Ternyata Syiah Sudah Lama Dibantai


Peristiwa penyerangan dan penganiayaan terhadap Muslimin Syiah model Sampang bukan kali ini saja. Sejak lama mereka selalu dikejar, dituding, difitnah. Dibunuh. Bahkan Khalifah Ali bin Abithalib (yang menjadi Imam Syiah pertama) pun dikutuk selama puluhan tahun oleh penguasa Bani Umayyah.

Para pecinta keluarga (Ahlul Bait) Nabi saw itu punya contoh teladan, ketika cucu Nabi saw, Al Husain as dibantai di Karbala.

Banyak yang mengatakan bahwa sekiranya tidak ada lembaran hitam dalam sejarah Islam (yang dilakukan Yaziz bin Muawiyah), mungkin kita tidak menemukan adanya mazhab Syiah dalam Islam, tidak ada mazhab Sunni. Yang ada adalah Islam.

Sekarang, itu semua sudah menjadi sejarah. Seluruh pihak mesti menerima perbedaan sebagai keniscayaan. Tidak perlu ada pertikaian, saling cerca, apalagi saling melukai. Jangankan sesama Muslim, bahkan kepada pengikut agama lain pun semua pengikut Nabi Muhammad saw mesti menghormati, saling bertoleransi dan menghargai satu sama lain.

Feb. 27, 2008 - Shi'a and Sunni Muslims make t...
Shi’a and Sunni Muslims make their way to the Imam Husayn Shrine in Karbala, Iraq, Feb. 27, 2008, during their pilgrimage in observance of the Arba’een and Ashura holidays. Only since the removal of Saddam Hussein have Iraqis been able to take part in the pilgrimage. (U.S. Navy photo by Petty Officer 1st Class Denny C. Cantrell) (Photo credit: Wikipedia)

Bila kita ingin Indonesia tetap dalam naungan NKRI dan tidak tercabik-cabik seperti Afghanistan atau Irak, umpamanya, tiga jutaan pemeluk Islam Syiah Itsna’asyariyah (12 Imam) yang ada di Bumi Pertiwi harus menghormati saudaranya yang Sunni, dan sebaliknya: penganut Islam Sunni juga selayaknya menghargai perbedaan pemikiran yang dianut pengikut Islam Syiah 12 Imam (Itsna’asyariyah).

Yang mesti diingat adalah bahwa mazhab Syiah telah diterima di dunia Islam sejak lama. Bahkan Syeikh Al-Azhar Mahmoud Shaltout sejak tahun 1959 telah menyatakan bahwa mazhab Syiah adalah sama sahnya sebagai mazhab Islam yang lain.

Sejak lama para ulama, termasuk Syaikh Al-Azhar Mahmoud Syaltout menyatakan bahwa Syiah termasuk salah satu mazhab Islam yang sah.
Sejak lama para ulama, termasuk Syaikh Al-Azhar Mahmoud Syaltout menyatakan bahwa Syiah termasuk salah satu mazhab Islam yang sah.

Berikut di bawah adalah film tentang tragedi Ahlul Bait Nabi saw itu. Film ini mengisahkan cucu Nabi saw yang dibantai (oleh mereka yang juga mengaku Islam) di Karbala, Iraq. Film dengan teks bahasa Indonesia ini cukup menguras air-mata setiap Muslim pecinta Nabi saw yang melihatnya:

Film kedua di bawah berjudul “Green Star”, juga melengkapi film yang di atas. Meski dalam bahasa Urdu, film dengan teks bahasa Inggris ini mudah dimengerti. Bila belum mau menonton versi lengkapnya, di bawahnya Anda dapat melihat potongan film tersebut pada bagian 8.

Berikut di bawah adalah bagian 8 dari potongan film di atas:

16 thoughts on “Ternyata Syiah Sudah Lama Dibantai

  1. Salaamun’alaikum Syafiq Basri…Syukron atas amal ibadahmu…
    Sukses dan Bahagia slalu atasmu dan atas keluargamu

    Allahumma ameen ya Rabb..
    Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa ali Muhammad wa ‘ajjil faraja Al Mahdi wa Isa Al Masih Ba’dah..

    1. Wa’alaikum salam wa rahmatullahi wa barokaatuh.
      Terima kasih, Bung Muhammad.
      Semoga Allah berikan yang lebih lagi kepada Anda dan keluarga. Ilaahi Yaa Kariim.
      Solallahu ‘alaa Muhammad wa aali Muhammad.

