Wafatnya Ustadz Jeffry Al Buchori (Uje) setidaknya memberi tiga pelajaran penting bagi banyak orang. Pelajaran pertama adalah bahwa, jangan pernah mencemooh atau menganggap rendah orang lain, meski ia seorang pendosa.

Sebab sang pendosa pada akhirnya bisa jadi justru lebih baik dari yang menghina. Sebab lebih mulia, dan jauh lebih dicintai Tuhan, seorang ‘bekas pendosa’ yang bertaubat ketimbang ‘mantan orang baik’. Kemudian, sesiapa yang kembali ke jalan-Nya lalu tetap istiqamah di jalan itu dapat meraih ‘akhir hidup yang indah’ (khusnul khatimah), dan terhindarkan dari akhir yang buruk (su’ul khatimah).
Itu dibuktikan lewat perjalanan hidup Uje. Bekas penyanyi malam yang sempat terperosok pada penyalahgunaan narkoba itu nyatanya bisa bangkit dan malah berbalik 180 derajat, menjadi pemuda yang saleh, penyeru (da’i) kepada kebaikan, dan teladan bagi jutaan kaum muda.
Dalam batas tertentu, perjalanan hidup Uje itu mengingatkan kita pada Umar bin Khattab (ra). Sahabat Nabi saw itu awalnya sangat gencar menentang Islam, tetapi belakangan ia dikenal sebagai salah satu khalifah yang tegas.
Oleh Syafiq Basri Assegaff *) Tulisan ini aslinya ditayangkan dalam portal media, “Inilah.Com”, Kamis, 2 Mei 2013
Uje mengingatkan kita bahwa sejatinya memang tidak ada manusia yang terbebas dari dosa (ma’shum), kecuali Nabi saw dan keluarga (Ahlul Bait)-nya saja yang suci, taahir (Q.S.33: 33). Namun, meski disucikan Tuhan, sepanjang hidupnya Nabi dan keluarganya tetap memberi suri tauladan dalam amal dan ilmu terbaik bagi umat Muslimin.
Akan halnya Uje, ramainya orang yang menangisi kepergiannya membuktikan bahwa Ustadz Gaul itu manusia yang dicintai banyak orang. Dan hanya orang baik saja yang mendapatkan cinta orang banyak. “Hiduplah di tengah masyarakat dengan akhlak mulia sehingga ketika engkau meninggal orang menangisi (menyesali) kepergianmu, dan saat engkau hidup mereka berharap dekat denganmu,” kata Imam Ali bin Abithalib (as).
Cinta orang banyak itu seperti mewakili Tuhan di bumi, seperti membuktikan kepada Uje hadis yang bilang, ‘bila engkau mendekati-Ku selangkah maka Aku akan mendekatimu sehasta, dan bila kau mendekat pada-Ku dengan berjalan maka Aku akan berlari menuju padamu.’

Terkait yang pertama, pelajaran kedua Uje adalah tingkah-lakunya belakangan ini yang menyadarkan kita bahwa ustadz seperti dirinya juga manusia yang juga punya kelemahan, dan perlu mendapat peringatan dari orang lain. Beberapa hari sebelum kepergiannya Uje sempat bicara pada penyanyi religi Opick tentang keinginannya menerima ceramah orang lain. “Kalau saya terus yang ceramah, terus siapa dong yang mau ceramahin saya,” tutur Opick menirukan ucapan Uje.
Uje rupanya sadar benar bahwa sebagai hamba Tuhan, setiap orang bisa terjebak dosa karena bermaksiat kepada Tuhan yang tak putus menguji setiap hamba-Nya, sehingga perlu ada yang mengingatkan. Jangankan ustadz, bahkan para nabi juga menerima ujian Tuhan.
Nabi Ibrahim, misalnya, menerima ujian Tuhan bahkan setelah ia berdakwah selama 100 tahun. Lewat perintah-Nya Tuhan mengundang Ibrahim untuk menyembelih anak yang paling dicintainya, Ismail.
Sebagai nabi monoteisme di dalam sebuah sistem yang opresif, ujian Ibrahim waktu itu adalah agar ia terus berupaya untuk mengunggah idealisme Tauhid, bertempur dalam Perang Suci konfrontasi dengan sukunya yang bodoh, menciptakan kesadaran dan cinta pada kedamaian bagi masyarakat yang terbiasa dalam penekanan penguasa yang menindas, dan mewujudkan penyerahan total.
Itu dulu. Kini pesan Uje kepada Opick itu bagaikan menghentakkan semua orang bahwa, jangan pernah lengah, jangan berpikir engkau seorang pahlawan atau suci, sehingga bebas dari kelemahan. Kemenangan besar selama seratus tahun yang diperoleh Ibrahim saja tidak boleh menjadikannya beranggapan dirinya ‘terbebas dari ancaman’, apalagi kita manusia biasa.
Uje mengingatkan kita, bahwa manusia tidak pernah imun dari pengaruh nafsu dan setan, bahwa masih banyak jeratan kemegahan artifisial yang bisa membuta-tulikan orang. Sebagai da’i kondang, Uje merasa tidak boleh terlalu yakin dan bangga diri, sebab selalu ada kemungkinan untuk ‘jatuh’ pada setiap puncak; dan kejatuhan dari puncak yang tinggi bisa sangat tragis dan mengancurkan.
Inspirasi ketiga dari Uje adalah bahwa, dakwah yang mengandalkan kekerasan sama sekali tidak akan berhasil, karena cinta dan pendekatan damai sajalah yang justru membuat orang terpengaruh dan bisa berubah.

