Emang Bisa, Berkorban Kayak Pahlawan?


Banyak orang berkorban demi orang lain. Di Indonesia, khususnya saat November ini, kita selalu ingat pengorbanan para pahlawan bangsa. Ada Bung Tomo. Juga ada banyak pahlawan, yang rata-rata waktu itu masih berusia muda, di berbagai daerah. Bahkan juga yang tanpa nama dan ikhlas untuk mati dikuburkan bukan di Taman Makam Pahlawan tetapi di mana saja yang mereka tak pernah duga lokasinya.

Yang aneh, Bung Karno dan Bung Hatta baru 7 November lalu dikukuhkan sebagai pahlawan Indonesia. Huuugh… kirain keduanya sudah lama jadi pahlawan. Sungguh terlaaaluh!

Ada juga keteladanan berkorban demi orang lain yang ditunjukkan Nabi Muhammad saw, keluarganya yang suci serta sahabatnya. Mereka semua menjadi cermin beragama di “jalan yang lurus”. Berabad-abad sebelum era Muhammad saw, kakek Nabi, yakni Nabi Ibrahim dan Ismail juga memberikan keteladanannya – yang kita peringati setiap musim haji atau Idul Adha.

Bung Tomo: contoh ideal pengorbanan bagi bangsa

Keteladanan Ibrahim berkomitmen mengorbankan nyawa sang putra sendiri, Ismail, yang siap sedia di meja sembelihan.

Ibrahim yang sangat berbahagia atas karunia seorang anak lelaki kesayangannya, Ismail, diminta Tuhan untuk dikorbankan. Artinya Tuhan hendak menguji, apakah ia  bersedia memberikan “milik” yang paling dicintainya?

Tuhan tidak minta Ibrahim mengorbankan nyawanya sendiri, yang mungkin lebih mudah bagi Ibrahim, tetapi ini nyawa anak lelakinya, yang ganteng, kuat, cerdas, berakhlak tinggi, dan amat dicintainya.

Walhasil, kalau Ibrahim mengorbankan putranya, kita patut bertanya,“siapa” atau “apa”-kah Ismail kita? Jabatan? Kehormatan? Uang? Cinta? Keluarga? Ilmu? Hidup kita? Tak ada yang tahu, kecuali diri kita sendiri.

Tanda-tanda “Ismail” kita, menurut Ali Shariati, adalah segala hal yang melemahkan iman, segala yang menyebabkan kita mementingkan diri sendiri, apa pun yang membuat kita tidak bisa mendengar pesan dan mengakui kebenaran, serta segala hal yang mendorong kita mencari pembenaran demi “kenyamanan”.

Uang dinar Dinasti Abbasiah – Harun al-Rashid tahun 786-809: termasuk godaan dunia yang harus didapatkan hanya dengan cara halal

Itu sebabnya, satu-satunya cara mematuhi perintah Tuhan, sebagaimana dilakukan Ibrahim, adalah dengan melakukan “perang besar” melawan bisikan “setan” dalam ego sendiri. Maksudnya, agar manusia tidak merasa aman dan terlindungi dari pengaruh musuh itu: masih banyak jeratan kemegahan artifisial yang bisa membutakan. Manusia harus terus berusaha, dan minta pada Allah agar selalu bisa “diamankan” di jalan yang lurus — shiratal mustaqiim.

Lewat pengorbanan itu, Tuhan seperti mengingatkan Ibrahim agar tidak berpikir bahwa “urusan“-nya dengan Allah sudah selesai setelah ia mengabdikan diri selama lebih dari 100 tahun sebagai nabi.

Sebagai pendiri agama monoteisme (tauhid), pembangun jalan bagi Nabi Musa (as), Yesus (Nabi Isa as), dan Nabi Muhammad SAW, serta simbol kemenangan manusia, harga diri, dan kesempurnaan-tugas Ibrahim dalam “pengabdian“sejati adalah jauh lebih sulit. Tuhan seperti berpesan,“Engkau harus `bebas total’, dan jangan terlalu yakin serta bangga pada dirimu, sebab selalu ada kemungkinan untuk `jatuh’ pada setiap `puncak’.“

Kisah dalam tulisan ini selengkapnya pernah dimuat di bagian lain blog ini, dengan judul “Mana Ismail Kita”. Setelah diedit, disesuaikan (dan dipotong), saya tayangkan lagi untuk di-share bersama lewat “Lintas.Me“.
Kisah pengorbanan Nabi Ibrahim dalam lukisan kaca di jendela gereja

Singkat cerita, sesudah mengetahui komitmen Ibrahim dan putranya, kemudian Tuhan menggantikan nyawa Ismail dengan “Penyembelihan Agung“.  Belakangan banyak ahli tafsir yang memaknai “Penyembelihan Agung“ itu bukanlah seekor kambing — mana mungkin domba lebih agung daripada seorang nabi? — melainkan saat disembelihnya cucu Nabi Muhammad SAW, Al Husain.

Sejarah mencatat bahwa Husain gugur sebagai syahid dalam upayanya menentang penguasa tiran, Yazid bin Muawiyah. Pada 10 Muharram 61 H, kepala Husain dipenggal bala tentara Yazid dalam pertempuran yang tidak seimbang di Karbala, Irak.

