Tradisi sehari-hari di kalangan habib sering menjadi contoh bagaimana sikap sangka baik (husnu-dzan) dan toleransi menjadi kunci dakwah yang efektif.
Habib atau jamaknya ‘habaib’ adalah komunitas Arab yang mempunyai garis keturunan dari Nabi Muhammad saw. Kata ini hanya populer di tengah mereka yang berasal dari Hadramaut, sebuah provinsi di bagian selatan Yaman. Sementara para keturunan Nabi saw lain yang bukan berasal dari Hadramaut lazimnya disebut dengan kata ‘sayyid’ atau ‘syed’ atau ‘syarif’, bukan dengan kata “habib“.
Tulisan menarik ini merupakan karya Ustadz Husein Muhammad Alkaff. Jarang ada yang membahas masalah ini, ringan tetapi sangat menarik. Oh ya, saya mengeditnya sedikit dan menambahkan foto dan ilustrasi di dalamnya, guna lebih menghibur pembaca.

Secara umum para habib masih mempertahankan tradisi keagamaan para leluhur mereka. Dalam urusan ritual, mereka mengikuti ‘Thariqah Alawiyah’ (Tarekat Alawiyah) yang sudah mapan dan ajek. Mereka , misalnya, melazimkan membaca ‘Ratib’, baik ‘Ratib al-Haddâd’, atau pun ‘Ratib al-Attâs’. Selain itu, ada pula ‘Ratib al-‘Aydrûs ‘. Biasanya para habib dan jamaahnya melantunkan bacaan Ratib setiap bakda solat Magrib.
Ada pula beberapa kebiasaan lain, seperti membaca ‘al-Wird al-Latif’ setelah solat Subuh; ‘Maulid Nabi’ SAW (dari kitab ‘Simth al Durar’ tulisan Habib Ali Al-Habsyi, dan ‘Al-Dibai’) setiap malam Jum’at ; lalu ‘Burdah al-Bushiri’ seminggu sekali, dan sebagainya. Amalan-amalan itu mereka jalankan secara turun temurun, baik sendiri maupun berjamaah.
Lazimnya, dalam acara Maulid para jamaah berzikir, di antaranya membaca solawat pada Nabi SAW, mengenang dan menyampaikan sejarah keteladanan Nabi yang mulia itu. Tidak ada kejelekan di dalamnya, melainkan justru ucapan-ucapan kebaikan dan ajakan untuk mencontoh akhlak Nabi SAW.
Thariqah Alawiyah dicetuskan oleh Imam Muhammad bin Ali al-Faqih al-Muqaddam (574-653H), kakek moyang para habaib di Indonesia dan Yaman, lalu dirumuskan secara apik dan final oleh Habib Abdullah bin Alwi al-Haddad (1044-1132 H) dalam dua karyanya; al Nashâih al Diniyyah dan Risâlah al Muâ’wanah. Rujukan utama Thariqah ini dalam bidang tasawwuf adalah kitab Ihya’ ‘Ulumiddin, karya monumental Imam Abu Hamid al-Ghazzâli (450-505 H), ulama kelahiran Persia (Iran sekarang), dan dalam bidang fiqih adalah Imam Muhammad bin Idris al-Syafi’i atau dikenal dengan sebutan Imam Syafii (150-204 H). Sedangkan dalam bidang aqidah-teologi adalah Abu Hasan al-Asy’ari (260- 324 H).

Tidak seperti thariqah-thariqah tasawuf lain yang formalistik (seperti , bai’at kepada mursyid dan memakai pakaian yang khas model tertentu), Thariqah Alawiyah lebih bersifat massal, dan tidak mempunyai aturan dan syarat tertentu untuk mengamalkan ritual-ritualnya. Itu sebabnya ritual Thariqah Alawiyah itu banyak dipraktekan di mana-mana. Di Jakarta dan sekitarnya, misalnya, kaum Muslimin di berbagai musola dan masjid mengamalkan ritual Thariqah Alawiyah secara terbuka seperti. Di banyak masjid dan musola itu Anda bisa menemukan banyak jamaah membaca Ratib, Maulid dan Tahlilan.
Baca tentang sejarah Habaib itu di: ‘Asal-usul Habaib di Nusantara’ (klik di sini), dan juga dalam tulisan ‘Dakwah Damai Habib’ yang merupakan tulisan di bagian lain blog ini.
Tentu saja tarekat itu bukan melulu soal ritual. Thariqah Alawiyyah juga menekankan pentingnya orang menahan diri (ego) dari hal-hal yang dapat mengotori pikiran dan hati. Mereka enggan terlibat dalam perdebatan apapun, hatta tentang keilmuan sekali pun, dan selalu bersikap husnu-dzan (berbaik sangka, lawan su’ud-dzan) kepada siapapun. Melalui dua sikap ini, mereka berusaha untuk selalu memelihara kejernihan pikiran dan hati.
Selalu Berbaik Sangka.