  2. Pada masa pemerintahan Dinasti Abbasiyah (750 – 1250) hasil kajian (ijtihad) ulama mulai terpolarisasi secara formal dalam bentuk aliran dan madzhab. Pada masa itu muncul dua aliran besar dalam Islam yaitu sunni dan syi′i atau syiah yang terkenal sampai sekarang ini. Selain itu masih terdapat beberapa aliran yang muncul kemudian baik sebagai pecahan dari kedua aliran besar maupun berdiri sendiri. Salah satu di antara aliran yang muncul kemudian adalah Ahmadiyah yang didirikan pada 1889 di Qadian, India. Selain aliran, muncul pada masa itu beberapa mazhab yaitu polarisasi dari pemahaman para ulama terhadap syariah yang terkenal dengan fikhi. Mazhab yang terkenal adalah Malikiyah, Hanafiyah, Syafiiyah, dan Hambaliyah dari Sunni serta mazhab Syiah, dan mazhab lainnya.

  3. Begitulah, orang melihat apa yang ingin dilihatnya. Mereka yang berkiblat pada Yazid, Muawiyah dan para pelanjutnya, tentu saja sulit menerima kenyataan bahwa cucunda Baginda Nabi saw – Junjungan dan Kekasih kita semua – Hussain bin ‘Ali bin Abi Thalib, beserta sanak keluarganya, habis dibantai di Karbala.

    Saya sesekali merenung; boleh jadi Islam sampai sekarang “tidak berdaya” karena mayoritasnya berkiblat kepada Yazid bin Muawiyyah.

    Alangkah sulitnya membayangkan harus menjadi pengikut mereka yang jelas sudah membantai – atau memerintahkan – membantai keturunan nabi Muhammad saw . . . .

    Mengapa film pertama tidak dapat dilihat? Kalau yang ke-2 dan ke-3 baik-baik saja. Terima kasih sudah berbagi (meskipun mula-mula bingung melihat film ini. Tadinya saya mengira bahwa Mirian itu Siti Maryam, bunda Nabi Isa a.s)

    1. Terima kasih Teh Mieke.. Tapi saya kira yang berkiblat kepada Yazid bin Muawiyah bukan mayoritas kok. Mereka itu kecil saja, tapi memang banyak uang barangkali. Mayoritas saudara Muslimin di dunia (yang bermazhab Sunni) menghormati keluarga Nabi saw.

      Film pertama sulit ya? Mungkin bisa dicoba googling lagi, dengan menggunakan kata kunci yang relevan di youtube.

  4. orang yang mengaku cinta rasul maka akan mencintai seluruh keluarga rasul(ahlul bait)

    saudara syafiq…boleh dijelaskan bagaimana komentarnya ttg beberapa kesesatan pokok2 ajaran dalam syiah..yg di utarakan MUI? bagaimana pula kesahihan hadis riwayat muslim dalam hadis arbai’in an-nawawiyah hadis 2 tentang iman, islam dan ihsan.syukron

    1. Terima kasih lagi, Sdri. Sumarni Imas atas pertanyaan Anda yang sangat menarik.

      Saya tidak tahu tuduhan sesat mana yang Anda maksudkan. Tapi baiklah saya ringkaskan sebuah tulisan seorang Ustadz berikut ini:

      Lazimnya, tuduhan sesat itu dimulai dengan tuduhan bahwa Syiah itu buatan “Abdullah bin Saba” (sang Yahudi pada era sahabat yang dikatakan sebagai orang musyrik). Dengan demikian, tentu saja yang musyrik itu sesat, dan orang yang sesat itu kafir; kemudian bila sementara orang menyimpulkan bahwa orang kafir itu najis, maka:

      Apabila Syiah itu najis, kafir, musyrik dan sesat lalu mengapa pemerintah Saudi (yang berasaskan ideologi Wahabiyah) dan telah berkuasa di Jazirah Arabia sejak 23 September 1932 itu masih mau menampung 15% warga negaranya yang Syiah (yang kebanyakannya bermukim di Wilayah Timur, Mantaqah Sharqiyah, Saudi), serta menikmati pajak penghasilan mereka—dan tidak mengusir atau melokalisir mereka seperti yang diinginkan oleh sebagian oknum di Indonesia terhadap sesama warga bangsa Indonesia sendiri di sebuah negara yang jelas-jelas sekuler dan menghargai perbedaan agama dan keyakinan? Mengapa pula mereka (pemerintah Saudi) mengizinkan jutaan orang Syiah berkunjung ke Mekah dan Madinah untuk menyelenggarakan ibadah umroh dan haji? Mereka juga tidak pernah memfatwakan bahwa Syiah itu adalah ajaran/agama sesat, kafir, najis sehingga mereka sudah tidak boleh lagi melakukan ibadah umroh atau haji? (Bukankah Dua Kota Suci, Mekah dan Madinah, hanya boleh dimasuki oleh umat Islam saja?)

