Kini Anas Urbaningrum tersangka. Orang kemudian menghubung–hubungkan Ketua Umum Partai Demokrat itu dengan Nazaruddin (koruptor yang berkali-kali menyebut-nyebut nama Anas), dan politisi Partai Demokrat lain yang sudah lebih dulu berurusan dengan KPK.
Lalu, apa sih yang sebenarnya menjadi sumber segala kasus itu? Bukankah semuanya berasal dari komunikasi? Bukankah berbicara (membohongi publik), menipu, memerintah, bersumpah, menandatangani Pakta Integritas, rapat, kampanye, menyebarkan ‘Sprindik’ secara tidak sah, dan sebagainya, semuanya adalah soal komunikasi? Tulisan di bawah ini mungkin pas sebagai pesan untuk Anas, para politisi lain dan, sesungguhnya, ya kita semua.
Komunikasi ala Nabi
Berbagai krisis belakangan ini, khususnya yang menimpa tokoh partai politik, kementerian dan pejabat publik lainnya, mengingatkan kita bahwa telah terjadi penggerusan etika dan moral di semua lini kehidupan bernegara.
Centang perenang kegiatan yang dekaden itu tampaknya bersumber dari cara kita berkomunikasi: misalnya bawahan menjilat atasan, sesama tokoh saling menghujat, pat-gulipat sesama pebisnis mencari untung, dan calon pemimpin mengobral janji palsu saat kampanye di depan rakyat.
Tulisan ini (awalnya berjudul ‘Komunikasi Ala Nabi’) merupakan naskah asli dari artikel opini yang dimuat di harian Republika, Sabtu, 23 Februari 2013. Di koran itu (sebagaimana lazimnya setiap media) sebagian kalimat yang ada di sini telah diedit, guna menyesuaikan dengan ruangan yang tersedia di media cetak.
Padahal ada keteladanan dari Nabi Muhammad saw, seorang pemimpin sejati yang handal berkomunikasi. Meski tidak pandai membaca dan hidup dalam masyarakat yang terkebelakang, cara dan isi komunikasi beliau sangat penting menjadi catatan kita pada setiap waktu dan tempat. Beliau Sallallahu ‘alaihi wa aalihi Wasallam (saw) bicara, berdialog, memerintah, berunding, dan mendengar dengan akhlak yang luhur.
Bahkan jauh sebelum diutus sebagai Rasul, Muhammad muda sudah menunjukkan budi pekerti yang tegas tapi santun. Sejak muda, ayahanda Siti Fatimah itu telah digelari penduduk Mekah sebagai ‘Al-Amin’ (lelaki terpercaya) — sehingga beliau diminta menjadi penengah dalam berbagai sengketa yang terjadi.

Itu adalah contoh bahwa Nabi saw juga berkomunikasi dengan tindakan — karena pesan lewat perbuatan lebih efektif ketimbang pesan lewat lisan. Keteladanannya itu dipuji bahkan oleh para tokoh non-Muslim seperti sastrawan Amerika Washington Irving, sejarawan Inggris Edward Gibbon, negarawan India Mahatma Gandhi, ahli sejarah Islam asal Skotlandia William Montgomery Watt, dan penulis buku ‘The 100’ Michael Hart.
Irving sendiri mengatakan bahwa Muhammad tidak saja sederhana dalam hal makanan, dan berpakaian, tetapi juga dalam memandang masalah sehari-hari. “Ia memperlakukan teman dan orang asing, yang kaya dan yang miskin, yang berkuasa dan yang lemah, dengan adil. Ia dicintai orang kebanyakan karena keramahannya dan kesediaannya mendengarkan keluhan mereka,” tulis Irving dalam Life of Mahomet (1889).
Tetapi yang lebih penting dari semua itu adalah bahwa Tuhan sendiri memuji sang Nabi, sebagai ‘contoh terbaik bagi mereka yang beriman kepada Tuhan dan Hari Akhir.’ (Al Qur’an S.33:21).
Sebagai contoh terbaik, pengikutnya bisa meniru sang Nabi dalam berkomunikasi, karena komunikasi paling mendominasi kehidupan kita sejak bangun pagi hingga malam.
Bicara: Aspek Terpenting Komunikasi
Dalam berkomunikasi, kita tahu bahwa bicara merupakan aktivitas yang amat penting dan tersering kita lakukan, dibandingkan tiga aspek komunikasi lainnya: menulis, mendengar dan membaca.
Maka dalam kaitannya dengan ‘bicara’, kita bisa mengambil pelajaran dari pelbagai kasus yang ada. Mulai dari kasus calon hakim agung Muhammad Daming Sunusi Januari lalu, polemik antara pengacara publik Farhat Abbas dan Wakil Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama terkait pelat nomor mobilnya, hingga ‘perang dingin’ antara-pimpinan Partai Demokrat belakangan ini.
Dari sejumlah kasus yang ada, ditambah beberapa carut-marut lain yang tidak kita rinci di sini, sebenarnya ada pelajaran penting yang dapat kita petik, yakni bahwa manusia harus selalu menjaga lidahnya, bila hendak selamat dan sukses. Jika tidak, maka Anda (lebih lagi sebagai pejabat publik) mesti siap dihujat masyarakat luas di media massa.

