Jokowi dan Dahlan Iskan: Gaya yang Mendobrak


Mendobrak” mungkin kata yang tepat saat terjadi perubahan mendadak yang mencengangkan banyak orang. Keberhasilan membawa perubahan dapat dilakukan bahkan hanya melalui hal-hal kecil, dan oleh sedikit orang. Dahlan Iskan dan Jokowi dua contohnya. Mereka seolah ‘mendobrak’ . Berbagai pemikiran (ide), produk dan pesan dapat menyebar lewat ‘getok tular’ (alias word of mouth)  — yang dapat mewabah — dan sekarang ditunjukkan oleh ‘trending topic’ di Twitter.

Belakangan ini nama Dahlan Iskan dan Joko Widodo kian populer. Keduanya dikenal sebagai orang-orang yang membawa perubahan segar di Indonesia.

Dahlan Iskan mulai naik daun saat memimpin PLN. Belakangan, Oktober 2011 lalu, bos grup media Jawa Pos itu diangkat sebagai Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara (BUMN).

Dulu Dahlan dikenal sebagai pengusaha swasta yang sukses. Hanya dalam lima tahun, ia berhasil mendongkrak oplah koran Jawa Pos dari enam ribuan menjadi 300.000 eksemplar. Lalu grup Jawa Pos berkembang pesat. Belakangan Dahlan juga sukses memimpin beberapa stasiun televisi lokal.

Berhubung orang sedang ramai membicarakan pemilihan gubernur DKI saat ini, tulisan ini sengaja saya muat ulang, dengan sedikit editing di dalamnya. Untuk artikel aslinya, silakan klik di sini. (Pertama kali ditayangkan pada media online “Inilah.Com”, Kamis 1 Maret 2012.) 

Gaya kepemimpinan Dahlan yang lugas dan sederhana menjadikannya seorang yang banyak dikagumi. Tak heran bila kemudian banyak yang mendapuk mantan wartawan Tempo itu maju sebagai calon presiden atau wakil presiden pada 2014.

Serupa dengan Dahlan, Joko Widodo, alias Jokowi, adalah Walikota Solo dua periode yang merebut hati masyarakat lewat kebijakan yang pro rakyat tanpa banyak bicara.

Dahlan Iskan dan Joko Widodo: mendobrak

Jokowi juga punya gaya kepemimpinan yang lugas dan transparan. Ia berhasil menyelesaikan persoalan di akar rumput, termasuk pedagang kaki lima di Solo (Surakarta), secara rapi dan tanpa gejolak.

Nama Jokowi kian melejit belakangan ini lewat kepeloporannya mendorong promosi mobil ESEMKA, karya siswa SMK di Surakarta.

Ia menggunakannya sebagai mobil dinas. Itu sebabnya banyak yang berharap agar para kepala daerah lainnya belajar dari kepemimpinan Jokowi yang juga otentik, sederhana, dan egaliter.

Sesungguhnya Jokowi dan Dahlan punya kesamaan gaya yang nyata, yakni bahwa keduanya adalah komunikator yang efektif. Keduanya membuktikan bahwa penyampaian pesan kepada khalayak tidak cukup hanya dilakukan lewat komunikasi verbal semata, melainkan dengan bahasa tindakan bahkan sering dalam hal-hal ’kecil’ dan sederhana.

Word of Mouth - Visualized

Fenomena keduanya mengingatkan kita pada adanya “Hukum Minoritas“, yakni bahwa setiap jenis keberhasilan yang menyebar bagai wabah ‘epidemi’ sangat bergantung pada keterlibatan sejumlah orang yang memiliki berbagai anugerah (bakat) khusus dalam urusan sosial.

Jumlah mereka tidak harus banyak, dan lazimnya mengikuti “Prinsip 80/20”, sebagaimana ‘Prinsip Pareto’. Prinsip itu merumuskan bahwa, pada setiap situasi secara kasar dapat disebutkan, 80% pekerjaan sesungguhnya hanya dihasilkan oleh 20% partisipan.

‘Hukum Minoritas’, keberhasilan dari epidemi sosial itu sangat tergantung kepada lingkungan sejumlah kecil manusia yang punya kemampuan atau bakat istimewa, dan sekumpulan keberkahan sosial.

Portrait of Vilfredo Pareto.
Foto Vilfredo Pareto (Wikipedia)

Nah, orang-orang seperti Jokowi dan Dahlan Iskan, misalnya, adalah para minoritas itu. Rasio-nya tidak mesti 20-80, melainkan bisa 15-85 atau angka perbandingan lain – berhubung memang tidak ada yang exact dalam masalah sosial dan komunikasi begini.

Mungkin saja jumlah walikota dan bupati yang membawa dampak positif tidak mencapai 20 prosen dari seluruh kepala daerah tingkat dua di Indonesia, tetapi mereka itulah ‘minoritas’ yang bisa membawa ’epidemi perubahan’ di Indonesia saat ini.

