Aaah…ternyata hadis tentang ‘3 amal yang tidak putus setelah wafat’ itu lemah, baik dari segi sanad (periwayat), maupun matan (content)-nya. Tapi heran bin ajaib, hadis itu begitu populer di kalangan kita. Itu sebabnya ia banyak disebut dalam berbagai pengajian dan ceramah. Sehingga, merujuk pada hadis itu, banyak yang melarang kaum Muslim membaca tahlil, ziarah kubur, dan gak perlu mendoakan yang wafat (kecuali orangtuanya).
Riwayat itu memang ditulis dalam beberapa kitab Hadis, mulai dari Bukhari, Muslim, hingga Abu Dawud dan An-Nasai. Dalam Sahih Bukhari ini tulisannya:
Kami (al-Bukhariy diberitahu oleh Abu al-Rabi’: dia mengatakan : kami diberitahu oleh Ismail bin Ja’far, dia mengatakan: kami diberitahu oleh al-‘Ala dari bapaknya dari Abu Hurairah r.a. bahwa bahwa rasulullah saw. bersabda: “Apabila seorang hamba me-ninggal dunia, maka terputuslah darinya amalnya kecuali dari tiga hal, yakni sadaqah jariyah, atau ilmu yang diambil manfaatnya, atau anak saleh yang mendoakannya”. (HR. Al-Bukhari di dalam kitab al-Adab al-Mufrad hadis no. 38).
Demikian pula dalam kitab Sahih Muslim (juz 2 hal. 70 hadis no. 1631), Sunan Abu Dawud (juz 3 halaman 117 hadis no. 2880), Tirmidzi (di dalam ‘Sunan’-nya, juz 3 halaman 88 hadis no. 1381), dan An-Nasai (Sunan An-Nasai, juz 6 halaman 251), bunyi hadisnya sangat mirip dengan sedikit variasi di dalamnya. Hadis yang sama juga termaktub dalam ‘Musnad Imam Ahmad bin Hambal’, juz 2 halaman 372.
Ternyata, hadis itu lemah (dha’if) menurut penilaian Jalal al-Din al-Suyuthi. Rujukannya dari kitab Al-Jami’ al-Shaghir (halaman 35). Selengkapnya, lihat blog Abdul Qodir Jaelani ini (klik di sini).
Saksikan video Cak Nun berikut (sekitar 14 menit) — bukan saja penting, tapi sekaligus lucu:
“Apabila seorang manusia meninggal dunia, terputuslah amalnya kecuali dari tiga, yakni sedekah jariyah atau ilmu yang diambil manfaatnya atau anak saleh yang mendoakannya” (HR. Bukhari dalam al-Adab, Muslim, Abu Dawud, Al-Nasai dan Al-Tirmidzi) »» Lemah/dha’if menurut penilaian Jalal al-Din al-Suyuthi) dari Abu Hurairah. Lihat kitab Al-Jami’ al-Shaghir halaman 35).
Lalu, bagaimana Kualitas Sanad dan Matan (Content) hadis itu?

Penelitian sanad untuk mengetahui kualitasnya merupakan tahap awal untuk mengetahui apakah perlu mencurigai matan (isi) hadis atau kemungkinan untuk menerimanya. Kaidah yang dipakai dalam meneliti sanad di sini adalah “al-Jarh muqaddam ‘ala al-ta’dil” (mencacat didahulukan atas anggapan adil/pujian), bukan sebaliknya, al-ta’dil muqaddam ‘ala al-Jarh (anggapan adil didahulukan atas mencacat). Sebab, jika yang kedua (al-ta’dil muqaddam ‘ala al-Jarh ) itu yang dipakai, maka akan banyak ajaran-ajaran palsu yang bercampur dengan wahyu, yang pada gilirannya akan memperkeruh ajaran yang sesungguhnya dari Tuhan.
Bagian dari isi tulisan ini saya kutip dari analisa dari blog Abdul Qodir Jaelani, dari UIN Suka, Yogyakarta ini (dengan beberapa penyesuaian bahasa, tanpa mengubah isinya).
