Flow – Bahagia Saat Lebaran


Terkait dengan Lebaran saat ini, yang jatuh pada Jumat 17Juli 2015, tulisan ini sengaja ditayangkan ulang. Selamat Hari Raya Iedul Fitri. Semoga kita bisa menjadi suci kembali, bagaikan bayi yang baru lahir.

 

Lebaran ini berjuta orang gembira. Bukan saja karena bisa berkumpul dengan keluarga, melainkan karena merasa telah berhasil mengendalikan dirinya selama puasa Ramadhan kemarin.

Lebaran ini berjuta orang merasa bahagia. Dalam psikologi positif, keadaan ketika di dalamnya orang merasakan kebahagiaan disebut sebagai “flow”. Menurut tokoh psikologi positif Mihaly Csikszentmihalyi, flow adalah suatu keadaan pikiran yang di dalamnya kesadaran manusia berada dalam keadaan teratur dan selaras. Dan itu dapat dicapai lewat ‘pengendalian diri’ dan ‘pengendalian hidup’.

Mihaly Csikszentmihalyi:  Konseptor Flow
Mihaly Csikszentmihalyi: Konseptor Flow

Dalam komunikasi, keadaan ini menjadi salah satu tujuan utama. Sebab, jika tidak, maka penyampaian pesan dianggap gagal, karena komunikasi yang dilakukan tidak berhasil membuat orang merasa senang atau bahagia.

Tulisan ini, aslinya dimuat dalam portal online “Inilah.Com”, Kamis 8 Agustus 2013Catatan: bagian yang dipotong (diedit) redaksi ‘Inilah.Com’ saya muat lengkap di sini, dengan warna biru.

Dan itu bukan saja fenomena ketika kita berkomunikasi dengan sesama manusia, melainkan saat kita ‘berbicara’ dengan alam semesta, dan dengan Tuhan, Pencipta Manusia dan Alam Semesta. Itu sebabnya, para pakar komunikasi yang memahami agama dan psikologi percaya, bahwa komunikasi dengan Tuhan saat kita mengendalikan diri waktu puasa akan menciptakan flow yang kita harapkan.

90 ribuan muslimin solat Iedul Fitri di Moskow , Rusia
90 ribuan muslimin solat Iedul Fitri di Moskow , Rusia

Mihaly mengatakan bahwa, di antara ciri keadaan “flow” adalah ketika kita masuk dalam kondisi konsentrasi yang lebih dalam (pikiran yang fokus), perasaan memiliki kendali penuh atas segala sesuatu, dan menganggap saat ‘sekarang’ sebagai satu-satunya hal yang penting.

Saat berada dalam flow itu lazimnya orang merasa tidak lagi terpengaruh pada dimensi waktu —  yang sering (dalam keadaan biasa) menginterupsi perjalanan kehidupan kita. Saat itu, kita tak lagi mementingkan diri (ego)-nya, karena sirnanya batasan-batasan individual kita. Dan itu amat serupa dengan kondisi saat kita ‘kembali menjadi fitri’, berkat latihan mengendalikan diri (ego) selama Ramadhan lalu.

Tentu komunikasi hamba dengan Tuhannya bukan saja saat puasa, melainkan terus menerus sepanjang hidupnya. Salah satu bentuk komunikasi lain antara kita dengan Tuhan adalah saat solat. Ajaran Islam menyatakan bahwa, jika hendak berbicara kepada Tuhan solatlah; dan jika hendak mendengar apa yang dibicarakan Tuhan bacalah Al-Quran.

Wudhu: bersiap untuk 'flow' dalam solat Ied di Moskow, Rusia
Wudhu: bersiap untuk ‘flow’ dalam solat Ied di Moskow, Rusia

Nah, menurut Mihaly, cara ‘meditasi’ (seperti solat) itu sangat berperan menelurkan keadaan flow tadi. Mihaly — sebagaimana ditulis pakar filsafat Dr Haidar Bagir (dalam bukunya, ‘Buat Apa Shalat?! Kecuali Jika Anda Hendak Mendapatkan Kebahagiaan dan Pencerahan Hidup’)  berpendapat bahwa berbagai cara meditasi Timur, termasuk yoga, dan berbagai praktik dalam Buddhisme dan Taoisme, sebagaimana tasawuf, telah dipakai untuk mencapai keadaan itu. Menurutnya, hal itu terbukti berhasil, karena pelakunya ‘mampu mengendalikan diri dari pengaruh atau gangguan-gangguan dari luar dirinya’.

Sejumlah sumber sejarah menduga bahwa Michelangelo mungkin saja melukis atap Gereja Vatikan ketika ia sedang flow. Dikatakan bahwa ia melukis selama berhari-hari tanpa henti, dan ia telah begitu terabsorbsi pada pekerjaannya sehingga lupa makan dan tidur, sampai pingsan.

6 Katalisator untuk mencapai Flow
6 Katalisator untuk mencapai Flow

Boleh jadi flow juga berkait dengan keterbukaan diri dan komunikasi yang tulus (genuine communication). Menurut Carl Rogers, lewat karya yang belakangan disebut sebagai ‘Kekuatan Ketiga’ (Third Force) dalam psikologi, “tujuan komunikasi adalah pemahaman yang akurat tentang diri sendiri dan pihak lain, dan bahwa pemahaman hanya bisa terjadi melalui komunikasi yang tulus.”

Guna mendapat ‘pemahaman diri’ perlu proses ‘pembukaan diri’ (self-disclosure), memberi feedback, dan peka terhadap keterbukaan pihak lain. Jika tidak, akan muncul kesalahpahaman dan kekecewaan (dissatisfaction) dalam relationship kita dengan pihak lain, akibat ketidakjujuran, kurang konkruen-nya perasaan dan tindakan, kurangnya feedback, dan menahan diri untuk bersikap terbuka (transparan).