      Mungkin baik sekiranya Anda berkenan membaca beberapa buku yang ditulis oleh ulama Syiah atau yang netral. Salah satu di antaranya adalah buku yang memuat surat-menyurat antara ulama Sunni (dari Al-Azhar Mesir) dan ulama Syiah.Buku itu berjudul “Dialog Sunnah Syiah”, yang merupakan terjemahan dari kitab “Al-Muroja’aat” (bahasa Arab).

      Semoga jawaban singkat itu memuaskan. Sekali lagi terima kasih atas perhatian Anda.

  5. saya Insya Allah mencintai keluarga ahlul bait… dan melaknat sekelompok orang yang membantainya..saudara syafiq basri sekiranya bisa dijelaskan bagaimana komentarnya tentang beberapa kesesatan ajaran pokok dalam syiah yang diutarakan oleh ulama-ulama kita salah satunya adalah mengenai rukun iman dan rukun islamnya…misalnya saya Insya Allah mengakui kesahihan HR muslim ttg iman, islam dan ihsan yang perawinya bersumber dari Umar bin Khattab…seperti diketahui syiah sangat bersebrangan dengan umar dan tidak mengakui umar sahabat nabi…

    1. Terima kasih, Sdri. Imas. Syukurlah kalau Anda juga mencintai keluarga Ahlul Bait Nabi saw. Semoga kelak Anda (juga saya dan saudara-saudara kita) memperoleh syafaat Rasulullah dan keluarganya yang suci.

      Mengenai jawaban soal rukun iman dan rukun Islam itu, baiklah saya share tulisan berikut ini (yang saya kutip dari Ust.Muhsin Labib):

      Rukun iman dan Rukun Islam ; Produk Interpretasi Sektarian atau Dogma Final?

      Artikel di bawah ini menyoroti dua pasang istilah yang karena disalahpahami telah menjadi salah satu penyebab tertumpahnya darah sesama M uslim, sesama warganegara dan sesama manusia, yaitu Rukun iman dan Rukun Islam.

      Rukun iman

      Banyak orang menjadikan enam rukun iman sebagai salah satu kriteria pembeda antara mukmin dan sesat. Sebagian masyarakat awam menganggap rukun iman dan rukun Islam sebagai paket yang “turun dari langit” yang dipandang final dan tak layak didiskusikan, bukan sebuah produk interpretasi tentang agama dan akidah yang tentu saja spekluatif dan subjektif. Sehingga karena mindset inilah tidak sedikit tuduhan “sesat” dengan mudah dilemparkan terhadap orang atau aliran yang berbeda dalam merumuskan prinsip akidah.
      Benarkah itu sudah final? Bila tidak alergi terhadap kristisisme, mari mengamati substansi dan sistematika enam rukun tersebut.
      Pertama
      Enam rukun iman mazhab ini didasarkan pada al-Qur’an. Yang perlu diketahui ialah perbedaan antara ‘percaya kepada’ dan ‘kepada bahwa’. Sejauh pengetahuan saya, semua item dalam rukun iman itu lebih difaokuskan pada ‘kepercayaan kepada’, bukan ‘kepercayaan tentang’. Padahal kepercayaan kepada Allah, malaikat dan lainnya adalah buah dari kepada tentang wujud Allah, malaikat dan lainnya. Inilah paradoks yang terlewat oleh banyak orang.

      Kedua
      Dasar pembentukan rukun iman dalam mazhab Asy’ariah adalah teks suci. Padahal menjadikan teks sebagai dasar kepercayaan yang merupakan produk spekulasi rasional kurang bisa dipertanggugjawabkan. Tapi apabila al-Qur’an dijadikan sebagai dasar keimanan kepada Allah, yang merupakan sila pertama dalam rukun iman, maka konsekuensi logisnya, kepercayaan kepada al-Quran mendahului kepercayaan kepada Allah. Bukankah al-Qur’an diyakini sebagai wahyu Allah setelah meyakini keberadaan Allah dan setelah mengimani orang yang menerimanya (nabi)? Kepercayaan akan keberadaan Allah mesti diperoleh dengan akal fitri sebelum mempercayai al-Quran. Al-Quran adalah petunjuk bagi yang telah beriman, sebagaimana ditegaskan dalam ayat-ayat suci di dalamnya. Al-Quran adalah pedoman bagi yang mengimani Allah dan nabinya. Artinya, al-Quran dijadikan sebagai dasar setelah memastikan wujud Allah dan kemestian kenabian Muhammad.

