Tidak Ada Vaksin Anti-Krisis, Bu Menkes


Jumat, 19 Agustus 2016.

Awal pekan ini, Ketua Posko Pengaduan Yayasan Lembaga Badan Hukum Indonesia Wahyu Nandang mengatakan keluarga korban vaksin palsu masih menuntut tanggung jawab negaraatas terjadinya kasus tersebut. Pasalnya, sudah sebulan kasus ini masih belum jelas rimbanya. Bahkan, sebelumnya pernah ada pihak yang mengusulkan tindakan class actionterhadap pemerintah atas beredarnya vaksin palsu. Alasannya, hingga saat ini belum ada pejabat pemerintah yang meminta maaf kepada para orang tua korban, sementara pejabat berwenang malah tampak buang badan.

Opini ini dipublikasikan di halaman Indonesiana Tempo pada 19 Agustus pukul 16:53 WIB (klik di sini). Sebelumnya, artikel ini terbit di Koran Tempo edisi 19 Agustus 2016 (klik di sini).

Kementerian Kesehatan pun belum terlihat bertindak menenangkan dan membuka diri kepada masyarakat. Setidaknya, ini bisa dilihat dari belum adanya informasi apa pun mengenai vaksin palsu pada laman situs Kementerian Kesehatan. Padahal, itu sebuah langkah yang harus dilakukan oleh setiap lembaga yang ditimpa krisis pada era digital.

Vaksin Palsu
Menteri Kesehatan Nila F Moeloek gendong bayi yang diduga menerima vaksi palsu. (Foto MI/MetroTVNews). 

 

Krisis peretasan produk (product tampering) pada vaksin ini mengingatkan kita pada kasus pemalsuan vaksin influenza pada 2006 serta obat Tylenol yang menggemparkan Amerika Serikat dan dunia pada 1982. Dengan zat utama acetaminophen, saat itu kapsul Tylenol dipasarkan sebagai penghilang nyeri (pain killer) yang sangat efektif. Kapsul produksi Johnson and Johnson (J&J) itu diupak isinya dengan menambahkan racun sianida ke dalam cangkangnya sehingga menewaskan tujuh orang di Amerika Serikat.

Beruntung, manajemen J&J berhasil mengambil langkah penanganan krisis yang efektif sehingga kerugian yang mereka derita (sekitar US$ 100 juta) akibat penarikan produk segera terbayar oleh pemulihan reputasi. Berkat krisis itu, J&J tidak saja berhasil memulai inovasi penggunaan kapsul tiga lapis (triple-seal safety package) yang aman dari perusakan, tapi juga menunjukkan bagaimana seharusnya organisasi merespons masalah yang berkaitan dengan publik, pemangku kepentingan utama mereka.

 

Menteri Kesehatan Nila Farid Moeloek (kanan) dan Kabareskrim Polri Komjen Pol Ari Dono (kiri) mengikuti rapat kerja dengan Komisi IX DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (14/7)
Menteri Kesehatan Nila Farid Moeloek dan Kabareskrim Polri Komjen Pol Ari Dono di DPR, bahas penanggulangan vaksin palsu. (Foto ANTARA).

Berhubung kita hidup pada zaman krisis, memahami dan mengelola berbagai krisis kini menjadi tantangan nyata bagi setiap orang. Tidak seorang pun yang kebal terhadap krisis karena memang tidak ada vaksin anti-krisis. Para pengambil keputusan dalam organisasi pemerintah dan swasta mesti membiasakan diri menggagas perencanaan sejak dini. Manajemen sebuah organisasi harus kompeten dan menjunjung tinggi etika dalam setiap langkah. Jika tidak, pengelolaan krisis yang harus dilakukannya kelak akan membongkar kebobrokan manajemen dan sangat mudah merusak reputasinya.

Resep penting lainnya adalah manajemen mesti melakukan komunikasi dua arah yang simetris dengan publik sebelum ada atau saat muncul isu. Jika tidak, publiklah yang akan meminta organisasi itu bersikap jujur dan selalu terbuka.

Dari kacamata public relations, lazimnya pengelolaan komunikasi dalam sebuah krisis dimulai dengan langkah identifikasi, yang kelak berguna untuk menaklukkan krisis itu sendiri. Ini seperti menetapkan musuh yang hendak diperangi. Bila Anda tidak tahu siapa musuh Anda, bagaimana bisa memenangi perang?

Nah, identifikasi krisis itulah yang tampaknya tidak ada pada Kementerian Kesehatan. Belajar dari kasus-kasus krisis sebelumnya, seharusnya mereka sudah sejak lama menyiapkan diri. Pertama, menyusun inventarisasi (kemungkinan) krisis apa saja yang bakal muncul dan seberapa parah dampak krisis tersebut.

Masyarakat protes Vaksin Palsu - foto Tempo
Masyarakat protes vaksin palsu (Foto Tempo).

 

Ini merupakan resep bagi manajemen krisis dalam berbagai organisasi. Pertama, mengontrol situasi dan mendirikan pusat pengelolaan krisis. Dalam semua jenis krisis, termasuk vaksin palsu kali ini, sudah seharusnya Kementerian Kesehatan mengontrol situasi yang ada sesegera mungkin. Alih-alih mencari kambing hitam, seharusnya organisasi secara terbuka dan jujur mengungkap masalah yang sebenarnya dengan memanfaatkan informasi yang dapat dipercaya, lalu menetapkan tujuan-tujuan komunikasi yang terukur dalam penanganannya.

Sejauh pengamatan kita, langkah yang telah dilakukan Kementerian selama ini masih sebatas menunjuk hidung tersangka, yang bila tidak hati-hati justru akan jadi bumerang. Bila ada rumah sakit atau klinik yang terlibat, ini justru berada di bawah tanggung jawab Kementerian. Selain itu, laman Kementerian harus segera mengunggah menu khusus pusat pengelolaan krisis yang terus diperbarui. Pejabat, seperti menteri, harus tahu dan sigap menggerakkan stafnya. Bila tidak bisa mengelola sebuah pusat pengelolaan krisis yang lengkap dan komprehensif, setidaknya mereka dapat menyiapkan sebuah Pusat Komunikasi Krisis.

Bagian penting dalam pusat pengelolaan krisis ini adalah juru bicara yang piawai dan selalu siap bicara sesegera mungkin serta sesering mungkin. Salah satu tugas pentingnya adalah membentengi publik dari kepanikan dengan cara meredakan ketakutan mereka. Lalu, ada tantangan lain: setelah semua berhasil ditangani secara efektif, Menteri Nila Moeloek dan jajarannya dapat memastikan bahwa organisasi akan jauh lebih siap dalam menghadapi krisis-krisis di masa mendatang.

Video tentang Tylenol (di CNN):

Krisis yang terjadi pada suatu organisasi tidak bisa menjamin semua pihak bakal aman dari krisis yang sama ke depan. Malah, ini yang penting, justru ada faktor penguatan dalam krisis: organisasi yang punya sejarah ditimpa krisis sebelumnya justru lebih mudah dilihat oleh pemangku kepentingan sebagai pihak yang punya tanggung jawab lebih besar ketika terjadi krisis yang kedua.

 

 

Silakan Beri Komentar