Banyak tren baru dalam urusan kerja, dan mencari pekerjaan di bidang komunikasi. Posisi-posisi baru kini bermunculan, khususnya yang berkaitan dengan Internet dan Media Sosial. Dalam mencari calon pegawai pun, para boss yang mencari pegawai (employer) juga kian banyak memanfaatkan Media Sosial. Misalnya, sekitar 80 % perusahaan belakangan ini memanfaatkan situs media sosial Linkedin untuk mencari calon pegawai dan sekitar 50 % di antaranya menggunakan Facebook. Lalu, satu dari 3 employers menolak kandidat gara-gara informasi yang mereka temukan secara online.
Dunia pemasaran dan public relations (PR) kian bergerak cepat. Roda industri komunikasi itu seolah berlari dengan deret ukur, bukan lagi deret hitung.
Pendorongnya ada tiga: makin tingginya tuntutan berbagai lapisan masyarakat di lapisan terbawah piramida penduduk — yakni mereka yang berada di akar-rumput yang populasinya amat banyak — ramainya ‘perbincangan dua-arah’, dan tumbuhnya berbagai komunitas pengembang ‘merek’ (brand building communities) di banyak perusahaan di dunia.

Mau tidak mau, muncullah berbagai bidang pekerjaan baru, yang berkaitan dengan fungsi-fungsi dan tanggung-jawab para profesional yang bekerja di bidang komunikasi itu.
Di sana sini perkembangan teknologi informasi ikut memberi peluang berbagai pekerjaan baru di dunia komunikasi itu. Akibatnya muncullah berbagai posisi baru yang lebih inovatif dan lebih membawa ‘gereget’ ketimbang nama-nama jabatan ‘konvensional’ (lama) seperti direktur marketing communications (markom), manager humas atau public relations supervisor, wakil direktur (atau vice president) corporate communications, direktur community relations yang berhubungan dengan komunitas, dan yang sejenis itu.
Semua nama jabatan di atas boleh jadi masih dipakai oleh beberapa perusahaan, agen atau konsultan dan organisasi tertentu. Tetapi, fungsi dan tanggungjawab baru mendorong banyak perusahaan komunikasi lebih kreatif, sehingga mesti mengubah nama jabatan atau menambahkan job position baru.
Syafiq Basri Assegaff *) Artikel ini aslinya ditayangkan portal “Inilah.Com”, Kamis 27 Desember 2012.
Penjaja kopi ternama ‘Starbucks’, misalnya, belakangan menambahkan posisi pekerjaan baru dengan nama ‘director global partner communications & engagement’. Starbucks menyadari bahwa partnernya makin mengglobal, dan semua mitra di seluruh dunia itu harus diajak berkomunikasi secara lebih serius lewat kepemimpinan seorang direktur.
Sementara itu, perusahaan department store ‘Target’ melansir seorang ‘manager cyclical communications’, karena tahu bahwa perlu ada petugas yang mengelola komunikasi 360 derajat antara perusahaan dengan audiensnya.

