Bagaimana berjaga-jaga ketika suami (atau isteri, atau pacar) Anda berbohong? Pertanyaan seperti apa yang bisa memancingnya agar mengungkapkan kebenaran?
Mereka yang bohong punya rahasia. Di bawah ini sedikit mengenai cara mengungkap rahasia sang pembual yang disarankan ahli ilmu jiwa. (“Bener.. berani sumpe, “ kata orang Betawi, “Ini saran dari ahli jiwa, bukan dari ane sendiri.”)

Ajukan pertanyaan yang ‘mengena’.
Jika Anda mencurigai seseorang berbohong,dan Anda inginkan sebuah kebenaran, pertanyaan yang Anda ajukan bisa mengungkapkan hal itu. Sebutlah seorang isteri bertanya kepada suaminya, apakah ia menikmati makan siang yang dibawakannya dalam rantang pada suatu hari Jumat. Jika sang suami bilang,”iya,” tapi menunjukkan reaksi yang bertentangan dengan ‘sleep points’-nya, maka mungkin saja sang suami membual. (Sleep points itu semacam ‘titik ketidaksadaran’ pada pikiran seseorang).
Strategi terbaik adalah menunda pembicaraan untuk saat itu. Sebab bila si isteri terus memborbardirnya dengan pertanyaan sekarang, sang suami akan menjadi sangat ‘defensif’, atau justru mengarang bualan-bualan lanjutan.
Selain itu, ia akan pasang ‘kuda-kuda’ terus menjadi sangat berjaga-jaga ketika isterinya membuka masalah itu lagi pada saat lainnya. Oleh karenanya, lebih baik bila si isteri memberi jeda waktu untuk mencari ‘evidence’ (bukti-bukti) guna membuktikan kecurigaannya. Atau hendaknya ia berpikir bagaimana cara terbaik untuk mendekati ‘masalah’itu pada kesempatan lain.

Lalu sang isteri bisa mencoba beberapa pertanyaan strategis ini:
- Ajukan pertanyaan strategis. Jika Anda menganggap seseorang berbohong, Anda bisa membelokkan asumsi itu dalam bentuk pertanyaan. Dalam kasus di atas, sang isteri bisa menanyakan kepada suaminya ke mana ia makan siang hari itu. “Akhirnya Jumat lalu makan siang di mana Bang?” Hal ini, kata sementara ahli, akan memberikan kesempatan bagi si pria untuk mengakui kebenaran tanpa merasa terpojok atau tertekan. Selain itu, karena soal yang diajukan itu mengharuskannya menjawab dengan penjelasan, dan bukan sekedar jawaban ‘ya atau tidak’, maka hal itu memudahkannya untuk muncul secara “bersih” ketimbang mencari-cari jawaban yang ‘masuk akal’ (common sense).
- Gunakan pertanyaan ‘memancing’. Jika isteri sudah menemukan bukti kebohongan – misalnya rantang makan siang yang utuh di bagasi mobil, atau bon Pizza Hut di dompet suaminya – maka si isteri bisa memanfaatkan bukti itu untuk minta penjelasan. Ia bisa mencoba soal ini, ”Apa ada alasan tertentu tentang bon Pizza Hut dua ratus ribu ini bertanggal Jumat kemarin?” Lewat pertanyaan yang berhubungan dengan bukti begitu – dan tidak menuduh atau menunjuk hidung – ia tidak akan merasa “diserang” secara pribadi, sehingga akan menjadikannya lebih jujur. Atau si suami mungkin justru mengakui bahwa sesungguhnya ia tidak suka suka sandwich tuna yang disiapkan sang isteri baginya, meskipun dibungkus dengan ‘daun cinta’ atau ‘plastik kasih-sayang’…
“Maaf Sayang…aku gak makan penganan yang ada di ‘lunch box’. Sesudah 18 tahun menikah, kok Mami masih saja membekali sandwich tuna..? Kan Mami tahu, aku gak doyan ikan tanpa sisik? Itu saja alasanku kok. Gak.. enggak ada apa-apa,” kata sang suami dengan logat Betawi, “Aku juga gak makan sama mami-mami lain kok… Bener. Berani sumpe…” hehehe… 🙂
Baca juga:
- Etika Pemimpin: Opini di Kompas, 22 Agustus 2011
- Nazaruddin dan Dusta: tulisan lain di blog ini.
- Ketika Kejujuran Saja Tidak Cukup: artikel di Kompas.
- Ketika Orang Berbohong: artikel lain di blog ini.
baru baca artikel ini. bacaan menarik 🙂
sayangnya banyak org yg menganggap hub suami-istri juga perlu byk privasy. termasuk tahu urusan kantor, mengenal teman-teman pasangan apalagi sampai membuka dompet bahkan gadget.
Tapi alhamdulillah, saya mencoba utk jujur pd suami. hidup lbh tenang ga ada beban.
terima kasih
Setuju. Hidup lebih tenang dan tenteram bila semuanya disampaikan secara jujur dan terbuka.
Terima kasih.