Bila mereka bisa menjadi ’penyebar wabah’ perubahan bagi sekitarnya atau semacam lokomotif bagi sederet gerbong di belakangnya, pasti banyak orang yang akan ’angkat topi’ terhadap mereka.

Sebaliknya, dengan analogi yang sama, kita bisa menguji bagaimana fenomena ’Prinsip Pareto’ di tempat Anda bekerja. Siapa tahu 80%-85% karyawan atau anggota dalam organisasi Anda, baik itu perusahaan swasta, lembaga pemerintah atau legislatif, hanya menjadi ’penumpang’ (di gerbong belakang) yang sama sekali tidak menghasilkan apa-apa, sementara 15-20% saja yang produktif bagai lokomotif.

Jokowi usai solat lohor di Pulo Gadung Jakarta (foto Tribune.News)

’Hukum Minoritas’ memberi kita peluang untuk melihat kehidupan secara lebih bermakna. Sering dalam hidup sehari-hari kita terjebak pada hal-hal yang besar, mewah dan glamor.

Padahal, pada kenyataannya, justru banyak perubahan terjadi akibat hal-hal ‘kecil’ yang dianggap remeh – yang justru memberi makna besar pada putaran kehidupan.

Kita misalnya menjadi seperti sekarang berkat perjuangan keras saat sekolah sambil berdagang di kala SD, atau akibat peristiwa ‘mikro’ seperti kehilangan orang terdekat, ketimbang perubahan ekonomi dunia atau tragedi nasional. Juga kita lebih mengingat guru mengaji di surau atau guru SD di kampung dulu, daripada nama Miss Universe tahun 2008 (atau 2009), umpamanya.

Walhasil, saat-saat kritis dalam kehidupan menjadi perubahan sosiologis yang membuat hidup kita makin bermakna. Ia menjadi marka atau penanda yang memberi arti penting pada kegiatan kita dari hari ke hari. Masalahnya adalah bagaimana kita bisa mengkomunikasikan marka atau penanda itu kepada khalayak sekitar.

Miss Universe 2009_5121

Banyak orang mungkin tidak tahu caranya, sedangkan Dahlan dan Jokowi dapat melaksanakannya secara efektif – sehingga ia bisa mendorong terjadinya perubahan bagi lingkungannya. Dahlan mencontohkan lebih suka mengenakan sepatu sneakers biasa, sedangkan Jokowi sengaja duduk bersama ’wong cilik’ dan naik mobil ESEMKA saja.

Yang penting digaris bawahi adalah bahwa, masyarakat bisa berubah, mentransformasikan perilaku atau keyakinan mereka, didorong, meraih momentum yang tepat berkat pemanfaatan adanya tenaga perubahan yang muncul.

Dan itu, sebenarnya tidak sesulit yang kita duga. Lihatlah dunia sekitar Anda, ternyata itu semua hanya memerlukan dorongan kecil, dengan sedikit pergeseran paradigma saja, transformasi itu sudah bisa terwujud. Ia sebuah ’titik didih’ — seperti dikatakan Malcolm Gladwell dalam bukunya ’The Tipping Point’) — saat suhu mencapai 100 derajat bagi air, saat situasi mencapai puncaknya dan tidak bisa kembali lagi.

Gladwell sendiri mendefinisikan ‘”tipping points” sebagai tahapan-tahapan ketika momentum perubahan tidak lagi bisa distop. Memang ia mendekatinya secara sosiologis, untuk menjelaskan adanya misterious sociological changes yang menandai perjalanan hidup sehari-hari bangsa ’homo sapient’ seperti kita ini.

Bila saat dramatis itu sudah terjadi, maka ide-ide, produk dan pesan-pesan (dalam kata-kata atau iklan, atau apa saja) menyebar ke mana-mana bagaikan virus influensa yang menjadi wabah (epidemi). Itu sebabnya pesan ’word of mouth’ penting bagi orang marketing, sebagaimana juga penyebaran ‘trending topic’ di Twitter sekarang ini.

English: Malcolm Gladwell speaks at PopTech! 2...
Malcolm Gladwell: tipping point

Sangat boleh jadi itulah yang berhasil dilakukan Dahlan dan Jokowi: menyebarkan wabah melewati ambang batas, sehingga yang semula ’tidak diharapkan’ (atau tidak disangka-sangka) orang banyak, tiba-tiba menjadi kenyataan.

Lalu, karena komunikasinya digarap dengan benar, percepatannya bisa merambah pada seluruh penduduk, berlipat dan berlipat terus menerus.

Walhasil, bila ingin membuat gerakan yang menular, awalnya orang hanya perlu melakukan beberapa langkah kecil sekaligus. Tapi, masalahnya, apakah semua pemimpin mau melakukannya?

Baca juga:

Silakan Beri Komentar

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s