menenggak alkohol, Afriyani dkk juga menonton tayangan tertentu pada malam sebelum tabrakan itu terjadi.

Pasalnya, banyak tontonan keras, bahkan yang berupa pertandingan olahraga sekali pun, bisa sangat memengaruhi pemirsa. Lebih-lebih bila mereka menontonnya berramai-ramai.

Meski hubungannya tidak selalu linier, banyak penelitian menghubungkan antara tontotan keras (violence) dengan tingkat bunuh diri, kekerasan pada anak, kekejaman melawan perempuan, kericuhan perkawinan, KDRT dan tabrakan.

Sudah banyak ditulis para ahli komunikasi, bahwa film atau hiburan yang diwarnai kekerasan sangat berpengaruh kepada penontonnya. Bahkan sebelum 1970-an, film-film gangster yang diputar di Amerika membawa pengaruh yang nyata terhadap pemirsanya. Hoberman (1998) mencatat bahwa seorang anak berusia 12 tahun di New Jersey – disebabkan niat meniru aksi yang ditontonnya — menembak anak lain di kepalanya, persis setelah ia usai menonton film The Secret Six.

Cover of "Natural Born Killers (Unrated D...
Film keras bisa membawa dampak yang signifikan pada pemirsanya.

Begitu pula film yang dibintangi Oliver Stone,”Natural Born Killers,” – juga dianggap berkaitan erat dengan 14 kejadian pembunuhan di dunia (Ruddock, 2001).

Sebelum itu, Himmelweit (1958) juga mencatat bahwa efek serupa juga muncul pada tayangan kekerasan di televisi.

Mengapa itu terjadi? Di antara dugaan terkuat adalah munculnya frustasi yang hadir akibat tontonan, sehingga mengakibatkan munculnya respon agresif.

Lebih jauh, kekerasan dalam tontonan itu membawa pikiran liar, dan mungkin sekali meningkatkan level stimulus emosi.

Menurut teori “excitation transfer theory”, jika sejumlah stimulus memancing kemarahan atau kebringasan pada penonton, maka hasil tindakan yang akan dilakukannya bisa diperkaya oleh pengalaman emosinya, yang di atas kertas bisa menciptakan suasana mengarah pada tindakan agresif.

Apa bila pengalaman itu dilengkapi dengan kontak antar-kelompok, alkohol, kerumunan massa, dan suara riuh-rendah, maka lengkaplah resep untuk sebuah agresi sosial.

Ini membawa kita pada pelajaran keempat, yakni bahwa alkohol dan narkoba kapan pun dan bagi siapa pun merupakan pembunuh diri sendiri atau orang lain.

Meski tidak didahului dengan tontonan film kekerasan pun, alkohol sendiri — dan berbagai jenis narkoba — sudah cukup menjadi penyebab utama berbagai tindakan agresi. Sebab, kita tahu baik sabu-sabu atau pun alkohol membawa efek terlepasnya ‘rem’ di otak dari fungsi-fungsi pengendalian diri dan norma sosial.

Pelajaran kelima, seperti ditulis di media ini minggu lalu, ”Afriyani dan Pikiran Positif’, hati-hati menulis atau mengatakan apa yang sedang atau ingin Anda lakukan. Sebab Anda bisa mengalami keburukan sesuai dengan yang Anda katakan atau tulis.

Konon, menurut sementara pihak dalam ‘kicauan’-nya di Twitter, sebelum kecelakaan itu Afriyani menulis status Blackberry- sebuah kalimat yang kurang lebih berarti seperti ini: “Gila nih, sabu, saya melayang sampai sekarang. Berasa habis menabrak.”

Bila itu benar, maka seolah tulisan itu menjadi doa. Sering dalam kehidupan sehari-hari, ketika mengatakan sesuatu yang negatif, maka hal itu menjadi kenyataan.

Seorang ibu pernah mengakui menyesal karena pernah bersumpah ‘tidak ingin’ punya menantu orang dari negara lain. Ternyata justru sumpahnya itu terwujud, anaknya yang saat itu kuliah di Australia pulang dengan membawa calon isteri warga Negeri Kangguru itu.

Maka, katakanlah hanya yang positif — agar semua yang baik saja yang akan terjadi pada Anda.

*) Konsultan Komunikasi, dosen di Program Pascasarjana Universitas Paramadina, dan alumnus MA in Journalism, UTS (Australia). @sbasria. 

Baca juga artikel lain yang berkaitan:

3 thoughts on “Lima Pelajaran dari Kasus Afriyani

    1. Ada satu hal lagi Pak Dosen menurut saya yang patut menjadi pelajaran dan menjadi pandangan kita sebagai masyarakat sosial, yaitu kita sebagai sesama manusia seharusnya tidak perlu menguliahi moral pada orang lain, karna kita juga tidak tahu kadar moral kita sendiri, lebih baik kita berkaca dan nikmati pantulannya. Dan yang terpenting, kita mendoakan korban atas apa yang sudah terjadi di Halte Tugu Tani tempo lalu 🙂

      Like

      1. Delfina,
        Terima kasih. Benar, sebagai manusia kita harus selalu berbaik sangka, husnud-dhan. Kita doakan korban kecelakaan itu semua meninggal diberikan tempat di surga-Nya.

        Like

Silakan Beri Komentar