Dalam waktu kurang dari dua tahun, Gubernur DKI Joko Widodo dan Wakilnya, Basuki Tjahaya Purnama (Ahok), telah berhasil mencapai banyak hal. Meski harus diakui belum semuanya tuntas, tetapi orang jujur mestinya bisa melihat sendiri perubahan-perubahan itu.

Yang belum tuntas itu, di antaranya adalah masalah banjir dan kemacetan — karena keduanya adalah masalah yang kompleks, dan berkaitan dengan wilayah sekitar Jakarta. Kemacetan, misalnya, tentu saja dipengaruhi makin banyaknya kendaraan pribadi yang datang dari satelit ibukota seperti Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi dan Banten. Banjir ini juga perkara rumit, karena sumbangan air juga berdatangan dari berbagai aliran sungai di sekitar Jakarta, yang semuanya masuk menuju sungai-sungai di Jakarta dan terus ke laut di bagian utara Ibukota.
Di antara bebagai capaian Jokowi-Ahok, minimal ada 12 hal yang dapat kita tengok di sini.
- Transparansi Anggaran. RAPBD dibuka secara transparan kepada masyarakat, sehingga siapa saja bisa mengetahui dan mengontrolnya. KPK sangat mengapresiasi hal ini dan secara terbuka Pimpinan KPK menyatakan agar daerah lain mencontoh DKI. Tentu saja ini karena ketertutupan merupakan celah terbesar terjadinya korupsi. Jokowi yang pernah naik haji pada tahun 2003 itu (juga Ahok, sang Wakil Gubernur) tak segan-segan memberi contoh dengan memperlihatkan gaji dan pajak yang mereka bayarkan secara transparan kepada publik. Sebagai pemimpin dan seorang Muslim yang baik, rupanya Jokowi merasa ia harus memberi contoh bagaimana melaksanakan pemerintahan yang baik dan bersih (good governance).
Jokowi saat umrah: sebagai Muslim yang baik mesti melaksanakan pemerintahan yang bersih. - E-Government. Dengan spirit transparansi juga Jokowi-Ahok membangun sistem E-government. Dalam sistem yang semuanya online itu termasuk e-budgeting, e-procurement, e-catalog, dan e-audit. Dengan demikian, semua masalah pemerintahan dilaksanakan secara terbuka, mudah diakses oleh publik. Lewat sistem ini, sulit bagi birokrat (pejabat Pemda) DKI yang punya niat buruk untuk bermain di ‘belakang layar’ melakukan tindakan yang menyalahi hukum, sehingga korupsi bisa dicegah.
- Reformasi Birokrasi. Bersamaan dengan kedua hal di atas, dalam waktu singkat Jokowi-Ahok berhasil melakukan reformasi birokrasi di DKI. Proses penerimaan atau seleksi (rekrutmen) pegawai dan promosi mereka dilakukan melalui “lelang jabatan”. Lewat cara ini, tindakan KKN dapat dicegah, dan manajemen personalia (SDM) menjadi lebih baik.
- Pelayanan publik yang Customer Oriented, mengacu kepada publik. Jajaran birokrat sebagai pegawai pemerintah menjadi ‘pelayan’ masyarakat, bukan sebaliknya. Pelayanan di Balaikota (lima wilayah Kotamadya), Kecamatan, dan Kelurahan harus lebih cepat, tanggap, bersih dan tertib. Jokowi juga memperbaiki total sistem penilaian bagi pegawai DKI, ada Key Performance Indicator (KPI) yang jelas.
- Kesehatan & Pendidikan; program pro-rakyat ini dibantu sistem Kartu Jakarta Sehat (KJS) dan Kartu Jakarta Pintar (KJP). Tak lama setelah dilantik, Jokowi-Ahok langsung menerapkan sistem baru ini. Harus diakui, di sana-sini masih ada yang harus diperbaiki. Tetapi sebagai sebuah terobosan, rakyat banyaklah yang paling diuntungkan oleh KJS dan KJP.
- Terobosan dalam Transportasi. Guna mengurangi kemacetan dan meningkatkan kenyamanan masyarakat dalam transportasi, Jokowi-Ahok melakukan hal-hal ini: A. Mengeksekusi Proyek MRT yang lama mandeg. Ini sebuah proyek telah lama memiliki ‘blue print’-nya, tetapi selama ini mandeg. Baru pada periode Jokowi-Ahok saja soal ini kembali dihidupkan.”Saya hanya mengeksekusi karena blue print sudah ada dari jaman dulu,” kata Jokowi; B. Menambah armada Busway Trans-Jakarta secara besar-besaran, sehingga bisa menampung berlipat-lipat penumpang; dan C. Mengintegrasikan sistem angkutan. Termasuk meremajakan Metromini dan angkutan lain.
