Berbagai kasus korupsi belakangan ini menunjukkan kita krisis cinta pemimpin. Rakyat di negara manapun ingin pemimpin mereka menjaga kepercayaan dan mengabdi pada kepentingan rakyat.
Orang Arab punya pepatah, “Pemimpin suatu kaum itu adalah orang yang melayani mereka.” Orang Inggris bilang, pegawai negeri itu pelayan masyarakat (civil servant).

Sebenarnya menjadi pemimpin yang melayani rakyat itu mudah. Ia tak harus terlalu pandai dengan sederet gelar dan tak perlu jago berorasi apalagi bersilat lidah. Kuncinya, memimpin secara adil dengan hati yang penuh cinta.
Secara filosofis, cinta itu sari agama. Baik diingat bahwa Islam mendefinisikan diri sebagai ad-dien, yang intinya adalah mengenal Tuhan atau ma’rifat- ullah. Maka, jika ingin mengenal Tuhan, jalannya adalah melalui budi pekerti alias akhlak, yang kemudian dibuktikan lewat silah ar-rahim.
Tulisan ini aslinya berjudul “Memimpin dengan Cinta,” dimuat pada harian Republika, Sabtu, 16 Maret 2013, halaman 4.
Biasa kita kenal dengan `silaturahim‘, sesungguhnya kata itu bukan sekadar mengunjungi kerabat, melainkan menghubungkan tali kasih sayang. Dan, itu berarti memasukkan rasa bahagia di hati orang lain. Makna silaturahim mengandung unsur `menghubungkan‘ tali antara kita dan yang lain.
Petunjuk dalam hadis Nabi SAW menegaskan, siapa pun yang menjalankan agamanya dengan baik, mesti menumbuhkan cinta kepada sesama dengan cara membahagiakannya. Dan bagi pemimpin, artinya ia mengembangkan cinta lewat pengabdiannya kepada rak yat sebagai bakti kepada Allah SWT.

