Kalkulasi ROI di Media Sosial


Pada tulisan ‘Teman dan ROI di Media Sosial‘ di rubrik ini pekan lalu, kita mencatat bahwa teman di media sosial tidak kalah penting dengan rekan di kafe atau bar.

Semuanya menjadi faktor yang ikut menentukan ekuitas sebuah brand. Sebab komunitas yang saling berbagi kebersamaan, ya, teman-teman Anda itu, sikap dan perbincangan mereka akan memengaruhi nilai atau reputasi sebuah produk, jasa atau tokoh.

What Customers Say about You: Penting, makan perbincangan antar-teman di media sosial
What Customers Say about You: Penting, makan perbincangan antar-teman di media sosial

Di media sosial seperti Twitter, pertemuan dua orang teman pada satu ‘titik-temu’ (touchpoint) merupakan representasi sebuah nilai (value) bagi sang brand, yang bisa bernada positif, netral atau negatif.

Persis seperti ketika orang memilih merek makanan atau minuman di bar dan kaf, nilai itu mewakili ‘keunggulan’ atau ‘nilai’ sebuah brand (brand premium) yang akan dibayar kedua konsumen.

Jika Anda jumlahkan semua nilai ribuan ‘titik-temu’ antar-kawan, atau para kenalan, dan orang-orang yang belum pernah berhubungan sebelumnya (asing) di sebuah program media sosial, maka Anda akan memperoleh ‘nilai total sebuah brand premium’ yang akan dibayar para konsumen secara kolektif.

Tulisan ini aslinya ditayangkan dalam portal media, Inilah.Com, Kamis 24 Januari 2013.

Dan kolektivitas itu penting artinya, karena collective premium itu merupakan peningkatan brand equity, alias Return on Investment (ROI) bagi program media sosial.

Kalau pada saat tutup warung pemilik bar akan menghitung berapa ROI-nya hari itu, sejalan dengan berapa ratus unit makanan atau minuman yang terjual, maka sebagai marketer sosial Anda juga bisa melakukan hal serupa.

Untuk menghitung keberhasilan secara finansial program media sosial, menurut editor tamu Jaap Favier yang menulis di situs Brian Solis, Anda cukup menghitung ‘jualan’ Anda melalui lima faktor yang menentukan nilai ROI berikut ini:

Jumlah titik-temu (touchpoints).

Hitunglah setiap kali pengunduhan brand di Youtube, setiap ‘like’, setiap kunjungan (view) di blog perusahaan, dan setiap kunjungan pada forum diskusi. Ahli marketing (marketer) perlu tahu berapa fans yang melihat pos (tulisan atau foto) mereka di Facebook atau membaca tweet yang tayangkan.

Untunglah sekarang ini banyak tersedia aplikasi untuk membantu marketer agar bisa menelusuri berapa teman dan follower mereka mengunjungi tulisan atau foto yang mereka unggah. Sejumlah aplikasi yang ada itu, antara lain membantu penghitungan touchpoints melalui penelusuran ‘likes-per-fan’ dan rasio retweet (RT).

Waktu

Kita perlu beberapa detik untuk memproduksi dan memahami setiap tweet, retweet (RT), pos, komentar, online video, pin dan repin yang muncul. Perkiraan yang ada, keputusan meng-klik sebuah ‘like’ bagi rata-rata konsumen perlu sekitar tujuh detik. Di Facebook, rata-rata delapan teman dekat dan 26 kawan lain akan memerlukan lima detik untuk memahami ‘like’ itu.

Trust

Perhatikan intensitas interaksi online antar-konsumen untuk mengetahui seberapa dekat hubungan mereka. Salah satu parameter mengukur keakraban adalah ‘rasio komentar-dibandingkan-like’ (comment-to-like ratio) di pos fan Facebook: makin tinggi rasio ini, makin dekatlah hubungan kawan-kawan yang terlibat (berbagi) dalam pengalaman terhadap *brand*.

Di Twitter, ‘*retweet-to-tweet ratio*’ adalah indikator yang sangat kuat: makin dekat hubungan kawan-kawan itu, makin banyak RT-nya.

Perasaan atau sentimen.

Pelajari sharing perasaan yang muncul antara para konsumen, dengan cara membandingkan komentar-komentar yang ada dan jumlah RT. Beberapa perusahaan kini telah menawarkan alat pengukur sifat bahasa — dalam bahasa Inggris — yang secara otomatis memberikan hasil analisanya untuk marketer.