      Ketiga
      Dalam teologi Asy’ariyah rukun iman mendahului rukun Islam . Padahal dalam sebuah ayat suci melukiskan bagaimana orang-orang Arab Badui mengakui telah beriman tapi Nabi s.a.w. diperintahkan untuk mengatakan kepada mereka bahwa mereka belumlah beriman melainkan baru ber-Islam , sebab iman belum masuk ke dalam hati mereka (lihat, QS al-Hujurât, 49: 14): “Orang-orang Arab Badui itu berkata: “Kami telah beriman”. Katakanlah: “Kamu belum beriman, tapi Katakanlah ‘kami telah tunduk’, karena iman itu belum masuk ke dalam hatimu; dan jika kamu taat kepada Allah dan Rasul-Nya, Dia tidak akan mengurangi sedikitpun pahala amalanmu; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”

      Keempat
      Rukun pertama adalah keimanan kepada Allah. Apa maksud dari kalimat ini? Apakah meyakini keberadanNya saja ataukah keesaannya? Sekadar ‘kata kepada Allah’ masih menyimbang banyak pertanyaan.2) Apakah iman ini berhubungan dengan ‘iman kepada’ ataukah ‘iman tentang ketuhanan’? persoalan teologi tidak sesederhana yang dibayangkan oleh sebagian orang. Pernahkah kita mendengar ayat yang terjemahannya (kurang lebih), “Dan apabila kau (Muhammad) tanya mereka, siapa yang menciptakan langit dan bumi, niscaya mereka berkata, Allah”. Bukankah ini sudah memenuhi standar keimanan kepada Allah?

      Kelima
      Rukun kedua adalah iman kepada malaikat. Mestinya bukan iman kepada para malaikat, tapi iman tentang malaikat. ‘Iman kepada’ mestinya muncul setelah ‘iman tentang’. Selain itu, iman kepada malaikat semestinya tidak muncul setelah iman kepada Allah (iman akan wujud Allah). Bagaimana mungkin bisa meyakini wujud para malaikat lengkap dengan departemen-departemannya sebelum mempercayai al-Quran yang mewartakannya? Kemudian, alasan yang mungkin dikemukakan oleh pendukung ialah bahwa iman kepada para malaikat itu tercantum sebagai salah satu sifat mukmin dalam al-Quran. Memang benar. Tapi, bila kepercayaan kepada atau tentang wujud para malaikat dianggap sebagai rukun (keyakinan fundamental) karena tertera dalam al-Quran, maka bukankah seluruh yang diberitakan dalam al-Quran juga mesti dijadikan rukun pula. Bayangkan berapa banyak yang mesti dicantumkan dalam list rukun itu! Bukankah semua yang ada dalam al-Quran mesti diimani (dipastikan adanya)? Kalaupun keimanan kepada (tentang) para malaikat memang sebuah keharusan, tapi mestikah dijadikan rukun? Apa alasan rasional dan implikasi teologis dari keimanan kepada malaikat sehingga layak menempati urutan kedua dalam rukun iman, apalagi rukun yang mendahului iman kepada kenabian?

      Keenam
      Rukun ketiga adalah iman kepada (tentang) kitab-kitab suci.1) Apa yang dimaksud dengan iman kepada kitab-kitab suci? Apakah kita mesti beriman kepada Injil, Taurat dan zabur sebagai kitab Allah? Ataukah kita mesti meyakini bahwa Injil, Taurat dan Zabur pernah menjadi kitab-kitab suci? Apakah al-Quran juga termasuk di dalamnya? Bila al-Quran juga termasuk di dalamnya? Mana mungkin kita mengimani al-Quran dari teks al-Quran? Logiskah meyakini al-Quran sebagai wahyu karena al-Quran menetapkannya demikian di dalamnya? Selain itu, mestinya keimanan tentang Injil, Taurat dan Zabur sebagai kitab suci bersumber dari al-Quran, tapi meyakini al-Quran sebagai wahyu Allah bersumber dari kenabian Muhammad saw. Padahal keimanan kepada para nabi muncul setelah keimanan kepada kitab-kitab suci. Ini benar-benar membingungkan. Lagi pula, apa urgensi keimanan kepada (tentang) kitab-kitab itu sebagai rukun? Mengimaninya memang keharusan, tapi mengapa dijadikan sebagai rukun? Lagi-lagi, bila alasannya dicantumkan dalam list rukun iman karena tertera dalam al-Quran, maka mestinya banyak hal lain dalam al-Quran yang bisa dimasukkan dalam rukun-rukun iman.

