Kamu Pernah Ngalahin Setan? Ciyuus?


Sebelum menjawab pertanyaan di atas, baiklah mari baca dulu kisah ini.

Alkisah, putri Nabi Siti Fatimah dan keluarganya berpuasa. Ketika itu ia, suaminya, Ali bin Abi Thalib, dan kedua putra mereka yang masih belia, Hasan dan Husain, berpuasa tiga hari berturut-turut. Puasa itu untuk membayar hutang nazar, karena sebelumnya mereka punya kaul demi kesembuhan Hasan dan Husain dari sakit. Mereka berempat dikenal sebagai Ahlulbait Nabi SAW yang dijamin kesuciannya dalam Al-Quran.

Kaligrafi nama Fatimah (as)

Hari pertama, persis menjelang saat buka puasa, datang seorang pengemis yang kelaparan. Mereka berikan sedikit roti gandum yang mereka siapkan kepada sang pengemis, dan malam itu mereka hanya berbuka dengan minum air.

Hari kedua. Mereka puasa lagi. Menjelang buka, datanglah seorang anak yatim memohon makanan. Melihat anak kecil yang lapar, Ahlulbait Nabi itu merelakan makanan mereka. Pada hari kedua itu mereka kembali berbuka hanya dengan air.

Pada hari ketiga, seorang tawanan muncul. Ia juga meminta makan. Untuk ketiga kalinya, keluarga Ali dan Fatimah hanya berbuka dengan air.

Atas perilaku mulia itu, menurut Ibnu Abbas, Malaikat Jibril turun membawa wahyu — dan termaktub kisahnya dalam Al-Quran. Itulah rupanya akhlak sempurna atau “jalan lurus”yang diajarkan agama. Tanpa pamrih, keluarga Ali dan Fatimah menunjukkan bahwa mereka berkorban demi orang lain, semata-mata karena Tuhan. Kata mereka,“Kami tidak mengharap dari kalian balasan ataupun terima kasih…”

Nab saw (kanan) dgn malaikat Jibril di bangunan dengan 3 kubah (Sumber wikipedia).

Keteladanan berkorban demi orang lain itu amat penting sebagai cermin beragama di “jalan yang lurus”. Keluarga Nabi SAW mencontohkannya. Sebelum itu, kakek Nabi saw, yakni Nabi Ibrahim dan Ismail juga memberikan keteladanannya. Ibrahim berkomitmen mengorbankan nyawa anaknya. Sang putra sendiri, Ismail, siap sedia di meja sembelihan.

Saat itu Ibrahim telah menjadi tua dan sendirian. Di tengah kenabiannya, ia tetap seorang “lelaki” yang, sebagaimana manusia lainnya, sangat menginginkan anak laki-laki. Ismail sendiri adalah pemuda yang cerdas, dan berbudi. Ia adalah upah kehidupan yang penuh perjuangan.

Ismail membawa kebahagiaan bagi Ibrahim. Ia juga harapan, cinta, dan penerus keturunan Ibrahim — yang silsilahnya belakangan mengalir hingga Nabi Muhammad SAW dan anak cucunya. Tapi kini Tuhan memintanya mengorbankan “milik”yang paling dicintainya itu. Sekiranya pengorbanan yang diminta Tuhan adalah nyawanya sendiri, mungkin itu lebih mudah bagi Ibrahim.

Al-Quran pada periode Sultan Mamluk 2: mengajarkan pengorbanan untuk orang lain

Maka Ibrahim membawa anaknya ke Mina. Di situ Ibrahim masuk ke panggung untuk berevolusi, tempat idealisme diunggah, tempat kebebasan absolut yang disertai penyerahan total diwujudkan.

Kalau Ibrahim mengorbankan putranya, kita patut bertanya,“siapa”atau “apa”-kah Ismail kita? Jabatan? Kehormatan? Uang? Cinta? Keluarga? Ilmu? Hidup kita? Tak ada yang tahu, kecuali diri kita sendiri.

Versi lengkap tulisan ini awalnya pernah dimuat di bagian lain blog ini, dengan judul “Mana Ismail Kita”. Kali ini sengaja digubah seperlunya dan dipotong, untuk ditayangkan di “Lintas.Me”  buat Anda, pembaca yang budiman.

Tapi, menurut Ali Shariati, tanda-tanda “Ismail” kita adalah segala hal yang melemahkan keyakinan (iman), segala yang menyebabkan kita mementingkan diri sendiri, apa pun yang membuat kita tidak bisa mendengar pesan dan mengakui kebenaran, serta segala hal yang mendorong kita mencari pembenaran demi “kenyamanan”.

Itu sebabnya, satu-satunya cara mematuhi perintah Tuhan, sebagaimana dilakukan Ibrahim, adalah dengan melakukan “perang besar” melawan bisikan “setan” dalam ego sendiri. Maksudnya, agar manusia tidak merasa aman dan terlindungi dari pengaruh musuh itu: masih banyak jeratan kemegahan artifisial yang bisa membutakan. Manusia harus terus berusaha, dan minta kepada Allah, agar selalu bisa “diamankan”di jalan yang lurus — shiratal mustaqiim.

