Soal Sampang (dan FPI) – Komunikasi dalam Rekonsiliasi


Ada persamaan insiden Kendal, Jawa Tengah yang melibatkan Front Pembela Islam (FPI) dengan kasus Sampang. Meski beda konteksnya, tetapi keduanya berlatarbelakang agama. Selain itu, keduanya juga melibatkan aksi kekerasan.

Pemimpin FPI, Habib Rizieq Syihab
Pemimpin FPI, Habib Rizieq Syihab

Masalah FPI, yang kini meruncing dengan adanya polemik antara Presiden FPI Habib Muhammad Rizieq Syihab MA dengan Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), masih harus menunggu penyelesaian yang lebih mendasar, sementara kasus Sampang, alhamdulillah, sudah menunjukkan tanda-tanda positif.

Rekonsiliasi memang bukan soal mudah, tetapi bukan sesuatu yang mustahil, asalkan beberapa syarat dipenuhi. Baik pada kasus Syiah Sampang ataupun kasus FPI, pondasi utamanya adalah komunikasi yang baik.

Para pakar menyarankan bahwa, dalam penyelesaian sebuah konflik, maka komunikasi yang dijalin antara pihak yang berkepentingan mesti berlangsung dua-arah (two-way communication), menjunjung azas praduga tak bersalah, serta mengutamakan dialog, dan bukan sekadar ‘advokasi’ yang sering bias.

Tulisan ini awalnya ditayangkan pada portal ‘Inilah.Com’, Kamis 25 Juli 2013.

Pakar seperti Allan Sillars, misalnya, menyarankan bahwa, dalam penyelesaian konflik, khususnya yang menyangkut hubungan komunikasi antar-pribadi yang bertikai, terdapat tiga pilihan strategi yang dapat dilakukan.

Pilihan pertama adalah strategi untuk menghindari atau meminimalkan konflik lewat avoidance behaviors.Kedua, strategi competitive behaviors yang bertujuan agar menang dalam konflik. Dan ketiga, adalah strategi yang dipilih mereka yang ingin menciptakan hasil yang sama-sama positif bagi kedua pihak.

Kebijakan ketiga yang merupakan cooperative behaviors inilah yang kiranya pas untuk resolusi konflik menyangkut FPI dan Syiah Sampang, sebab ujungnya adalah komunikasi yang positif dan terbuka — sebagaimana terjadi pada dialog yang etis.

Bila ini memang menjadi pilihan, maka, agar tidak terperangkap pada dua pendekatan yang pertama (avodiance dan competitive behaviors), semua pihak mesti menghindari untuk bicara secara kasar atau negatif. Tim rekonsiliasi sendiri mesti menekankan agar semua pihak menyadari perlunya pendekatan kooperatif itu, dengan melakukan dua tahap utama: penyampaian analisa secara komprehensif dan penyampaikan pesan-pesan ‘membangun damai’ (conciliatory remarks) oleh semua pihak.

Menurut Sillars, dalam penyampaikan tahap analisa itu, ada beberapa hal yang perlu dilaksanakan. Pertama, membeberkan fakta dan duduk perkara secara alami tapi non-evaluative, tanpa-tunjuk hidung (non-blaming).

Warga Sampang yang terusir - setelah rumah mereka dibakar hanya karena beda aliran: komunikasi yang salah?
Warga Sampang yang terusir – setelah rumah mereka dibakar hanya karena beda aliran: komunikasi yang salah?

Kedua, membuka semua informasi yang semula ‘tersembunyi’ (nonobservable), misalnya mengenai pikiran-pikiran , perasaan, perilaku atau pengalaman mereka sendiri yang belum sempat diamati pihak lain.

Mirip dengan di atas, pada langkah berikutnya, pihak yang memoderasi selayaknya mendorong agar semua pihak menggungkapkan informasi tentang perasaan, pikiran, perilaku dan pengalaman pihak lain (lawannya), yang selama ini belum pernah diungkapkan.

Terakhir tapi tidak kalah penting, adalah agar pihak pendamai mengedepankan pertanyaan-pertanyaan ramah (non-hostile) agar masing-masing pihak mengajukan kritik kepada diri sendiri.

Bila semua langkah di atas telah berjalan, berikutnya kedua pihak yang bertikai diminta menjalankan langkah guna ”membangun damai’ (conciliatory remarks), dan menghindari munculnya sikap-sikap provokatif. Lewat penciptaan perdamaian itu, masing-masing pihak menunjukkan adanya sikap empati, kesiapan untuk melakukan konsesi, dan menerima pertanggungjawaban.

Dalam menunjukkan sikap empati, semua pihak memperlihatkan pemahaman atau penerimaan terhadap pihak lain, termasuk mengenai tujuan-tujuan, dan keinginan pihak lain.

Selain itu, mereka juga harus mengedepankan niat baik untuk konsesi, lewat pernyataan yang mengungkapkan itikad baik untuk berubah, menunjukkan fleksibilitas, dan mempertimbangkan untuk menerima solusi yang ada.

Terakhir, para pihak yang terlibat konflik mesti menerima pertanggung-jawaban, melalui pernyataan sebuah sikap jantan berkaitan dengan penyebab kerugian yang terjadi dalam konflik yang telah berlangsung.

Semua yang di atas memang tidak mudah. Tim rekonsilasi mesti ingat bahwa, dalam konflik biasanya orang cenderung menganggap bahwa pihak lain lah yang menyebabkan terjadinya konflik karena maksud buruk, tidak punya pertimbangan, atau persaingan. Di lain pihak, orang juga cenderung melihat perilakunya sendiri merupakan reaksi terhadap provokasi (yang dilakukan) pihak lain.

Itu sebabnya, dalam mengundang pertanggungjawaban setiap pihak, semua yang terlibat mesti menghindari anggapan-anggapan yang merusak upaya resolusi konflik.

Dalam konflik, lazimnya sikap inilah yang akan dilakukan orang: Jika Anda menganggap bahwa Anda yang akan dipersalahkan, maka Anda mungkin akan lebih bersikap kooperatif, tetapi bila Anda berasumsi bahwa pihak lawanlah yang bertanggung-jawab maka Anda akan cenderung kompetitif. Demikian pula, bila Anda menganggap bahwa pihak lawan memilik sifat atau tabiat yang negatif, maka Anda akan cenderung tidak kooperatif.

Yang jelas, strategi yang dipilih akan menentukan hasil akhir resolusi konflik. Strategi kompetitif akan menyebabkan eskalasi konflik, dan menghasilkan solusi yang jauh dari memuaskan. Sedangkan strategi kooperatif yang kita bahas di atas mendukung munculnya solusi yang integratif.

Walhasil, dalam kedua konflik berlatarbelakang kekerasan atas nama agama itu, kiranya strategi kooperatif itu penting bagi persatuan bangsa dalam koridor Negara Kesatuan RI.

Silakan Beri Komentar

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s