Matan hadis yang mengandung pengertian bahwa, ‘apabila seseorang meninggal dunia, maka terputuslah (darinya) amalnya kecuali tiga hal, yaitu amal jariyah, ilmu yang diambil manfaatnya dan anak saleh yang mendoakannya‘, yang dalam redaksinya disabdakan oleh Nabi saw. dan diterima oleh Abu Hurairah, kemudian oleh ‘Abd al-Rahman (Bapak al-‘Ala`), kemudian oleh al-‘Ala`, kemudian oleh Sulaiman bin Bilal dan Isma’il, dari Sulaiman diterima oleh Ibn Wahab, kemudian oleh AL-Rabi’ bin Sulaiman al-Muadzzin dan akhirnya sampailah kepada Abu Dawud.
Sedangkan dari Isma’il, lalu diterima oleh:
- Qutaibah bin Sa’id dan akhirnya oleh Muslim.
- Yahya bin Ayyub dan akhirnya oleh Muslim
- ‘Ali bin Hujr dan akhirnya oleh Muslim, Al-Nasai dan Al-Tirmidzi
- Sulaiman bin Dawud, dan akhirnya oleh Ahmad.
- Abu al-Rabi’, dan akhirnya oleh al-Bukhari.
Pengkajian ini berangkat dari ketidakpuasan peneliti (Abdul Qodir Jaelani) terhadap penilaian Jalal al-Din ‘Abd al-Rahman bin Abi Bakar al-Suyuthi terhadap hadis yang dirawayatkan oleh Bukhari-Muslim-Abu Dawud,al-Nasai, al-Tirmidzi dan Ahmad tersebut sebagai hadis yang dha’if atau lemah (Lihat kitab al-Jami’ al-Saghir halaman 35).
Keenam perawi matan hadis tersebut, yakni Al-Bukhari-Muslim-Abu Dawud-Al-Nasai-Al-Tirmidzi dan Ahmad, menerimanya dari sanad terakhir, yakni Abu Hurairah. Perawi hadis tersebut melewati dua sanad yang cacat, yakni:
- Al-’Ala`, karena dinilai dha’if oleh Yahya, dinilai tidak kuat oleh Ibn ‘Adiy, hadisnya tidak dapat dijadikan hujjah menurut penilaian Yahya bin Ma’in, dan juga dikatakan tidak kuat oleh Ibn ‘Adiy [1], dan
- Bapaknya (Abd Al-Rahman, nama lengkapnya adalah ‘Abd al-Rahman bin Ibrahim al-Qashsh) yang di-dha’if-kan (dikatakan sebagai lemah) oleh Al-Daraquthni, sedangkan Al-Nasai menilainya tidak kuat.[2]
Lihat: [1] al-Dzahabiy, Mizan al-i’tidal juz 3, hal. 102-103,no. 5735; dan [2} Ibid, Juz 2 hlm. 545, no. 4803.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa hadis idza mata al-insan/al-a’bd…, ditinjau dari segi kualitas sanad-nya, adalah dha’if atau lemah.
Adapun ditinjau dari segi matan (atau kandungan/isinya), maka dapatlah dijelaskan sebagai berikut: Maksud hadis di atas adalah bahwa orang yang telah meninggal dunia terputus amalnya atau, lebih tepatnya, ‘pahala amalnya’ kecuali tiga, yaitu sedekah jariyah, ilmu yang diambil manfaatnya, dan anak saleh yang mendoakannya.
Dalam hadis tersebut ada keanehan dan mengandung kontradiksi dengan ayat al-Quran dan hadis sahih (lain). Keanehan itu adalah pengecualian “amal” dengan “pahala”. Seharusnya pengecualian “amal” itu dengan “amal” juga. Pengecualian “amal” dengan “pahala” tidak dapat diterima, karena pahala itu ada karena amal.
Semua orang memahami bahwa orang yang telah meninggal dunia tentu tidak dapat beramal sama sekali, dan belum ada dalam sejarah orang mati lalu beramal lagi. Kalau yang dikecualikan itu “pahalanya”, bukan amalnya, maka itu pun juga aneh, sebab bertentangan dengan ayat al-Quran dan hadis-hadis sahih (lain). Jika hadis itu benar, maka pahala selain dari tiga hal yang disebutkan di dalam hadis tersebut tidak dapat diperoleh oleh si mati.
Catatan: Barangkali, sumber kelemahannya datang dari sang perawi hadis, yakni Abu Hurairah, yang banyak dikritik ulama. Lihat, misalnya, beberapa tulisan ini:
- Abu Hurairah Meriwayatkan 5.374 Hadis: klik di sini.