      Ketujuh
      Rukun keempat adalah iman kepada (tentang) para rasul. Apakah yang dimaksud dengan ‘para rasul’ itu semua utusan minus Nabi Muhammad? Bila ya, mestinya hal itu diyakini setelah meyakini kenabian Muhammad saw. Padahal keyakinan akan kenabian Muhammad mesti tidak didasarkan pada al-Quran, karena keyakinan akan kebenaran al-Quran bersumber dari keyakinan akan kebenaran klaim Muhammad saw sebagai nabi. Keimanan kepada kebenaran al-Quran sebagai wahyu adalah konsekuensi dari keyakinan akan kebenaran Muhammad sebagai nabi. Bila tidak, artinya keimanan kepada para rasul plus Muhammad, maka hal itu menimbulkan kontradiksi. Bagaimana mungkin meyakini nabi Muhammad dan para nabi yang tercantum dalam al-Quran, padahal keyakinan akan al-Quran sebagai kitab wahyu muncul setelah keyakinan akan kebenaran klaim kenabian Muhammad saw sebagai nabi.

      Kedelapan
      Rukun kelima adalah iman tentang ketentuan Allah, baik dan buruk. Ini salah satu paradoks teologi yang paling membingungkan. Poin kelima ini telah dikritik oleh para teolog Sunni kontemporer karena dianggap sebagai sumber fatalisme.

      Kesembilan
      Rukun keenam adalah iman kepada (tentang) hari akhir. Inilah poin keimanan yang letaknya paling sistematis. Ia memang pantas berada di urutan terakhir. Hanya saja, perlu diperjelas, apakah hari akhir itu hari kiamat (di dunia) atau hari setelah kebangkitan (pasca dunia).

      Kesepuluh
      Yang mengejutkan ialah, bahwa manusia yang mengimani enam rukun diatas, meski tidak mengucapkan dua kalimat syahadat, bisa dianggap mukmin. Mengapa?

      Rukun Islam

      Pertama
      Rukun iman Asy’ariyah tidak memuat dua kalimat syahadat. Ini cukup menimbulkan kebingungan. Padahal, kadar minimal dari iman yang mesti dipenuhi adalah iman kepada Allah Yang Esa, Kerasulan dan Kebangkitan. Inilah yang menuntut penerapannya secara lahir melalui shalat, puasa dan lainnya.
      Sedangkan batas terbawah dari kekufuran adalah pengingkaran secara terang-terangan terhadap suatu perkara setelah menyadari kebenarannya, dan bertekad untuk menentangnya. Syirik (mengingkari tauhid) salah satu pemuncak kekufuran.
      Kedua
      Rukun Islam dalam teologi Asy’ariyah dimulai dengan kesaksian bahwa tiada Tuhan selain Allah dan bahwa Muhamamad adalah utusan Allah. Konsekuensinya yang pertama, bila rukun iman mendahului rukun Islam , maka seseorang bisa dianggap mukmin sebelum mengucapkan dua kalimat syahadat.
      Konsekuensi kedua, bila dua kesaksian tersebut berdiri sejajar dengan shalat, puasa dan ibadah lainnya, maka penyebutan dua kata tersebut hanyalah bersifat fiqhiah, normatif, ta’abbudi, bukan aqidah dan produk inteleksi. Konsekuensi ini muncul sebagai akibat dari diturunkannya penyaksian ini pada rukun Islam .
      Konsekuensi ketiga, kesaksian akan Allah dan kerasulan hanyalah sebuah ibadah yang masuk dalam regulasi fikih dengan hukum wajib, sebagaimana shalat dan puasa.
      Konsekuensi-konsekuensi demikian sungguh membingungkan. Betapa tidak, dua kalimat syahadat itu adalah intisari dari totalitas dan iman dan Islam .

      Ketiga:
      Dalam rumusan rukun Islam . shalat menempati urutan kedua setelah syahadat. Padahal secara sistematis, syahadat tidak berdiri sejajar dengan shalat, karena shalat memerlukan syahadat, sedangkan syahadat tidak memerlukan shalat. Mestinya shalat tidak berada dalam posisi berurutan dengan syahadat, atau syahadat semestinya tidak berada dalam satu kavling dengan shalat. Shalat bahkan tidak sah tanpa syahadat. Itu artinya, syahadat menjadi syarat bagi keabsahan shalat. Relasi antara keduanya tidak bersifat mutual. Bila diposisikan sejajar, maka ia menjadi semacam poin optional sebagai puasa dan zakat. Seseorang tetap disebut Muslim bila bersyahadat meski tidak shalat, puasa dan zakat. Sebailnya, tanpa syahadat, shalat dan puasa tak sah. Dengan kata lain, akan lebih aman secara sistematis, bila syahadat tidak menjadi salah satu bagian dalam rukun Islam .

