Bicara Aceng Fikri sejatinya juga bicara soal transparansi. Kalau saja Bupati Garut itu bersikap transparan tentang rencana menceraikan Fany Octora empat hari sesudah dinikahinya, umpamanya, maka ceritanya akan berbeda. Mungkin sekali Fany tak jadi nikah, dan Aceng justru selamat dari krisis.

Meski itu transparansi di level pribadi, tetap saja untuk seorang tokoh atau sebuah brand, kini transparansi sudah menjadi keniscayaan. Bahkan di tataran personal seperti itu pun, soal keterbukaan kini terasa sangat menonjol.
Penyebabnya adalah Internet dan media sosial yang menggelora dalam gairah besar di dalam jejaring web. Kalau saja Aceng sadar mengenai potensi internet sekarang ini, sangat boleh jadi ia akan berpikir ulang bicara atau melakukan sesuatu yang menyebabkannya jadi sasaran berita di seantero Nusantara.
Juga, seandainya pernikahan model Aceng itu terjadi beberapa tahun silam, sebelum maraknya Internet, sangat boleh jadi kasusnya tak menyebar seramai saat ini.
Bagi praktisi public relations (PR), alias humas, sekarang ini soal transparansi telah menjadi menu sehari-hari. Ia jadi landasan utama bagi reputasi tokoh, produk atau brand yang dikelola para praktisi PR.
Banyak bukti di dunia menunjukkan makin transparan sebuah organisasi atau brand makin baik reputasinya. Konsekuensinya, apabila lebih banyak organisasi (swasta, dan lebih penting lagi organisasi pemerintahan) di satu negara memberlakukan budaya transparansi, secara akumulatif lebih cepat pula kemajuan yang diraih negara itu.
Oleh Syafiq Basri Assegaff *) Artikel ini aslinya ditayangkan portal media “Inilah.Com”, Kamis 20 Desember 2012.
Itu sebabnya, soal keterbukaan itu menjadi tema pokok Konvensi Nasional Humas Indonesia 2012, yang diselenggarakan Desember ini, bertepatan dengan 40 tahun Perhimpunan Hubungan Masyarakat Indonesia (Perhumas).

Para praktisi komunikasi seperti humas dan marketing paham bahwa transparansi memang isu amat penting, terlebih di era revolusi komunikasi saat ini, ketika jejaring Media Sosial tidak saja membongkar semua ketertutupan informasi dan mendorong dilaksanakannya good corporate governance, tetapi sekaligus meruntuhkan sekat-sekat antara konsumen dan produsen, sekat-sekat antara khalayak dan redaksi media (gate keeper), dan sekat-sekat antar-negara sehingga turut mempercepat roda globalisasi pasar keuangan dan era pasar-bebas dunia.
Organisasi yang membangun reputasi dengan baik, tidak saja akan mendulang citra positif untuk waktu sesaat, tetapi sekaligus akan menyehatkan kegiatan organisasi itu dalam kesehariannya dan menghindarkan munculnya sebuah krisis.
Memang di antara penyebab seseorang enggan bersikap transparan adalah, pertama, karena secara nave ia menganggap bahwa sikap transparan justru bisa merugikan diri atau organisasinya. Keliru itu. Pasalnya, banyak bukti justru menunjukkan makin baik reputasi sebuah brand, yang antara lain diperoleh berkat sikap transparannya, semakin mudah brand itu meraup laba.
Bahkan Graham and Bansal (2007) menyatakan bahwa setiap satu titik peningkatan reputasi pada industri penerbangan, maka konsumen bersedia membayar $18 lebih tinggi harga tiket pesawat yang dibeli.
Sebelum itu, Fombrun and Van Riel (2004) mengatakan, perusahaan dengan reputasi baik terbukti selalu mengalahkan perusahaan yang buruk reputasinya dalam semua ukuran finansial selama lima tahun berturut-turut.
Kedua, yang menyebabkan orang enggan bertindak transparan adalah karena ia menyimpan niat tidak baik, sehingga takut ketahuan; sebab makin banyak informasi diketahui orang lain makin sulit baginya untuk bergerak menjalankan tipu-daya (baik terhadap gadis berusia 18 tahun atau lainnya), mencuri atau korupsi.