Malah bukan hanya di media konvensional, belakangan kecaman juga datang bertubi-tubi lewat media sosial. Kecaman terhadap calon hakim agung Daming di media sosial Twitter, misalnya, terdengar sangat riuh. Penulis mencatat, hanya beberapa hari setelah kasus Daming tersiar, pada 16 Januari lalu saja, kicau tokoh Fadjroel Rachman (kini, 23 Februari 2013, punya lebih 168 ribu follower) yang menyiarkan-ulang (retweet) artis Melanie Subono,umpamanya, di-retweet oleh 15 orang.
Dan kita tahu sekarang ini kicauan (tweet) pembicaraan di Twitter bisa lebih nyaring daripada bicara di dunia nyata. Di Twitter itu para follower mendengarkan secara antusias apa yang Anda katakan, dan kemudian berreaksi secara positif, netral atau negatif. Ribuan kicau di Twitter menyangkut polemik antara Farhat Abbas dan Wagub DKI Basuki tempo hari itu juga sebuah bukti lain.
Nah, bicara soal ‘penjagaan lidah’ ini, kita jadi ingat lirik yang ditulis Taufiq Ismail untuk lagu almarhum Chrisye yang berjudul ‘Ketika Tangan dan Kaki Berkata’. Karya yang dirujuk Taufiq dari Surat Yasin itu sempat ‘melumpuhkan’ Chrisye. “Lirik yang dibuat Taufiq Ismail adalah satu-satunya lirik dahsyat sepanjang karier, yang menggetarkan sekujur tubuh saya,” kata Chrisye dalam memoarnya (Chrisye, Sebuah Memoar Musikal, 2007). “Berkali-kali saya menangis dan duduk dengan lemas…”

‘Pada hari ini Kami akan tutup mulut mereka; dan tangan mereka akan berkata kepada Kami, dan kaki mereka akan bersaksi tentang apa yang telah mereka lakukan,‘ begitu bunyi ayat 65 Surat Yasin yang menjadi dasar lirik Taufiq. Berkat itu, Taufiq dan Chrisye seperti disadarkan bahwa kelak saat Tuhan membisukan lidah kita maka orang tak bisa lari dari tanggung-jawab terhadap perbuatannya di dunia ini.
>> Berikut ini rekaman youtube lagu Chrisye itu <<
Seharusnya demikian pula kita, Daming, anggota DPR, pimpinan partai politik dan semua pejabat publik. Nabi saw mengajarkan manusia untuk menghindari perkataan batil, seperti menggosipkan orang di belakangnya (ghibah), berbohong, bicara sia-sia (laghwu), memaki, becanda berlebihan, dan mentertawakan orang lain. Bila tidak bisa mengerem ucapan buruk itu, kata Nabi, jagalah lidah agar diam. Sebab dalam sepi, ketika diam itu, manusia bisa mendengar kata hatinya , sehingga bisa terarahkan kepada kebaikan, dan terhindar dari dosa. Kata Nabi saw, ’’Kebanyakan dosa manusia berasal dari lidahnya.”

Saking takutnya pada bahaya organ tubuh itu, sahabat Nabi saw, Abubakar As-Siddiq (ra) pernah ‘memberi pelajaran’ pada lidahnya. Dalam kitab Al-Muwatta, Imam Malik meriwayatkan dari Zaid bin Aslam bahwa, suatu ketika Abubakar (ra) sedang menarik-narik lidahnya. Melihat itu, rekan beliau, Umar bin Khattab (ra) mempertanyakannya. Abubakar pun menjawab: “(lidah) ini telah membawaku ke tempat yang membahayakan…”
Walhasil, lidah merupakan keberkahan paling besar yang diberikan Tuhan kepada manusia. “Dia telah menciptakan manusia; Dia mengajarkannya bicara dan intelegensia,” bunyi Surat Al-Rahman (55: 3-4).
Lidah dan setiap organ tubuh punya karakteristik dan tujuan. Sebagiannya lagi punya keterbatasan. Mata, misalnya, hanya bisa melihat dalam terang dan warna tertentu, sedangkan telinga cuma bisa mendengar pada frekuensi antara 20 sampai 20.000 Hz. Tetapi lidah memiliki penggunaan yang amat luas dan bisa menjadi sangat liar, mengatakan yang aneh dan menyakitkan, dan berbohong.
Sebagai salah satu keberkahan paling besar yang diberikan Tuhan kepada manusia, lidah juga bukti intelektual seseorang. “Kebijakan seseorang tersimpan di balik lidahnya,” kata Imam Ali bin Abithalib (as), “Ukurannya kecil, tetapi dosa (yang dibawa) lidah amat besar.”

Manusia mesti sadar bahwa lidah kita punya hak, sebagaimana juga semua bagian tubuh manusia lainnya. Di antaranya adalah hak untuk bicara yang baik atau diam, tidak menggunakannya kecuali benar-benar memerlukannya untuk kebaikan.
‘Di dada mereka yang diam jiwa bermukim dalam keheningan yang berirama indah,’ tulis Kahlil Gibran. “Lidah itu semacam binatang buas, yang mudah melukai bila tidak diikat,” kata (Imam) Ali lagi.
Sayang, banyak orang lebih mahir bicara ketimbang ‘mendengar’, baik suara hatinya atau pun suara orang lain. Bahkan sebagai orang tua, kita sering bangga ketika anak kita mulai bisa berkata-kata, tetapi lupa untuk melatih mereka mendengar atau menghargai pembicaraan orang lain.
Ketika seorang sahabat mendatangi Nabi saw untuk minta diajarkan cara masuk surga, beliau mengatakan: “Beri makan mereka yang lapar, dan minumi orang yang haus. Nasihati manusia untuk berbuat baik, dan cegah dari perbuakan buruk. Jika engkau tidak bisa melakukan semuanya itu, cukup jagalah lisanmu dari perkataan yang buruk.”
Walhasil, demikianlah keteladanan komunikasi Kekasih Allah yang menjadi buah bibir dan kecintaan semua Muslimin di dunia.
Baca juga:
- Kenapa Politisi Doyan Jual Kecap?
- Ketika Kejujuran Saya Tidak Cukup: artikel di Kompas 7 Feb 2011
- Nazaruddin dan Dusta: artikel lain di blog ini.