Ketika Komodo Terancam Anjing Gila


Aduh, ngapain sih membahas soal anjing? Bukankah banyak hal lain yang lebih penting ketimbang ngurusin anjing dan penyakit rabies? Ya tetapi ini beda, Bung. Ini berkaitan dengan Taman Nasional Komodo, yang jadi kebanggaan bangsa Indonesia– khususnya sejak Taman Nasional Komodo di Flores, NTT, dikukuhkan sebagai salah satu dari tujuh keajaiban alam di dunia (New Seven Wonders of Nature) pada 2013 lalu.

Summary: There are potentials for Flores to get more income from tourists visiting one of the ‘New Seven Wonders of Natures’, Komodo dragon in Komodo and Rinca islands. But now Manggarai Barat district, where both islands located, has limited budget for rabies control. This, plus the fact that FAO (ECTAD) and World Animal Protection’s program has accomplished last August, might bring new threat to the area, so that it wouldn’t to be able to achieve Rabies Free area (status) in 2020.

Sejak pengukuhan itu, kian banyak wisatawan berdatangan ke Pulau Komodo dan Pulau Rinca, Kabupaten Manggarai Barat, dengan tujuan menikmati keunikan biawak raksasa yang bernama latin Varanus komodoensis itu. Kabarnya hingga Agustus silam sekitar 80 ribuan turis masuk ke pulau-pulau itu – dan beberapa pulau lainnya di Flores.

“Tahun-tahun sebelumnya berkisar 45-50 ribuan,” kata Maria Geong, Wakil Bupati Manggarai Barat yang saya temui di acara Lokakarya Evaluasi & Keberlanjutan Program Pengendalian Rabies di Pulau Flores dan Lembata (2013-2016), akhir Agustus lalu di Labuan Bajo, ibukota Kabupaten Manggarai Barat, Flores.

Tulisan ini aslinya dipublikasikan dalam portal media Beritagar, 28 September 2016.

Setidaknya ada dua masalah penting dan harus segera ditangani. Pertama adalah kurangnya pendapatan daerah Flores dari turis yang datang, karena mereka lebih banyak menggunakan atau menginap di kapal (cruise) yang lazimnya bersandar di laut sekitar tempat wisata. Wisatawan pun kurang membelanjakan uangnya di daratan seperti kota Labuan Bajo, yang telah dideklarasikan pemerintah kita sebagai sebagai satu di antara sepuluh destinasi wisata unggulan di Indonesia. Masalah kedua adalah ancaman penyakit rabies yang sejak lama bercokol di Pulau Flores dan Pulau Lembata (selain malaria yang masih mengancam di sebagian wilayah NTT itu).

komodonationalparkindonesia1
Taman Nasional Komodo

Tentu saja itu amat disayangkan, sebab selain hewan purba komodo di Pulau Komodo dan Pulau Rinca, Flores juga mempunyai banyak potensi besar daerah kunjungan wisata seperti Danau Ranamese di Manggarai Timur, Danau Kelimutu di Ende, Taman Wisata Alam Laut 17 Pulau Riung di Kabupaten Ngada, dan Taman Wisata Alam Gugus Pulau Teluk Maumere di Sikka.

Kasus rabies dilaporkan pertama kali di Indonesia sejak 1884, ketika virus itu menyerang seekor kerbau di Jawa Barat. Kini penyakit anjing gila itu endemis di 25 provinsi Indonesia. Selain kehilangan nyawa manusia (lebih 922 orang meninggal di Indonesia antara tahun 2009 hingga 2014) dan hewan, dampak ekonomi dan sosial akibat rabies tidak bisa dianggap remeh.

Catatan lembaga kesehatan dunia WHO menyatakan kasus kematian manusia akibat rabies di Asia tertinggi di dunia (diperkirakan lebih dari 30.000 orang setahun).

Secara ekonomi, kerugian yang muncul, misalnya akibat biaya rumah sakit, vaksin dan obat-obatan, serta biaya akibat ‘kelumpuhan’ melakukan aktivitas normal, di dunia mencapai US$8,6 miliar setiap tahunnya (setara dengan Rp129 triliun). Belum lagi jika ditambah kerugian akibat biaya upaya pengendalian dan pemberantasan.

Dari studi yang ada kerugian ekonomi secara langsung berdasarkan data yang diperoleh pada tahun 1998-2007 di NTT diperkirakan mencapai Rp14,2 miliar per tahun, sementara di Bali sejak tahun 2008-2011 diperkirakan kerugiannya mencapai Rp230 miliar.