Sekarang, Anda Selalu dalam Rekaman Abadi
Aceng seharusnya paham, bahwa seorang tokoh seperti dirinya seharusnya tidak bicara, menulis apalagi melakukan sesuatu yang ia tidak mau muncul di mesin pencari Google. Sebab, sekali Anda muncul di situ, atau di media sosial, maka kisah buruk mengenai diri Anda atau brand yang Anda kelola akan terekam sepanjang masa. Pasalnya, Internet telah menjadi ‘rekaman abadi’ tempat informasi, berita dan segala pembicaraan online lebih gampang digali daripada mencari kutu di file mikro model lama.
Tentu saja itu bukan hanya untuk Aceng, karena masih ada ratusan masalah lebih penting lainnya yang memerlukan pemikiran serius dalam kaitannya dengan transparansi ini. Termasuk dalam hal ini yang berkenaan dengan perilaku para tenaga komunikasi seperti PR dan Marketing.
Dalam profesi PR, praktisi PR tak boleh lagi mengandalkan cara berpikir kreatif (out-of-the box) seperti melakukan ‘spinning’ (memelintir atau merekayasa) terhadap pesan demi membela klien atau brand, karena itu sudah ketinggalan zaman.
Pada era baru ini, sangat mudah bagi publik untuk melacak berbagai ulasan mengenai brand Anda secara online, sehingga hasilnya sekaligus dapat menjadi indikator reputasi secara offline.
Di saat demokratisasi terhadap akses informasi dan distribusinya berjalan sangat cepat sekarang ini, secara mudah dan cepat orang menelusuri kualitas (baca: reputasi) sebuah brand (orang atau pun produk), atau meminta rekomendasi (atau sumpah serapah) konsumen lain atau seorang ahli.
Itu sebabnya banyak ahli menekankan agar organisasi yang ingin menjaga reputasi tidak lagi hanya mengklaim ‘transparansi’ sebagai identitas korporat belaka, tetapi mesti benar-benar menjalankan apa yang mereka katakan.

Perusahaan atau brand seharusnya mendemontrasikan transparansi sebagai strategi jangka panjang, karena trend munculnya ‘trust economy‘ menyebabkan kekuatan tidak lagi berada pada penjual atau produsen, melainkan pada publik yang lebih percaya pada teman atau ahli di jejaring media sosial ketimbang pada pedagang atau produsen.
Memang ada kekuatiran, informasi yang menjadi rahasia dapur bisa nyelonong keluar jika bersikap terlalu transparan. Tetapi ahli manajemen reputasi tetap mengatakan bahwa itu sebenarnya hanya soal kecil, dibandingkan dengan kepercayaan (trust) dan goodwill yang diraih sebuah perusahaan berkat perilaku transparannya yang dioperasikan secara menyeluruh.
Itu sebabnya barangkali Presiden Obama juga menekankan soal transparansi. Di depan para staf dan menterinya di Gedung Putih, Januari 2009 lalu, Presiden Obama memberi arahan bahwa, cara membuat pemerintahan bertanggungjawab (responsible) bukanlah dengan sekedar memastikan tugas apa saja yang harus dilakukan setiap lelaki dan perempuan, dan menandatangani peraturan guna meyakinkan bahwa mereka tidak akan bertindak ngawur.
“Jalan untuk membuat pemerintah bertanggungjawab (responsible) adalah dengan menuntut akuntabilitasnya. Dan jalan untuk menjadikan pemerintah akuntabel adalah dengan membuatnya transparan, ” kata Obama. Dengan demikian, maksud Obama, masyarakat dapat mengetahui secara persis keputusan-keputusan yang sedang dibuat, bagaimana keputusan itu dibuat, dan apakah kepentingan masyarakat terlayani dengan baik di dalamnya.

Alhasil, ketika publik mudah meminta nasihat mereka yang dipercaya sebelum bertindak, mencontreng dalam pemilu, atau membeli produk, dan ketika kredibilitas adalah sebuah nilai yang makin penting, semua pemimpin dan ahli komunikasi tak bisa lagi sekedar memanfaatkan transparansi hanya sebagai taktik jangka pendek, karena transparansi bukanlah ‘apa’ yang Anda komunikasikan, melainkan ‘bagaimana’ Anda berkomunikasi.
Setujuuuuu. Kalau kata orang Sunda, “Hade ku omong, goreng ku omong”. Saatnya kita semua bersikap jujur – khususnya para pemimpin (tapi jangan lupa, kita semua adalah pemimpin juga lho!)