Apa rahasia kafe dan bar? Mengapa kita tidak keberatan membayar air mineral lima kali lipat dari harga di pasar swalayan? Kita membayar mahal agar bisa duduk bersama teman-teman.
Rahasia kafe, bar dan restoran adalah mereka mengkonversikan kualitas waktu kebersamaan kita dengan uang kontan. Mirip dengan kafe atau bar, media sosial adalah tempat teman saling bertemu.
Teman dan ROI di Media Sosial
Beberapa program media sosial yang terbaik bisa mengubah ‘tempo’, atau ‘lamanya waktu yang diberikan konsumen untuk bersosialisasi’ (consumer’s social time) menjadi nilai atau mutu brand (brand premium), sehingga mendukung penciptaan ‘laba atas investasi’ (alias return on investment, ROI) yang lebih tinggi – jauh melebihi perolehan berkat iklan di TV.Lamanya waktu bersama teman atau keluarga sangat berarti bagi kita, sehingga layak kita bayar mahal. Perhatikan betapa biaya yang kita keluarkan untuk mereka itu berkait erat dengan lamanya tempo kerja kita.

Hasil penelitian lembaga Pew Research AS menunjukkan fakta bahwa, setiap tambahan satu jam per minggu nilai kebersamaan kita bersama teman-teman sama menyenangkannya dengan nilai menerima tambahan gaji ekstra satu jam kerja.
Artikel ini sedikit berbeda dengan aslinya, yang ditayangkan pada rubrik ‘Celah’ portal berita online, Inilah.Com, Kamis 17 Januari 2013.
Sekarang ini berbagai blog ternama, halaman fan page Facebook, kanal YouTube, akun Twitter, dan papan-papan media sosial Pinterest melayani kita sedemikian rupa, sehingga seolah kita menikmati kebersamaan dalam kafe atau bar.
Di media sosial itu beberapa hal terjadi. Di antaranya adalah, staf saling bicara dengan tamu, pendatang atau orang asing saling mengenalkan diri, dan teman dekat saling mengobrol dan bercengkerama satu dengan yang lain.
Staf berbincang dengan tamu. Tenaga marketer mempromosikan brand tertentu, persis seperti pelayan kafe menawarkan minuman tertentu kepada tamu. Sebagian fans (di Facebook) dan follower (di Twitter) memang membaca tulisan kita di situ, tetapi jarang yang meneruskannya kepada orang lain.
Bila tidak diteruskan kepada orang lain secara positif, maka berbagai tawaran jasa dan sales promotion seperti akun penerbangan JetBlue nyaris tidak menghasilkan manfaat apa-apa bagi 1,7 juta follower di Twitter.

Orang asing saling mengenalkan diri. Para blogger dan pengguna Twitter sering kali menunjukkan status sosial mereka dengan mengaitkan diri mereka pada brand atau merek produk tertentu, agar bisa memberi kesan pada orang baru atau kenalan yang ‘hadir’ secara online.
Menurut studi yang dikutip penulis tamu Jaap Favier di situs Brian Solis Oktober 2012 lalu, sebagian pembaca berdialog satu sama lain, dan setelah ‘pendatang baru’ itu menanggapi dengan cara meng-klik sesuatu di blog tadi, lazimnya si blogger dan sang penanggap kemudian bersepakat untuk bertatap-muka.
Teman-teman saling bicara satu sama lain. Konsumen memilih isi brand yang bagus dan membuat tanda ‘suka’ (like) dan berbagi isi (share) dengan teman-temannya. Sebagian membuat komentar atau membahas isi pesan yang ada di situ bersama teman dekat.
Tempo hari sepatu merek TOMS pernah menjadi bahasan ramai di Facebook. Brand itu memberi hadiah sepasang sepatu kepada anak-anak miskin di dunia ketiga untuk setiap pasang yang laku.
Setiap hari mereka memasang foto-foto anak-anak yang gembira menerima sepatu itu dan artikel tentang kemiskinan, kemudian memberi peluang kepada para fans-nya untuk saling bertukar pikiran dan berbincang satu dengan yang lain.
Masalahnya, kadang yang menjadi bahan perbincangan bukan brand yang disukai, melainkan justru brand yang bikin kesal. Jasa penerbangan JetBlue contohnya. Tempo hari banyak sekali kritik terhadap buruknya layanan penerbangan murah itu di Twitter. Pada 10 Januari (2013) lalu, misalnya, seorang penumpang yang kecewa — karena JetBlue terlambat – menyiarkan tweet bernada kesal. *“#JetBlue isnt allowing anyone to go anywhere right now* (JetBlue sama sekali tidak menerbangkan seorang pun ke mana pun sekarang ini),” kata David Price, sang penumpang. Tweet itu kemudian di-twit ulang (Retweet, atau RT) oleh enam orang, di-favorit 11 lainnya, dan ditanggapi empat kawannya yang lain.

