Tawa Bapak Buta dan Kekuatan Kata


Bapakbuta mengemis di pinggir jalan. Di sampingnya ia letakkan papan bertuliskan:

“Saya buta. Tolonglah Saya.”

Seharian itu ia hanya dapat sembilan ribu. Benar… sembilan ribu. Rupiah tentu saja, bukan Ringgit Malaysia (RM), apalagi dolar. Setiap hari ketika mengemis, jumlah yang didapatkannya hanya berkisar 8-10 ribu saja. Jarang sekali lebih dari itu.

Esoknya Pak Kiwir lewat di situ. Setelah memperhatikannya, Kiwir ijin kepada Bapak Buta untuk memperbaiki tulisan di papan. Pak Buta setuju. Kiwir mengambil papan tadi, mengganti tulisannya.

Sepeninggal Kiwir, Bapak Buta ramai didatangi orang. Seharian itu ia memperoleh tidak kurang dari 318 ribu. Rupiah, bukan RM.

Tentu saja Bapak Buta senang tak alang kepalang. Bagaimana mungkin, tiba-tiba penghasilannya meroket kayak saham ‘Blue Chips‘  sedang bullish di BEJ. Ia bertanya-tanya dalam hati, mengapa demikian. Tapi ia menduga, itu mungkin  berkat tulisan baru yang tertera di papan kecil di samping kaki kirinya yang sebelumnya ditukar Kiwir.

Belum lama ini saya mendapat kiriman video serupa dengan kisah di atas dari rekan Abuthalib, Video yang diunggah di Youtube itu dapat Anda saksikan di bawah ini, dengan judul “The Power of Words”.  Salah satu pelajaran penting yang bisa kita petik dari padanya adalah, ‘Change Your Words, Change Your World’.  Dalam bahasa kita, “Ubahlah kata-kata Anda, maka Anda akan mengubah dunia Anda.” Selamat menyaksikan.
Semula tulisan ini diunggah pada 8 April 2012, dan sehubungan dengan video di atas, maka saya menayangulangkannya pada 25 September 2013, dan mengubah judulnya seperti di atas).

Seorang motivator (Arvan Pradiansyah) pernah membawakan cerita serupa secara singkat di sebuah radio di Jakarta beberapa waktu silam. Kisah itu menginspirasi saya, dan ingin membagikannya kepada teman-teman fans Pak Kiwir.

Tulisan asli artikel ini pernah dipublikasikan di Catatan Facebook 9 Januari 2011.

Ringkas cerita, esoknya Pak Kiwir datang kembali ke tempat Bapak Buta. Mendengar suara jejak sepatu Kiwir, yang ujung depannya sudah mulai menganga dimakan usia, Bapak Buta gembira.

– “Pak, Bukankah Bapak yang kemarin datang dan mengganti tulisan di papan itu?” tanyanya kepada Kiwir.

+ Benar, jawab Kiwir.

– Sebenarnya apa yang Bapak tulis di situ, kok penghasilan saya tiba-tiba melonjak 3.500 prosen, alias 35 kali lipat?

+ Saya tulis begini, Pak:

“Hari ini Sangatlah Cerah; tapi Saya Tidak Bisa Melihatnya.”

– Tapi itu kan tidak seberapa beda dengan tulisan aslinya,“Saya Buta. Tolonglah Saya” ?

+ Iya, benar… Hanya sedikit beda. Tapi tahukah Bapak, juara dunia lari dan juara kedua hanya beda nol koma satu (0,1) detik saja? Atau bahkan mungkin kurang dari itu. Namun perbedaan itu membawa hadiah dan penghargaan yang sangat jauh selisihnya. Juara pertama bisa mendapat satu juta dolar, dan juara kedua mungkin hanya beberapa puluh ribu dolar.

Udara cerah, tapi saya tidak bisa melihat…

– Jadi, di mana masalahnya, Pak?

