Mengapa pada bulan Suro (Muharram) banyak yang tak mau menikah atau berpesta? Kenapa banyak yang solat dan haji tapi tetap korupsi? Bagaimana sebenarnya cara beragama intrinsik itu?
Umat Islam sedunia memasuki tahun baru. Tapi tidak semua Muslimin bergembira memasuki tanggal 1 Muharram 1434 Hijriah ini.
Bukan saja karena pada setiap pergantian tahun berarti umur kita berkurang setahun, melainkan juga karena kenangan teramat pilu dan menyayat hati yang terjadi pada setiap 10 Muharram, ketika Nabi Muhammad saw berduka cita. Pada 10 Muharram (Asyura) itu terjadi tragedi kemanusiaan paling besar dalam sejarah Islam, saat cucu baginda Nabi syahid dalam perang yang amat tidak seimbang di Karbala, Irak.

Buat mereka tak ada alasan buat bergembira pada bulan Suro ini, mustahil rasanya untuk menyalakan kembang api, menikahkan anak, atau berpesta apa saja. Karena saat itu sang Nabi saw amat berduka. Kalau orang tua, kakek atau cucu kita wafat, jelas semua wajah di dalam rumah mengkerut dan suasana jadi kelabu. Maka, ketika sang cucu yang bernama Husain itu gugur di medan perang, pada 10 Muharram 61 H (680 M), wajar bila Muslimin, yang jadi penganut agama kakeknya, turut bersedih.
Tulisan ini sengaja saya unggah di Lintas.Me, agar bisa untuk berbagi dengan lebih banyak teman pembaca yang budiman. Aslinya, tulisan ini berjudul “Pesan Komunikasi Muharram“, ditayangkan di portal “Inilah.Com”, Kamis 15 November 2012.
Husain memang bukan gugur percuma. Ia sengaja memerangi penguasa tiran dan diktator pada zamannya, Yazid bin Muawiyah, yang memerintah dari istananya di Damaskus, Suriah.

Sebelumnya, Husain sengaja meninggalkan Mekah persis pada saat musim haji, menuju Karbala. Di sana ia mengajarkan bahwa ‘percuma’ saja berhaji kalau penguasa lalim dan korup dibiarkan merajalela.
Percuma bertawaf jika ketidakadilan dan kesewenang-wenangan meruyak di tengah umat – dan ia, sebagai cucu pembawa agama Islam, punya tugas untuk menentangnya. Husain, yang sudah pernah berhaji beberapa kali sebelumnya, hendak membuktikan bahwa Islam itu agama sosial. Bahwa Islam itu agama cinta, yang anti pada ketidakadilan dan penindasan, dan bukan sekedar agama ritual.
Kata banyak ulama, kalau saja Husain tidak memerangi tentara Yazid, boleh jadi wajah Islam tidak seperti agama yang kita saksikan sekarang ini.
Pasalnya, Yazid sendiri, yang gemar mabuk dan bermaksiat, secara tidak semena-mena menyalahgunakan nama Islam, dan melakukan banyak sekali kejahatan kemanusiaan di wilayah kekuasaannya di Irak, Mekah, Madinah dan jazirah Arab lainnya.
Tapi ini bukan melulu soal agama. Ini juga soal komunikasi. Tepatnya komunikasi antarumat dalam cara beragama, dan berkaitan dengan mental seseorang.
Komunikasi itu berawal pada pesan yang disampaikan komunikator agama – khususnya para ulama (da’i) — yang punya tugas membenahi cara beragama umatnya secara benar. Jelasnya, kalau pesan agama yang diterima umat hanya berkutat pada cara-cara beragama yang tampak di permukaan saja, semacam pencitraan beragama ‘secara baik’, maka orang bisa merasa seolah sudah beragama dengan benar. Ia pergi ke masjid, solat dan melaksanakan haji, tetapi ia tetap melakukan korupsi dan berbagai kemaksiatan lain.