Tidak cukup begitu. Masih ada ancaman kerugian yang tak kalah serius, yakni keresahan masyarakat, dan turunnya minat wisatawan ke daerah tersebut. Bayangkan apa yang akan terjadi kalau saja calon wisatawan mendengar adanya wabah (endemik) rabies di Flores atau Bali.

dua-ekor-komodo
Dua ekor komodo

Beruntung bahwa di Flores (sebagaimana di Bali dan beberapa wilayah Indonesia lainnya) sudah dilakukan upaya pemberantasan dan pengendalian rabies yang serius. Dua lembaga dunia telah bekerja sama dengan pemerintah daerah NTT dan para pemimpin agama di Pulau Flores dan Pulau Lembata dalam aksi pelaksanaan program pengendalian dan pemberantasan rabies di provinsi NTT.

Selama tiga tahun terakhir, terhitung sejak September 2013 lalu, organisasi PBB untuk makanan dan pertanian Food and Agriculture Organization (FAO) bersama organisasi perlindungan hewan yang berpusat di London, World Animal Protection (WAP) menerapkan program khusus yang dinamakan Emergency Center for Transboundary Diseases (ECTAD) di Pulau-pulau Flores dan Lembata.

Menurut Joanna Tuckwell, campaign manager World Animal Protection untuk wilayah Asia-Pasifik, tujuan program yang didanai sebesar Rp8,5 miliar ($650.000), itu membantu pemerintah Indonesia mengendalikan dan memberantas rabies pada anjing secara “ramah hewan” (humane) dan mengelola populasi anjing (dog population management) dengan cara terbaik.

Joanna menegaskan bahwa hewan seperti anjing memiliki peran yang vital bagi masyarakat di seluruh dunia. “Itu sebabnya kami berusaha menggerakkan masyarakat di dunia untuk melindungi hewan-hewan itu, dan di World Animal Protection kami menemukan cara paling efektif untuk melindungi hewan di tengah masyarakat.”

“Kami juga membantu petugas pemerintah di berbagai belahan dunia untuk mengelola populasi anjing secara ‘ramah hewan’, serta memvaksinasi anjing-anjing itu–sebagai satu-satunya solusi menghadapi rabies–dan bukannya membunuh mereka. Kami juga berbagi kiat tentang tatacara pemeliharaan hewan yang bertanggung-jawab (responsible pet ownership),” tambahnya.

img_20160901_093021
Joanna Tuckwell (kiri) bersama penduduk di Manggarai Barat, Flores (NTT): memberantas rabies, Agustus 2016. (Foto: Syafiq Basri).

Sebelum program ECTAD itu, masyarakat di Flores pernah membunuhi secara massal sekitar 500 ribu ekor anjing ketika muncul wabah rabies pada 2000-an. Kasus rabies pertama kali ditemukan di Larantuka, Kabupaten Flores Timur pada 1997, dan korban pertama pada manusia dilaporkan pada Maret 1998.

Data yang ada menunjukkan lebih dari 200 orang meninggal sejak ditemukannya rabies, tetapi para ahli yakin jumlah kematian yang tidak dilaporkan lebih dari itu. Sebagai eksekutor program, FAO menggandeng para pastor Katolik setempat untuk membantu menyebarkan informasi tentang pentingnya vaksinasi massal pada anjing di seluruh (sembilan) kabupaten dan kota di pulau-pulau Flores dan Lembata.

Terbukti, pelibatan pemimpin agama itu sangat efektif. “Kita dapat menjadikan contoh betapa para pemimpin agama lokal dapat meningkatkan kesadaran (awareness) dan memobilisasi masyarakat untuk ikut berpartisipasi dalam upaya pengendalian rabies,” kata pemimpin tim FAO ECTAD James McGrane di Labuan Bajo akhir Agustus lalu,

Pelajaran yang didapat dari Flores ini dapat digunakan untuk program-program pengelolaan rabies di wilayah-wilayah lain di Indonesia ini. Sebelum program FAO dan WAP itu dilaksanakan, banyak orang menyembunyikan anjing mereka ketika para petugas kesehatan hewan datang ke rumah-rumah mereka.

Namun sejak para pastor membicarakan tentang itu di gereja-gereja, masyarakat jadi percaya dan menerima para petugas yang datang ke kediaman mereka dengan baik.

