Melanjutkan bagian satu, menarik untuk mengkaji masalah ibadah dan muamalah ini — berhubung masih banyak di antara kita yang salah memahaminya.
Pada awalnya, perlu diketahui mengenai apa itu ‘Ibadah mahdhah’ (dalam arti khusus). ‘Ibadah mahdhah’ itu merupakan upacara (ritual) tertentu untuk mendekatkan diri kepada Allah. Jumlahnya ada 8, yakni: Toharah (bersuci), Solat, Puasa, Zakat, Haji, Mengurus jenazah, Udhiyah (penyembelihan hewan) dan aqiqah, dan Zikir dan doa.

Tetapi, selain “Ibadah mahdhah” itu, ada juga ‘Muamalah’, alias ibadah sosial. Mari bedakan keduanya:
- Ushul figih menyatakan bahwa, “dalam urusan ibadah (mahdhah) ini pada prinsipnya, “semuanya ‘haram’ kecuali bila secara pasti terdapat dalil yang memerintahkan”. Itulah prinsip sebuah bid’ah. Jadi dalam hal ini tidak boleh mengembangkan hal-hal baru – semuanya haram, kecuali bila ada dalil yang mendasarinya (memerintahkan). Cara, waktu dan tempatnya (ibadah mahdhah) pun sudah ditentukan. Di sini sifat ‘kreatif’ dan ‘inovatif’ tidak diperbolehkan. Bahkan kita harus menjalankannya tanpa merenungkannya secara ‘aqliah (tidak mempersoalkan mengapa mengucapkan kata ‘Allahu Akbar’ ketika mengangkat tangan dalam takbiratul ihram, dsb)…
- Ibadah yang mencakup hubungan antarmanusia dalam rangka mengabdi kepada Allah – Muamalah. Di sini kita dituntut kreatif dan inovatif. Islam hanya memberikan petunjuk umum (general) dan pengarahan saja. Cara, waktu dan tempat bisa berbeda. Jika dulu Nabi memberi contoh memerangi ‘qital kaum yang zalim dengan pedang, panah, perisai, kuda dan unta, sekarang misalnya, Islam memerangi kaum yang zalim dengan dengan senapan, bom dan rudal. Jadi kita mesti mengembangkan kreatifitas dan ilmu dalam penerapannya.
Catatan: Sebagian bahan dari tulisan ini (dan sebelumnya) terinspirasi buku ‘Islam Alternatif (Ceramah-Ceramah di Kampus)‘ karya DR Jalaluddin Rakhmat.
Secara sederhana, yang pertama tadi adalah urusan seorang hamba dan Ma’bud-nya – inilah Hablun min-Allah—sedangkan yang kedua adalah Hablum min an-Naas. Yang pertama adalah ritual, yang kedua adalah urusan sosial.

Ternyata Islam adalah agama yang ‘lebih mementingkan urusan sosial’ daripada urusan ritual. Mengapa demikian? Berikut ini beberapa alasannya:
- Dalam Al-Qur’an dan kitab-kitab hadis, proporsi terbesar diberikan untuk urusan sosial (muamalah) itu. Seorang ulama menyatakan bahwa di dalam al-Qur’an, jumlah ayat ibadah mahdhah (ritual) hanya 1/100 ayat sosial – untuk satu ayat ibadah ada seratus ayat muamalah. Misal Surat Al-Mu’minun (23:1-9) yang menyebut tanda orang beriman sebagai berikut ini:
- Orang yang memelihara solat, dan khusyu’ solatnya – (sebuah Ibadah);
- Menghindarkan diri dari perbuatan yang tidak bermanfaat (sia-sia) – (Muamalah);
- Menjaga amanat dan janjinya – (Muamalah).
- Saya pernah membaca ulasan Kang Jalal bahwa, di dalam buku-buku hadis bab “Ibadah” hanya merupakan sebagian kecil dari seluruh hadis. Dari 20 jilid kitab Fathul Bari, Syarah Shahih Bukhari, misalnya, hanya 4 jilid berkenaan dengan Ibadah, dan 16 jilid lainnya bicara tentang ‘Muamalah’. Dari 2 jilid Sahih Muslim hadis-hadis ibadah hanya terdapat dalam 1/3 jilid pertama saja. Begitu pula dalam ‘Musnad Ahmad‘, ‘Alkabir‘-nya Tabrani, atau ‘Kanzul Ummal‘, atau kitab-kitab hadis lainnya.
- (Dalam hubungan ini) anehnya umat Islam – barangkali karena awam – lebih sibuk mengurusi soal ibadah itu. Belum lama ini beredar video tentang seorang pemuda dipaksa menunjukkan cara solatnya di depan jamaah masjid, hanya karena ia dianggap punya mazhab berbeda. Di Afghanistan konon pernah ada orang yang solat digebuki berramai-ramai hanya karena ia menggerakkan telunjuknya ketika tahiyat, sampai patah telunjuknya. Di beberapa kampung di Indonesia masih banyak yang ramai memperdebatkan perbedaan azan Jumat, salat terawih, dsb. Alhasil, kita sering berpanjang-panjang membicarakan urusan ubudiyah dan melupakan muamalah.
- Banyak pengajian yang selama bertahun-tahun hanya membahas masalah dari soal istinja (bersuci) sampai haid dan nifas, dari takbiratul ihram sampai doa qunut. Padahal bila memperhatikan Qur’an dan hadis, seharusnya kita lebih banyak membicarakan masalah sosial (muamalah) daripada urusan ritual ubudiyah itu. Akibatnya: seperti kata Al-Ghazali dan Sayyid Qutub, kita bertengkar dalam urusan ibadah, sementara satu demi satu bidang kehidupan diambil oleh musuh-musuh Islam. Kita ribut urusan bid’ah solat dan haji, tapi dengan tenang melakukan bid’ah dalam urusan ekonomi dan politik. Dalam kaitan di atas ada cerita Syech Al-Azhar (Mesir) yang diminta melerai sengketa jamaah di masjid mengenai pilihan solat tarawaih 8 atau 20 rakaat. Padahal, kata Syech itu, Solat Terawih itu sunnah (yang dimulai sahabat Umar ra) dan “menjaga persatuan umat Islam” adalah wajib.
Bersambung…
Baca juga:
- Benarkah Muamalah lebih dihargai daripada Ibadah Ritual (bag.1)?
- Hati-hati pada Mereka Yang Suka Membid’ah-bid’ah-kan: Golongan Salafi-Wahhabi