Brand: kualitas perbincangan, kepercayaan konsumen, dan lain-lain ikut menentukan brand premium.
Brand: kualitas perbincangan, kepercayaan konsumen, dan lain-lain ikut menentukan brand premium.

Grafik kata yang dipakai pada analisa ini juga bisa menunjukkan faktor kepercayaan (trust factor). Jika ‘teman biasa’, misanya, akan menggunakan kata ‘fun’ dalam menilai, sementara ‘teman akrab’ mungkin lebih suka memakai kata yang punya gereget alias ‘moving’ dan ‘emotional’.

Di Indonesia, sekadar pembanding, ‘kawan akrab’ Anda barangkali lebih senang pakai kata seperti ‘gue’ dan ‘elu’, ‘gila’, dan ‘sip’, sedangkan ‘teman biasa’ masih memilih yang lebih netral atau santun, seperti ‘Anda’, ‘Mas’, ‘Mbak’, serta, ‘waduh’ dan ‘tentu’.

Pendapatan

Ahli pemasar sosial tahu kondisi demografi para fans dan follower mereka, termasuk perkiraan penghasilan para pengirim dan penerima pesan (content) di media sosial.

Di media sosial, waktu dan trust antar-konsumen sangatlah mendukung dampak nilai bagi brand secara signifikan. Sebuah riset di Amerika yang dikutip Jaap Favier membandingkan ROI di media sosial dan perolehan dari iklan pertandingan Super Bowl di TV.

Hasilnya antara lain menunjukkan bahwa ROI di media sosial empat kali lebih besar ketimbang iklan di TV. Di media sosial itu, konsumen menindaklanjuti isi pesan brand kepada kawannya dan menyebabkan bertambahnya trust setiap kali mereka lakukan ‘penerusan’ pesan itu. Efek ‘penerusan’ (pass-along effect) itulah salah satu hal penting yang menjadi keunggulan media sosial.

Selain itu, semua program dan campaign (kampanye) di media sosial akan menghasilkan laba yang tinggi. Makin dekat hubungan antara pembuat dan penerima pesan tentang brand, makin besarlah dampak terhadap brand.

Terakhir, riset itu juga menunjukkan bahwa, pada promosi atau campaign yang sukses konsumen-lah yang lebih banyak melakukan ‘pembicaraan’,

sedangkan sang marketer memang tak punya cukup waktu untuk ngobrol dengan setiap fan. Lagi pula, di media sosial itu konsumen lebih suka bicara dengan konsumen yang lainnya.

Bila setiap tutup warung pemilik caf dan bar mengumpulkan semua ROI-nya berdasarkan masuk-keluarnya uang pada hari itu, mungkin marketer sosial tidak semudah itu menghitung konversi perbincangan konsumen menjadi sales.

Analis Altimeter Group Susan Etlinger menyatakan bahwa 70 % marketer sosial memang tidak tahu bagaimana hubungan media sosial dan penghasilan (revenue).

Tapi ia menyarankan, agar marketer meneliti perjalanan yang dilalui konsumen di media sosial terhadap pembelian, antara lain dengan cara melihat berapa jumlah follower yang meng-klik link yang ada di tweet Anda, berapa pembaca yang menjadi follower di ‘hotlink’ dalam tulisan pada blog perusahaan, berapa banyak non-fans membaca update kita di Facebook, dan apakah meningkatnya penjualan sejalan dengan naiknya jumlah ‘like’.

Jika punya jutaan customers, bagaimana caranya menjadikan mereka sumber income, agar ROI dan laba cepat diraih?
Jika punya jutaan customers, bagaimana caranya menjadikan mereka sumber income, agar ROI dan laba cepat diraih?

Tanpa menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, kata Jaap Favier, ROI media sosial Anda hanyalah angka tanpa makna. Sebaliknya, dengan menjawab pertanyaan di atas, angka-angka itu menjadi rujukan yang bernilai untuk mengukur unjuk kerja (performance) yang terjadi dibandingkan program campaign yang dijalankan. Anda mesti mengungkap investasi mana yang bisa membawa marketing sosial Anda ke tahap berikutnya.

“Anda mesti menghubungkan semua titik-titik yang ditemukan, dan gapailah angka target Anda,” tandas Favier.

 

Silakan Beri Komentar

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s