+ Bapak…Kata-kata yang Bapak tulis tidak salah, tapi tulisan itu cuma sekedar informasi. Maaf ya Pak, kata — atau lebih tepat frasa — “Saya Buta” itu terkesan dingin. Maaf ya Pak, frasa itu terbaca beku, tidak ada ‘ruh’ di situ. Semua orang tahu bahwa Bapak memang tuna netra… Tidak lebih. Sedangkan tulisan yang saya buat itu mengajak orang-orang yang lewat untuk bersyukur, bahwa hari ini cerah. Mereka kadang tidak sadar, dan berjalan sambil lalu, seolah take things for granted , bahwa ‘hari memang harus cerah”, atau selamanya hari memang cerah. Padahal hari yang cerah, matahari yang hangat itu kan sebuah nikmat, Pak.

–  Itu nikmat luar biasa yang patut disyukuri…Seumur-umur saya tidak pernah bisa melihatnya. Saya hanya dapat merasakannya.

+ Nah, begitulah… Kalimat pertama “Hari ini Sangatlah Cerah” bisa ‘mencubit’ mereka, menyadarkan yang membacanya.

– Jadi yang membaca seperti tersentak..Begitu?

+ Benar,Pak. Kayak geluduk disambar geledek.

– Lalu, bagaimana dengan kalimat kedua?

+ Kalimat “Tapi Saya Tidak Bisa Melihatnya”, itu persis seperti yang barusan Bapak bilang: memberi tahu mereka bahwa hanya mereka yang bisa melihatnya, Bapak sendiri tidak bisa. Bapak cuma merasakannya. Sel-sel syaraf di kulit Bapak menerima stimulus suhu hangat atau panasnya sengat matahari.

– Subhanallah.. Bapak, siapa namanya?

+ Saya Kiwir, Pak.

– Pak Kiwir ini bijak sekali, persis seperti Pak Misro, kawan saya yang dosen…

+ Oh, Bapak punya banyak teman rupanya…?

Obverse of a MYR 50 banknote.
Ringgit Malaysia – 50 RM

Alhamdulillah. Kawan saya ada yang ustadz, ada dosen di Paramadina, ada pramugari pesawat, banyak juga yang wartawan, ada yang punya PJTKI, ada yang pengusaha warung WBH, ada yang dibawa suaminya ke Belanda, ada yang punya Rumah Makan Sea Food di Pasar Festival, ada yang kerja di asuransi, ada yang pernah jadi figuran di sinetron. Apa lagi ya..? Wah, susah kalau harus disebut satu per satu…Yang jelas, malah ada yang jadi ustadz, banyak juga yang dokter, dan ada juga yang jadi penterjemah di Abudhabi…

+ Masha Allah…Diam-diam Bapak ini kaya rupanya.

– Yah begitulah. Banyak juga kawan saya yang janda… Boleh tuh, kalau Bapak punya teman duda, nanti kita jodohkan mereka…

+ Huahaha… You have a good sense of humor, Pak.

– Ya dong… Buta-buta begini, alhamdulillah saya sering tertawa kok. Mungkin saya lebih bahagia dari banyak orang yang melek lho… Tapi sebenarnya Anda lah yang kaya dan bijaksana.

+ Kenapa bilang begitu?

– Ya, Pak Kiwir kaya, karena Pak Kiwir mau memberi. Tidak harus uang, tapi pemberian pelajaran kepada saya tadi itu kan menunjukkan Pak Kiwir kaya dan bijaksana.

+ Bijaksana atau bijak sini, Pak? Hahaha…

– Huahahaha… Bijaksana aja deh. Bapak kaya hati, penuh rahmah… Anda kaya inovasi, kaya ide. Pak Kiwir tahu bagaimana ‘thinking out of the box’. Anda mengajak saya keluar dari ‘kotak berpikir’ yang sempit. Yang membatasi. Mengungkung.

