Megawati Sulit Jadi Presiden?


Sebelum Komisi Pemberantas Korupsi menahan politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Emir Moeis, Kamis (11 Juli) lalu, boleh jadi banyak yang menduga bahwa partai itu punya peluang untuk memenangi Pemilu 2014.

Dibandingkan beberapa partai politik (parpol) lain, khususnya yang citranya sempat dirusakkan oleh kasus-kasus korupsi belakangan ini, wajar bila pengamat menganggap bahwa PDIP, di samping Golkar, dapat mendapuk suara mayoritas pemilih.

Prabowo memasak bersama Megawati:  tergantung bagaimana persepsi publik
Prabowo memasak bersama Megawati: tergantung bagaimana persepsi publik

Tetapi kini citra PDI-P bisa turut terganggu akibat ditahannya Ketua Komisi XI DPR itu. Sebab kita tahu bahwa dari pandangan komunikasi, sesungguhnya di antara penyebab utama rusaknya reputasi organisasi seperti parpol adalah munculnya berbagai kasus korupsi yang menimpa sejumlah kader mereka, sebagaimana terjadi pada Partai Demokrat dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS).

Akan halnya dengan PDIP, sejauh ini sebenarnya punya peluang besar makin membesarkan namanya, khususnya berkat kemenangan Joko Widodo dalam pilkada Gubernur DKI, September lalu. Semua tahu bahwa Jokowi dan pasangannya, Basuki Tjahja Purnama, dicalonkan PDIP dan Partai Gerindra. Keberhasilan Jokowi itu tampaknya berkaitan erat dengan persepsi publik yang beranggapan bahwa ia seorang peduli pada rakyat, dan sederhana sebagaimana rakyat banyak.

Setiap pemimpin parpol agaknya mesti sadar bahwa terdapat empat jenis persepsi publik terhadap karakter kandidat yang bersaing pada setiap pemilu, yakni integritas, empati, kompetensi dan leadership.

Artikel ini aslinya berjudul “Megawati dan Persepsi Publik bagi PDIP,” dipublikasikan portal media ‘Inilah.Com’, Jumat 12 Juli 2013.

Sebuah eksperimen belakangan ini menunjukkan, bahwa terdapat perbedaan persepsi publik terhadap berbagai jenis parpol di Indonesia, baik terhadap parpol (yang dianggap sebagai) ‘parpol agama’ (PAN, PKS, PKB), ‘parpol nasionalis’ seperti PDI-P (dan PNBK dulu), dan ‘parpol pragmatis’ atau yang ‘pro- pembangunan’ seperti Demokrat, Hanura, dan Gerindra.

Bagi partai agama, eksperimen yang ada menunjukkan bahwa persepsi yang paling menonjol adalah ‘kompetensi’, bukan ‘moralitas’ atau pun ‘integritas’ (sebagaimana yang pernah dijadikan bahan ‘jualan’ PKS dulu). Bila kompetensi dimaknai sebagai profesionalitas dari sisi manajerial, maka selayaknya parpol itu tidak perlu melepaskan label agama (seperti pernah dilakukan PAN dulu), tetapi perlu menunjukkan kompetensinya secara lebih tegas.

Beda halnya untuk partai nasionalis kayak PDI-P, persepsi publik yang paling menonjol adalah terhadap karakter ’empati’ sang calon. Itu sebabnya saat pilkada DKI tempo hari, tokoh seperti Jokowi tidak perlu menjual citra bahwa ia adalah seorang yang ‘pintar’ atau punya leadership, karena yang penting adalah keberhasilannya mengedepankan ’empati’ bahwa dia seorang yang peduli pada rakyat.

Sebagai partai wong cilik, tampaknya PDIP punya potensi meningkatkan terus citra ’empati’ itu, siapa pun yang kelak menjadi calon presiden yang diusungnya.

Namun demikian, menjelang Pemilu 2014 nanti agaknya PDIP mesti bertindak lebih arif dan smart. Partai yang dipimpin Megawati Soekarnoputri itu mesti melakukan langkah-langkah yang lebih strategis, jika ingin mengantongi lebih banyak suara. Di antara langkah yang penting adalah hendaknya Megawati tidak memaksakan dirinya sebagai calon presiden (capres).

Ada beberapa alasan. Pertama, karena sulit kiranya bagi semua tokoh yang pernah gagal sebagai capres pada pemilu lalu untuk memenangi pemilihan presiden (pilpres) pada 2014.