- Abu Hurairah suka minta orang membacakan ayat Qur’an meski ia sudah mengetahuinya, agar orang itu memberinya makanan — Sahih Bukhari 5432, Bab 70 hadis ke-60.
- Nabi Sulaiman akan menggilir 100 isterinya dalam satu malam (artinya 5 menit per wanita) — hadis dari Abu Hurairah.
- Abu Hurairah meriwayatkan (seolah) Nabi SAW mengatakan, wanita itu diciptakan dari tulang rusuk (dan itu serupa dengan yang ditulis dalam Bible Genesis 2:22). Padahal Al-Qur’an tidak pernah menyatakan demikian, melainkan bahwa wanita (Hawa) sama asal-usulnya dengan laki-laki.
- Nabi Sulaiman akan meniduri 70 (atau yang lebih akurat mungkin 90) wanita: juga hadis dari Abu Hurairah.
Dari seorang ustadz, saya mencatat pesan yang bernas berikut ini:
Hadis itu berkaitan tentang amal orang yang meninggal, bukan amal orang hidup kepada yang telah meninggal. Kalau kita ibaratkan ‘amal’ sebagai saldo hasil investasi seseorang yang disimpan di bank, maka dia boleh mengklaim bahwa saldonya bertambah dari 3 sumber: ilmu, amal jariah, dan anak saleh.
Tapi bisakah saldo bertambah dari hasil ‘transfer’ yang dikirim rekan atau sahabat? Jawabannya, tentu bisa, tapi dia tidak mengklaim bahwa itu berasal dari investasinya sendiri, melainkan sebagai hasil yang diperoleh dari hadiah.
Jika doa dan amal dari saudaranya tidak sampai, lalu mengapa harus ada solat jenazah, atau doa untuk almarhum saat kita mengirimkan dukacita atas wafatnya ayah kawan atau ibunya, misalnya?
Jangankan sesama manusia, makhluk lain jenis pun bisa ‘mengirim’ doa kepada yang sudah meninggal. Ini misalnya terjadi saat Nabi saw menanam pelepah kurma yang masih hijau di pekuburan Muslimin seraya bersabda, ‘selagi pohon ini hidup dia akan bermanfaat bagi penghuni kubur, karena tasbih dan istighfarnya (pohon itu) bagi penghuninya’.

Mari perhatikan dua ayat Qur’an ini:
- QS 47, 19: ‘Maka ketahuilah bahwasanya tiada Tuhan sesembahan kecuali Allah dan mohonkanlah ampunan (kepada-Nya) bagi dosamu, dan dosa orang-orang yang beriman laki-laki dan perempuan. Allah mengetahui gerak-gerik kamu dan tempat tinggal kamu’. (Surat Muhammad (47) ayat 19). Frasa ‘orang-orang yang beriman laki-laki dan perempuan’ tentu bukan hanya ‘orangtua’ seseorang, melainkan semua orang yang beriman.
- QS 59, 59: Dan orang-orang yang datang sesudah mereka mengatakan: “Ya Tuhan kami! Ampunilah dosa-dosa kami dan dosa-dosa saudara-saudara kami yang telah mendahului kami dengan membawa iman”. (Surat al-Hasyr (59): 10). Frasa “saudara-saudara kami” adalah saudara-saudara seiman, bukan hanya saudara kandung (yang seiman).
Beberapa hadis sahih lain juga bertentangan dengan hadis tadi:
- Misalnya, sabda Nabi s.a.w. yang menyatakan bahwa, dua orang yang disiksa di dalam kubur bukan karena dosa besar…lalu beliau menanam dahan pohon yang akan memohonkan ampunan selama ia belum kering.
- Juga hadis tentang solat jenazah, yang tidak hanya dilakukan oleh anak saja tetapi juga oleh banyak orang yang tidak terkait dengan kekerabatan. Jika hadis ‘3 amal’ itu diterima, maka tidak ada artinya menyalatkan jenazah yang bukan orang tuanya, padahal Rasulullah s.a.w. menyolatkan jenazah para sahabat beliau.
- Hadis tentang menghajikan orang lain yang terkenal dengan dengan Hadis Syibirmah (Syuburmah).
- Hadis membayar hutang orang yang telah meninggal dunia, amat popular sebagai hujjah yang diamalkan secara terus menerus oleh umat Islam.