Berhubung Nabi Muhammad SAW adalah cucu Nabi Ismail AS, dan Husain adalah cucu Nabi, menjadi sebuah keniscayaan bahwa “berkat pengorbanan Husain menggantikan pemenggalan Ismail itulah, Nabi SAW “terselamatkan“. Itu sebabnya, dalam sebuah hadis nya, Nabi SAW me nyatakan,“Husain dari aku dan aku dari Husain.“

Sebelum menuju Karbala, sebenarnya Husain sudah siap berhaji — bahkan ia telah berada di Mekah sejak Ramadan tahun 60 H. Tapi belakangan ia tinggalkan hajinya demi menunjukkan bahwa memerangi penguasa zalim dan memperjuangkan keadilan merupakan sebuah tindakan yang lebih penting daripada berhaji. Perjuangan demi keadilan, penentangan terhadap “berhala-berhala“ simbol kehidupan fana, kekuasaan, nafsu, egoisme, dan kebanggaan diri, semuanya harus digapai lewat perjuangan serius serta pengorbanan diri–demi mewujudkan sebuah penyerahan total kepada Tuhan.

Lukisan suasana Karbala, setelah Al Husain (as) syahid: memerangi simbol kehidupan fana, kekuasaan, nafsu, egoisme, dan kebanggaan diri

Jarak Terpendek adalah Garis Lurus

Itulah makna hakiki penghambaan (ibadah) kepada Allah SWT. Itulah shiratal mustaqiim, sebagaimana yang selalu diminta muslimin dalam salat.

Barangkali bisa kita analogikan bahwa shiratal mustaqiim dalam surat Al Fatihah itu semacam jalan tol, jalan bebas hambatan. Jalan yang lurus itu adalah juga jalur yang paling dekat. Ilmu ukur membuktikan bahwa “jarak terpendek dari dua buah titik adalah garis lurus yang menghubungkan keduanya“. Maka, kalau jaraknya terpendek, berarti jalan lurus itu adalah jarak yang terdekat.

Secara spiritual sejatinya Tuhan telah memberitahukan bahwa Dia memang dekat. Dan jalan terdekat mencapai-Nya adalah lewat jalan lurus. Karena itu, Dia menyuruh sang hamba menyeru-Nya. Tu han pun menjamin akan menjawab seruan itu, kecuali bila sang hamba bersikap “arogan“dalam beribadah kepada-Nya.

Sebab, ketika ada keangkuhan, muncullah jarak yang menganga lebar antara sang hamba dan Tuhannya, sehingga ia berada di tempat yang jauh “tak terjangkau“–dan akan dimurkai oleh Dia. Al-Quran sendiri memandang arogansi sebagai sumber kemusyrikan (politeisme), yang menyebabkan munculnya kezaliman; dan menganggap kezaliman sebagai kesesatan. Arogansilah yang menghancurkan penguasa seperti Namrud, Firaun, dan Yazid.

Mereka yang di jalan lurus itu, dalam surat Al-Fatihah, adalah mereka yang “telah mendapat nikmat” Tuhan; bukan mereka yang mendapat murka-Nya (al-maghdzuubi `alaihim) ataupun orang-orang yang tersesat (adh-dhalliien).

Ready to Die – Demonstran Siap Mati di Bahrain: menentang ketidakadilan oleh penguasa yang arogan

Para ulama menegaskan bahwa “nikmat“yang dimaksud tentulah bukan sekadar “kesenangan“duniawi yang rendah dan fana seperti harta atau takhta dan kekuasaan yang dimiliki Firaun,Yazid, atau Abu Jahal.Yang dimaksud mereka “yang diberi nikmat” adalah orang-orang yang dekat dengan Allah, seperti Nabi SAW, sahabat Nabi yang baik, dan ahlulbaitnya – yang berseberangan total dengan dua golongan lainnya.

Sedikitnya 17 kali sehari muslimin mengulangi permohonan itu dalam salat guna menunjukkan kerendahan hati kita bahwa kita bukan hamba yang arogan-karena kapan saja manusia bisa terjerumus ke jurang kezaliman atau tersesat. Di tengah jalan lurus yang penuh kerendahan hati itulah seorang hamba tunduk kepada Rabb-nya, semata-mata karena cinta kepada-Nya.

Rupanya kedekatan antara kita dan Yang Kita Cintai hanya bisa terwujud lewat perjuangan keras (“jihad“) membersihkan hati dari kotoran akibat memperturutkan nafsu duniawi, dan dengan menjalin cinta dengan sesama manusia sebagaimana dicontohkan di atas. Kisah di atas juga mengingatkan kita akan firman Tuhan kepada Nabi Musa (as), ketika Dia mengatakan,“Satu-satunya ibadah yang Aku hitung sebagai benar-benar ibadah kepada-Ku adalah membahagiakan orang-orang yang hancur hatinya.“

Itulah sesungguhnya makna Islam, seperti ditegaskan Nabi (saw) berikut ini:

“Sesungguhnya makna agama adalah mengenal Allah (ma’rifatullah), dan ma’rifatullah hakikatnya adalah bertingkah laku dengan akhlak yang baik. Akhlak adalah menghubungkan tali silaturahmi (kasih sayang), dan silaturahmi adalah `memasukkan rasa bahagia di hati saudara kita’.

Baca juga:

2 thoughts on “Emang Bisa, Berkorban Kayak Pahlawan?

Silakan Beri Komentar

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s