      Keempat
      Menempatkan puasa sebagai bagian dari rukun Islam setelah shalat memang tepat, karena ia dan shalat sama-sama bersifat ritual dan praktis. Ini sama sekali berbeda dengan syahadat yang lebih ditekankan aspek pemikiran dan teoritikalnya. Zakat dan haji pun demikian, sudah tepat berada dalam urutan berikutnya. Hanya saja,shalat, puasa, zakat dan haji terasa lebih bersifat ritual. Akan lebih sempurna, bila ibadah sosial juga masuk di dalamnya seperti Amar makruf dan Nahi Mungkar yang bias ditafsirkan sebagai kewajiban menegakkan keadilan sosial dan memberantas kezaliman termasuk korupsi.

      Interpretasi Sektarian

      Rumusan Rukun iman dan Rukun Islam adalah konsensus atau konvensi, sementara sesungguhnya banyak dasar yang menunjukkan bahwa Rukun Islam dan Rukun iman bisa didefinisikan dan ditetapkan sebagai memiliki jumlah dan kandungan yang berbeda.

      Pertama:
      Rukun iman dan Rukun Islam yang dikenal luas oleh masyarakat di Indonesia hanyalah interpretasi spekulatif (pemikiran) yang tidak mewakili pandangan teologi Sunni secara menyeluruh, karena Asyariyah adalah satu satu mazhab dalam himpunan mazhab Ahlussunnah.
      Mazhab teologi Almaturidiyah dan Mu’tazilah, yang notabene lebih “sunni” dari Syiah mempunyai rumusan sendiri tentang substansi rukun iman dan rukun Islam yang berbeda dengan rumusan Asya’riyah.
      Ahlulhadits dan Teologi Salafi yang mengaku menganut teologi Ahmad bin Hanbal juga memberikan rumusan detail tentang akidah yang berbeda dengan Asy’ariyah. Sejarah membuktikan adanya ketegangan berdarah antara penganut Asy’ariyah dan Ahlul-Hadits, yang sama-sama Sunni, dalam sengketa seputar Kalam Allah.
      Kedua:
      Rukun iman dan Rukun Islam yang dikenal luas oleh masyarakat Muslim Indonesia sebenarnya adalah salah satu penafsiran teologis yang dirumuskan dari sebagian riwayat-riwayat dalam khazah hadis dan Sunnah.
      Dalam literatur hadis Ahlussunnah sendiri terdapat banyak riwayat yang menyebutkan versi berbeda dengan Rukun iman dan Rukun Islam yang dibakukan dalam teologi Asy’ariah.

      Di bawah ini sebagian buktinya, sesuai dengan hadis-hadis sahih di kalangan Ahlus-sunnah:

      Hadis sahih riwayat Imam Bukhari dan Imam Muslim dalam kitab Sahih-nya,1/30 Bab al Imân Ma Huwa wa Bayâni Khishalihi:
      Riwayat dari Bukhari:
      Dari Abu Hurairah, dia berkata, “Pada suatu hari, Nabi saw. muncul di hadapan orang-orang. Kemudian Jibril mendatanginya dan berkata, ‘Apakah iman itu?’ Beliau menjawab, ‘Engkau beriman kepada Allah, malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, percaya kepada pertemuan dengan-Nya, kepada rasul-rasul-Nya dan Anda percaya kepada yang ghaib.’”
      Riwayat dari Muslim:

      Dari Abu Hurairah, dia berkata, “Pada suatu hari, Nabi saw. muncul di hadapan orang-orang. Kemudian Jibril mendatanginya dan berkata, ‘Apakah iman itu?’ Beliau menjawab, ‘Engkau beriman kepada Allah, malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, percaya kepada pertemuan dengan-Nya, kepada rasul-rasul-Nya dan Anda percaya kepada yang ghaib.’”
      Hadis di atas menyebutkan bahwa Rukun iman itu hanya:
      (1) Beriman kepada Allah,
      (2) Kepada para malaikat,
      (3) Kepada kitab-Nya,
      (4) Perjumpaan dengan-Nya,
      (5) Kepada para rasul.

      Tidak ada sebutan apapun tentang kewajiban percaya kepada Qadha’ dan Qadar.