Hal tersebut jelas menunjukkan bahwa orang yang telah meninggal dunia, jika dia seorang Muslim, akan dapat terpengaruh secara positif oleh perbuatan orang yang masih hidup karena jika tidak demikian, maka ayat-ayat dan hadis-hadis yang sahih akan ditinggalkan.
Perhatikan juga Hadis riwayat Muslim yang menyebutkan bahwa Nabi SAW mengajarkan kepada isterinya, Siti Aisyah (ra), agar memohonkan ampun bagi Muslimin yang ada di pekuburan Baqi’.
Dari tinjauan kualitas sanad maupun pemeriksaan terhadap matan-nya berdasarkan atas komentar para ahli hadis dan logika serta ayat-ayat al-Quran dan Hadis yang sahih, dapatlah disimpulkan bahwa:
Hadis Abu Hurairah, yang diriwayatkan oleh enam perawi hadis sebagaimana tersebut di atas, yang menjadi pembahasan pokok dalam tulisan ini, tidak dapat dijadikan pegangan dalam beramal, karena hadis tersebut terbukti lemah baik dari segi sanadnya maupun dari segi matannya.
Kelemahan dari segi sanad, jelas karena terdapat dua orang sanad, yakni al-‘Ala’ dan Abd al-Rahman bin Ibrahim al-Qashsh, ayahnya, yang dinilai lemah oleh ahli al-Jarh wa al-Ta’dil (seperti Ibn ‘Adiy, Yahya bin Ma’in, al-Daraquthniy, dan al-Nasai).
Sedangkan kelemahan dari segi matannya adalah karena ia bertentangan dengan ayat-ayat al-Quran maupun hadis-hadis sahih lainnya. Kelemahan hadis tersebut bukan terletak pada bahwa ketiga hal tersebut baik dan boleh diamalkan, tetapi terletak pada pembatasan “hanya tiga hal” itulah kekeliruannya. Sebab, terbukti selain ketiga hal itu dibolehkan menurut al-Quran dan hadis yang sahih, seperti istighfar untuk orang Islam yang bukan orang tuanya dan menghajikan orang tua yang tidak disebutkan dalam hadis tersebut tetapi disebutkan dalam hadis sahih yang lain.
***
Tambahan Dikiiit ya:
- Walhasil sesungguhnya yang mampu menentramkan jiwa hanya zikir kepada Allah SWT – alaa bi-dzikrillahi tathmainnu al-quluub. ‘Tidakkah (hanya) dengan zikir kepada Allah itu menenteramkan hati?’ Maksudnya begini: Saat seseorang ditinggal mati oleh orang yang dicintainya, maka jiwanya akan terguncang. Oleh karena itu, kalimat turut dukacita dari seribu orang pun tidak akan mampu menentramkan jiwanya, dan hanya zikir yang dibacakan oleh saudara Mukminnya lah yang dapat membuat jiwanya kembali tenteram, sebagaimana dijanjikan Allah dalam ayat itu.
- Kalau orang sudah meninggal, dia tidak bisa berbuat (amal) lagi – bahasa Arabnya, ‘inqothoa ‘amaluhu’ (terputus amalnya); jadi bukan doanya tidak terkabul.
- Tidak ada hukum bahwa, jika kita mendoakan seseorang lain, tidak dikabulkan. Karena pengabulan (atau penolakan) doa itu hak prerogatif Allah SWT. Tentu saja seseorang dianjurkan berdoa secara ikhlas, lillahi ta’aala, agar doanya diterima.
- Ada doa dari Nabi SAW: untuk mukminin dan mukminat, al-ahyaa’ minhum wal amwaat (yang masih hidup ataupun yang telah wafat).
- Kalau kita lewat kuburan juga kan kita dianjurkan memberi salam, Assalamu ‘alikum yaa ahlil qubur. Kalau kata Cak Nun, dalam video tadi, “Orang yang sudah meninggal itu masih ada, hanya saja mereka berada di alam lain”. Simaklah video Cak Nun (yang hanya 14 menitan) di atas tadi, dan Anda bisa tertawa ngakak dibuatnya. Untuk memudahkan, sekali lagi, saya tuliskan link-nya di sini.
Baca juga:
-
Abu Hurairah: Obrolan Kiwir di Warung bang Hoody.