Soalnya, memang gagasan tentang ke bahagiaan sangat terkait dengan cinta. Karena cinta tak lain adalah sumber dari keinginan untuk memberikan kebaikan –yang mendatangkan kebahagiaan — kepada yang dicintai.
Merujuk pada yang pernah dikatakan Dr Haidar Bagir dalam sebuah surat kabar nasional (12 Oktober 2008), kita dapat menyatakan bahwa `memberi‘ dan `memberikan kebahagiaan‘ adalah hakikat dari cinta itu sendiri. Masuk akal, sebab saat Anda memberi, berarti Anda mengurangi apa yang Anda miliki untuk diserahkan kepada orang lain.
Memang, mencintai adalah sebuah prinsip menempatkan kebutuhan kita di bawah kepentingan orang yang kita cintai. Terlalu banyak perintah agama dalam soal ini. Di antaranya adalah apa yang ditulis dalam Surah al-Hasyr (ayat 9), “… dan mereka mengutamakan orang lain di atas diri mereka sendiri, meski mereka dalam kesusahan….” Kemudian, Nabi SAW juga sangat menekankan kepedulian kita terhadap masalah orang lain.
Yang perlu dicatat adalah bahwa cinta, baik antara pemimpin dan rakyat maupun sesama kita semua, pada esensinya hanya ditujukan kepada Tuhan dan apa pun yang berkaitan dengan ketuhanan. Inilah bentuk tertinggi cinta.
Itu karena Kekasih Sejati adalah Tuhan. Maka, ketika manusia kehilangan Kekasih Sejatinya, ia secara keliru bakal mengadopsi objek lain untuk dicintai (sering kali secara berlebihan) seperti anak, harta, status, atau segala hal keduniaan lainnya. Dan, itu bahaya karena sabda Nabi SAW, “Cinta dunia itu sumber dari segala dosa.”
Musuh Tuhan
Kita bukannya dilarang mencintai keluarga, harta, dan lainnya, melainkan hubungan fana dengan mereka itu hanya boleh sebagai perantara bagi sebuah `perjalanan mulia’ menuju kecintaan Ilahiyah yang baka. Sebab, semua jenis hubungan atau cinta, selain cinta kepada-Nya, hanyalah simbolik dan imajiner belaka. Karena, hanya Dia-lah Eksistensi Absolut dan Realitas Paling Akhir (Ultimate Reality).
Nabi SAW dan para khalifah, di antaranya Abubakar as-Shiddiq RA, Umar bin Khattab RA, dan Ali bin Abi Thalib RA mengajarkan cinta kepada Tuhan melalui kecintaan mereka kepada rakyat. Khalifah Umar bin Khattab, misalnya, sangat memperhatikan keamanan dan ketertiban masyarakatnya. Umar bahkan blusukan masuk-keluar pasar dan menegur pedagang yang curang.
Demikian pula halnya dengan Ali bin Abi Thalib. Menurut sejarawan Kristen Lebanon George Jordac, sebagai penguasa, hampir seluruh hidup Khalifah Ali dipenuhi penderitaan karena ia sangat peduli akan hak-hak rakyatnya. “Hatinya tenggelam dalam banjir air mata derita insan,” tulis Jordac. “Pada siang hari Ali sibuk menegakkan kebenaran dan keadilan, malamnya ia sering menangisi kepedihan umat.”
Dalam buku Nahjul Balaghah, Ali mengatakan, hati penguasa harus selalu menyayangi rakyatnya. “Jangan berdiri di atas mereka seperti hewan rakus yang ingin menerkam mereka,” kata Ali. Berbuatlah adil karena Allah, dengan (cara) bertindak adil kepada rakyatmu, meskipun itu bertentangan dengan kepentinganmu.
[Ada tambahan di sini yang sayangnya terpotong pada tulisan yang dimuat di Republika, yakni sebagai berikut: “Jika kamu tidak berbuat adil, kamu menjadi penindas. Dan bila kamu menindas makhluk Allah, bukan saja mahkluk-Nya, tetapi Allah pun akan menjadi musuhmu,” tambah Ali.]

Pasca syahidnya Ali (pada 40 H), pemerintah Islam beralih dari sistem khilafah yang memuliakan hak-hak rakyat pada sistem kerajaan yang menghapusnya. Sepeninggal Ali, catatan sejarah Islam hampir selalu dipenuhi praktik penguasa yang mengkhianati hak-hak rakyat.
Terakhir, bagi para pemimpin yang tak ingin mengkhianati rakyat, mungkin baik diingatkan pada firman Tuhan untuk Nabi Musa ini: “Satu-satunya ibadah yang Aku hitung sebagai benar- benar ibadah kepada-Ku adalah mem- bahagiakan orang-orang yang hancur hatinya.”
Dan lazimnya, rakyat kecillah yang paling sering hancur hatinya.
Baca juga:
- Wasiat Terakhir Imam Ali bin Abithalib as: artikel lain di blog ini.
- Imam Ali according to Christian Writers: tulisan lain di blog ini (English)
- Pemimpin Kok Korupsi?: tulisan lain di blog ini.
Saya hanya ingin mengulangi poin-poin penting tulisan di atas:
“Jangan berdiri di atas mereka seperti hewan rakus yang ingin menerkam mereka. Berbuatlah adil karena Allah, dengan (cara) bertindak adil kepada rakyatmu, meskipun itu bertentangan dengan kepentinganmu. Jika kamu tidak berbuat adil, kamu menjadi penindas. Dan bila kamu menindas makhluk Allah, bukan saja mahkluk-Nya, tetapi Allah pun akan menjadi musuhmu,” tambah Ali.
“Satu-satunya ibadah yang Aku hitung sebagai benar- benar ibadah kepada-Ku adalah membahagiakan orang-orang yang hancur hatinya,“ dan lazimnya, rakyat kecillah yang paling sering hancur hatinya.
Terima kasih sudah mengingatkan saya (bukankah setiap orang pada hakekatnya adalah pemimpin?)