Demi pencitraan seperti itulah, kita kemudian menyaksikan di pengadilan, para koruptor tiba-tiba mengenakan baju koko dan kopiah, sementara koruptor wanita yang sebelumnya berpakaian seksi tiba-tiba berjilbab, karena ingin dianggap orang saleh, karena ingin memberi kesan bahwa ia beragama dengan baik dan ‘bersih’.
Belajar dari Allport.
Jika pesan komunikasi yang disampaikan kepada umat tidak dibenahi, kita akan terus menyaksikan keberagamaan yang ekstrinsik saja. Sebagaimana dikatakan psikolog Gordon Allport , orang-orang yang beragama secara extrinsic itu memandang agama sebagai sesuatu untuk dimanfaatkan, dan bukan untuk kehidupan. “Something to use but not to live,” kata Allport sebagaimana dikutip Jalaluddin Rakhmat.
Mereka itu berpaling kepada Tuhan, tapi tidak meresapkan ajaran agama ke dalam jiwa mereka. Bagi mereka agama adalah ‘alat’ untuk mencapai motif-motif lain seperti kebutuhan akan status, harga diri, rasa aman dan sebagainya. Buat mereka bentuk luar dari agama penting. Tadi itu, pencitraan. Baju koko. Kopiah. Mementingkan janggut panjang, atau pakaian ala Arab.
Orang yang beragama dengan cara ini, melaksanakan bentuk-bentuk luar dari agama. Ia puasa, solat, pergi haji, dan sebagainya – tetapi tidak di dalam hatinya.
Menurut psikolog seperti Allport, cara beragama seperti ini memang erat kaitanya dengan penyakit mental. Gaya beragama semacam ini tidak akan melahirkan masyarakat yang ramah, dan berkasihsayang. Sebaliknya, melahirkan fitnah, irihati, dan kebencian (hatred) masih akan terus berlangsung – termasuk, misalnya, kepada penganut aliran yang berbeda dari kita.


Seharusnya kita memilih cara beragama yang intrinsic. Cara ini akan menunjang kesehatan jiwa dan kedamaian masyarakat, dan membantu lingkungannya. Lewat metode ini, agama dipandang sebagai comprehensive commitment, dan driving integrating motive, yang mengatur seluruh hidup seseorang. Dengan kata lain, agama diterima sebagai faktor pemandu kehidupan sehari-hari, sehingga cara beragama seperti ini terhunjam ke dalam diri atau jiwa penganutnya.
Rupanya, hanya dengan cara ini kita mampu menciptakan lingkungan yang penuh kasih sayang. Karena jiwanya sehat, mereka yang beragama secara intrinsik tidak akan melakukan dua hal yang bertentangan: misalnya di satu saat pergi berhaji, tetapi di saat lain ‘nilep’ uang negara. Di satu saat berceramah mengenai pentingnya silaturahmi, tetapi di waktu lain justru membakar pesantren atau rumah ibadah orang lain.

Kita melihat belum banyak yang mengaitkan peristiwa penting keagamaan dengan perilaku beragama dan cara menyampaikan pesan dari kacamata seperti yang dipakai Allport itu.
Maka, pada Muharram ini baik kiranya jika kita mengingat bahwa Nabi saw sendiri berkali-kali menegaskan soal ini – jauh sebelum Allport mengemukakan teorinya. Kata sang Nabi, orang yang solat di malam hari dan puasa di siang hari tetapi menyakiti tetangganya dengan lidahnya, maka orang itu tempatnya di neraka. Dengan kata lain, kita mau bilang, bahwa orang itu secara ekstrinsik beragama, tetapi secara intrinsik tidak.
Walhasil, pada Muharram ini, saat mengenang perjuangan cucu Nabi menentang penguasa despot dan otoriter itu, kita berharap bisa berkomunikasi secara lebih baik. [Tak peduli apakah kita ini Sunni, Syiah atau lainnya, selayaknya kita menyerap pesan yang dikomunikasikan Husain yang intrinsik itu.]
Lalu, saat bersedih mengenang kesyahidannya, banyak yang berderai air mata. Mungkin karena mereka tahu bahwa menangis termasuk salah satu cara kita berkomunikasi dengan jiwa bagi yang beragama secara intrinsik — demi menyehatkan rukhani.
Sebab beragama itu juga soal emosi, sebab agama itu adalah juga cinta. Cinta kepada Tuhan, yang diwujudkan melalui cinta kepada makhluk-Nya. Sehingga lewat cinta itu, kita menentang ketidakadilan dan keserakahan, agar bisa bermanfaat bagi orang lain.

“Hamba yang paling dicintai Allah ialah yang paling bermanfaat bagi manusia,” kata Nabi saw di salah satu hadisnya, “Dan amal yang paling utama adalah memasukkan rasa bahagia pada hati orang yang beriman – menutup rasa lapar, membebaskan dari kesulitan, atau membayarkan hutang.”
Baca juga:
- Ketika Malaikat Bicara Haji: artikel di Kompas 5 Nov 2011.
- Menangis Selama 40 Tahun: tentang Imam Ali Zainal Abidin (as).
Cukup menyedihkan melihat beberapa orang menggunakan agama sebagai ‘alat komunikasi’ di kehidupan sosial.. Jilbab di gunakan saat dipanggil di pengadilan, “Allahu Akbar” saat menghancurkan berdemo..
Pesan KOMUNIKASI Muharam yg sangat indah ! Kita mengetahui bahwa pesan2 seputar peristiwa Karbala spt ini justru tidak sedikit keluar dr seorang Mahatma Gandi , Antoane Bara dan non muslim lainya dan mereka lebih mengetahui dr umat islam sendiri bahwa Nilai2 Keadilan itu lbh dr segalanya….