‘Aktivis Pemalas’ di Media Sosial


Belakangan ini di dunia cyberspace muncul sebuah fenomena baru, yakni ketika banyak kaum muda, khususnya yang disebut generasi millenial — yang suka memberi respon, komentar atau men-share ulang posting cause atau campaign secara daring —  ternyata tidak melakukan apa-apa secara offline di dunia nyata. Hal itu mereka lakukan, agar seolah-olah terkesan sebagai aktivis. Padahal sejatinya mereka hanya menjadi slack-tivist atau ‘aktivis pemalas’, sebab activist sejati biasanya benar-benar melakukan aktivitas nyata di lapangan (secara offline).

Dogs on the Internet
Di internet sulit membedakan manusia dan anjing: akun asli menjadi dasar untuk membangun jejaring kekuatan massa

Tulisan aslinya dapat dilihat di Facebook: klik di sini.

Sebuah analisa menarik tentang ini pernah diunggah Sasha Dookhoo dalam situs Institute for PR pada Mei 2016 lalu. Di situ, Sookhoo menyayangkan gerakan ‘aktivis pemalas’ atau slacktivism ini. Memang berbagai platform media sosial (Medsos) kini memberi peluang besar kepada para millenial untuk berkomunikasi secara unik, yang berlum pernah ada sebelumnya. Secara terus-menerus mereka berada dalam keadaan online untuk tujuan-tujuan membina jejaring, menghibur diri, atau mengurangi kebosanan. Menurut riset Nielsen (2014), generasi baru ini memanfaatkan Medsos selama 20-21 jam setiap bulan, dan mereka rata-rata tidak hanya menggunakan satu platform saja. Kita belum tahu bagaimana datanya di Indonesia, tetapi menurut American Press Institute, 57 prosen millenial memeroleh berita dari Facebook sedikitnya sekali sehari, dan 26 % mendapatkan berbagai kabar dari Instagram.

Memang di antara manfaat besar Medsos sekarang ini adalah untuk membantu para aktivis berkomunikasi secara efektif melalui Internet dengan sesama aktivis, dan sekaligus menjadi pemengaruh (influencer) bagi mereka yang aktif di dunia online ataupun offline. Masalahnya, sebagian kaum millenial rupanya lebih suka menggunakan Medsos untuk hiburan (entertainment) dan mencari informasi, sehingga membuat kaum millenials lebih sadar-sosial, tetapi hal itu juga menjadikan mereka sangat mudah menjadi aktivis tanpa bersusah-payah melakukan kegiatan off-line.

Para millenial itu, misalnya, cukup meng-klik ‘Like’ di sebuah halaman Facebook tentang suatu ajakan (cause) sosial, dan langsung merasa sudah menyumbang atau menjadi bagian dari ajakan tadi. Padahal mereka belum secara nyata menyumbang apa pun pada ajakan sosial tadi di lapangan. Tentu saja hal itu amat disayangkan, karena itu hanya menjadikan mereka sebagai kelompok ‘aktivis pemalas’ (slacktivist) – yakni kegiatan secara murah dan beresiko rendah yang terjadi dalam setting online. Hal itu tentu saja tidak membawa manfaat bagi kegiatan atau ajakan (cause) sosial, meski ia memberi kepuasan pada pelakunya, bahwa seolah-olah mereka telah mendukung ajakan (cause) tertentu di Medsos seperti Facebook. Lebih parah lagi, sesungguhnya tindakan para slacktivist itu, seperti retweeting sebuah pos atau memberi tanda pagar (hashtag) bagi seorang aktivis, justru akan mereduksi aksi-aksi offline bagi ajakan tadi, gara-gara para millenial tadi merasa bahwa mereka sudah berbuat (menyumbang) banyak bagi ajakan (cause) atau dukungan sebuah issue.

Kesimpulannya, hendaknya para pemuda dan pemudi, khususnya mahasiswa, tidak mengandalkan Medsos untuk menjadi ‘aktivis pemalas’ (slacktivist), melainkan tetap berperan baik secara online dan, lebih penting lagi, aktif bertindak secara offline, agar kontribusinya benar-benar membawa banyak manfaat bagi masyarakat luas di lapangan.

Silakan Beri Komentar

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s