Adakah dari kita yang bisa menjawab pertanyaan ini: “Mengapa para nabi berasal dari keluarga (‘ahlulbait’) yang sama?“
Rupanya kawan yang bertanya itu baru selesai membaca Surat Ali-Imraan. Di antara hikmah yang bisa dipetik dari surat ketiga dalam Al-Quran itu, tetapi sekaligus termaktub pada banyak ayat lain dalam kitab suci itu adalah bahwa, ternyata semua tugas suci para nabi dilanjutkan secara turun menurun dalam sebuah keluarga.
Saya menduga, mungkin sekali hal itu berkaitan dengan bagaimana gen dan genetika bekerja yang banyak dipelajari ilmu kedokteran.
Oleh karenanya tidak aneh bila muncul pertanyaan, mengapa para nabi berasal dari ahlulbait yang sama, kakak-beradik, ayah ke anak dan bahkan hingga cucu?

Keluarga Imran (makanya disebut “Aali Imran” (atau ahlil-bait Imran), misalnya, disebutkan turun-temurun dari Zakaria, Yahya, Maryam, Nabi Isa.
Lalu ada Nabi Ibrahim dan putranya, Nabi Ismail dan Nabi Ishaq. Kemudian Nabi Musa punya deputy Nabi Harun, adiknya. Lalu ada Nabi Daud dan Nabi Sulaiman. Semuanya anak-beranak atau figur yang berada dalam satu keluarga.
Apakah semuanya kebetulan saja. Bukankah mustahil Allah SWT ‘asal petik’ seorang figur menjadi Nabi, tetapi telah di-desain (dirancang) oleh-Nya, bahwa mereka harus “berasal dari sebuah keluarga tertentu.” Ini mengingatkan saya pada sebuah pernyataan kawan saya John, seorang Muslim dari AS yang pernah bilang, “Saya yakin bahwa tugas sesuci yang diemban seorang nabi harus diteruskan oleh orang-orang suci dari keluarganya sendiri, yang dipilih Allah.”
Sejalan dengan itu, ada hadis Nabi saw yang menyatakan, “Aku akan menjawab panggilan (kematian dari Tuhanku). Sungguh, aku tinggalkan pada kalian dua pusaka penting (tsaqalain): kitab Allah dan ahlulbaitku. Sungguh keduanya tidak akan berpisah sehingga datang menjumpaiku di telaga al-Haudh.”
Hadis sahih dari Nabi Muhammad saw. ini diriwayatkan oleh lebih dari 30 sahabat dan dicatat oleh banyak ulama Sunni. Beberapa rujukan utama hadis tersebut, di antaranya:
- Al-Hakim al-Naisaburi, al-Mustadrak `ala al-Sahihayn (Beirut), juz 3, hlm. 109-110, 148, dan 533). Dia menyatakan bahwa riwayat ini sahih berdasarkan kriteria al-Bukhari dan Muslim; al-Dzahabi membenarkan penilaiannya.
- Muslim, Al-Sahih, (terjemahan Inggris), kitab 031, nomor 5920-3
- Tirmidzi, Al-Sahih, juz 5, hlm. 621-2, nomor 3786 dan 3788; juz 2, hlm. 219 al-Nasa’i, Khasa’is’Ali ibn Abi Talib, hadis nomor 79
- Ahmad b. Hanbal, Al-Musnad, juz 3, hlm. 14, 17, 26; juz 3, hlm. 26, 59; juz 4, hlm. 371; juz 5, hlm. 181-2, 189-190
- Ibn al-‘Athir, Jami` al-‘usul, juz 1, hlm. 277
- Ibnu Katsir, Al-Bidayah wa al-nihayah, juz 5, hlm. 209. Dia mengutip al-Dzahabi dan menyatakan hadis ini sahih.
- Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Azim, juz 6, hlm. 199
- Nasir al-Din al-Albani, Silsilat al-Ahadith al-Sahiha (Kuwait: al-Dar al-Salafiyya), juz 4, hlm. 355-8. Dia menyusun banyak sanad yang dianggapnya dapat diandalkan.
- Dan masih banyak lagi rujukan hadis ini yang tidak mungkin ditampilkan di sini.
Tetapi bukankah Nabi saw. mengatakan “Aku tinggalkan kitab Allah dan sunahku”?
Kata sebagian ulama, hal itu merupakan kesalahpahaman yang jamak. Faktanya, tidak ada dasar yang dapat diandalkan dari pernyataan itu yang dihubungkan pada Khutbah Terakhir Nabi saw. Riwayat itu sama sekali tidak ada dalam kitab sahih yang enam (kutub as-sittah).
Versi riwayat itu ada dalam Muwatta’ karya Malik, Sirat Rasul Allah Ibnu Hisyam, dan dalam Ta’rikh milik al-Thabari, semuanya terdapat sanad yang tidak lengkap dengan beberapa mata rantai sanad yang hilang.
Riwayat lain yang memiliki sanad lengkap (isnad) — yang jumlahnya sangat sedikit — semuanya terdapat periwayat yang disepakati tidak dapat dipercaya oleh ulama rijal Sunni terkemuka. Fakta luar biasa ini dapat dikonfirmasi oleh mereka yang tertarik dalam penelitian dengan merujuk kitab terkait.
Tentu saja, tidak ada yang mengatakan bahwa, sunah Nabi saw. tidak harus diikuti. Sebagaimana telah disebutkan, Nabi saw. meminta umat muslim untuk merujuk pada ahlulbaitnya sebagai sumber terpercaya, murni dan terjaga bagi sunah-sunahnya.
Ketika ditanya, lalu bagaimana dengan hadis yang menyebutkan untuk berpegang pada “Al-Quran dan sunnah” seperti yang dinukil di atas, kawan saya mengajukan pendapatnya, begini: Sebagian ulama percaya bahwa “dua pusaka peninggalan” Nabi Muhammad saw. adalah Quran dan ahlulbait (anggota keluarganya). Tetapi, berhubung ahlulbait adalah ‘sumber terpercaya sunah Nabi saw, maka hanya dengan menerima pengajaran dari kedua sumber tersebutlah, seorang muslim dapat mencapai petunjuk sejati.
Wallahua’lam.