+ Saya pikir itu sudah keharusan kita Pak. Kita memang mesti berpikir positif selalu. Tapi banyak dari kita ini yang harus disadarkan, dibuat ‘aware‘ lebih dulu baru pikiran positifnya muncul. Ada juga yang memerlukan ‘pemaksa’, yakni keadaan yang ‘mendesak’, seperti ketika dalam krisis, agar kita menjadi makin inovatif, makin kreatif.

– Betul. Seratus untuk Pak Kiwir. Tulisan Anda itu berhasil membuat ‘aware‘ orang-orang yang memberi pada saya kemarin itu, yang jumlahnya mencapai 318 ribu Ringgit, eh, maksud saya rupiah.

+ Ah, Bapak ini kok ngomong Ringgit melulu, nyindir ya? Mentang-mentang Ringgit Malaysia lagi naik daun?

– Iya ya… Habis tim kita kalah agregat 4-2 … Saya jadi ikut gondok, Pak. Itu sinar laser yang dipakai di Bukit Jalil, mestinya diberikan pada saya saja, bisa saya pakai untuk menuntun jalan di gelap malam…

– Lho, memangnya dengan sinar laser, apa Bapak jadi bisa melihat?

+ Enggak sih.. Saya cuma becanda. Tapi kayaknya keren ya, tuh sinar laser. Katanya sekarang banyak operasi mata pakai sinar laser.

– Betul Pak. Hebat, tahu aja Bapak ini? Baca, eeeh.. maksud saya suka dibacakan majalah Tempo oleh keluarga ya Pak?

+ Tidak. Saya suka Internetan… huahaha…

– Hahaha…Bapak ini becanda melulu.

“Memberi” itu suatu nikmat luar biasa

+ Back to business... Tadi Pak Kiwir bicara tentang berpikir positif, awareness dan sebuah “pemaksa”. Saya paham. Memang banyak orang membutuhkan ‘pemicu’ atau pengingat agar berpikir positif. Pertama, kesadaran dalam benak, awareness, kata orang Inggris. Begitu kan?

– Iya benar.

+ Orang perlu selalu aware — sadar diri, dengan kata lain “melek’ jiwanya,ya kan? — sadar diri bahwa semua yang kita terima, sesedih apa pun, sepahit apa pun adalah sebuah anugerah. Top, benar… Pak Kiwir memang te-o-pe be-ge-te… Maksud saya, top banget: Bapak telah mengajarkan orang-orang itu agar “mengasihi tanpa rasa sesal” — kebetulan saya yang menerima ‘kasih’ mereka dan muncul dalam bentuk rupiah.

– Benar Pak.

+ Selain itu, Pak Kiwir mengajarkan kepada para dermawan yang lewat di sini, bahwa ketika mereka memberi, sebenarnya mereka mendapatkan kenikmatan yang tidak diperoleh jika mereka “diam” saja. Waktu membaca tulisan itu, seolah mereka menjadi sadar, bahwa mereka mendapatkan kenikmatan pertama, berupa hari cerah, yang tidak dirasakan seorang buta seperti saya. Kemudian, ketika mereka merogoh kantong, mengeluarkan pemberiannya untuk saya, sesungguhnya mereka menerima sebuah ‘kenikmatan’ lain dalam tindakan ‘memberi’ itu — tidak peduli sekecil apa pun nilai rupiahnya. Sedangkan mereka yang membaca, tapi diam saja, tidak akan menerima nikmatnya rasa ‘memberi’. Ya kan?

– Benar Pak. Kata Imam Ali Zainal Abidin as, cucu Nabi saw, dalam doanya. “Ya Allah, bagaimana aku harus bersyukur kepada-Mu, sedangkan rasa bersyukur itu saja sudah mengharuskan aku bersyukur lagi?”

+ Jadi, rasa bersyukur atas A, menimbulkan kenikmatan B, yang juga harus disyukuri? Begitu?