Solat Idu Fitri di Victoria Park, Hongkong: Flow
Solat Idu Fitri di Victoria Park, Hongkong: Flow

Meski para ahli — yang mengembangkan teori di atas dalam pendekatan psikologi humanistik — itu tidak membahas hal-hal di atas dalam kaitan khusus dengan meditasi atau solat, tetapi secara logis kita bisa menganalogikannya begini: saat orang solat secara serius dan khusyu’ sudah pasti ia membuka diri kepada Tuhan. Ia bersikap transparan, mengakui kekurangan diri, dan melalukan genuine communication. Dari situlah antara lain, ia memperoleh satisfaction, kepuasan.

Ia misalnya mengakui bahwa dirinya dan segala yang ada selain tuhan hanya kecil belaka. Tuhan saja yang Maha Besar — dan segala kenikmatan (atau kesulitan) hidup, diri pribadi, keluarga, harta benda, dan semua yang ada di lingkungannya tidak ada artinya sama sekali dibanding keagungan-Nya. 

Dengan kata lain, pelaksana solat yang baik mestinya memiliki perasaan yang konkruen dengan perilakunya. Sejatinya memang demikian, solat yang dilakukan secara khusyu’ dapat menciptakan ciri-ciri yang menandai keadaan flow, bahkan secara lebih efektif.

Bukti akan hal ini, dari sudut agama bisa dilihat dari berbagai contoh yang dilakukan Nabi, keluarganya dan para sahabat beliau, yang kekhusyu’an solat mereka menjadikan mereka seolah kehilangan kesadaran tentang apa-apa yang terjadi di sekitar mereka.

Ali bin Abithalib as: kesalehannya yang prima selalu membawanya dalam keadaan 'flow'
Ali bin Abithalib as: kesalehannya yang prima selalu membawanya dalam keadaan ‘flow’

Baiklah mengambil sebuah kisah yang dialami Imam Ali bin Abithalib ini: Suatu ketika dalam sebuah peperangan kaki Ali tertembus anak panah. Sakitnya tak alang kepalang, sehingga ia tidak mampu menahan rasa sakit setiapkali para sahabat berusaha untuk mengeluarkannya. Belakangan Nabi SAW memerintahkan sahabatnya untuk mencabut anak panah itu ketika Ali sedang solat. Usai solat, Ali melihat darah bercucuran dari kakinya, dan ia baru menyadari hal itu setelah diberitahu sahabat yang lain bahwa itu akibat anak panah di kakinya yang baru dicabut pada waktu ia solat.

Dari contoh di atas barangkali kita bisa menyimpulkan, Ali telah melakukan solat secara sangat khusyu’ dan (dalam bahasa agama) tumakninah (penuh ketenangan jiwa), yakni satu keadaan, jika boleh diidentikkan, yang serupa dengan keadaan ‘flow’ tadi.

Flow: keaddan ideal di antara berbagai keadaan lainnya
Flow: keaddan ideal di antara berbagai keadaan lainnya

Sejatinya, manusia bisa melatih dirinya untuk memutuskan hanya fokus pada apa yang ingin diperhatikannya. Maka, ketika seseorang dalam keadaan flow, ia tercerap sepenuhnya dalam satu task yang dijalaninya, dan  tanpa sengaja ia kehilangan awareness-nya terhadap segala sesuatu yang lain: waktu, orang lain, distractions, dan bahkan kebutuhan dasar tubuhnya. Ini terjadi karena semua perhatian orang itu berada dalam keadaan flow; sehingga tidak ada lagi ‘ruang’ bagi soal lain untuk dialokasikan saat itu.

Maka kita bisa mengatakan, sebagaimana ditulis Haidar Bagir, bahwa solat bukan saja berperan secara religius, tetapi sekaligus menjadi sumber ketenteraman dan kebahagiaan sekaligus dikonfirmasi oleh penemuan ilmu-pengetahuan modern seperti psikologi.

Para ahli juga menyimpulkan bahwa sebagai suatu bentuk zikir, solat juga memiliki pengaruh positif terhadap upaya pencegahan dan penyembuhan dari penyakit-penyakit yang biasanya dikaitkan dengan ketidaktenteraman dan kekurangbahagiaan, seperti penyakit jantung, stroke, stres, depresi, dan sebagainya.

Salah seorang ahli itu adalah pakar kedokteran Harvard University dan pendiri Body- Mind Institute Dr. Herbert Benson. Menurut Benson, meditasi serta pembacaan mantra  — yang dibaca dalam kerangka keimanan atau sebagai wujud ajaran agama — memiliki tingkat efektivitas yang lebih tinggi dalam mendatangkan ketenangan dan mengatasi berbagai penyakit tubuh dan kejiwaan yang menghalangi terciptanya kebahagiaan hidup.

Grafik Flow yang lain
Grafik Flow yang lain

Walhasil, pasca-Ramadhan ini semestinya kita akan makin bahagia. Bukan saja karena lebih efektif berkomunikasi dengan (dan membantu) orang-orang yang lemah, melainkan juga karena berhasil dalam komunikasi dengan Tuhan, berkat makin tingginya kemampuan mengendalikan diri dari pengaruh atau gangguan-gangguan eksternal diri.

Selamat berbahagia dalam flow yang indah.

Baca juga:

One thought on “Flow – Bahagia Saat Lebaran

  1. Tulisan indah – menjewer saya sampai telinga saya “merah”. Saya bagikan ladi via FB, ya – Nuhun pisan

Silakan Beri Komentar

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s