Di Jakarta juga ada kejadian serupa. Sekitar dua pekan silam, misalnya, seorang pengguna Twitter Febry Meuthia mengeluhkan buruknya pelayanan di salah satu pusat belanja Carrefour. Bahkan hingga 3 Januari lalu, dua minggu sesudah ungkapan kecewanya itu, Febry masih menjawab pertanyan kawannya soal belanja di situ. “Kayaknya 3 bulan kedepan masih alergi kesitu bang,” kata pengemar Manchester United itu, yang kemudian di-favorit 4 orang kawannya.
Tentu saja itu penting artinya bagi brand Carrefour – kalau mereka mau peduli – sebab ibu muda yang gemar berwisata bersama keluarganya itu punya 120 ribuan follower.
Yang mesti dicatat, tweet yang emotif — seperti yang diposkan David atau Febry — tergolong yang disukai banyak orang. Ungkapan kekesalan, sedih, marah, atau pun gembira dan tertawa mungkin termasuk yang paling sering mendapatkan tanggapan, retweet atau setidaknya tanda simpati ‘like’ di Facebook.
Jika di kafe brand tertentu menjadi sinyal sosial, maka di bar atau kafe online fans dan follower juga memberi sinyal sosial yang sama ketika mereka ‘like,’ berkomentar, share, melakukan retweet (RT), dan me-‘repin’ (pada Pinterest) brand itu.
Malah, “like” kini menjadi semacam logo baru. Ketika seorang, sebutlah bernama Bachtiar, mengklik ‘like’ dan memberi komentar, “Saya suka sepatu TOMS baru ini” pada halaman ‘fan page’ brand itu, artinya ia memberi tahu teman-temannya, tetangganya, koleganya, tentang siapa dia sebenarnya, ke mana ia berpihak, dan siapa saja anggota kelompoknya.

Time Line David Price yang memprotes Jet Blue
Para kawan yang ada di daftar kontak Bachtiar melihat sinyal online ini. Reaksi yang datang terhadap tulisan Bachtiar itu bisa beragam. Seorang kenalan baru (acquaintance), misalnya, mungkin mencatat itu, tetapi temannya yang lain barangkali ikut mengklik ‘like’ juga. Kemudian, teman dekat Bachtiar atau familinya boleh jadi akan menimpalinya dengan komentar. “Wah, sepatu ente keren tuh, Bach… 🙂 ,” ujar salah satu di antara kerabat dekatnya disertai emoticon orang tersenyum.
Sinyal yang dibawa Bachtiar dan respon yang muncul itu, sejatinya langsung ditujukan kepada konsumen, bukan kepada Sepatu TOMS. Tetapi sebagai brand TOMS beruntung besar dari interaksi antar-kawan yang terjadi.
Sebuah studi sosiologis Universitas Rotterdam School of Management menunjukkan bahwa setelah melihat sinyal-sinyal yang dilakukan oleh konsumen, tujuh persen acquitance akan mempertimbangkan brand, dan 42% ‘teman dekat’ ingin membeli sepasang sepatu juga.
Bandingkan itu dengan ini: hanya 5% konsumen yang tertarik pada sebuah iklan TV. Artinya, berkat interaksi (di media) sosial itu, terjadi lonjakan kepercayaan konsumen terhadap sebuah brand sebesar 840% dari lima menjadi 42 prosen).
Walhasil, kita bisa menyimpulkan bahwa, setiap saat seorang konsumen seperti Bachtiar, David atau Febry berbagai pengalamannya dengan kawan mereka tentang sebuah brand, mereka itu pada hakikatnya menginvestasikan waktu dan kepercayaan (trust)-nya terhadap brand.
Nah, di media sosial itu, setiap ‘titik-temu’ (touchpoint) antar dua konsumen (minimal) merupakan representasi sebuah nilai (value) bagi sang brand. Nilai itu bisa positif atau negatif, tergantung pada perasaan kedua konsumen yang berbagi sentiment. Yang jelas, ada pendapat bahwa satu saja konsumen mencela sebuah brand, lazimnya itu akan menghapus dua ‘like’ oleh kawan yang lain.
Dan bagi produsen atau penjual, dua tanda ‘like’ yang hilang berarti turunnya minat beli. Akhirnya, bila sebuah brand menjumlahkan ribuan atau jutaan ‘titik-temu’ antar-kawan, kenalan, dan orang asing di media sosial, brand itu akan memperoleh ‘nilai total brand’ yang secara kolektif dibayar para konsumen.
Baca juga:
- Aceng dan Transparansi: artikel lain di blog ini.
- 11 Serangan Terhadap Foke di Media: dari tulisan di blog ini.
- Beberapa tulisan tentang Media Sosial, seperti video Ahok, Komunikasi Obama, dan lain-lain di sini.