Sampai di sini, baiklah kita mojok dulu. Merenung dikit yuk. Berkontemplasi.

Apa kita, sebagai orang muda khususnya (atau orang tua juga sih sebenarnya…) pernahkah kita mengalami ‘perang’ itu. Kayak apa perangnya? Seru gak? Kalau kata bahasa anak Alay sekarang, apa perangnya itu ‘ciyus’ (serius)? Menang siapa? Menang si nafsu dan setan, atau kamu? Kamu bilang, kamu yang menang? Sumpah? Miapah (demi apa)?

Iya deh, percaya, pasti kamu bilang kamu yang menang. Memang selayaknya sebagai manusia kita yang menang, apalagi kalau kita masih pemuda.. Masa’ pemuda Indonesia kalah ama setan?

Tetapi, kalau mau jujur, kamu baru bisa mengaku menang kalau kamu berhasil tidak mementingkan diri sendiri melulu, menjunjung keadilan (ya termasuk juga adil gak nyerobot hak orang atau korupsi), dan kamu berhasil bikin orang-orang di sekitarmu senang. Kalau kamu Muslim, kemenangan itu berarti kamu sudah melaksanakan apa yang ditegaskan Nabi Muhammad saw tentang makna Islam yang sesungguhnya.

Begini kata beliau (saw): “Makna agama adalah mengenal Allah (ma’rifatullah), dan ma’rifatullah hakikatnya adalah bertingkah laku dengan akhlak yang baik. Akhlak adalah menghubungkan tali silaturahmi (kasih sayang), dan silaturahmi adalah `memasukkan rasa bahagia di hati saudara kita.”

Dan itu sangat sejalan dengan keteladanan Siti Fatimah dalam cerita di atas.

Baca juga:

10 thoughts on “Kamu Pernah Ngalahin Setan? Ciyuus?

  1. “Apakah Ajaran Islam Sudah Ada Semenjak Nabi Adam?” ketegori Muslim. Saya berfikir bahwa ajaran Islam sudah ada semenjak Nabi Adam AS, karena melalui beliau dan pada Nabi serta Rasul Allah SWT yang jumlahnya ratusan ribu orang sebenarnya adalah beraliran Islam semua, namun karena faktor manusia itu sendiri, maka ajaran tersebut walau telah diturunkan bersama beberapa kitab Allah SWT selalu dirubah di dalamnya oleh manusia itu sendiri dan menjadi menyimpang dari apa yang telah ditentukan oleh Allah SWT. Tetapi sepertinya kebanyakan orang Muslim tidak menyadari hal itu bahwa agama Allah telah ada dari zaman manusia diturunkan, jadi menurut saya Islam adalah agama terlama di muka bumi ini. Tidak seperti yang orang kebanyakan di seluruh dunia menilai bahwa ajaran Allah SWT baru ada mulai zaman Nabi Muhammad SAW.

  2. Tulisan yg Bagus dan penuh pencerahan. suka bangets. sempet kaget juga ada ilustrasi yg ada Nabi Muhammad saww. Tapi buat saya, Selama ilustrasi itu adalah pujian, menggambarkan kemuliaan Nabi yg agung, sama sekali ga masalah. seandainya ada yg protes, yah maklum aja, mungkin trauma, krn setiap ilustrasi/kartun ttg Rasulullah saww yg beredar adalah yg mengandung penghinaan, pelecehan. Atau mungkin juga protes krn adanya larangan dari ulama yg takut gambar2 Rasulullah saww akan menyebabkan penyembahan. Tapi mana mungkin, umat islam yg berakal dan berpikir akan menyembah Rasulullah saww. Menyembah hanya kepada Allah Yang Maha Agung. ini menurut saya loh pak…..
    Bapak selalu bisa bikin tulisan yg luar biasa..Subhanallah. Jazakallah khair ya pak.

    1. Terima kasih banyak Mbak Icha.
      Semoga tulisan-tulisan itu bermanfaat, termasuk buat saya sendiri sehingga bisa lebih banyak belajar.
      Jazakillah khairan katsieran juga ya, Mbak Icha.

  3. Tentu saja bukan. Mana mungkin Allah berdoa kepada nabi ciptaan-Nya sendiri. Tentu salah besar bila bershalawat di dalam ayat ini dimaknai dengan Allah berdoa. Yang dimaksud dengan Allah SWT bershalawat kepada Nabi adalah bahwa Allah SWT memberinya rahmat. Dan rahmat itu adalah kasih sayang yang selalu mendampingi beliau.