      Hadis sahih dalam riwayat Imam Muslim dalam kitab Sahih-nya,1/35 Bab al Amru Bil Imân Billah wa rasûluhi, seperti di bawah ini:

      قال امرهم بالايمان بالله وحده، وقال هل تدرون مالايمان بالله ؟ قالوا الله ورسوله اعلم، قال شهادة ان لااله الا الله وأن محمدا رسول الله واقام الصلاة وايتاء الزكاة وصوم رمضان وان تؤدوا خمسا من المغنم

      “Aku perintahkan kamu agar mengesakan keimanan hanya kepada Allah! Tahukan kamu apa iman kepada Allah itu?” Mereka menjawab, ”Tidak.” Beliau bersabda, ”Bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah, dan sesungguhnya Muhammad adalah Rasul Allah, menegakkan shalat, membayar zakat, berpuasa di bulan Ramadhan dan membayar khumus (seperlima dari keuntungan/perolehan).”

      Hadis di atas menegaskan bahwa inti keimanan itu sebagai berikut:
      1. Bersaksi Tiada Tuhan Selain Allah,
      2. Dan bersaksi Muhammad adalah rasul Allah,
      3. Menegakkan shalat,
      4. Membayar zakat,
      5. Berpuasa di bulan Ramadhan
      6. Membayar khumus.

      Dengan demikian, ketiadaan unsur-unsur tertentu dalam rumusan Rukun Islam dan Rukun iman tak boleh dipahami bahwa unsur-unsur tersebut adalah prinsip yang niscaya dalam keIslam an dan keimanan seseorang.

      Ketiga :
      Kata “rukun iman” dan “rukun Islam ” adalah rumusan yang dibuat berdasarkan interpretasi kelompok dan aliran Asy’ariyah, bukan dogma final yang “wajib” diterima tanpa bias didiskusikan oleh siapapun, sehingga tidak akan pernah absah menjadi parameter menilai sesat dan tidak sesat. Dengan kata lain, tidak mengikuti rumusan teologi Asy’ariyah yang lazim disebut “Rukun Iman” dan “Rukun Islam ” tidak bisa serta merta ditafsirkan sebagai menolak prinsip-prinsip dasar akidah Islam . Menilai apalagi mensesatkan keyakinan orang yang tidak sekeyakinan dengan dasar keyakinan sendiri tidaklah bijak dan menghalangi harapan kerukunan antar Muslim

      Akhirnya, tujuan penulisan artikel ini tidak mempersoalkan atau menyalahkan rumusan akidah Asy’ariyah, namun sekedar klarifikasi bahwa Rukun iman dan Rukun Islam yang dikenal luas oleh msyarakat Muslim di Tanah Air bukanlah doktrin yang diterima oleh semua mazhab Islam , termasuk mazhab Sunni non Asy’ariyah. Karenanya, bila ada yang meyakini rumusan akidah tidak sama dengan rumusan akidah Asy’ariyah, maka hal itu semata-mata karena berbeda landasan argumentatif dan metode perumusannya. Bila demikian, rumusan tersebut (Rukun iman dan Rukun Islam versi Asy’ariyah) tidak bisa dijadikan sebagai parameter menilai apalagi mensesatkan selainnya.
      Semoga umat Islam Indonesia makin dewasa dan sadar bahwa Islam itu satu selamanya, namun cara pandang dan penafsirannya tidak selalu satu.

      *) Ditulis oleh Muhsin Labib, santri berjaket dari Jember.

      1. Alhamdulillah, sangat mencerahkan. Terima kasih – juuzitum ‘anni khairan – telah memuat ulang tulisan Santri Berjaket dari Jember.

        Saya biasa mencoba membandingkan masalah perbedaan pemahaman atas sumber yang sama – apalagi atas sumber yang berbeda – dengan mengambil contoh guru yang mengajar di depan kelas. Jelas sumbernya sama, yaitu si Guru, namun saat ulangan, mengapa ada siswa yang menjawab Utara, Timur, Selatan atau Barat. Saat dikonfirmasi, ada siswa yang menjawab : “Bu, saya membaca dalam buku lain.” Ada juga yang mengatakan, “Saya kurang faham atas apa yang Ibu jelaskan. sudah mencoba mempelajari sendiri, bertanya ulang pada Ibu, maupun teman, tetap saja kurang faham” . . . dlsb.”

        Jadi, saya sendiri membiasakan diri tenang-tenang saja melihat orang yang berbeda dari apa yang saya lakukan atau yang saya yakini. Herannya, mengapa tetap saja ada orang yang ingin mengomentari dan menyalahkan saya, hanya karena saya berbeda dari mereka?

        Saya sesekali menjawab dengan, “Bagaimana bila kita tangkap ruhnya saja?” – misalnya dalam cara shalat yang sedikit berbeda (tangan saya lurus, tidak bersedekap) – yaitu Inna sholaata tanhaa ‘anil fakhsya – i- wal munkar. atau dengan “Apa esensi diutusnya Nabi Muhammad saw.”