Mirip di Bali, Nias, dan beberapa wilayah lain, anjing merupakan hewan yang sangat popular di Pulau Flores dan Pulau Lembata, karena anjing-anjing itu memiliki nilai sosial, budaya dan ekonomi, di antaranya sebagai penjaga rumah, teman berburu dan dalam pelbagai upacara masyarakat setempat.

Namun tidak mudah melaksanakan program itu di Flores. Di antara tantangan yang ada adalah kurangnya tenaga ahli pemberi vaksin, dan lokasi geografis yang luas serta bergunung dan berbukit.

Pada masa sebelum program yang dibantu World Animal Protection dan FAO itu dilaksanakan, beberapa pemerintah daerah di Indonesia melakukan eradikasi rabies dengan cara membunuh anjing-anjing yang diduga membawa rabies.

Joanna menyesalkan hal itu. Menurutnya, bukti yang ada menunjukkan bahwa populasi anjing berkembang secara amat cepat (dalam setahun anjing beranak dua kali dalam jumlah yang tidak sedikit – red). Selalu akan ada anjing-anjing yang bermunculan ke sebuah area dengan kemungkinan membawa rabies.

“Kita tahu bahwa masyarakat mendapatkan keuntungan besar dari anjing-anjing mereka, sehingga kita perlu menjaga keseimbangannya,” kata Joanna lagi.

Apa yang dikatakan Joanna terbukti. Setelah program ECTAD dimulai pada 2013, jumlah kematian akibat rabies di Pulau Flores dan Pulau Lembata menurun tajam. Bila pada 2014 lima orang meninggal dan 24 anjing mati, maka setahun kemudian (2015) jumlah korban turun menjadi tiga orang dan 14 anjing.

Penurunan itu antara lain berkat pelaksanaan vaksinasi yang gencar. Pada 2014, sekitar 166 ribu anjing (dari 250 ribuan populasi anjing yang ada) telah divaksinasi, dan pada 2015, 250 ribu (dari 360 ribu) anjing di 1.300-an desa menjalani vaksinasi.

Meski begitu, Kepala Sub Direktorat Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit Hewan (P3H), Kementerian Pertanian RI Muhammad Syibli belum puas. “Memang ada penurunan, tetapi yang benar-benar kita harapkan adalah kita tidak lagi menemukan adanya korban manusia mulai tahun ini dan seterusnya,” kata Syibli.

Itu sebabnya Syibli berharap bahwa masyarakat setempat bersama para tokoh agama secara mandiri dapat meneruskan usaha vaksinasi anjing dan mengelola populasinya, pascaprogram itu berakhir pada 31 Agustus lalu. Hal ini dinilainya sangat penting, khususnya karena ada Komodo yang merupakan satu di antara prioritas wisata Negara.

Tetapi sesudah tiga tahun sukses dalam upaya untuk membersihkan rabies dari NTT, kabupaten Manggarai Barat kini menghadapi tantangan baru, yakni belum tersedianya dana untuk program lanjutan (pengendalian rabies) itu, dan kurangnya tenaga ahli yang dapat ikut terjun dalam kegiatan tersebut.

Wakil Bupati Mangarai Barat, Maria Geong mengatakan bahwa pihaknya akan berusaha mencari pendekatan lain untuk mengontrol rabies sesudah FAO dan World Animal Protectionmenyudahi program mereka Agustus lalu.

Maria menyayangkan kerja sama yang telah berlangsung selama tiga tahun, dengan target mencapai ‘bebas rabies’ pada 2020 itu, harus berakhir. Sementara, sulit bagi Pemda Manggarai Barat menambah anggaran untuk urusan rabies, karena ada prioritas lain seperti urusan asuransi kesehatan (BPJS) dan program KTP.

This slideshow requires JavaScript.

Selain dana yang terbatas untuk pengelolaan rabies, Manggarai Barat juga kekurangan tenaga ahli (hanya ada tiga dokter hewan di situ) untuk pelaksanaan vaksinasi anjing. Padahal sebelumnya, lewat program ECTAD itu FAO telah melatih 300 petugas veteriner di tingkat propinsi dan kabupaten/kota di seluruh Flores dan Lembata.

Memeringati Hari Rabies (28 September lalu) patut kita catat bahwa, jika urusan rabies di Flores ini tidak tuntas, maka sulit kiranya bagi Indonesia untuk mencapai target bebas rabies pada 2020, sebagaimana dicanangkan bersama negara-negara ASEAN lainnya.

Tulisan ini aslinya dipublikasikan dalam portal media Beritagar, 28 September 2016.

 

Silakan Beri Komentar

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s