- Mengelola Masalah Banjir. Ini problem kronis yang sudah melanda Jakarta sejak berpuluh tahun lalu. Masalahnya sangat kompleks dan lintas provinsi sehingga harus diatasi secara komprehensif dan melibatkan Pemerintah Pusat (PU) dan Gubernur serta beberapa Bupati dan Walikota di Jawa Barat. Sejatinya, ‘grand design’ dan ‘blue print’ perkara banjir telah lama disiapkan, namun baru Jokowi dan Ahok yang menjalankan. Mereka berkomunikasi dan melakukan koordinasi intensif — yang selama ini mandeg — dengan Menteri PU (Pemerintah Pusat), Gubernur Jabar, Walikota Depok, Tangerang, Bupati Bogor, Bupati Bekasi, dan Karawang. Di antara yang telah dilakukan dalam kaitan ini adalah: Mengeruk sejumlah bantaran kali secara besar-besaran, bekerjasama dengan TNI (Catatan: ada 13 kali besar yang mengalir di DKI). Lalu, membangun dan manata ulang jalan inspeksi di pinggir kali untuk perawatan. Setidaknya dua waduk, yakni Waduk Pluit dan Waduk Ria Rio yang merupakan tampungan dan resapan air juga ditata ulang. Kemudian, warga di sekitar waduk dan bantaran kali direlokasi ke rusun dan kampung deret yang memadai. Mereka mendapatkan fasilitas gratis (seperti kulkas dan TV), sehingga warga dengan senang hati mau direlokasi. -Nyata sekali ada banyak kemajuan dalam soal ini. Masalah banjir yang selama ini sangat runyam, sedikit demi sedikit berhasil diperbaiki. Jokowi dan Ahok melakukan dialog dengan masyarakat, bicara dari hati ke hati.
- Kampung Deret. Ini adalah program perbaikan rumah warga dan lingkungan dengan bantuan dana Rp. 50-an juta per rumah. Dikelola bersama warga setempat, kini banyak warga telah mendapatkan rumah yang lebih cantik dan layak huni. Perilaku mereka terhadap lingkungan pun ikut berubah. Warga makin sadar pada kebersihan, masalah sampah dan akibatnya terhadap banjir. Awalnya memang sempat ada penolakan dari sebagian warga kampung kumuh DKI, karena mereka kuatir digusur secara kasar. Tetapi setelah sukses dengan Kampung Deret di Tanah Tinggi dan Petogogan, kini makin banyak warga yang berharap bisa dipindahkan ke Kampung Deret.
- Tanah Abang dan Premanisme. Jokowi dan Ahok mendatangi Tanah Abang yang semrawut, penuh Pedagang Kaki Lima (PKL), dan sering dijadikan lahan bisnis para preman. Sebelum ini, tidak ada yang berani menyentuh Tanah Abang dan preman serta PKL-nya. Jokowi-Ahok berhasiil memindahkan pedagang PKL dan mengurai kemacetan lalu lintas di situ. Para PKL mendapatkan tempat gratis selama enam bulan dan mendapatkan bantuan untuk mempromosikan dagangan mereka. Para preman juga berhasil ditertibkan. Sempat ada gesekan dengan sebagian preman, tetapi berkat pendekatan persuasif, Jokowi- Ahok dapat menyelesaikan perkara premanisme ini. Mereka antara lain disalurkan atau dicarikan pekerjaan sehingga tetap dapat memperoleh penghasilan yang layak.
- Budaya. Festival bidang seni budaya dan karnaval di Jakarta. Jokowi juga mengharuskan pegawai DKI menggunakan pakaian adat Betawi pada hari Jum’at. Hal ini kemudian diikuti oleh kota lain seperti Bandung.
- Membangun dan merenovasi terminal dengan karakter Jakarta. Salah satu proyek percontohan yang telah berhasil adalah Terminal Manggarai.
- Mengagas Bis Wisata. Warga dan turis dapat memanfaatkan sejumlah bis cantik yang khusus disediakan untuk berkeliling ke berbagai lokasi menarik dan bersejarah di ibukota yang telah berusia lebih dari 400 tahun itu. Sejalan dengan peningkatan pariwisata ini, Jokowi juga melakukan Revitalisasi Kota Tua. Sejumlah bangunan dan fasilitas di utara Jakarta pun ikut menerima perbaikan. Berkat itu, kini makin banyak warga dan turis manca negara yang datang menikmati Kota Tua.
Bagi pemimpin yang sederhana dan merakyat, ia jarang membanggakan apa yang telah dicapainya di Jakarta hanya dalam kurang dari dua tahun. Mungkin karena Calon Presiden itu menganggap itu belum selesai, sehingga belum perlu digembar-gemborkan.

BBC: Obamanya Indonesia. Kinerja Jokowi (dan Ahok) dalam masalah banjir juga menjadi sorotan media internasional, termasuk BBC. Media Inggris itu pun memuji Joko Widodo, dan menyebut sang gubernur ini sebagai “Obama dari Jakarta”. Wartawan BBC Karishma Vashwani mengulas berita banjir ibukota RI. Menurutnya, berbagai langkah yang diambil oleh Jokowi dianggap tepat, khususnya karena berempati kepada masyarakat korban banjir. – Menurut Vashwani, Jokowi mirip dengan presiden Amerika Serikat Barrack Obama. Pertama, karena tubuhnya yang tinggi kurus. Kedua, karena keduanya sama-sama pemimpin yang peduli pada rakyat kecil. – Saat ditanya apa pendapatnya tentang penyamaan dirinya dengan Obama, Jokowi ia hanya tersenyum kecil. “Ah, saya bukan Obama. Saya hanya orang biasa. Jadi gubernur memang tidak mudah, karena saya harus kerja dari pagi ke pagi lagi untuk membuktikan kepada masyarakat bahwa saya memang sungguh-sungguh, tapi saya senang menjalankan amanah ini,” jawabnya sebagaimana dikutip BBC.