Di sebuah stasiun TV, Uje menceritakan bagaimana ia mengobrak-abrik ruangan diskotik di dekat rumahnya. Saat itu Uje sangat keras. “Gak boleh lihat ada orang main judi, langsung kita datengin dan kita ajak ribut,” kata Uje pada acara Just Alvin tahun 2009 lalu.
Tetapi ia kemudian menyadari, dakwah lewat kekerasan itu sama sekali tak berguna , meski harus diakuinya bahwa kekerasan-lah yang awalnya membawa jalan hidayah kepada Uje. Ketika itu, ia sempat membela diri bahwa, ‘anarkis fisiknya itu lebih baik ketimbang anarkis moral yang dikritiknya.’
Tetapi setelah itu, “Lama-lama saya berpikir bahwa cara dakwah seperti ini bukan makin dekat, justru (membuat orang) makin jauh,” kata Uje. Dan ia mengingatkan kita pada pesan guru sufi asal Srilanka Bawa Muhaiyadeen, “Belas kasihanlah yang menaklukan. Kesatuanlah yang menaklukan. Pedang tidak menaklukan, cinta kasih lebih tajam daripada pedang.”

Uje rupanya melihat bahwa salah satu sumber masalah kita adalah diri kita sendiri, karena sering salah menempatkan niat di hati, dan memandang dari sudut sempit, mencari pembenaran untuk melindungi diri dan prasangka, menjadi cemas, menafikan kehadiran orang lain, dan terjebak pada keyakinan yang belum teruji serta harapan-harapan diri yang menggelembung. Uje rupanya tak mau begitu. Ia ingin mengajari kita agar dapat memecahkan masalah bangsa kita dengan baik, dan bukan menjadikan diri kita sebagai bagian dari masalah itu.
Alhasil, tampak bahwa sesungguhnya semua inspirasi Uje bermuara pada tujuan Islam, yang bermaksud menjadikan pemeluknya sebagai penyayang bagi seluruh alam semesta – rahmatan lil ‘alamiin, sebagaimana dicanangkan dalam misi kenabian Rasulullah SAW.
Ustadz Aje, Anda sudah jalan duluan, kami segera menyusul…
*) Syafiq Basri Assegaff: pengajar komunikasi di Universitas Paramadina, dan The London School of Public Relations, Jakarta.
Baca juga:
- 40 Tahun Bermaksiat: Kisah Zaman Nabi Musa (as).
- Doa Agar Hajat Terkabul: klik di sini.
- Siaplah Menangis untuk Doa ini: Doa Kumail.
- Ketika Seorang Arab Menantang Nabi SAW: kisah peristiwa Ghadir Khumm.
tulisan ini mengena banget dihati saya—saya bukan orang suci–kekotoran masa lalu menjadi batu loncatan bagi seekor “kodok” untuk menjapatkan batu yang lebih baik-sementara ular disisi saya yang semula mengatakan saya pendosa kini sama telah berubah menjadi kodok pendosa–sungguh luar biasa tulisan ini, izin copas
Syukurlah bila mengena. Pelajaran dari UJE memang penting untuk kita semua. Terima kasih untuk menyebarkannya lagi lewat copy & paste.
siyappp pa– nice blog