Perusahaan lain yang juga berinovasi adalah Netflix, Inc. Perusahaan penjual jasa streaming internet untuk menonton film dan acara TV itu sejak lama mengangkat seorang innovator ulung dalam akuisisi dan distribusi film Ted Sarandos sebagai Chief Content Officer (CCO).
Dulu, kata ‘content’ itu mungkin hanya untuk mengurus ‘isi film’ saja, tetapi kini kata itu secara lebih luas meliputi segala isi pembicaraan di Internet dan media dosial, ‘apa saja’ yang harus dikatakan, ‘kalimat pesan seperti apa’ yang harus dikatakan pada pembahasan flm tertentu, dan sebagainya.
Netflix, yang di pasar saham Nasdaq dikenal dengan singkatan NFLX, mengklaim bahwa pihaknya merevolusi cara orang menonton acara TV dan film bioskop lewat internet di rumah 20 jutaan pelanggan mereka, di Amerika, Inggris dan Irlandia.
Di Indonesia fenomena itu mulai bermunculan, meski belum sepesat di Amerika. Motornya barangkali adalah perusahaan media. Perhatikanlah betapa belakangan ini pelbagai grup perusahaan suratkabar memasuki wilayah itu.
Kelompok Kompas Gramedia, misalnya, kini memperkuat cengkeraman bisnisnya lewat penyedia content televisi lewat Kompas TV. Sementara kelompok usaha media yang lain, seperti Tempo, Jawa Pos, dan Media Indonesia juga turut meramaikan suasana di ranah pertelevisian.
Banyak dari kelompok bisnis media itu menggenjot pasar mereka dengan menciptakan ‘kue-kue’ baru, misalnya melalui citizen journalisme, sebuah wadah baru yang hanya mungkin terjadi berkat kecanggihan Internet.
Demikian pula portal online “Inilah.Com” yang Anda baca ini. Ia telah mereplikasi dirinya dengan berbagai media lain, dan kemudian menyatukannya menjadi sebuah konvergensi di mana audience bisa menikmati semuanya secara bersamaan. Lewat situs “Inilah.Com’ ini, misalnya, Anda bisa langsung mengakses majalah Inilah Review, Inilahkoran.com, dan InilahTV – semuanya secara gratis.
Tak pelak lagi, dalam upaya menyebarkan content-nya, media-media baru itu mesti mengikuti tren ‘demoktrasisasi media’ yang kini sudah menjadi keharusan — ketika siapa saja bisa menjadi pembawa berita dan menyebarkan berita secara cepat dan gratis – khususnya melalui berbagai aplikasi media dosial.
Itu sebabnya kini pakar komunikasi juga menyarankan pelbagai nama jabatan lain yang bisa digunakan perusahaan atau organisasi, seperti social media manager (yang mengelola semua aplikasi media dosial seperti Facebook, Twitter, Blog, Flicker), atau competitive intelligence and social media Strategist.
Perusahaan beken seperti Microsoft malah menciptakan posisi baru dengan sebutan ‘web evangelist’. Tentu saja itu nama yang unik, karena biasanya evangelist dipakai untuk menyebut ‘penginjil’ yang berdakwah mengajak orang menjadi pemeluk Kristen.
Tapi pemilihan nama itu oleh Microsoft tentu saja dimaksudkan untuk menunjukkan seorang yang ‘sangat antusias’ memberi tahu dan mengajak orang kepada suatu ‘produk–terkait-web’ yang sangat bagus.
Sejalan dengan itu, perusahaan jasa direct marketing global, Harte Hanks, menciptakan jabatan baru dengan nama ‘online content & communications manager’. Sebagai salah satu operator dan distributor 13 jutaan eksemplar publikasi bagi para konsumen pertokoan (shoppers), jabatan manager baru itu penting bagi Harte Hanks, karena ia menambah jumlah audiensnya melalui fasilitas online di situs PennySaver miliknya.
Walhasil,semuanya menjadi sebuah transformasi. Semua menjadikan adanya pergeseran paradigma dalam dunia komunikasi, dan bisnis yang berkaitan dengannya, termasuk tatanan organisasi sumber daya manusia di dalamnya.

Ada beberapa hal yang mendorong transformasi itu. Pertama, sebagian nama jabatan tenaga komunikasi dan PR itu bergeser karena adanya peralihan deskripsi fungsi yang umum (seperti “communications,” “community relations,” dan sebagainya) kepada posisi yang lebih bernuansa emotif seperti ‘inovasi’, dan ‘ahli strategis’ (strategist).
Kedua, nama posisi baru itu muncul untuk menyambut hadirnya komunitas baru pengguna internet dan mereka yang secara konsisten berkomunikasi secara dua-arah. Itu sebabnya muncul jabatan dengan nama baru yang melekatkan ‘keterlibatan’ (engagement), Media Sosial, dan komunikasi yang berputar 360 derajat (cyclical communications).
Ketiga, mereka berkaca pada ramainya perubahan sosial di berbagai belahan dunia, seperti ramainya trend untuk ‘cinta lingkungan’ (memunculkan jabatan baru seperti ‘green marketing manager’), ramainya dunia Internet atau web, dan sebagainya.
Masih berkaitan dengan Internet, kreatifitas sang manager atau direktur baru juga digagas demi menyukseskan sebuah ‘brand’ melalui fasilitas online, sehingga memunculkan jabatan baru seperti ‘chief content officer’ (CCO), dan sejenisnya.
Terakhir, sebagian nama jabatan baru itu merupakan upaya menyambut kecenderungan untuk tampil dengan ‘positioning’ baru secara global, atau dalam tatanan ‘raksasa’, sehingga perlu ada jabatan ‘global partner manager’ (GPM) umpamanya.
Nah, di tahun 2013 ini, adakah CCO dan GPM di tempat Anda, untuk ikut bersaing di dunia yang tak lagi dipisahkan sekat-sekat negara dan telah menjadi kampung-global yang sempit ini?
Bahkan, menurut situs ini >> http://www.ragan.com/Main/Articles/0df61c10-79de-44a1-add2-b4ca0b4022b3.aspx# PR merupakan pekerjaan ke- 5 yang paling membuat stress Pak dan pekerjaan yang paling banyak diminati. Hehehee