        Saya bersyukur berkenalan dengan blog ini – alhamdulillah. Semoga lebih banyak lagi pencerahan yang saya peroleh. Salam

  6. Dari siapa sumber kisah fiktif Husein dibunuh oleh pasukan Yazid?

    Bukankan kisah lain menyatakan bahwa Husein dibunuh oleh majusi Parsi yang bernama Jabban bin Harmuzon di kantor gubernuran Kufah?

    1. Terima kasih Sdr.”Islam saja”. Rasanya baru sekarang ini ada yang menyangsikan kisah yang sudah melegenda lebih dari 1300 tahun, dan termaktub di berbagai buku yang ditulis orang Islam atau pun non Muslim, itu. Untuk sekedar contoh, baiklah saya kutipkan beberapa buku yang ditulis oleh sarjana non-Muslim berikut ini, just for the sake of argument:
      – Reynold Alleyne Nicholson (1868-1945) Professor Bahasa Arab di Universitas Cambridge.
      “Husain jatuh, tertembus anak panah, sementara semua pengikut setianya yang berani tewas terluka parah karena pedang. Tradisi pengikut Muhammad yang bermusuhan dengan dinasti Umayah, menganggap Husain sebagai seorang syuhada dan Yazid adalah pembunuhnya.”
      [A Literary History of the Arabs, Cambridge, 1930, h. 197 ]
      – Peter J. Chelkowski, Profesor Studi Timur Tengah, Universitas New York. “Husain berangkat dari Mekah bersama keluarga dan sahabatnya yang berjumlah sekitar tujuh puluh pengikut. Tapi di Karbala mereka ditangkap dalam sebuah penyerangan yang diperintahkan oleh khalifah, Yazid. Walaupun sudah pasti akan kalah, Husain tetap menolak untuk menyerah. Dikelilingi banyak pasukan musuh, Husain dan sahabatnya bertahan tanpa air selama sepuluh hari di gurun panas Karbala. Akhirnya Husain, orang-orang dewasa serta beberapa anak laki-laki dari keluarga dan sahabatnya tewas dihujani anak panah dan tertebas pedang pasukan tentara Yazid; wanita dan anak-anak yang tersisa ditawan oleh Yazid di Damaskus. Sejarawan terkemuka, Abu Raihan al-Biruni menyatakan; “…kemudian tentara-tentara itu menyalakan api untuk membakar perkemahan mereka sementara tubuh mereka diinjak-injak kaki kuda pasukan itu; disepanjang sejerah peradaban manusia belum pernah tercatat kekejaman serupa itu.” [Ta’ziyeh: Ritual and Drama in Iran, New York, 1979, h. 2]

      Penghormatan umat Islam terhadap Imam Husain dilandasi berbagai dalil yang amat kuat. Salah satunya, di dalam salah satu hadis diriwayatkan bahwa Nabi saw melihat kepada Ali, Fatimah, Hasan dan Husain, dan kemudian beliau (saw) mengatakan, ”Aku memerangi (bermusuhan) dengan mereka yang melawan kalian, dan berdamai dengan orang-orang yang menggembirakan kalian.” Jika ada pengikut Nabi saw yang masih meragukan pada yang hadis di atas, silakan merujuk (antara lain) kepada kitab-kitab berikut ini:
      • Sahih al-Tirmidhi, v5, p699
      • Sunan Ibn Majah, v1, p52
      • Fadha’il al-Sahaba, by Ahmad Ibn Hanbal, v2, p767, Tradition #1350
      • al-Mustadrak, by al-Hakim, v3, p149
      • Majma’ al-Zawa’id, by al-Haythami, v9, p169
      • al-Kabir, by al-Tabarani, v3, p30, also in al-Awsat
      • Jami’ al-Saghir, by al-Ibani, v2, p17
      • Tarikh, by al-Khateeb al-Baghdadi, v7, p137
      • Sawaiq al-Muhriqah, by Ibn Hajar al-Haythami, p144
      • Talkhis, by al-Dhahabi, v3, p149
      • Dhakha’ir al-Uqba, by al-Muhib al-Tabari, p25
      • Mishkat al-Masabih, by Khatib al-Tabrizi, English Version, Tradition #6145

      1. Lho, kan sumber awalnya ada di 12 kitab (dari ulama Sunni) yang daftarnya ada di jawaban saya di atas itu? Apa itu kurang Mbak/Mas/Ibu/ Bapak “Islam saja” ?

Silakan Beri Komentar

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s