Menyambut Hari HAM Dunia, 10 Desember, baik kiranya kita bicara soal Hukuman Mati. Masih perlukah Pidana Mati diterapkan di Indonesia,sementara lebih dari separuh negara di dunia sudah menghapuskannya?
Bagian besar tulisan ini telah dimuat di laman Seword ini.
Tanggal 10 Desember merupakan hari yang penting. Sebab ia merupakan Hari Hak Asasi Manusia Se-Dunia (Human Rights Day), yang kini dirayakan setiap tahun oleh seluruh bangsa-bangsa di dunia. Sejarah mencatat bahwa pada 10 Desember 1948 Sidang Umum PBB telah mengadopsi dan memproklamirkannya demikian, bersamaan dengan Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia, yang merupakan capaian utama PBB saat itu.

Sebagai warga biasa yang peduli pada Hak Asasi Manusia, saya pikir baik kalau kita bicara tentang pidana Hukuman Mati (Capital Punishment) yang masih berlaku di negeri kita.

Banyak yang berpendapat, sudah selayaknya kita sebagai bangsa merdeka yang ramah, cinta damai, dan menjunjung tinggi hak warga-negara, berusaha menghapuskannya dari Bumi Pertiwi. Terlalu banyak resiko yang dipertaruhkan dalam pelaksanaan Hukuman Mati. Ayo kita bahas secara singkat.

Kita tahu bahwa sejauh ini, proses peradilan di Indonesia masih banyak cacatnya: oknum lembaga peradilan yang jual-beli kasus dan vonis, kesalahan penetapan terdakwa, ataupun ‘kongkalikong‘ antara oknum pejabat pengadilan dengan pihak-pihak yang berkepentingan lainnya. Bayangkan, bila akibat itu semua kemudian ada orang yang — secara tidak adil — ditetapkan sebagai terhukum dengan vonis hukuman mati. Habis sudah masa depannya, tiada lagi harapannya untuk hidup, dan siapa yang bisa ‘menghidupkannya lagi’ setelah yang bersangkutan dibunuh melalui eksekusi hukuman mati?

Memang ada yang bilang, itu untuk membuat pelaku kriminal jera (kapok). Tapi apakah efek jera itu bisa dipastikan demikian? Bukankah sudah terbukti bahwa angka kriminalitas tetap tinggi, meski hukuman mati diterapkan — sebab, boleh jadi penyebab tingginya kriminalitas itu bukan pada beratnya ancaman (akibatnya), melainkan pada penyebab terjadinya kerjahatan itu sendiri.
Di AS misalnya, sebagaimana dilaporkan Amnesty International AS, angka pembunuhan di negara bagian (state) yang memberlakukan pidana mati justru lebih tinggi daripada di state yang tidak menerapkan hukuman itu (lihat grafik). Di negeri itu kini sekitar 33 jurisdiksi telah menghapuskan hukuman mati, dan menggantikannya dengan hukuman seumur hidup.
Lembaga pejuang HAM seperti KontraS, misalnya, sejak lama menyuarakan agar Indonesia menghapuskan pidana Hukuman Mati. Puri Kencana Putri dari KontraS menulis bahwa, dalam laporan Amnesty Internasional soal hukuman mati, Indonesia berada di posisi sembilan dengan mengeksekusi 14 narapidana.
Kasus vonis mati Yusman Telaumbanua, yang divonis mati Pengadilan Negeri Gunungsitoli Sumatera Utara pada Mei 2013, adalah contoh buruk dari gagalnya sistem peradilan kita. Menurut KontraS, diduga kuat ada unsur rekayasa kasus setelah mengetahui bahwa ada bukti ketika Telaumbanua divonis mati ia masih berusia di bawah umur. Selain tidak mendapatkan pembelaan hukum yang baik, Telaumbanua juga diduga mengalami penyiksaan agar mengakui tuduhan kejahatan di bawah tekanan. (Baca laporan KontraS di sini).

Sebagaimana dilansir sebuah media daring (yang mengutip treaties.un.org) pada tahun 2015 lalu, tidak kurang dari 84 negara turut menandatangani Protokol Opsional Kedua Kovenan Internasional, tentang Hak-hak Sipil dan Politik, yang bertujuan untuk menghapus hukuman mati.
Di dunia, hukuman mati kian tidak disukai. Kini lebih dari separuh negara di dunia telah menghapuskan Hukuman Mati. Menurut Amnesti International cabang AS, setidaknya ada 10 alasan mengapa Hukuman Mati harus dihapuskan (klik di sini).
Tetangga Indonesia, Malaysia pun sudah setuju untuk menghapuskan hukuman mati bagi para pengedar narkoba. Sebagaimana dilansir media detik 8 Agustus 2017 lalu, parlemen Malaysia masih harus menyetujui keputusan yang diambil Kabinet tersebut. Barulah setelah itu para hakim bisa menjatuhkan hukuman selain hukuman mati bagi para pengedar narkoba. Namun diperkirakan Parlemen Malaysia akan menyetujui penghapusan hukuman mati era kolonial tahun 1950-an tersebut. Seperti dilansir kantor berita AFP, Selasa (8/8/2017), keputusan pemerintah tersebut harus dianggap sebagai langkah pertama menuju penghapusan hukuman mati secara total. Banyak yang beranggapan bahwa penerapan hukuman mati merupakan “pelanggaran hak untuk hidup”.

Sebelum Malaysia, tetangga kita yang lain, Singapura, melakukan reformasi hukum pada tahun 2012 dengan menghapuskan hukuman mati bagi sejumlah kasus peredaran narkoba dan pembunuhan.
Bagaimana di Indonesia sendiri? Meski banyak organisasi HAM menuntut penghapusannya, hingga kini Indonesia masih menerapkan vonis mengerikan itu dalam berbagai kasus. Mahkamah Konstitusi (MK), misalnya, pernah menganulir permintaan penghapusan hukuman mati terhadap pelaku narkoba. Sebagaimana ditulis pada laman Hukumonline, dalam artikel Terikat Konvensi Internasional Hukuman Mati Mesti Jalan Terus, diberitakan bahwa MK dalam putusannya pada 30 Oktober 2007 menolak uji materi hukuman mati dalam UU Narkotika dan menyatakan bahwa, hukuman mati dalam UU Narkotika ‘tidak bertentangan dengan hak hidup’ yang dijamin UUD 1945 lantaran jaminan hak asasi manusia dalam UUD 1945 tidak menganut asas kemutlakan.
Dengan kata lain, “hukuman itu dianggap tidak melanggar HAM.”
Benarkah demikian? Bagaimana pendapat Anda; Setujukah Anda bahwa seharusnya Pidana Hukuman Mati dihapuskan, atau Anda termasuk yang mendukungnya?