Yang menarik dari para habib yang konsisten dengan Thariqah Alawiyyah adalah tradisi percakapan mereka sehari-hari. Meskipun pada kenyataannya, tradisi ini dilakukan juga oleh mereka yang tidak sepenuhnya mengamalkan Thariqah. Sesungguhnya tradisi merupakan sebuah cermin dari nilai-nilai terdalam bagi sebuah masyarakat atau komunitas tertentu. Sebagaimana telah dijelaskan bahwa para habib enggan terlibat dalam perdebatan, biasanya sangat toleran, inklusif, penuh kedamaian, dan mereka selalu ber-husnu-dzan. Sikap-sikap itu nyata terejawantahkan dalam kehidupan mereka sehari-hari dan menjadi bagian dari percakapan mereka, baik ketika berdakwah (memberi tausiyah) maupun saat berbincang-bincang.
Berikut ini beberapa contoh dari pemilihan kata positif yang biasa digunakan para habib dalam mengungkapkan hal-hal ‘yang tidak mereka sukai’ terhadap sesuatu atau seseorang;
- Bahlûl atau Buhlûl. Kata ini diucapkan mereka kepada orang yang bodoh (baca; bego), dan terkadang kata ini diucapkan dengan nada kesal dan marah. Asal kata ini adalah “Buhlûl “, sebuah nama seorang sufi yang terkenal pada zaman Harun Rasyid. Dia seorang yang cerdik, tapi pura-pura menjadi orang gila dan bodoh atas perintah gurunya, Imam Ja’far Shadiq as. [⇒ ♥Lihat Wiki tentang Buhlul (dalam bahasa Arab) atau Stories of Bohlool (dalam bahasa Inggris), dan kisah ‘Buhlul Al-Majnun‘ di situs Indonesia]. ♥ Sejauh pengamatan penulis, hanya para habib inilah yang memilih kata ini saat mencaci seseorang yang melakukan kesalahan atau keteledoran. Sedangkan pada sebagian komunitas berbahasa Arab lain, seperti sebagian orang Arab (di Timur Tengah) biasanya lebih sering menggunakan kata “ahmaq“ yang artinya ‘bego‘ atau dungu.
- Maghrûm. Kata ini diucapkan untuk orang gila atau sembrono. Makna kata ini sebenarnya digunakan untuk ‘seorang yang sedang mabuk cinta’, dan biasa digunakan oleh kalangan sufi untuk seorang sufi yang sedang ekstase dan mabuk cinta kepada Allah subhanahu wa ta’aala. Para habaib itu tidak menggunakan kata “majnûn“, yang lazim dipakai oleh sebagian komunitas (Arab) di sementara wilayah Timur Tengah ketika menyebut orang gila atau sembrono.
- La’âb. Kata ini biasa diucapkan kepada anak kecil yang nakal dan bandel. Kata ini secara bahasa berarti “banyak main“ (dari kata ‘la’iba – yal’abu yang berarti ‘bermain’). Sementara itu, sebagian orang Arab di beberapa negara lain, saat mereka marah pada anak yang nakal, biasa menghardik dengan kata “syaithon” (setan).
- Allâh Yahdîk atau Allah Yahdîhi. Ketika mereka marah atau kesal kepada seorang yang melakukan kesalahan dan keburukan, maka mereka mengatakan kepada orang itu, “Allâh Yahdîk “. Sebenarnya kalimat ini sebuah doa, yang artinya, “Semoga Allah memberimu hidayah.” Jadi, alih-alih dari menyumpahi orang itu (misalnya karena dikurangajari), sang habib justru mendoakannya. Bandingkan dengan sebagian orang Arab lain (di wilayah Timur Tengah tertentu) ketika menghadapi orang yang kurang ajar, biasanya mereka akan menyumpahinya, “lak ra’ah” (hancurlah kamu), atau dengan ucapan kasar lainnya.
Begitulah Saudara. Kata-kata atau kalimat bernuansa positif selalu menjadi pilihan ‘diksi’ yang digunakan para habib dalam percakapannya, bahkan meski itu terjadi dalam situasi ketika ada kejadian atau perbuatan yang buruk. Fakta ini menjadi bukti tambahan bahwa ajaran Thariqah Alawiyah yang dibangun atas dasar ‘husnu-dzan’ begitu meresap dan terhayati dalam diri mereka.
Dasar Thariqah Alawiyah dan tradisi percakapan yang baik ini harus dipertahankan, dan lebih penting lagi perlu dikembangkan oleh mereka pada tataran praktis dalam persahabatan dan pergaulan antara mereka sendiri, atau dengan kelompok-kelompok lain yang berbeda pandangan, mazhab dan agama, sehingga mereka dapat diterima di manapun dan oleh siapapun. Dan tentu saja, hal itu tidak boleh berhenti pada ucapan saja. Kini generasi muda Muslim, tidak peduli dari mana asal keturunannya, selayaknya meniru sikap dan perilaku indah itu.
♥♥♥
Baca juga:
- Radikalisme Arab atau Islam? – Tulisan Husein Alkaf yang lain.
- 60 Hadis Keutamaan Keluarga Nabi: dari bagian lain blog ini.
- Pentingnya Guru Ajarkan Toleransi: dari laman luar.