Studi Saiful Mujani Research & Consulting (SMRC), Februari 2013 lalu:  Golkar dan PDIP unggul
Studi Saiful Mujani Research & Consulting (SMRC), Februari 2013 lalu: Golkar dan PDIP unggul

Sejarah mencatat, dalam setiap pemilu, pertimbangan masyarakat adalah pada siapa tokoh ’yang dipersepsi’ paling menarik dan pas menjadi presiden, baik itu berdasarkan pertimbangan akal (rasional) atau pun secara emosional. Pemilih emosional mungkin saja tetap mengelu-elukan putri Bung Karno itu sebagai pemimpin negeri ini, tetapi jumlahnya bisa diduga tidak akan melebihi jumlah pemilih PDIP.

Selain itu, sebagian mereka mungkin juga sudah makin kritis, sehingga bergeser dari golongan pemilih emosional kepada pemilih rasional – khususnya mengingat pertimbangan perubahan demografi penduduk, ketika para pemilih tua (yang sangat Soekarnois) telah wafat, digantikan tumbuhnya jutaan pemilih muda yang baru pertama kali ikut dalam pemilu.

Otomatis para pemilih muda itu sulit diharapkan memilih secara emosional, karena mereka tidak punya ikatan kecintaan ’emotif’ kepada keluarga Bung Karno sebagaimana orang tua atau kakek-nenek mereka. Di samping itu, para pemilih muda juga tidak pernah melihat nama Megawati di media sosial seperti Twitter dan Facebook, yang belakangan justru dimanfaatkan oleh Presiden SBY.

Persepsi publik di dalam otak-lah salah satu yang penting untuk menentukan siapa calon yang akan dipilih rakyat.
Persepsi publik di dalam otak-lah salah satu yang penting untuk menentukan siapa calon yang akan dipilih rakyat.

Dengan laju pertumbuhan penduduk 1,18 % per tahun dan angka harapan hidup 70,9 tahun (data BPS, 2010), maka pada 2015 diperkirakan ada 8,4 juta pemuda berusia 18-19, dan sekitar 20,9 juta pemuda beruumur 20-24, sehingga total berjumlah 29,3 juta orang berusia 18-24 pada 2015.

Bila memperhitungkan laju pertumbuhan penduduk tersebut, maka secara kasar dapat diperkirakan pada 2014 kita punya sekitar 28,9 juta penduduk usia 18-24 – yang sebagian besar di antaranya merupakan pemilih pertama pada tahun 2014. Lima tahun lalu, pada 2009, sebagian besar mereka — kecuali yang berumur di atas 23 tahun — belum ikut memilih.

Adapun para pemilih yang mendasarkan pertimbangannya secara rasional diduga enggan memilih Megawati atau Jusuf Kalla (JK), dua calon presiden yang gagal dalam pilpres 2009 itu.

Kita tahu bahwa pada pilpres 2009 itu pasangan Megawati-Prabowo memperoleh 20,79% suara, dan JK-Wiranto mengantongi 12,41% suara. Sehingga bila digabungkan, kedua perolehan suara dua pasang capres-cawapres itu masih jauh di bawah SBY-Budiono yang meraih suara lebih dari 60%.

Kita belum tahu bagaimana nanti bila Megawati, JK, Wiranto dan Prabowo maju secara sendiri-sendiri sebagai capres, dan memilih pasangan calon wakil presidennya di luar mereka. Yang jelas, sesungguhnya perolehan suara Megawati pada pilpres 2009 itu di bawah perolehannya pada pilpres 2004, ketika ia berpasangan dengan Hasyim Muzadi dan memperoleh 39,38 % suara, sementara pesaingnya, SBY-JK melesat dengan perolehan suara lebih dari 60 prosen.

Jokowi di sebuah pasar:  empati kepada rakyat
Jokowi di sebuah pasar: empati kepada rakyat

Dari penurunan angka yang diperolehnya pada dua pilpres itu saja, seharusnya Megawati sudah bisa mengambil pelajaran bahwa kalau para pemilih PDIP saja belum tentu setuju ia sebagai presiden, apatah lagi mereka yang tidak memilih PDIP.

Dengan hadirnya belasan parpol pada pemilu 2014 nanti, kita yakin bahwa suara setiap partai makin terpecah, sehingga persaingan antar-partai akan makin ketat.

Walhasil, bila PDIP ingin lebih moncer lagi pada Pemilu mendatang, tampaknya Megawati mesti legowo untuk mencalonkan tokoh lain di luar dirinya. Boleh jadi tokoh itu adalah kader dari luar, atau mungkin kader PDIP sendiri. Malah, jangan-jangan orang seperti Jokowi barangkali bisa menjadi pilihan yang tidak kalah menarik. Tapi siapkah Ibu Mega?

Baca juga:

One thought on “Megawati Sulit Jadi Presiden?

Silakan Beri Komentar

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s