– Iya Pak… Betapa banyak kenikmatan yang kita terima dari Tuhan di dunia ini, sehingga harus sangat disyukuri; kalau tidak, maka adzab Allah kelak akan mengancam mereka yang kafir, karena ‘tidak bersyukur’ itu artinya ingkar. Dalam bahasa agama disebut ‘kafir‘.

+ Oh iya, saya jadi ingat. Sebuah hadis dari seorang Imam Ahlul Bait, saya lupa yang mana, mengingatkan bahwa, segala penderitaan di dunia ini, sepahit apa pun, segetir apa pun, masih belum seujung jari sengsaranya siksa di akhirat kelak.

– Benar Pak.

+ Itu sebabnya, saya merasa selalu dalam kenikmatan. Meski saya tuna netra begini, saya tidak tuna iman… Alhamdulillah. Saya hari ini malah dapat nikmat luar biasa besar. Rejeki saya ketemu Pak Kiwir lebih besar nikmatnya dari 318 ribu rupiah.

– Rupiah atau Ringgit Pak? hahaha… Juga sebaliknya, Pak, senikmat-nikmat kenikmatan di dunia ini, belum ada apa-apanya dibanding nikmatnya surga kelak.

+ Masalahnya kadang kita suka lupa Pak, ketika mendapatkan 100 alasan untuk menangis, sebenarnya seseorang punya lima ratus atau bahkan seribu alasan untuk tersenyum. Tapi anehnya, yang seribu tadi sering tidak kita sadari ya Pak.

– Benar, Pak. Oh ya, saya harus pergi dulu Pak…Insya Allah kita ketemu lagi ya…

+ Okay Pak Kiwir. Terima kasih banyak. Hodza hafez…

– Lho, Bapak kok bisa bahasa Persia?

+ Belajar dong Pak. Saya ini tuna netra, tapi tidak tuna bahasa dan tidak tuna usaha… hahaha..

– Hahaha.. Tapi omong-omong tulisan awal yang sebelum saya ganti itu, siapa yang membuatkan, Pak?

+ Oh, itu… Ada, yang membantu menuliskannya tempo hari adalah teman saya yang lain. Dia juga buta…

– Ooooh…

—-

Baca juga:

3 thoughts on “Tawa Bapak Buta dan Kekuatan Kata

  1. “Ya Allah, bagaimana aku harus bersyukur kepada-Mu, sedangkan rasa bersyukur itu saja sudah mengharuskan aku bersyukur lagi?” – alangkah indahnya

    Fa bi ayyi aalaaaaa-i rabbikumaa tukadzibaan.

    BTW, menurut buku “Brain that changes itself,” we see not with our eyes but with our brain. Jadi, Paul Bch-y-Rita menemukan alat untuk membuat mereka yang buta dapat “melihat.” Buku ini amat menarik – bagi saya – terutama karena sekarang saya sedang “berhadapan” dengan penderita stroke (kambuhan; 4 tahun yang lalu pernah kena, lalu sembuh dan beraktivitas normal, tapi terkesan terlalu memaksakan diri, sehingga kambuh 31 Desember 2011. Mulai kemarin saya “berinteraksi’ dg beliau). It’s a worth reading book! Pak Kiwir mungkin sudah pernah baca juga, ya.

    Hal jazaaa-ul ihsaani illa-l- ihsaanu

    Maaf, tulisan saya melincat-loncat, ya. Sedang banyak macam-macam di kepala, berjejal dan berdesakan minta keluar sekaligus. Jadi, saatnya saya berhenti. Salam dan terima kasih

    1. Terima kasih, Teteh Mieke.
      Komentar yang menarik dan mencerahkan.
      Saya belum baca buku itu, tapi baru punya buku John Medina’s “Brain Rules” (belum sempat membacanya).
      Jazaakillah khairan katsieran.

Silakan Beri Komentar

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s