  4. artikel yg bagus hanya saja sebaiknya tidak memasang karikatur Nabi Muhammad saw dan Malaikat Jibril as…. bil dihingkang karikatur dari wikipedia akan lebih bagus

    1. Terima kasih banyak Sdr. Andhi.
      Sebagaimana saya tulis dalam jawaban kepada Sdr(i)Ivana, saya sudah cek mengenai gambar itu. Itu bukan karikatur, melainkan lukisan ilustrasi (dari manuskrip kuno) yang ada di musium berbagai negara (di Inggris, Turki, dan lain-lain), dan tersedia banyak di Internet, khususnya Wikipedia.

      Bung Andhi, saya senang sekali mendapatkan masukan (saran) yang positif dari Anda. Tetapi mohon maaf saya sudah cek ke beberapa ustadz mengenai hal itu. Beberapa simpulan adalah sbb:
      – Tidak ada larangan khusus mengenai hal itu dalam Al Quran.
      – Yang tidak boleh adalah bila gambaran mengenai Nabi Muhammad saw- Nabi kita yang sangat kita hormati — mengandung penghinaan atau pelecehan, sebagaimana yang diceritakan misalnya dalam film “The Innocence of Muslim” itu.
      – Memang ada ulama yang mengharamkannya (mungkin sekali berdasarkan hadis, bukan ayat Al Quran), tergantung pada ulama mazhab mana yang Anda ikuti. Di antara mazhab tertentu, bahkan ada yang melarang orang menggambar makhluk bernyawa, seperti burung, dsb. Kata mereka itu ‘haram’, karena Anda tidak bisa memberikan ‘nyawa’ (atau ruh) kepada makhluk itu.
      – Ada juga yang melarang menyimpan gambar (lukisan), atau patung, karena takut disembah (seperti umat agama tertentu). Untuk yang ini, jelas kita tidak bisa menerima, karena kita tidak mungkin menyembah lukisan atau patung siapa pun. Bahkan saat umat Islam bertawaf di Ka’bah, mencium Hajar Aswad, dan milyaran Muslimin solat menghadap Kiblat (Ka’bah), kita sama sekali tidak menyembahnya. Kita hanya menyembah Allah SWT, Tuhan Yang Esa, dan kita bersaksi bahwa Muhammad saw adalah hamba Allah dan Rasul-Nya yang terakhir.

      – Mari sama-sama membaca solawat kepada Nabi dan keluarganya serta sahabatnya yang baik. Allahumma solliy ‘alaa Muhammad wa aali Muhammad wa sohbihi wa sallim.

      Terimalah hormat saya, dan sekali lagi terima kasih.

    1. Maaf Ivana, saya pikir itu bukan visualisasi. Itu ilustrasi. lagi pula bukan saya yang membuatnya; melainkan itu adalah lukisan ilustrasi (mungkin dari manuskrip kuno) yang ada di musium, dan tersedia banyak di Internet (khususnya Wikipedia).
      Saya sudah cek ke beberapa ustadz mengenai hal itu. Ini jawaban mereka:
      – Tidak ada larangan khusus mengenai hal itu dalam Al Quran.
      – Yang tidak boleh adalah bila gambaran mengenai Nabi Muhammad saw- Nabi kita yang sangat kita hormati — mengandung penghinaan atau pelecehan, sebagaimana yang diceritakan misalnya dalam film “The Innocence of Muslim” itu.
      – Memang ada ulama yang mengharamkannya, tergantung pada ulama mazhab mana yang Anda ikuti. Di antara mazhab tertentu, bahkan ada yang melarang orang menggambar makhluk bernyawa, seperti burung, dsb. Kata mereka itu ‘haram’, karena Anda tidak bisa memberikan ‘nyawa’ (atau ruh) kepada makhluk itu.
      – Ada juga yang melarang menyimpan gambar (lukisan), atau patung, karena katanya takut menjadi sesembahan (seperti umat agama tertentu). Untuk yang ini, jelas kita tidak bisa menerima, karena meski sekiranya ada foto Nabi Muhammad saw (kalau saja pada jaman beliau itu sudah ada teknologi potret, misalnya) tetap saja kita tidak mungkin menyembah Nabi saw atau makhluk lain mana pun. Kita hanya menyembah Allah SWT, Tuhan Yang Esa, dan kita bersaksi bahwa Nabi saw adalah hamba Allah dan Rasul-Nya yang terakhir.

    2. Tulisan yg Bagus dan penuh pencerahan. suka bangets. sempet kaget juga ada ilustrasi yg ada Nabi Muhammad saww. Tapi buat saya, Selama ilustrasi itu adalah pujian, menggambarkan kemuliaan Nabi yg agung, sama sekali ga masalah. seandainya ada yg protes, yah maklum aja, mungkin trauma, krn setiap ilustrasi/kartun ttg Rasulullah saww yg beredar adalah yg mengandung penghinaan, pelecehan. Atau mungkin juga protes krn adanya larangan dari ulama yg takut gambar2 Rasulullah saww akan menyebabkan penyembahan. Tapi mana mungkin, umat islam yg berakal dan berpikir akan menyembah Rasulullah saww. Menyembah hanya kepada Allah Yang Maha Agung. ini menurut saya loh

Silakan Beri Komentar

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s